Monday, December 04, 2006

FOKUS Olahraga, Kita Pun Sulit Bersaing

Kita memang semakin terpuruk. Di arena Asian Games 2006, kita masih jauh tertinggal di bandingkan dengan negara lain. Perolehan negara kita masih sangat jauh dari harapan. Bahkan di arena khas Indonesia, dimana kita pernah merajainya semisal bulu tangkis, kita benar-benar babak belur.

Ada apa dengan kita? Gambaran sulitnya memperoleh medali oleh para utusan Indonesia di arena sesama bangsa Asia tersebut adalah gambaran sederhana dari bagaimana kita mencapai prestasi. Bagaimana tidak? Untuk memberangkatkan tim Indonesia ke kompetisi tersebut, kita hanya rata-rata punya waktu 6 bulan.

Negara lain mengalokasikannya jauh-jauh hari. China misalnya, yang kini menjadi jawara di hampir semua nomor, telah mendidik anak-anak di sana dalam semangat berolahraga. Motto mereka adalah menjadi pemenang di segala lini. Dan itu dicapai dengan melatih, mendidik, dan menggembleng mereka yang potensial di masa depan untuk menjadi pemenang. Dapat dikatakan, China sekarang tidak kesulitan mencapai nomor satu karena stok anak-anak unggul mereka sangat luar biasa.

Mengapa kita tidak bisa demikian? Karena kita tidak terbiasa mencapai prestasi dengan kerja keras. Bangsa ini amat pelit dengan dana pengembangan sumber daya manusianya. Dana yang ada malah dikorup dan dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Lapangan olahraga disulap menjadi mall dan bangunan rumah toko. Praktis, anak-anak kecil kita tak punya sense menjadi atlit olahraga. Bayangan masa depan mereka adalah menjadi buruh, bisnisman, atau pejabat. Sudah itu mereka tidak punya cita-cita menjadi tokoh olahraga yang memajukan bangsa karena sedari kecil mereka tidak punya potret mengenai hal itu. Potret mereka adalah pada manusia yang sehari-harinya berjas dan memegang materi rapat. Bukan pada mereka yang berpeluh keringat mengurai semangat.

Bagaimana kita bisa maju kalau untuk belajar menggapai prestasi kita terkadang melatih anak-anak kita dengan jalan haram? Lihat saja contoh sederhana proses ujian nasional. Kita tidak membiarkan anak-anak kita lulus dengan cara mereka. Kita justru mendongkrak mereka dengan patokan UN yang mustahil dicapai bahkan oleh yang menyusunnya sendiri. Maka akibatnya sekolah menjadi ajang mencari uang bagi para guru dan pendidik yang membuka les dadakan. Lalu ketika UN berlangsung, mereka menjual soal kepada para siswanya sendiri.

Bagaimana kita bisa maju kalau kita menempuh jalan pintas dan menganggapnya pantas? Lihat saja kaset-kaset bajakan, produk palsu dan berbagai barang impor masuk secara ilegal dan kita puas memakainya. Bagaimana kita bisa menghargai jerih payah kalau kita tidak pernah belajar apa artinya menciptakan, melakukan dan mengerjakannya sendiri?

Keterpurukan kita dilengkapi oleh ketidakmengertian mereka yang seharusnya melakukannya. Bagi mereka, para penguasa dan pejabat itu, olahraga amat tidak populis. Mereka melihatnya sebagai investasi yang percuma dan dibuang tidak sayang. Mereka tidak perduli bahkan anggaran untuk olahraga pun dipotong. Bagi mereka, olahraga adalah sebuah dunia biasa. Bagi mereka, prestasi adalah politik. Lain tidak.

Bangsa ini lupa bahwa dalam sejarahnya olahraga adalah bagian dari budaya kebijakan. Mereka yang mengajarkan olahraga, dari awal pertamanya adalah maraton, adalah mereka yang menguasai etika dan keberadaban hidup di jaman Athena. Mereka dikenal amat cinta akan nilai-nilai luhur dan etika hidup, karena bagi mereka itulah martabat yang paling mulia. Olahraga asalinya adalah pemujaan kepada dewa sebagai pemegang hidup di dunia.

Kita sudah bisa menebak bahwa Indonesia akan menjadi pecundang di arena Asian Games 2006 ini. Hal ini seharusnya menjadi refleksi kepada kita mengenai motto ”memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.” Kemana motto itu? Dan kenapa tidak menjadi spirit bersama? Hal ini harus dijawab oleh mereka yang mengurus negeri ini.

Read More......

FOKUS Moralitas Anggota DPR, Memalukan

Beredarnya rekaman berisikan adegan mesra antara salah seorang anggota DPR dengan seorang penyanyi dangdut telah menghebohkan seluruh kita. Adegan berbau mesum itu menjadi bola politik yang menjadi liar dan mengundang berbagai kritik dan tudingan tak sedap kepada parpol yang menjadi tempat asal yang bersangkutan.

Lagi-lagi, kejadian di atas, apa boleh buat, telah menempatkan anggota DPR kepada bukti berikut dari ketidakjujuran moral. Sebelumnya berbagai kasus telah menunjukkan ketidakmampuan mereka menjadi sosok dan elit yang bisa diteladani.

Jamak kita ketahui sebelum ini adalah kepergian mereka untuk berkunjung ke luar negeri. Dengan menggunakan uang negara, dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak masuk akal dan sangat memaksakan diri, mereka ketahuan berbelanja di negeri tujuan mereka. Tanpa malu-malu mereka pulang dengan membawa belanjaan tanpa tahu apa hasil dari kepergian mereka itu.

Hal ini benar-benar sudah di luar batas kewajaran. Dan ini terjadi bukan hanya dilakukan oleh anggotanya. Ketua DPR sendiri memberikan contoh betapa elit politik kita jauh dari kepatutan. Dalam sebuah perjalanan safari Ramadhan beberapa waktu yang lalu Ketua DPR menggunakan fasilitas parlemen untuk mendukung kegiatan pribadinya itu. Bahkan sambil membagikan voucher bantuan sekolah, Ketua DPR tetap bersikukuh bahwa dirinya melakukannya atas nama pribadi. Belakangan, sekelompok orang kemudian mengadukanya ke Badan Kehormatan DPR.

Kepatutan dan moralitas memang amat jauh dari mereka yang duduk di parlemen sana. Mereka hanya mementingkan hasrat dan keinginan semata, tanpa tahu lagi batas dan rambu-rambu sebagai wakil rakyat yang dipanggil “terhormat”. Lihat saja di berbagai daerah yang namanya wakil rakyat banyak kedapatan berbuat mesum, menggunakan narkoba, tersangkut judi, dan yang paling memalukan adalah korupsi berjamaah. Sayang bahwa mereka tidak malu-malu melakukannya, seolah tindakan itu adalah sebuah privillage atas jabatan mereka sebagai anggota parlemen.

Persoalan di negara ini adalah pada rule of conduct yang sama sekali tidak dipegang dengan baik. Memang ada Badan Kehormatan DPR. Namun badan bentukan DPR ini sendiri adalah badan yang sama sekali tidak punya kewenangan untuk memberikan putusan menyangkut pelanggaran susila tanpa ada laporan dari masyarakat. Badan ini benar-benar adalah badan politik yang dibuat hanya karena desakan warga masyarakat kala itu.

Akomodasi rule of conduct ini menyebabkan anggota parlemen baik di pusat maupun di daerah dengan seenaknya menggunakan apapun yang bisa dilakukan. Dalam pikiran mereka batasan perilaku adalah langit. Itu sebabnya mereka bebas melakukan apa saja sepanjang mereka tidak melanggar aturan partainya. Sayangnya, tidak ada pula partai yang benar-benar secara eksplisit mencantumkan batas-batas moralitas termasuk korupsi.

Memang ada kesan bahwa kembali kepada yang bersangkutanlah semua perilaku tersebut. Namun harus dimengerti bahwa masyarakat kita sudah tidak dapat lagi dibodoh-bodohi. Parpol yang terkesan hanya menjadi ”preman”, sudah ditandai oleh masyarakat. Dan mereka yang ingin mengakhiri karir dengan cara yang tidak santun, pastilah akan menuai hukuman politik dari masyarakat.

Urat malu dan kehormatan memang amat langka ada parlemen. Mereka sama sekali jauh dari keinginan itu. Bagi mereka, menjadi anggota parlemen adalah kebebasan melakukan apapun, mendekati istilah ”serigala” sebagaimana yang dilontarkan oleh Prof. JE Sahetapy.

Sistem politik kita tidak seperti di Amerika, yang jika melakukan asusila, bisa tergusur karena dianggap mempermalukan masa depan partai. Di sini, harus dibangun sistem serupa supaya setiap tindakan harus dipertanggung-jawabkan kepada parpolnya sendiri. Parpol harus menegaskan bahwa tindak tanduk setiap anggotanya akan menentukan hidup matinya parpol tersebut.

Read More......

Thursday, October 12, 2006

Korupsi: Ketika Jalan Pintas Dianggap Pantas


Apa arti korupsi? Jawabnya sederhana saja. Lihatlah sebuah iklan di televisi yang menggambarkan bagaimana dua petinju sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pertandingan. Yang satu mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Latihan terus menerus dan tanpa lelah. Petinju ini ingin memperlihatkan penampilan yang prima. Tujuannya satu: untuk menjadi juara. Sementara yang satu juga ingin jadi juara. Hanya caranya berbeda. Daripada berlatih serius, dengan menggunakan kursi malas petinju ini hanya ongkang-ongkang kaki. Tetapi nyatanya, ketika pertandingan berlangsung, pemenanganya ternyata bukan yang berlatih dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, yang santai tadilah yang menjadi juara, yang diangkat pula tangannya oleh wasit.

Ada apa? Ternyata ketika pertandinganlah yang membuktikan kenapa petinju yang santai dan tidak berusaha keras berlatih bisa menjadi juara. Petinju ini menggunakan kayu, bukan tangan untuk memukul lawannya. Praktis, dalam satu pukulan, petinju yang berlatih keras tadi langsung KO. Layar iklan tadi ditutup dengan sebuah kalimat yang sangat baik untuk direnungkan: jalan pintas dianggap pantas!

Menyaksikan sebuah parodi di atas kita menyaksikan bagaimana di negeri ini jalan pintas memang selalu menjadi sebuah hal yang dianggap pantas. Bangsa ini tidak terbiasa bekerja keras dan berlatih. Sebab semuanya bisa dicarikan jalan keluar yang mudah, meski harus melanggar hukum.

Masif

Bibit korupsi itu terjadi dimana-mana dan negeri ini memang menjadi pesemaiannya. Mari lihat di jalan raya. Sekarang pengemudi tak mau lagi mematuhi lampu lalu lintas. Seenak perutnya mereka menerobos lampu seolah tak ada lagi aturan yang mengharuskan harus berhenti di lampu merah, berhati-hati di lampu kuning, dan berjalan di lampu hijau. Dari perilaku di atas semua lampu kemudian dianggap sebagai lampu hijau!

Jalan pintas juga ditempuh oleh mereka yang sedang berada di bangku sekolah atau kuliah. Demi memperoleh nilai baik dan lulus, maka jalan pintas pun dilakukan. Ada yang mempersiapkan contekan, ada yang mempersiapkan teman untuk saling bekerjasama, bahkan ada yang menyetorkan sejumlah uang untuk dosennya. Tanpa malu-malu ada yang menyandang gelar sarjana, master, maupun doktor tanpa harus kuliah dan berjerih lelah, sebab dengan membayar uang sejumlah tertentu maka pastilah semuanya akan mudah dibereskan.

Jalan pintas terlihat di kantor pemerintah. Untuk cepat kaya dan terpandang, maka mereka yang menduduki jabatan melakukan upaya curang tetapi memang berdampak cepat. Uang negara dianggap sebagai uang pribadi. Maka rekening pribadi pun menjadi tempat menyimpan uang negara. Uang yang berasal dari kegiatan untuk pembangunan, disunat dan dijadikan sebagai uang pribadi. Apakah kemudian aktifitas pembangunan mengalami masalah, itu urusan belakangan. Para pejabat berlombas-lomba memperkaya diri tanpa harus bekerja keras. Mereka hanya tinggal duduk, menandatangani surat dan kuitansi fiktif, lalu kemudian menggunakannya untuk kesenangan pribadi, bahkan keluarga.

Jalan pintas kerap dilakukan oleh para wakil rakyat juga. Mereka urun rembug dalam melakukan jalan pintas yang dianggap pantas tadi. Jadilah mereka melakukan studi banding, atau apapun namanya menggunakan uang negara. Mereka tidak malu-malu berbelanja di butik di luar negeri karena mereka menganggap hal itu pantas. Bagi yang lebih kreatif lagi, anggaran belanja untuk kebutuhan mereka dibuat supaya kelihatan baik, padahal tidak. Setiap tahunnya ada saja jalan untuk memperkaya diri dengan menggunakan tak-tik jalan pintas.

Kita bisa merinci begitu banyak cara yang dilakukan di negeri ini sebagai jalan pintas. Penyelundupan kayu, pencurian ikan, pembakaran hutan, pembobolan bank, sampai dengan yang paling sederhana yaitu tukang parkir yang menilap uang parkir, menggambarkan bagaimana jalan pintas yang dianggap pantas sudah menjadi pola perilaku bangsa ini. Para pedagang yang melakukan kecurangan ketika berjualan, para pembayar KTP yang sesungguhnya gratis, sampai pada petugas di bandara yang dengan uang ribuan bisa disogok untuk meloloskan seorang pengantar.

Akibatnya bisa kita lihat, hampir tidak satupun peluang yang bisa menjadi jalan keluar bagi kita untuk memulai membersihkan. Mau bicara hukum? Aparat penegak hukum sama saja. Ada yang menggunakan hukum di tangannya untuk memeras. Ada hakim yang mengatur putusan. Ada terdakwa yang membayar jaksa. Ada panitera yang memalsukan berkas putusan. Ada pembela yang kerjanya mengatur bagaimana supaya kliennya dibebaskan.

Di sudut-sudut jalan, para polisi lalu lintas juga melakukan tindakan haram. Mereka menjebak korban para pelanggar lalu lintas. Mereka hanya tinggal duduk, lalu prit, mereka yang sudah terbiasa melanggar aturan akan masuk perangkap sendiri. Banyak pula jalan pintas yang disediakan oleh aparat polisi ini. Mereka sudah mempersiapkan cara untuk menyelesaikan masalah secara pintas.

Kalau mau jujur, rasanya sangat sulit memperbaiki bangsa kita dalam hal korupsi. Perilaku yang merupakan bibit potensial korupsi sungguh sangat masif dan dilakukan tiap-tiap hati. Demikian berulang-ulang dan tak ada yang bertanya mengapa jalan pintas dianggap pantas.

Sakit Jiwa

Kalau seorang manusia tak lagi bisa membedakan yang mana yang pantas dan yang mana yang tidak, maka manusia tersebut sesungguhnya mengidap gangguan kejiwaan. Argumentasi ini pernah disampaikan oleh mantan Menteri Agama kita. Rasanya memang sangat sarkasis, tetapi kenyataannya memang demikian.

Andaikan semua yang kita pakai, semua yang kita makan, semua yang kita sebut sebagai milik pribadi sebenarnya bukan milik kita—termasuk waktu yang kita curi karena melanggar hukum atau aturan kepantasan—tetapi dengan tenang, tanpa rasa bersalah, tanpa merasa terganggu atau guilty feeling tertentu, dus hati nurani tak lagi bisa berbicara dan mempersalahkan, kita sebut apakah itu?

Kalau kita menyaksikan penderita gangguan kejiwaan, maka jawaban atas hal demikian bisa kita temukan. Pasien dengan gangguan kejiwaan adalah manusia yang buta akan sekelilingnya. Mereka hidup dalam dunia dan logika berpikirnya sendiri. Itu sebabnya mereka bisa berteriak ketika suasana tenang, atau menangis ketika semua sedang tertawa. Mereka kehilangan relasi pertama-tama dengan dirinya sendiri, lalu dengan lingkungan dan yang lebih luas lagi adalah alam sekitar. Maka penderita gangguan kejiwaan mudah melakukan tindakan destruktif yang merugikan dirinya dan sekitarnya.

Pengertian itu membawa kita pada logika yang sama dengan mereka yang menempuh jalan pintas tadi. Mereka menganggap bahwa tindakannya pantas. Mereka tidak merasa bahwa jika uang, milik atau harta orang lain diambil, itu adalah sebuah kesalahan dan pelanggaran hukum. Mereka justru, sebaliknya, merasa bangga karena melakukannya, karena mereka hidup dengan logikanya sendiri. Mereka tidak mau pusing dengan ingar bingar pemberantasan korupsi. Logika mencari jalan pintas yang dianggap pantas menyebabkan mereka mencari dan terus mencari jalan keluar dan melakukan korupsi baru.

Terapi Massal

Sebagaimana penderita gangguan kejiwaan, penderita ”penyakit bibit korupsi” dan ”koruptor” ini pun sesungguhnya hanya bisa disembuhkan jikalau dilakukan terapi massal. Perilaku masyarakat Indonesia harus diubah secara bersama-sama, untuk semua tindakan yang sudah sama-sama kita mengerti tadi. Kecil atau besar, jika itu namanya bibit korupsi, karena melanggar nilai kepantasan, harus disingkirkan, dan kalau perlu diisolasi.

Mereka yang melakukan tindakan ”jalan pintas” harus dilawan oleh sebuah gerakan massa bernama ”jalan pantas”. Gerakan ini bersumber dari mereka yang masih punya hati nurani, yang masih sehat. Mereka inilah yang harus mempelopori gerakan untuk membebaskan bangsa ini dari penyakit kronis bernama korupsi. Jika yang melakukan ”jalan pantas” lebih banyak dari yang melakukan ”jalan pintas”, niscaya pembaruan bangsa akan mudah dilakukan.

Read More......

Demokrasi Tanpa Kesejahteraan Rakyat

(catatan: tulisan ini dimuat di kolom Opini Harian SIB, 12 Oktober 2006)

Sebuah pernyataan pernah disampaikan oleh Wakil Presiden. Dikatakan oleh Jusuf Kalla, bahwa demokrasi di Indonesia belum memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan membandingkannya dengan pelaksanaan Pilkada yang bertele-tele oleh karena banyaknya proses serta munculnya berbagai kasus sengketa Pilkada yang harus diputus oleh pengadilan, Wakil Presiden yang juga Ketua Umum Partai Golkar tersebut seolah menggugat keberadaan parpol yang belakangan ini semakin marak.

Sejenak kita merenungkan hal tersebut, memang ada benarnya. Lihat saja berkah reformasi yaitu demokrasi kita kini. Banyak yang menyatakan bahwa kita sudah memulai demokrasi dengan baik. Kebebasan pers sudah sangat tinggi. Lalu keterbukaan dalam menyelenggarakan hak politik rakyat. Demikian juga dengan tranparansi.

Indikator yang paling umum disampaikan oleh banyak pihak adalah mengenai pemilihan umum langsung (Pilkadasung). Dimana-mana, dikatakan bahwa euforia demokrasi terjadi. Rakyat kini bebas menentukan pilihan dan kemauan politiknya. Pilkadasung juga dikatakan sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi politik masyarakat.

Semuanya memang kelihatannya amat demokratis di atas kertas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semuanya itu memberikan sesuatu yang baik dan berdampak penting bagi rakyat? Apakah demokrasi ala Indonesia yang sekarang kita saksikan ini adalah demokrasinya rakyat Indonesia juga?

Mari kita lihat perbadingannya. Kalau kita lihat nasib rakyat sekarang ini, memang sungguh sangat menyedihkan. Data memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita sudah mulai membaik, bahkan mencapai 1.500 dollar AS. Namun gini ratio, indeks kesejahtaraan masih belum bergeser dari 0,3. Artinya distribusi pendapatan belum bergeser sama sekali. Kebanyakan mereka yang berpendapatan besar masih menikmati keutungan dari mereka yang berpendapatan nihil sama sekali. Di lapangan, fakta lebih tragis amat menyentuh. Karena beban hidup semakin menekan, banyak yang melakukan perbuatan tercela semisal mencuri dan menjual diri. Yang paling parahnya adalah banyak juga yang menempuh jalan pintas yaitu bunuh diri.

Masih berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, yang paling menyolok adalah munculnya kasus-kasus yang memperlihatkan semakin menderitanya masyarakat. Di Jawa, warga masyarakat suatu desa makan gaplek karena desanya dilanda kekeringan. Di Yahukimo, Papua, masyarakat meninggal karena kehabisan stok makanan. Sementara itu, secara nasional kasus gizi buruk semakin meningkat. Meski tidak bisa dilihat hubungannya secara langsung, sekarang ini terjadi peningkatan kekerasan kemanusiaan yang berhubungan dengan tekanan hidup. Bahkan ada anak SD yang mencoba melakukan upaya bunuh diri karena tidak tahan diejek oleh teman-temannya karena belum membayar uang SPP.

Apa arti semuanya itu? Apakah memang demokrasi sudah sedemikian buruk sehingga tidak berdampak kepada kesejahteraan rakyat, sebagaimana dilansir oleh Wapres? Apakah kita harus menolak demokrasi sekiranya hal itu yang terjadi?

Demokrasi elit

Membahas hal ini, saya ingin mengutip perkataan proklamator kita, Mohammad Hatta. Bung Hatta pernah mengeluarkan kalimat yang bijak. Ia menyatakan bahwa kalau Indonesia sampai merdeka, “jangan sampai kekuasaan …. jatuh ke dalam tangan kaum ningrat… Dan dalam Indonesia Merdeka yang seperti itu tidak berarti rakyat merdeka!”. Ini mengandung makna bahwa dalam kacamata Hatta terdapat bahaya yang harus diwaspadai. Yaitu bahwa demokrasi menjadi miliknya kaum elit. Miliknya kaum ningrat.

Nampaknya memang kita melihat hal demikian. Kita menyaksikan bahwa jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah keterbukaan, maka mereka yang mendapatkan keuntungan dari hal demikian justru adalah kelompok atau elit tertentu. Mereka inilah yang kini menjadi pengendali berbagai kebijakan, termasuk yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, mereka melakukannya tidak dengan keinginan untuk melakukannya demi kepentingan rakyat, namun sebagaimana disampaikan di atas, mereka ingin menguntungkan diri dan kelompoknya sendiri.

Yang lebih parahnya mereka menjadikan demokrasi sebagai alat untuk menjatuhkan satu sama lain. Sebagaimana kita saksikan dalam era yang penuh dengan keinginan untuk menegakkan hukum, kini hukum dijadikan sebagai alat pemeras dan penekan orang lain. Termasuk yang melakukannya adalah penegak hukum sendiri.

Siapa dan dimana mereka? Tidak usah jauh. Mereka adalah yang pertama-tama disebut sebagai wakil rakyat. Dimana-mana wakil rakyat kini adalah elit baru yang membawa nama rakyat tetapi tidak berjuang atas dan untuk nama rakyat. Mereka amat jarang memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Mereka yang disebut sebagai wakil rakyat ini lebih suka berebut rejeki bernama uang dan kekuasaan. Mereka tidak tahan tidak melakukannya karena mereka memang tidak pernah berpikir untuk membela rakyat.

Mereka juga bernama penguasa. Penguasa dalam demokrasi elit adalah mereka yang menggunakan kekuasaannya sebagai alat untuk memperkaya diri, kelompok dan kekuasaannya sendiri. Penguasa dalam demokrasi elit menggunakan kekuasaannya secara sesuka hati tanpa perduli pada nasib rakyat.

Demokrasi elit adalah demokrasi dimana, persis seperti Hatta katakan, dimana terbentuk sebuah hubungan yang di masyarakat Jawa dikenal sebagai patron-klien. Patronnya adalah mereka yang memegang kuasa dan yang menjadi kliennya adalah mereka yang bernama masyarakat jelata dan papa. Demokrasi elit dibangun di atas keberingasan dan hasrat yang amat tinggi dari kaum elit tadi, tetapi semuanya hanya berorientasi pada kepentingan dan ke-aku-an mereka.

Maka dalam demokrasi elit, yang menjadi korban adalah masyarakat. Rakyat jelata yang tak tahu apa-apa. Rakyatlah yang menjadi korban ketika elit menggunakan kekuasaannya untuk menaikkan harga dan melambungkan keuntungan bagi kantong mereka. Rakyatlah yang menjadi korban ketika harga-harga melonjak tanpa tahu kenapa terjadi. Rakyatlah yang menjadi korban ketika kesalahkaprahan politik antar elit menjadi pertikaian tanpa henti yang mengorbankan program pembangunan untuk rakyat. Dan rakyat biasalah yang menjadi korban ketika atas nama pembangunan semuanya dihancurkan dan diratakan dengan tanah padahal maksud elit adalah membangun sarana bisnis bagi mereka.

Rakyat tak bisa berbuat banyak. Rakyat sama sekali tidak punya akses untuk mandiri dan maju. Rakyat Indonesia hanya bisa mengais rejeki dari belaskasihan yang dikucurkan sebagai tanpa bahwa para elit sudah bekerja.

Kesimpulan

Jadi, memang secara implisit, relevansi demokrasi terhadap kesejahteraan masyarakat masih terlalu jauh. Demokrasi memang masih sangat mudah diucapkan, namun tidak mudah digerakkan terlebih dielaborasi oleh para pelakunya. Itu sebabnya demokrasi seolah kehilangan greget dan gigitannya terhadap bangsa kita.

Padahal maksud demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah proses politik belaka. Demokrasi adalah berdayanya masyarakat yang paling rendah sekalipun sehingga mereka tak lagi hanya bisa menonton, melainkan menjadi pelaku.

Demokrasi rakyat adalah antitesis dari demokrasi elit. Demokrasi rakyat berarti rakyat yang menentukan seluruhnya. Rakyat yang akan menjadikan seluruh keputusan menjadi keputusan yang direncanakan, diabdikan dan dilaksanakan oleh rakyat sendiri.

Maka sudah saatnya memang perlu dipikirkan oleh mereka yang berada di negeri ini bagaimana supaya demokrasi menguntungkan kita bersama. Itulah hakekat dari demokrasi rakyat tadi. Jangan sampai demokrasi hanya menjadi sebuah slogan yang tiada arti dan kemudian kelak disesali, ketika pengorbanan sudah cukup banyak dilakukan oleh seluruh bangsa. Semua elemen bangsa yang berkiprah di negeri ini bertanggung-jawab untuk mengembalikan roh demokrasi ke asalnya, yaitu demokrasi rakyat

Read More......

Monday, September 25, 2006

Horor Flu Burung di Indonesia

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian SIB, Medan tanggal 23 September 2006 dengan judul "Penyebaran Flu Burung Di Indonesia)

Serangan virus H5N1 yang menyebabkan kematian unggas dan manusia semakin mematikan. Setelah sebelumnya hanya menyerang sebagian daerah saja, serangan virus ini sudah menjalari kemana-mana. Dalam waktu singkat, sejak ditemukan pertama sekali pada manusia pada tahun 2005, tercatat di awal September ini, sudah 65 pasien positif flu burung pada manusia, dengan tingkat kematian mencapai 75 persen. Penyebaran pada unggas juga sudah luar biasa banyaknya. Kini sudah 30 propinsi di Indonesia tercatat sebagai wilayah dengan positif flu burung.

Tidak dapat dibantah bahwa penyebaran flu burung sudah menyebar di seluruh wilayah tanah, jauh dari harapan semula bahwa penyebarannya akan dapat diisolir sehingga dapat lebih baik. Itu berarti, bahwa pemanggilan sejumlah Kepala Daerah oleh Presiden Yudhoyono di awal penyebaran flu burung semakin mengganas, ternyata tidak efektif untuk mencegah penularannya ke wilayah lain di seluruh Indonesia. Dengan logika yang sama, ternyata, bahwa penyebaran flu burung terutama pada unggas di seluruh Indonesia ternyata gagal pula di kontrol oleh mereka yang dipercaya dan memiliki otoritas atas penanggulangan masalah ini, yaitu Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan.

Di Sumatera Utara saja, sebanyak tiga desa di Dairi sudah mengalami kematian unggas secara mendadak dan ditengarai menjadi sebuah wabah baru. Lalu disusun oleh kematian unggas di Tebing Tinggi dan beberapa wilayah lainnya. Gelombang penularan juga terjadi secara hebat di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi. Disana, ternak dan manusia mengalami kematian oleh karena flu burung ini.

Minimnya Kewaspadaan

Mengapa penularan dan kematian akibat flu burung ini sedemikian cepat dan meluas tanpa dapat kita cegah? Dalam sebuah film berjudul Race Against The Killer Flu yang dirilis oleh National Geographic, diceritakan bagaimana upaya perlawanan terhadap flu burung ini sedang gencar dilakukan oleh para ahli di seluruh dunia. Dalam skenario yang telah disimulasikan melalui penggunaan komputer, jika satu saja kasus terjadi, maka sebuah negeri dalam waktu singkat (20 minggu) akan mengalami berbagai kegagalan ekonomi, sosial, keamanan dan infrastruktur.

Dalam film itu, direkomendasikan untuk mengedepankan sikap waspada. Ada sebuah sistem deteksi yang harus terus menerus aktif untuk meresponi munculnya kasus flu burung, terutama di awal periodenya. Di Hongkong, misalnya, tingkat kematian bisa dicegah karena dilakukan pencegahan awal yang sangat efektif, yaitu pemusnahan unggas. Jutaan unggas dimusnahkan untuk mencegah penularan. Para pedagang dan penjual ayam bahkan terlibat dalam usaha mencegah ini dengan merelakan unggasnya dimusnahkan.

Yang juga menarik melalui film itu adalah bahwa terdapatnya kemungkinan terjadinya pandemi flu burung akibat proses mutasi yang tidak dapat dicegah. Dalam skenario terburuknya, sebanyak 130 juta orang akan mati akibat keganasan flu burung yang diasumsikan akan dapat menular dari manusia ke manusia jika medium untuk itu tidak dicegah. Virus flu burung adalah virus yang sangat aktif, pintar memanipulasi diri dan sangat tahan lama.

Kematian global akibat flu burung, yang kerap di sebut sebagai pandemi memang semakin meresahkan. Hal ini dipicu oleh ketakutan masyarakat dunia pada berulangnya kasus kematian akibat flu burung pada tahun 1918 yang menewaskan hampir 30 juta orang. Karena itu sekarang ini sedang dikembangkan riset besar-besaran untuk memacu produksi obat-obatan dan vaskin supaya upaya penanggulangannya dapat mendahului proses penyebarannya.

Indonesia

Di dalam negeri, gagalnya penanggulangan flu burung diakibatkan karena tidak adanya kesadaran dan kewaspadaan bahwa flu burung bisa menjadi teror yang sangat menakutkan. Para penentu keputusan masih lebih menyukai bermain lintas atas. Benar bahwa Indonesia sudah mempersiapkan diri dengan pembentukan Komnas Flu Burung. Anggaran trilyunan rupiah sudah disiapkan. Hanya saja pekerjaan tim ini lebih tidak efektif mengingat flu burung bukannya berhenti namun semakin meluas.

Menteri Kesehatan sendiri sudah mengakui bahwa penularan penyakit ini kini berjalan tanpa logika geografis. Alasan itu nampaknya tidak masuk akal. Argumentasi tersebut nampaknya hanya membuang masalah kepada penyakit itu sendiri, bukannya memberikan tanggung-jawab di dalamnya. Sebab berdasarkan penelitian para epidemiologis, perjalanan penyakit ini sebenarnya bisa dicegah persis di daerah dimana karakteristik penderita paling banyak ditemukan. Di Hongkong, gagalnya penularan massal pada manusia adalah karena penanganan persis pada saat penyakit ini pertama ditemukan.

Di Indonesia sebaliknya. Penyakit ini ketika pertama sekali ditemukan pada tahun 2005 justru diupayakan disembunyikan dari pengetahuan publik. Menteri Kesehatan bukannya mengumumkan keadaan waspada, namun berwacana di depan publik bahwa hal ini masih harus dikonfirmasi. Padahal penemuan banyak lembaga litbang di tahun 2003 sampai tahun 2005 bahwa adanya virus flu burung pada unggas, hanya akan menunggu waktu penularannya kepada manusia.

Penelitian membuktikan bahwa penyakit ini umumnya terjadi dan mudah menular di antara para peternak atau mereka yang berada di sekitar peternakan unggas. Maka di Hongkong misalnya, dilakukan pemusnahan unggas persis di wilayah yang dimaksud tadi, tanpa menunggu datangnya kasus. Upaya pre-emptive ini merupakan sebuah cara yang sangat melumpuhkan datangnya gelombang baru kasus flu burung.

Di Indonesia para peternak dan pemelihara unggas masih belum memiliki kesadaran yang sama dengan mereka yang di Hongkong. Mereka tidak bisa disalahkan karena mereka tidak pernah menerima pendidikan dan perubahan perilaku dari dua departemen penting tadi. Masyarakat akhirnya menganggap bahwa flu burung adalah sebuah ilusi yang datangnya dari rekaan pemerintah.

Lambannya reaksi Indonesia terhadap penularan flu burung ini memang disesali banyak negara yang takut jika flu burung ”asal” Indonesia mendarat di negeri mereka. Sebagai tetangga yang baik, Indonesia seharusnya bisa diandalkan untuk mencegah hal ini. Namun seolah karena merasa terancam karena ketidakperdulian Indonesia, banyak negara akhirnya memaksakan diri mendanai Indonesia dalam menanggulangi masalah di dalam negeri sendiri. Ini sangat memalukan dan terkesan mencoreng arang di muka sendiri.

Rekomendasi

Rekomendasi yang sering diabaikan adalah pada perubahan kultural. Ketika masalah ini terjadi seharusnya pemerintah menggunakannya sebagai kesempatan untuk memberikan perubahan perilaku kepada masyarakat dalam hubungannya dengan penanggulangan penyakit. Banyak hal sederhana bisa dilakukan. Sayangnya, pemerintah tidak menangkap hal ini sebagai sesuatu yang penting. Penanggulangan flu burung hanya dilakukan dengan berbagai media yang lebih mirip kesan asal jadi. Para peneliti perubahan perilaku pun seolah tidak perduli.

Kita tahu bahwa serangan ganas virus flu burung di Indonesia belum berhenti. Kita menanti upaya yang lebih maksimal dari pemerintah. Kandang yang semakin sunyi karena ditinggal mati oleh penghuninya, serta rumah-rumah yang menjadi tempat penderita yang meninggal dunia harusnya menjadi penggubah kesadaran bersama.

Pemerintah bisa melakukannya. Sebagai peneliti, penulis sedang melakukan upaya perubahan perilaku pada sekelompok kecil penduduk di kota Medan mengenai flu burung ini. Dan ini ternyata berhasil. Pendekatan peer education melalui pendidikan bagi orang dewasa (andragogik) yang dikombinasikan dengan berbagai model komunikasi terbukti meningkatkan perilaku masyarakat untuk lebih waspada terhadap masalah ini.

Namun pekerjaan yang harus dilakukan lebih banyak lagi. Seluruh pelosok negeri ini adalah laboratorium alami bagi virus flu burung. Ini jelas merupakan bahaya massal yang jika tidak dicegah akan menjadi bahaya besar bagi kita semua. Perburuan untuk mendahului virus ini harus terus menerus dilakukan dengan mengajak seluruh elemen birokrasi-masyarakat-donatur untuk bekerja sama. Saatnya memberikan perhatian yang lebih kepada upaya untuk mencegah penyebaran flu burung.

Read More......

FOKUS: Menghadirkan Keadilan Hukum

Eksekusi terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu “membakar” Maumere. Ribuan masyakat yang tidak puas atas keputusan untuk mengeksekusi tersebut tumpah ke jalan. Mereka melakukan pembakaran terhadap gedung pengadilan, dan membobol lembaga pemasyarakatan. Beruntung aksi anarkis massa yang diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar Rp. 4 miliar tersebut tidak berlanjut. Massa hanya melakukan aksi damai dengan melakukan doa bersama dalam berbagai kegiatan keagamaan, baik misa arwah maupun dalam ibadah.

Kisah eksekuti yang dilakukan pekan lalu itu memang menjadi sebuah perdebatan panjang sejak ketiganya ditangkap aparat enam tahun lalu. Adalah Poso, kota yang berdarah-darah akibat berbagai kerusuhan yang terjadi dalam nuansa agama. Ketiga terpidana kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Namun dalam perjalanan berikutnya, kota Poso sebenarnya tidak pernah tenang. Selalu saja ada kerusuhan. Rumah dibakar tanpa pernah dikenali siapa yang melakukannya. Bahkan masyarakat menjadi korban penembakan tanpa sekalipun diketahui pelaku dan motif.

Itu sebabnya, banyak yang meragukan penangkapan Tibo cs akan menyelesaikan persoalan. Bahkan sebelum eksekusi ini dijalankan, ada aspek politis yang tidak mudah dijelaskan berupa pencopotan jabatan Kapolda Sulawesi Tengah. Ia dinilai tidak menjalankan perintah atasan karena masih mengulur waktu yang saat itu sudah ditetapkan untuk segera mengeksekusi.

Eksekusi Tibo cs juga melebihi tekanan atas eksekusi terpidan mati lain yang pernah terjadi di Indonesia. Dua kelompok massa, saling membangun opini pro dan kontra. Yang mendukung menyuarakan ketegasan untuk segera melakukan tindakan hukum setelah grasi dan PK mereka ditolak, sementara yang kontra meminta pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk keberadaan umat beragama.

Namun pemerintah tetap tidak bergoyahkan. Tibo cs kemudian dieksekusi di hadapan regu tembak, meski kemudian menyisakan banyak persoalan, termasuk tidak dikabulkannya permohonan mereka untuk melalui sebuah misa arwah khusus kepada mereka menjelang kematian.

Dari berbagai sudut pandang inilah maka kita melihat adanya beberapa masalah yang berhubungan dengan keadilan, pasca eksekusi Tibo cs. Yang menarik ternyata adalah bahwa sampai sekarang aktor intelektual dari kerusuhan Poso dan yang kemudian masih menjadi persoalan di sana, sampai sekarang tidak tertangkap oleh aparat. Masyarakat melihat dengan ragu, apakah ketiganya sebagai petani pendatang, mampu melakukan sebuah tindakan teroganisir dan sangat luar biasa sehingga Poso kini menjadi sebuah ladang permusuhan? Bagaimana mungkin mereka yang—katakanlah—sebagai pelaku kerusuhan bisa menjadi pelaku yang sebenarnya sementara kita tahu bahwa kerusuhan yang terjadi waktu itu melibatkan begitu banyak orang termasuk kepentingan politik di dalamnya?

Berbagai pertanyaan di atas sebuah refleksi bahwa kematian Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu jangan sampai menjadi sebuah kematian sia-sia. Mereka yang bagi sebagian orang hanya menjadi tumbal, haruslah menjadi titik tolak bagi berjalannya keadilan di negeri ini. Mereka tetap menjadi sebuah monumen mengenai sebuah kejadian biasa, jika pemerintah gagal menjelaskan kepada publik apa yang sebenarnya sedang terjadi di Poso.

Sekarang ini pemerintah sibuk menghadirkan wacana bahwa eksekusi ini jauh dari soal agama. Beberapa tokoh agama juga diundang untuk menenangkan warga. Menurut kita yang seharusnya jauh lebih penting adalah bagaimana keadilan hadir di setiap sudut negeri ini suapaya pelaku kejahatan, baik teroris, koruptor, maling, pembunuh dan sebagainya dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Itu baru namanya keadilan hukum yang sejati

Read More......

Thursday, August 17, 2006

FOKUS: Dirgahayu RI Ke-61

Hari ini, 17 Agustus 2006, Indonesia genap berusia 61 tahun. Usia yang sudah cukup panjang untuk dirayakan, dan usia yang cukup penting juga untuk memikirkan apa yang sudah dicapai.

Kemerdekaan, siapapun ingin memperolehnya. Demi itu, perjuangan dan pengorbananpun diberikan dan direlakan. Selama periode penjajahan tidak terhitung energi yang harus dikeluarkan oleh para pejuang. Mereka menggunakan apapun cara supaya dapat terbebas dari kolonialisme. Para pahlawan tersebar dari seluruh nusantara. Kita di Sumatera Utara memiliki Sisingamangaraja XII dengan heroisme yang sangat luar biasa sehingga mampu menggetarkan musuh.

Indonesia memang menarik bagi penjajah. Jauh-jauh mereka datang untuk menjadikan Indonesia sebagai daerah jajahan, bahkan bagian dari negara mereka. Mereka tidak malu-malu memeras keringat bangsa ini untuk membangun negara mereka. Soekarno dengan nada marah dan geram pernah menyatakan bahwa “jalan-jalan, dam-dam dan bangunan di Amsterdam, negerinya Ratu Wilhelmina adalah rampokan dari hartanya bangsa Indonesia”.

Dijajah memang tidak mengenakkan. Setiap hari bangsa ini pernah bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Setiap hari harus dijadikan sebagai hari pengabdian untuk penjajah. Jika tidak dilakukan, maka lecutan cemeti bisa mendarat dengan kasarnya di kulit nenek moyang kita. Gubernur Jenderal Daendels yang membangun jalan fenomenal yang menghubungkan seluruh Pulau Jawa adalah salah satu bukti penjajah kolonial yang menjadikan bangsa kita ini bermatian di negeri sendiri.

Karena itu, ketika kemerdekaan terwujud, sungguh itu merupakan suatu kegembiraan yang amat sangat. Bangsa kita benar-benar lepas dari semua tekanan, beban bahkan penderitaan. Bangsa kita memiliki arah dan hidup yang dapat ditentukan sendiri. Itu sebabnya, simbolisasi kemerdekaan pasca Proklamasi adalah tangan yang mengepal teracung ke udara sembari meneriakkan “Merdeka”. Salah “kemerdekaan” itu adalah sebuah ungkapan bagaimana bangsa ini merayakan kemerdekaan sebagai sebuah kegembiraan luar biasa dan berkehendak memiliki kemerdekaan itu sekali untuk selamanya. Penjajahan, harus diakhiri sama sekali.

Namun, setelah 61 tahun berlalu, Indonesia sayangnya masih menyimpan banyak derita, dan penderitaan. Alam kemerdekaan yang diperoleh dengan susah payah, ternyata tidak diisi dengan bijak. Akibatnya, kemerdekaan selaam 61 tahuh lebih banyak diisi dengan tangisan—pola yang sama dengan suasana jaman penjajahan.

Semua pembangunan, sebagai aktifitas bangsa yang merdeka, justru amat rapuh dan lapuk. Tingkat kesejahteraan warga masyarakat terperosok amat jauh. Masyarakat Indonesia bahkan ketinggalan jika dibandingkan dengan warga negara lain yang belakangan merdeka.

Semuanya karena dipengaruhi oleh para pemimpin bangsa ini. Indonesia berada di tangan pemimpin yang salah sehingga kebanyakan tahun dalam usia 61 tahun adalah tahun yang penuh dengan salah arah dan salah dalam melaksanakan pembangunan. Energi yang pernah dimiliki selayaknya aksi heroisme para pahlawan ternyata digunakan untuk melakukan kecurangan dalam apa yang kerap di sebut sebagai korupsi, kolusi dan nepotisme. Energi yang ada justru tidak digunakan untuk membangun bangsa, namun lebih kepada keinginan untuk menjual bangsa sendiri kepada roh kapitalisme.

Inilah refleksi usia ke-61 tahun negara kita. Usia yang bisa dipandang sebagai titik awal untuk membangun semangat untuk maju. Menjadi bangsa yang merdeka adalah sebuah pilihan dan kita sudah menentukannya 61 tahun yang lalu. Mari kita menjadikan tahun ini sebagai tahun untuk mengarahkan energi kita, melihat masa depan kita sebagai bangsa yang besar. Mari kita menjadikan kekuatan perjuangan yang pernah ada sebagai alat membesarkan bangsa ini. Dirgahayu RI ke-61. Merdeka.

Read More......

Wednesday, August 16, 2006

FOKUS: Damai Milik Bersama

Pekan ini kelihatannya kita patut merenungkan makna damai. Salah satunya adalah karena pekan ini setahun sudah damai ditandatangani oleh pemerintah RI dengan kelompok yang selama ini dimanai sebagai GAM. MoU yang ditandatangani di Helsinki tersebut adalah sebuah jalan keluar bersama setelah konflik yang berlangsung selama tiga dekade pemerintahan Orde Baru, selain konfik yang sebelumnya di masa Orde Lama.

Hasilnya, terlihat sangat jelas. Secara nasional kita memperoleh ketenangan karena proses perdamaian menyebabkan banyak negara mengerem ”gangguannya” selama ini kepada kita. Sebagai contoh beberapa negara Eropa selalu menggunakan isu ini untuk menuding pelanggaran HAM Indonesia. Bahkan beberapa di antaranya, termasuk Portugal dan Swedia mencap Indonesia sebagai negara dengan aneksasi terhadap wilayah Aceh.

Mantan Menlu Indonesia Ali Alatas di masa lalu bahkan menyatakan bahwa masalah Aceh merupakan kerikil di dalam sepatu di Indonesia. Akibatnya kita selalu kehilangan kesempatan dalam berdiplomasi terlebih ketika terjadi kepentingan yang harus dipilih di antara sesama negara.

Memang masalah Aceh waktu itu memang merupakan masalah yang sangat berat untuk diselesaikan. Pemerintah bukannya tidak punya solusi. Waktu itu, sejak dari Presiden Soeharto yang menggunakan kekuatan militer sampai pendekatan mengambil hati yang digunakan oleh mantan Presiden Megawati, selalu saja patah di tengah jalan.

Sebabnya adalah karena lamanya konflik menyebabkan masalah menjadi tidak mudah diselesaikan. Telah terjadi ketidakpercayaan yang amat parah pada masyarakat, termasuk pemerintah. Maka konflik demi konflik selalu terjadi.

Terlepas dari caranya, setahun yang lalu damai memang hadir dengan baik di Aceh. Waktu itu, diwakili oleh Menteri Hukum Hamid Awaluddin, damai ditandatangani. Waktu itu memang sempat muncul pro kontra. Tetapi sungguh alangkah tepat jika kita katakan bahwa waktu itu kita sebenarnya berdamai bukan dengan orang lain, bukan dengan musuh, tetapi dengan diri kita sendiri, dengan saudara kita sendiri.

Maka kita menyaksikan sekarang bagaimana posisi Indonesia, dalam percaturan politik internasional justru lebih berhasil dibandingkan dengan berbagai negara yang didalam negerinya masih menyimpan aksi separatisme. Bahkan untuk perdamaian, memang kita amat maju. Hanya dalam waktu setahun sejak damai ditandantangani, hampir tidak ada suara senjata meletus tanpa ketahuan siapa yang melakukannya.

Bagi kita damai di Aceh bukan hanya damai bagi mereka yang tinggal di sana. Tetapi juga damai bagi kita bersama. Sungguh alangkah menyenangkannya ketika masyarakat di sana kini bisa berjalan ke mana saja mereka mau dan melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Bukan hanya itu, MoU yang ditandatangani di Helsinki setahun yang lalu itu juga disusul oleh pengesahan UU Pemerintahan Aceh oleh DPR dan pemerintah. Pengesahan UU PA membuat gairah demokrasi juga datang bergelombang ke Aceh. Menjelang pilkada langsung yang akan diselenggarakan di Aceh pada bulan November nanti, masyarakat sudah mengalami euforia politik. Mereka menanti apa yang akan terjadi pada tanah mereka yang selama ini amat jauh dari proses seperti demikian.

Kita bangga ketika kita akhirnya kita ternyata sukses dalam mempertahankan damai di Aceh. Kita, ternyata memiliki kekuatan untuk bisa berdamai, bahkan dengan diri kita sendiri. Kita harus mempertahankan kekuatan ini supaya kita bisa sukses dalam berbagai masalah lainnya.

Menjelang suasana kemerdekaan sungguh alangkah berbeda. Kini kerikil itu sudah tak lagi berada di sepatu. Yang kita sedang perjuangkan kini adalah bagaimana supaya kita semuanya melangkah dalam semangat yang sama untuk membangun Indonesia.

Read More......

Tuesday, August 01, 2006

Bangsa Kita Maju...... Kapan?

Ada sebuah pameo yang pernah dituliskan mengenai bangsa kita. Katanya, bangsa ini demikian ketinggalan karena selalu lamban. Lamban belajar, lamban mengerti, dan lamban beradaptasi. Demikian penulis buku itu menyatakannya. Ada kesan sarkastis, namun kita melihat ada kejujuran di dalamnya.

Memang terasa benar ketika kita menyaksikan kenyataan yang ada. Lihat saja kini bagaimana pemerintah seolah kebakaran jenggot menyaksikan konsumsi bahan bakar masyarakat kita. Pemerintah harus menganggarkan uang trilyunan rupiah setiap tahunnya untuk memberikan subsidi kepada masyarakat. Andaikan saja dulu pemerintah sudah memikirkan langkah-langkah pengembangan energi alternatif, maka sekarang saatnya bangsa kita tidak akan kesulitan.

Demikian juga dengan berbagai kebijakan. Ambil contoh mengenai Ujian Nasional. Sebelumnya pemerintah ngotot mengancam tidak akan memberlakukan ujian ulangan apapun bentuknya. Setelah didesak, barulah pemerintah tak lagi mempertahankan pendapat. Meski ujiannya versi paket C, pemerintah lagi-lagi menunjukkan ketidakmampuannya melihat masalah jauh-jauh hari.

Hal yang sama juga terlihat dari berbagai kejadian penting di tanah air. Mulai dari bencana alam, kecelakaan, apapun itu, semuanya selalu dilakukan seperti reaktif. Bukan karena dipikirkan sebelumnya. Akibatnya kita tetap ketinggalan.

Bangsa yang besar selalu melihat peluang untuk kelak bisa maju. Ada rasa tercengang misalnya menyaksikan pasangan ganda putri China untuk pertama kalinya berhasil memenangkan arena bergengsi tenis Wimbledon. Kita, entah kapan bisa seperti mereka, yang selalu cepat belajar terhadap setiap perubahan lalu menyusun langkah untuk maju.

Buku Rhenald Kasali berjudul Change menggambarkan sebuah peristiwa yang amat penting untuk kita sadari, yaitu punahnya dinosaurus. Dalam buku itu disampaikan bahwa dinosaurus punah karena tak lagi bisa membaca arah jaman. Binatang purba itu lambat beradaptasi terhadap perubahan yang ada.

Bangsa kita pun bisa terancam seperti dinosaurus. Dahulu kita seperti amat bangga dengan julukan “jamrud khatulistiwa”. Sekarang kita hanya bisa meratapi semuanya, karena hanya tinggal kenangan. Hutan kita dibakar. Emas dan kekayaan tambang kita serahkan pada negara lain. Ikan kita dicuri. Bahkan pulau milik kita sendiri akhirnya dikuasai oleh negara lain.

Lagi-lagi, kita memang lamban maju karena kita tidak pernah membaca arah perubahan. Kita menyangka bahwa segala sesautunya masih seperti semula. Kita—kebanyakan kita—masih menganggap bahwa kita masih seperti dulu—di penghujung kematian dinosaurus pun demikian. Kita sibuk mencari gelar, kekuasaan, kedudukan, bahkan berani mati karenanya. Nilai-nilai tradisional yang tak perlu dan tak berarti, dilestarikan. Akibatnya kita tidak bisa melihat bahwa kita sedang terancam.

Diperlukan nurani yang tajam untuk melihat semuanya itu. Dalam pembukaan Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Jakarta, Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah menyatakan bahwa negara ini sering sekali gamang. Seolah tidak tahu apa yang akan dilakukan, memang negara ini terlalu sulit untuk maju. Bayangkan saja, Afrika Selatan negeri yang bertahun-tahun lamanya menderita karena politik apartheid, justru menjadi tuan rumah Piala Dunia yang akan datang. Negara di benuah afrika tersebut sudah membuktikan diri sebagai negara yang bisa diandalkan karena mereka selalu berpikir ke depan. Pertikaian bagi mereka adalah masa lalu dan tidak pantas untuk diteruskan.

Sekaranglah saatnya untuk berpikir, bekerja dan berkreasi dengan cepat, jika negara ini tidak ingin tenggelam sebagaimana halnya dinosaurus.

Read More......

Friday, July 21, 2006

Bening #4. Arah

Hidup harus memiliki arah. Tanpa arah, hidup tak punya tujuan. Arah penting untuk memberikan panduan kepada kita, dalam wujud empat serangkai pertanyaan yang tidak terpisahkan, yaitu: kemana, kapan, mengapa, dan bagaimana menjalani hidup kita.

Apa artinya? Kalau punya arah hidup, kita tahu hendak kemana. Karir, keluarga, perjalanan, dan hidup kita sendiri, jelas semuanya harus punya tujuan akhir. Itulah arah yang akan menjadi panduan kita dalam mengerjakan semuanya itu. Jika kita bekerja tanpa arah maka karir kita bukannya tak berujung, bahkan juga tak berawal. Kita tak tahu beranjak darimana dan kelak tahu hendak menjadi apa. Tanpa arah, karir berubah menjadi rutinitas. Kita pun bekerja tanpa gairah dan semangat. Kita hanya akan menghabiskan waktu untuk sebuah penghasilan bulanan yang tak bermakna. Demikian juga dengan keluarga. Tanpa arah, hanya akan menjadi sebuah arena hubungan yang kering kerontang, bahkan untuk keluarga itu sendiri terasa hambar. Apalagi jika kita hubungankan dengan hidup. Tanpa arah, hidup tak lagi menjadi sebuah kegembiraan. Hidup hanya akan menjadi keluhan dan perjalanan kering yang amat membosankan.

Bandingkan kalau kita punya arah. Kalau kita punya arah, kita tahu hendak jadi apa 1 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, bahkan 20 tahun ke depan. Arah membuat tujuan perjalanan kita menjadi amat mudah ditelusuri.

Berikutnya, arah juga mengajak kita untuk melangkah pada waktunya. Ketika seorang dengan jabatan puncak memiliki arah hidup, maka ia tidak akan ragu-ragu, meski itu adalah keputusan untuk berhenti sekalipun. Semua karena karirnya memiliki arah yang memandu perjalanannya, dengan rambu-rambu yang amat menolong. Arah bagaikan sebuah sinyal yang memberikan panduan berwarna hijau, kuning dan merah. Arah memberikan sinyal, kapan seseorang harus memulai melakukan sesuatu, terus mengerjakan sesuatu atau berhenti mengerjakannya.

Arah juga memberikan alasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup. Hidup yang berarah akan memberikan argumentasi terhadap keputusan dalam karir, keluarga, investasi, jabatan dan sebagainya. Argumentasi itu hadir jika arah disandingkan dengan keputusan-keputusan menyangkut hidup tadi. Arah, adalah alasan untuk melangkahkan kaki ke sesuatu tempat yang hendak dituju.

Dan yang terakhir, arah menyebabkan hidup memiliki langkah-langkah strategis untuk mencapainya. Arah mengeluarkan kemampuan kreativitas seseorang untuk dapat mencapai dan menggapai sebuah tujuan. Dengan arah, seseorang bisa mengatur hidupnya, bahkan ritme hidupnya dengan baik, sehingga secara bertahap—tidak sekaligus—capaian hidup dapat diletakkan. Tahap demi tahap disusun untuk kemudian mencapai puncak yang sudah dinyatakan oleh arah tadi.

Kalau punya arah tertentu, maka seseorang akan lebih mudah memanajemen hidupnya sendiri. Tanpa arah, maka hidupnya akan dimanajemen oleh orang lain. Arah membuat semua putaran waktu dalam hidup menjadi teratur dan mudah dijalani. Arah mengubah beban hidup menjadi sukacita. Arah menyebabkan kehidupan menjadi seringan dedaunan yang hanya butuh mengikuti gerakan angin.

Suatu kali sebuah pesawat terbang dalam kabut malam. Petir di kanan kiri. Para penumpang merasakan ketakutan yang amat sangat. Pesawat berkali-kali terguncang dan terpental. Mereka diminta menggunakan sabuk pengaman dengan baik. Beberapa kali pramugari pesawat dari pengeras suara memberitahukan bahwa pesawat sedang berada dalam badai.

Akhirnya pesawat itu mendarat juga. Rupanya di bawah, tim penyelamat sudah bersedia dan siaga. Ada ambulans, pemadam kebakaran dan tim penyelamat lengkap dengan peralatannya. Mereka segera mengevakuasi para penumpang.

Para wartawan pun memburu sang pilot. Mereka mencecar sang pilot dengan pertanyaan-pertanyaan. Mereka menanyakan bagaimana sang pilot mampu membawa pesawat tersebut terbang melewati badai.

Sang pilot menjawab,”Situasi memang amat buruk. Segalanya amat sulit dikendalikan. Namun yang saya lakukan hanya melewati badai itu. Kami punya radar yang akan menunjukkan jalan.”

Pilot itu benar. Dia hanyalah bertugas untuk melewati badai. Yang bertanggung-jawab untuk menunjukkan jalan adalah radar di pesawatnya. Di tengah badai sekalipun, kalau radar berfungsi dengan baik, maka pesawat adalah mesin yang bertugas hanya untuk terbang. Tanggung-jawab sepenuhnya berada pada radar itu.

Jadi, memang, segalanya perlu arah. Mengapa? Supaya ketika kita melewati badai sekalipun, tanggung-jawab dan beban mentalnya bukan tertimpa pada pemikiran kita seorang, namun pada arah hidup yang telah kita tentunya. Bayangkan apa jadinya kita, ketika mengalami badai kehidupan, tanpa arah dan tanpa ”radar”. Niscaya kita akan terseret, terhentak dan terbuai kemana-mana, tanpa tahu kemana akan pergi.

Radar adalah arah yang menyelamatkan hidup kita. Jika kita punya arah, tugas kita hanyalah melewati kehidupan ini, dan membiarkan arah kita menuntun kita sesuai dengan panduannya sendiri. Jadi, hidup menjadi amat mudah. Lagipula, kelihatannya alasan untuk menggunakan arah hanya satu saja, yaitu karena hidup ini hanya sekali. Karenanya jangan sampai habis dalam perjalanan hanya untuk berputar-putar dan berbalik-balik seolah gelindingan tak menentu. Hidup bukan sebuah bola yang bisa terlempar kesana-kemari. Hidup hanya sekali karena itu harus diarahkan dengan baik.

Arah menyebabkan semua rencana menjadi nyata. Kalau kita hendak membangun rumah, arah kita adalah disain rumah itu. Kalau kita hendak mendirikan jembatan, arah kita adalah maketnya. Kalau kita hendak berbelanja, arah kita adalah daftar yang dibuat untuk itu. Arah membuat semua yang masih berada dalam intuisi menjadi bisa diraba dan dilihat.

Hidup bukan tiada akhir. Maka harus selalu ada arah. Seseorang yang tanpa arah hidup adalah orang yang hidup dalam ambivalen. Hidup terbatas tetapi dengan cara hidup yang tak terbatas. Sungguh sangat menyedihkan dan sia-sia. Kelak, hanya akan ada penyesalan dan tangisan karena ketika sadar bahwa semuanya sudah terlambat, tak ada lagi kesempatan untuk membalikkan waktu.

Read More......

TANYA MENGAPA

Mengapa kita selalu lalai bertindak?
Mengapa kita selalu lamban melakukan sesuatu?
Mengapa kita selalu menunggu bencana terjadi,
baru tergopoh meraup aksi yang tak lagi bisa menyelamatkan?

Bangsa kita harus belajar banyak apa artinya bekerja keras
Bangsa kita harus belajar serius apa artinya merancang hidup
Bangsa kita harus mematri tekad apa artinya sedia payung sebelum hujan

Bencana terjadi lagi, dan kelak akan terjadi lagi
Namun kemana nurani, tekad dan semangat?
Kemana kita, sehingga alam begitu mudah mengguncang kita?
Kemana kita dengan segala keangkuhan, ketika alam murka?

Indonesia, sampai kapanpun akan selalu terlambat
Jika kita tak menjadikannya lebih cepat

Read More......

Panggung Sandiwara Keadilan dan Hukum Di Negeri Kita




Lagu ”Panggung Sandiwara” ternyata bukan hanya lagu semata. Di negeri ini, keadilan dan hukum juga tak ubahnya sebuah panggung sandiwara yang dipertontonkan kepada khalayak ramai. Berbagai pernyataan bahwa negara ini adalah negara hukum, adalah sandiwara semata. Artinya, hanya bisa dinikmati sebagai sebuah tontonan, namun mustahil direalisasikan. Semuanya, sekali lagi karena hukum kita tak ubahnya sebuah sekuel opera sabun. Dan pelaku-pelaku di dalamnya bagaikan pemain sandiwara yang berperan sebagai aktris dan aktor mahir.

Di negeri ini, keadilan dan hukum memang menjadi sandiwara karena satu sebab saja: sifat materialisme telah mengotori dan menciderai para pelaku keadilan dan petinggi hukum. Mereka telah menggadaikan keadailan dan hukum demi uang semata. Dalam arti harafiahnya, kata “keadilan” telah ditransaksikan dengan uang. Uang membuat hakikat dan makna keadilan bergeser menjadi sekedar seberapa besar uang diberikan dan atau diterima.

Dalam pengertian ini, kita melihat bahwa uang telah membuat pelaku kejahatan menjadi merdeka sebebas-bebasnya. Pelaku kejahatan yang berurusan dengan hamba hukum sudah tahu harus melakukan apa. Mereka hanya harus menyediakan sejumlah uang yang merupakan kebutuhan para penegak hukum kotor. Lalu semua urusan bisa dibereskan dengan amat licin dan lihai.

Penegak Hukum

Yang paling kita soroti di dalam kasus tergadainya keadilan di Republik Indonesia ini pastilah bukan hukum yang tertulis. Sebab hukum adalah sebuah benda mati tanpa roh. Yang membuatnya bernafas adalah para penegak hukum.

Sayangnya karena hidup matinya hukum berada di tangan mereka, maka aparat penegak hukum, menjadi sangat dominan. Mereka, karena telah terpengaruh pada uang, justru menggunakan keadilan yang ada di tangannya, lalu menyerahkannya bulat-bulat kepada mereka yang berbuat kejahatan. Untuk perbuatan bejad dan haram itu aparat penegak hukum memperoleh uang imbalan, seolah mereka tak bisa hidup layak dari gaji yang mereka terima dari negara.

Fenomena inilah yang terjadi di negeri kita. Penegak hukum memperoleh keuntungan atas kelakuan mereka itu demi memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Bahwa penegak hukum telah menggadaikan keadilan untuk mendapatkan uang bukan sebuah isapan jempol yang hanya menjadi komoditas gosip. Fakta sudah memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka memilih jalan haram dan menjadi mafia. Mereka adalah para pengacara, hakim, panitera dan jaksa ”hitam” yang bukan hanya ”nakal” tetapi sudah penuh dengan kejahatan.

Di sebuah pengadilan kini hakim harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya karena terbukti memeras terdakwa. Lalu di pengadilan juga setidaknya dua terdakwa menyebutkan bahwa mereka diperas oleh Jaksa. Sebelumnya, publik sudah mengetahui bagaimana pengacara juga terlibat dalam perbuatan haram ini. Dan yang terakhir, anggota KPK sendiri, tertangkap tangan memeras korban yang terlibat dalam kasus korupsi. Aparat kepolisian sendiri tak luput dari masalah dalam kasus pembobolan Bank BNI.

Kita tidak perlu membuktikan bahwa ada mafia di negeri ini sebagaimana pernah diminta oleh Ketua MA Bagir Manan. Semuanya tidak dapat dibuktikan karena terdapat sebuah perilaku yang amat licin dan licik. Segala bentuk transaksi umumnya dibuat tanpa bukti. Semuanya amat rahasia dan penuh dengan tipu muslihat. Namun publik yang pernah berurusan dengan penegak hukum mengerti benar bahwa setiap kali mereka memasuki wilayah paras penegak hukum, terlebih dalam kasus korupsi yang bernilai besar, mereka harus bersiap “diperas” habis-habisan. Di setiap tingkat, polisi, jaksa, hakim dan pengacara berkolaborasi turut mereguk keuntungan dari kasus korupsi yang dilakukan, misalnya, dengan mencoba mengiming-imingi berbagai “jalan keluar” atau “pengaturan” sehingga terdakwa seolah memperoleh angin sorga.

Dampak

Uang sudah menjadi penyebab dari kegagalan kita dalam menegakkan seluruh sistem di negeri ini. Dunia politik, hukum, sosial, keamanan, bahkan kebudayaan menjadi kabur dan tidak ada kepastian. Seluruh sendi-sendi negeri menjadi amat gamang dan sulit menemukan kebenaran di dalamnya, karena semuanya amat relatif. Penyebab utama dan paling utama adalah karena uang.

Namun secara khusus, kita amat memprihatinkan jika keadilan dan hukum sudah bisa dibeli oleh uang. Sebab kita tahu bahwa hukum hadir untuk memberikan kepastian dan jaminan bahwa setiap warga negara berada dalam perlindungan sebesar apapun kesalahan yang diperbuatnya.

Kita patut menjadi amat bersedih jika keadilan dan hukum bisa dibeli dengan uang. Itu berarti bahwa keadilan dan hukum telah menjadi alat untuk melakukan kejahatan. Hukum dan keadilan, yang amat murni dan lurus dari maknanya, menjadi sebuah alat untuk berbuat kejahatan dan mengatur kejahatan.

Dan yang paling kita amat sesali adalah karena penegak hukum telah menjadi pelaku dari hancurnya keadilan dan hukum di negeri ini. Penegak hukum telah menjadi pemain sinetron, yang menggunakan otoritas yang ada pada tangannya untuk menciderai dan menzhalimi kemurnian hukum itu sendiri. Para penegak hukum memang menjadi penanggung-jawab utama dari berbagai masalah yang ada di negeri ini. Dari diri merekalah kekacauan terbit dan mucul.

Perubahan

Jelas, dalam situasi sekarang amat sulit melakukan perubahan. Di dalam sistem yang sudah gelap dan korup, semua orang berusaha mempertahankan sistem ini karena dianggap menguntungkan. Sebab selama bertahun-tahun, orang bertahan dalam keadaan yang jahat ini, meski mereka tahu tidak benar, namun karena memberikan keuntungan yang amat besar, dianggap sebagai kebenaran.

Itu sebabnya, ketika ada perubahan menuju kebaikan, mereka yang menyelewengkan keadilan adalah yang pertama-tama menolak untuk berubah. Mereka menyatakan bahwa kebenaran tidak dapat dimiliki dengan melakukan perbaikan dan keadilan menjadi absud dengan cara baru. Namun semuanya adalah strategi mereka untuk meruntuhkan gelombang pembaruan.

Kini yang kita saksikan memang adalah sebuah perseteruan muka dengan muka (vis a vis) antara mereka yang selama ini menikmati kejahatan dengan segala keuntungannya bagi mereka, dengan mereka yang menyatakan sebagai pembela kebenaran. Para pembela kebenaran yang masih berbicara jujur dengan menggunakan nurani memang masih sedikit dan kebanyakan berada di luar sistem.

Konfrontasi antara kedua pihak inilah yang kini terjadi di negeri kita. Mereka yang selama ini menjadi penegak hukum ”kotor” dan yang telah mengotori tangan, kantong dan keluarganya dengan uang hasil pembalakan pada orang lain, sedang bekerja keras melakukan penentangan pembaruan. Aksi penentangan, baik yang berlangsung secara baik-baik maupun dengan menggunakan metode pembenaran hukum selalu saja digagas.

Untuk melawan mereka, memang diperlukan kerja keras dari mereka yang jujur tadi. Mereka harus tetap membakar semangat perlawanan, mengancungkan tangan untuk tetap kuat menyaksikan melemahnya perlawanan, dan tetap bersuara manakala hanya seberkas cahaya yang bisa disaksikan. Suatu saat negeri ini—semoga—bisa menjadi negeri yang tak lagi panggung sandiwara. Suatu saat, para penegak hukum yang berbuat kejahatan itu, harus tersungkur dan terpelanting, karena mereka tersandung oleh perbuatannya. Kita berharap bahwa akan datang saatnya dimana kita menemukan keadilan tetap adil dan hukum tetap benar. Namun, kita harus bersabar menanti saat itu.

Read More......

Wednesday, July 12, 2006

Bening #3. Prestasi

Putaran Piala Dunia tahun 2006 berakhir sudah. Piala simbol supremasi di bidang sepak bola tersebut di boyong pulang oleh Italia. Di final, negara tersebut mengalahkan Prancis dengan skor 5-3 melalui drama adu pinalti yang dramatis.

Menyaksikan sepanjang pertandingan tersebut, kadang ada rasa sedih, terutama membandingkannya dengan keadaan negara kita sendiri. Kapan kita bisa menjadi bagian dari kompetisi akbar yang amat prestisius itu? Mengapa kita tidak bisa mengikuti jejak negara Asia lain, semisal Jepang dan Korea Selatan, beradu laga olah “si kulit bundar”, berkompetisi bersama negara lain di dunia ini?

Dalam konteks itulah maka kita akan berbicara mengenai satu kata yang sering disebut tetapi kini semakin kehilangan makna, yaitu: prestasi. Apa itu prestasi? Prestasi adalah capaian hidup. Artinya sesuatu yang didapatkan, diperoleh atau dimiliki. Itulah sederhananya prestasi. Jadi kalau Italia berbangga hati karena berprestasi itu karena mereka mendapatkan, memperoleh, dan memiliki hak sebagai juara nomor wahid dalam seleksi sejagad itu.

Apa sebab orang sering tidak berprestasi. Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Karena orangnya tidak mau berprestasi. Kalau kita tadinya bicara soal prestasi, berarti kita bicara soal capaian tertinggi dan terbaik. Artinya, level puncak yang bisa didapatkan oleh seseorang. Jadi sebab seseorang itu tidak berprestasi adalah karena tidak ingin mencapai puncak tertinggi dari sesuatu.

Apa boleh buat, kebanyakan kita masih seperti ini. Kita membiarkan diri kita sendiri sehingga tidak ingin menggapai suatu prestasi. Kita tidak mau mencapai sesuatu yang paling tinggi atau lebih dari yang pernah dicapai. Ibaratnya hidup apa adanya, dan hidup seadanya. Apa yang kita miliki sekarang sudah cukup. Tak perlu mendapatkan lagi yang lebih, karena kita tidak merasa itu penting. Lagipula sering sekali kita melihat orang lain di sekitar kita hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan apa-apa. Dan kita memilih cara hidup seperti itu. Kita, tidak mau berprestasi. Kita merasa cukup.

Ya, merasa cukup dengan keberadaan sekarang memang menjadi masalah utama pada banyak kita. Itu sebabnya, di berbagai unit usaha, di kantor-kantor pemerintah dan swasta, ataupun dalam kehidupan sekalipun, banyak orang hanya berdiam diri saja. Mereka tidak mau melakukan apapun yang disebut sebagai prestasi. Karena merasa sudah cukup dengan keadaan yang sekarang. Segalanya dianggap dalam keadaan baik dan tidak ada yang perlu dikejar.

Jadi bisa disimpulkan bahwa prestasi sebenarnya adalah masalah mental. Masalah sesuatu yang berasal dari dalam. Padahal, justru inilah inti persoalannya, sebab masalah prestasi memang erat kaitannya dengan energi yang berasal dari dalam diri seseorang. Inilah yang kerap disebut sebagai mentalitas berprestasi. Seseorang yang ingin berprestasi harus memiliki ini. Mereka yang ingin maju, berada pada level terbaik, dan mencapai semua keinginan yang diharapkan, harus memiliki gairah dan spirit untuk berprestasi. Gairah inilah yang mendorong dan memberikan kekuatan penuh untuk maju dan membangkitkan semangat untuk berprestasi. Gairah inilah bahan bakar bagi pencapaian prestasi seseorang.

Namun mentalitas berprestasi karena gairah saja tidak cukup. Dibutuhkan latihan kehidupan, yang mungkin memakan waktu bertahun-tahun lamanya, dengan berbagai dinamika tantangan yang ada, untuk memiliki mental berprestasi.
Seekor burung rajawali yang sedang belajar terbang berkata kepada induknya, “Ibu, mengapa aku tidak bisa sekali saja terbang lalu mahir?”

Induknya menjawab,”Anakku, kamu adalah rajawali. Dunia yang harus kamu arungi adalah angkasa yang luas ini. Tidak mungkin kamu bisa menguasai angkasa ini kalau masih berpikir bahwa dengan sekali terbang kamu langsung bisa mengarunginya.”

“Tetapi mengapa, Ibu?” tanya rajawali muda tak puas. “Bukankah kita memiliki sayap yang kokoh untuk terbang?”

“Benar anakku,” kata induk rajawali, “Tetapi sayapmu belum kokoh. Terbanglah terlebih dahulu, supaya kamu tahu bahwa kamu belum sekuat yang kamu bayangkan.’

Rajawali muda tak puas. Ia mencoba melayang. Sekejap ia melayang, namun bukan terbang. Ia terhempas oleh angin. Beruntung, ada induknya yang selalu bersedia menuntun ia kembali mencoba. Namun demikian, perkataan induknya terbukti. Ia belum bisa terbang semahir rajawali lainnya. Ia menyerah, ia belajar dan kemudian terbang berulang kali. Mencoba dan mencoba lagi. Sampai akhirnya ia benar-benar mahir.

Kisah di atas menceritakan kepada kita bahwa menggapai prestasi memang tidak mudah. Tidak ada prestasi yang bisa didapatkan secara instan. Uang, koneksi, kedekatan dengan kekuasaan, sama sekali tidak akan membantu kita mendapatkan prestasi sejati. Kita tidak akan bisa mendapatkan prestasi dengan mudah. Dibutuhkan waktu yang lama, dalam bentuk latihan kehidupan, untuk kemudian menjadikan kita memiliki mentalitas berprestasi dalam hidup. Latihan-latihan “terbang” seperti rajawali, adalah sebuah polesan yang akan meningkatkan spirit dan gairah kita, sehingga kita tahu kita sudah berada pada level mana dalam menggapai prestasi kita.

Seekor rajawali tentunya tidak bisa dengan begitu saja mengarungi lautan luas untuk menunjukkan kegagahannya sebagai sang raja di angkasa. Namun sebagai seorang pemula, sang rajawali muda sudah memiliki semangat untuk mengarungi angkasa. Yang kurang adalah latihan. Ia harus berlatih terbang.

Kita pun demikian. Kita, kalau sudah memiliki semangat dan spirit, harus belajar dan berlatih terus. Kalau kita ingin mengarungi lautan, daratan dan angkasa kehidupan ini, dan mencatatkan prestasi di dalamnya, kita tidak akan mudah mendapatkannya. Semakin luas keinginan prestasi kita, semakin berat tuntutan untuk melatih diri. Inilah kombinasi dua hal yang sangat penting untuk terus menerus kita asah. Gairah untuk berprestasi dan latihan untuk menggapainya. Keduanya akan saling mengisi sehingga mentalitas berprestasi akan lebih kuat dan kokoh lagi.

Memiliki spirit saja, hanya menjadikan kita sebagai sosok rajawali yang bergairah menjadi raja di angkasa, namun belum bisa terbang. Menjalani latihan, tanpa tahu hendak menjadi penguasa angkasa, juga akan membosankan. Kedua hal itu harus berjalan sinergis. Kita harus memiliki keduanya. Kita harus punya spirit untuk bisa menjadi sesuatu yang layak membuat kita terhormat dan mulia karena prestasi kita. Tanpa spirit itu kita bisa mengkerut dengan cepat manakala ada tantangan kecil sekalipun. Tanpa spirit, kita bisa kehilangan arah dalam menggapai prestasi. Tetapi kita juga sekaligus, harus melatih diri supaya kita mendapatkan prestasi itu dengan terhormat dan mulia. Tanpa latihan dan keinginan untuk mencoba terbang, kita hanya akan menjadi seorang pemimpi prestasi. Latihan kehidupan membuat sayap-sayap rajawali yang ada dalam diri kita menjadi lebih kokoh dan mampu menyangga seluruh spirit tadi. Latihan yang baik dan tekun membuat tubuh penuh spirit tadi menggapai prestasi terbaiknya.

Mari kembali melihat kepada definisi prestasi tadi. Disebutkan tadi bahwa prestasi adalah capaian hidup. Sejauh mana capaian itu? Definisi tadi adalah definisi yang sungguh abstrak. Prestasi memang sangat abstrak karena prestasi memang sangat tanpa batas. Kita bisa mendapatkannya lalu kemudian terus berupaya mendapatkannya bahkan bisa mendapatkannya seolah kita belum mendapatkannya. Dengan kata lain, pencapaian prestasi adalah sebuah proses panjang yang tanpa henti dan seharusnya memang tak pernah berhenti. Berprestasi adalah panggilan seumur hidup.

Dunia ini begitu luas. Mahakarya Tuhan yang agung tidak berhenti pada satu, dua, tiga prestasi saja. Tak terhitung banyaknya prestasi yang bisa kita raih kalau kita mau. Kita bisa melakukan sebanyak yang kita bisa, kalau kita mau. Dunia ini begitu luas. Dunia ini begitu besar. Kita tidak boleh berdiam diri, merasa cukup dan merasa puas. Kita harus mendapatkan pencapaian demi pencapaian seumur hidup, karena di bawah kolong langit tempat kitas berada ada begitu banyak prestasi yang bisa dilakukan.

Pencapaian prestasi, adalah hakikat manusia sejati. Artinya seorang manusia yang memiliki kesempurnaan sebagai manusia yang mengarungi kehidupan, kalau terus menerus memperbaiki diri, mencapai prestasi demi prestasi dalam hidupnya. Deburan ombak dengan setiap selalu menganggap setiap pukulan di tepi pantai adalah prestasi. Begitu juga kita, harus selalu berusaha mencapai level yang lebih baik lagi, lebih tinggi lagi dan lebih lagi, seolah kita belum melakukannya dengan baik dan benar. Tak pernah berhenti, dan tak pernah merasa lelah. Itulah hakekat seorang yang berprestasi.

Read More......

Moral Melawan Korupsi

(catatan: tulisan ini dimuat di kolom Opini Harian SIB, 17 Juli 2006)


Perlawanan terhadap korupsi adalah sebuah perjuangan besar. Besarnya perjuangan bukan hanya disebabkan karena pelakunya banyak namun lebih kepada kancah perlawanan yang semakin luas. Kalau dulu kita melihat bahwa konsep koruptor hanyalah pada mereka yang bekerja di birokrasi, kini semakin meluas. Kita melihat bagaimana ”sayap” korupsi melibas mereka yang bekerja di sektor hukum, legislatif, bahkan para pengusaha. Semuanya memperlihatkan bagaimana massifikasi korupsi berjalan dengan amat parah di negeri ini.
Hal itu sebenarnya sudah disadari benar oleh pemerintah. Itu sebabnya secara kualitatif, hampir tidak ditemukan kesulitan dalam memberikan ijin terhadap mereka yang tersangkut kasus korupsi, bahkan pejabat negara sekalipun. Sampai sekarang, ijin pemeriksaan sudah diberikan kepada banyak Gubernur, Bupati dan Walikota. Bahkan anggota DPRD di seluruh Indonesia pun tidak luput dari pemberian ijin ini.
Sampai sekarang, berdasarkan data yang ada, jumlah terdakwa kasus korupsi di Indonesia sudah mencapai 1000-an orang. Itu berarti telah terjadi pembengkakan kasus korupsi di Indonesia, secara khusus sejak pemerintahan ini menjadikan korupsi sebagai target utama. Beruntunglah bahwa pemerintah ini memang cukup jeli mengangkat isu karena isu korupsi tetap menjadi perhatian bagi publik. Setiap kali terdapat pembongkaran kasus korupsi, perhatian publik tetap saja tersita ke arah pelakunya.
Kita menyadari bahwa pemberantasan korupsi memang sebuah hal penting. Dan itu pasti memakan waktu yang lama. Presiden Yudhoyono sendiri sudah menyatakan bahwa untuk membersihkan Indonesia, diperlukan waktu setidaknya satu generasi. Dan itu setidaknya memakan waktu 15 tahun, seperti pernah diungkapkan oleh Presiden.

Persoalan
Melihat waktu yang lama itu, terang saja ada rasa lelah dalam menyaksikan perubahan. Sebab bagaimanapun tidak mudah menyaksikan mereka yang berperilaku korup terus saja bergerak dan menggunakan uang negara untuk kepentingannya sendiri. Belum lagi dengan masalah dimana para pelaku penegak hukum bisa saja tercemar idealismenya dalam menempuh waktu itu. Hal itu wajar saja karena pelaku korupsi punya uang untuk menyuap dan menyogok hamba hukum. Bagi mereka hal itu sangat mudah dilakukan karena uang yang mereka korupsi lebih besar dari uang yang harus mereka ”korbankan”.
Kelelahan sebenarnya bisa dipaksakan diterima jika saja kita menyaksikan arah yang baik dan jelas. Hanya saja persoalan utama yang kita lihat dalam perlawanan melawan korupsi adalah belum jelasnyas titik tujuan.
Dari sudut pandang pemerintah sendiri, hendak kemana perlawanan ini dibawa belum jelas. Perlawanan terhadap korupsi kini malah kelihatannya melenceng dan bergerak bagaikan bola liar, melibas mereka yang sebenarnya tidak terlalu signifikan dalam memberikan pelajaran atas korupsi yang dilakukannya.
Perlawanan terhadap korupsi membutuhkan korban yang signifikan. Artinya, mereka yang menjadi target harus mampu memenuhi kriteria sebagai korupsi yang tidak dapat dimaafkan lagi, korupsi yang sangat besar, dan terutama adalah korupsi yang jika pelakunya diberikan hukuman akan membuat jera yang lain. Ini yang kurang dilakukan oleh pemerintah.
Perlawanan terhadap korupsi kelihatannya menjadi lakon politik. Ada kritik ketika hal ini pernah dilontarkan yaitu bahwa pemerintah menggunakan prinsip tebang pilih. Menurut kita, tebang pilih tetapi signifikan bisa saja karena dikarenakan oleh keterbatasan pemerintah, ketidakmampuan mengganjar semua pelaku serta keinginan mencari popularitas. Hal itu sah-sah saja, namun jangan sampai menjadi rule yang baku. Bagaimanapun, penegakan korupsi tidak bisa dikerjakan dengan memilih dan memilah targetnya, kecuali dengan mempertimbangkan argumentasi tadi di atas, itupun hanya dilakukan dalam waktu yang singkat saja.
Jargon mengenai korupsi memang pernah dibentangkan amat lebar oleh pemerintah. Namun sayangnya, hal itu kemudian lenyap ketika pemerintah disibukkan oleh berbagai hal menyangkut masalah bencana dan sebagainya. Akibatnya yang kita saksikan sekarang ini, ”moral” melawan korupsi kelihatannya mulai menurun.
Moral melawan korupsi yang kita saksikan ini adalah sebuah semangat bersama yang muncul dalam diri semua orang di negeri ini. Moral ini terbentuk karena ada persamaan keinginan dan harapan untuk menyaksikan negeri ini bebas dari korupsi. Moralitas inilah yang kini melemah. Masyarakat seakan tidak percaya pada pemerintah. Masyarakat tidak bersemangat lagi karena kembali kepada konsep tadi, bahwa pemerintah hanya mengandalkan moralitas sebatas kepentingan politik saja.
Padahal masyarakat memerlukan ikon pemberantasan korupsi di masyarakat. Karena masalah korupsi sudah lama terjadi, semangat perlawanan seharusnya dipelihara dan dipertahankan. Perlawanan diupayakan jangan sampai kendor dan melemah. Karena sekali sudah menurun, maka akan sangat sulit membangkitkan kembali perlawanan terhadap korupsi.

Redefinisi
Maka diperlukan setidaknya beberapa hal. Pertama, komitmen. Pemerintah harus berbicara lagi kepada masyarakat mengenai komitmennya ini. Pemerintah harus menggairahkan ulang moral melawan korupsi ini supaya masyarakat yang tadinya mengalami ”perdarahan” semangat, bisa bangkit dan bersemangat untuk melawan korupsi. Namun hal ini bergantung kepada penerjemahannya di lapangan.

Aparat penegak hukum pemberantas korupsi, misalnya KPK, Kejaksaan Agung dan aparat kepolisian harus memiliki komitmen ini. Komitmen diperlukan tentunya supaya mata pisau penanganan korupsi jangan sampai tumpul di tengah jalan. Para penegak hukum harus terus menerus menegakkan integritas dan moralitas mereka sebagai pemberantas dan bukannya yang kelak kemudian harus pula diberantas. Mereka yang bekerja harus memiliki semangat dan daya juang supaya kasus korupsi jangan menjadi mentah dan tidak lagi berarti karena ketidakmampuan mereka menahan godaan. Karenanya, mekanisme seleksi dan pengawasan internal harus benar-benar ditegakkan dengan baik.
Kedua, kreatifitas. Pelaku korupsi jelas bukan anak kemarin sore yang hanya bisa pasrah. Mereka semakin lihai dan semakin kreatif dalam menyembunyikan aksinya. Karena itu mereka pun harus dilawan dengan cara dan jurus kreatif pula. Pemerintah harus terus berpikir, berencana dan menggunakan ide yang baik untuk melawan korupsi. KPK misalnya kini sedang menyiapkan jurus baru untuk menjegal mereka yang mengkorup uang negara sampai di tingkat birokrasi terendah. Jika tidak dapat membuktikan kekayaan, maka kekayaan yang ada disita untuk negara.
Belakangan ada keinginan pemerintah untuk menerbitkan sebuah aturan baru mengenai perlunya bukti awal atas laporan korupsi yang akan dilakukan menggunakan mekanisme internal. Kita harap bukan pada caranya, namun kepada tujuannya. Kita berharap bahwa tujuan melawan korupsi jangan sampai dimatikan sendiri oleh pemerintah dengan caranya membunuh diri sendiri. Moralitas melawan korupsi jangan sampai dibunuh sendiri oleh pemerintah ini.
Sebagai bangsa yang sedang berjuang untuk memperbaiki diri, kita perlu mengingatkan pemerintah bahwa komitmen dan kreatifitas membangun moral melawan korupsi harus terus menerus digagas dan diperjuangkan oleh pemerintah. Bangsa ini sudah lama berada dalam cengkeraman korupsi karena itu harus ditata moralitasnya melawan korupsi secara terus menerus tanpas kenal lelah. Hal ini amat penting dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah

Read More......

Menghadang Komersialisasi Pendidikan




(catatan: tulisan ini dimuat di Kolom Opini Harian SIB, tanggal 13 Juli 2006)
Dalam sejarahnya pendidikan hadir untuk memberikan pencerahan kepada bangsa ini. Setelah terjebak ke dalam penjajahan lama, maka Ki Hajar Dewantara menggagas sebuah miniaturnya dalam Taman Siswa. Konsep awalnya adalah bagaimana menyelenggarakan sebuah pendidikan yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini sehingga tak lagi dijajah.

Lama berselang, konsep pendidikan itu kini berubah total. Kemajuan dan peradaban global telah mengubah konsep pendidikan yang sangat “Indonesia” itu menjadi sebuah pendidikan ala global tetapi tanpa warna sama sekali. Pendidikan kita terjebak ke dalam komersialisasi pendidikan yang amat fatal dan parah. Hal itulah yang kini kita bisa lihat dari maraknya pendidikan tinggi di Indonesia, dan kasusnya kini mencuat ke permukaan pasca ditemukannya sejumlah perguruan tinggi yang melanggar batas, sehingga menyelenggarakan kelas jauh.

Dalam bukunya McDonalisasi Pendidikan Tinggi, Heru Nugroho dan teman-temannya sudah pernah mengingatkan kita betapa bahayanya kini pendidikan kita terutama pendidikan tinggi. Pendidikan didisain dengan menggunakan logika perusahaan gerai makanan fast food. Sederhananya, pendidikan tinggi dijadikan sebagai sebuah produk cepat saji dan cepat jadi. McDonalisasi yang terkenal dengan ikon “I’m lovin It” itu merambah kemana-mana dengan memanfaatkan selera pasar yang amat membutuhkan makanan model rasa Barat tetapi lidah versi Indonesia.

Hipotesis Heru Nugroho pernah saya angkat ke permukaan ketika masalah BHMN mencuat. Namun para petinggi sebuah PTN yang berkeberatan dengan ketidaksetujuan saya menyatakan bahwa pemberian status BHMN ini memang bukan lampu aladin yang bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Kita menerima argumentasi tersebut namun tetap melihat bahwa pemberian BHMN kepada perguruan tinggi hanya akan mempercepat kompetisi yang tidak sehat.

Bagaimana tidak? Kini perguruan tinggi dengan status BHMN menjadi pengelola pendidikan skala besar. Mereka membuka program studi sebanyak yang mereka mau dan mampu. Mereka menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, persis seperti McDonal, dengan berbagai ikon yang seolah sangat menjanjikan. Pendidikan dan pengelolaannya ditafsirkan sebagai perluasan pendidikan secara lebih massal lagi. Banyak perguruan tinggi, tidak terkecuali PT BHMN meraup mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa menyadari kapasitasnyanya sendiri, apalagi mutu lulusan, demi mengejar target pemasukan untuk kemandirian tadi.

Komersialisasi Pendidikan

Yang kita lihat memang adalah bahwa komersialisasi pendidikan amat jelas dan kentara terasa. Konsep ini menyebabkan pendidikan terjebak ke dalam bentuk perdagangan belaka, dan melupakan hakikat pendidikan.

Pendidikan sebenarnya adalah sebuah asimilasi antara aspek kognitip dan aspek afektif. Proses pendidikan yang kita lihat sekarang ini lebih mengarah kepada pendidikan kognitip belaka namun amat miskin keseriusan dalam meningkatkan kualitas keilmuan, apalagi aspek afektifnya. Itu sebabnya juga, jangan heran jika banyak persoalan sederhana di bangsa ini justru tidak dapat ditangani dengan baik hanya karena tidak memiliki kemampuan untuk itu. Banyak para lulusan pendidikan tinggi hanya bisa menjadi penerjemah ilmu yang berasal dari pendidiknya, namun tidak mampu menjadikannya sebagai alat (tools) untuk menghadapi hidupnya.

Lagipula, lulusan pendidikan tinggi sekalipun kini banyak yang menjadi penganggur. Salah satu sebabnya karena di perguruuan tinggi mereka hanya mendapatkan bekal keilmuwan, bukan untuk dapat mengembangkan diri dengan lebih baik dan lebih mandiri. Maka akibatnya, ketika berhadapan dengan dunia kerja yang penuh dengan persaingan, mereka kewalahan dan akhirnya tidak mendapatkan kesempatan.

Salah satu sebabnya adalah karena mutu pengajaran kognitip tadi. Proses belajar mengajar di perguruan tinggi umumnya amat monolog dan miskin kemampuan analitik. Mereka yang belajar hanya diberikan ilmu pengetahuan sekedarnya saja tanpa kesungguhan daripada staf pengajar yang lebih banyak hanya “nyambi” mengajar. Lihat saja banyak pendidik yang kini tidak pernah menduduki bangku dan mejanya sendiri karena tidak sempat. Mereka menerima banyak “tawaran” untuk memberikan pendidikan sembari mempertahankan hidup.
Komersialisasi pendidikan juga berasal dari gairah pasar, dalam hal ini masyarakat sendiri. Artinya, pendidikan tinggi yang berjiwa komersil melihat pasar sebagai potensi untuk mendapatkan keuntungan. Pasar dilihat sebagai sumber finansial belaka.

Kebutuhan masyarakat kita sayangnya memang amat semu. Masyarakat kita, memang memasuki modernisasi tetapi dengan pola pikir agraris. Artinya di satu sisi terjadi pembaruan kehidupan dimana-mana, namun animo pada hal-hal yang berbau materi dan kebanggaan sosial tetap lebih penting. Itu sebabnya banyak orangtua selalu membanggakan anaknya jika dapat menjadi seorang sarjana. Gelar selalu dinomorsatukan.

Logika ini belum berubah. Dimana-mana kini masyarakat memburu gelar. Maka terjadilah simbiosis antara keduanya, yaitu pengelola pendidikan dengan mental komersil dengan masyarakat yang hanya mengandalkan dan membutuhkan gelar semata. Terjadilah sebuah lingkaran setan yang tidak mudah diputus.

Pemerintah sendiri turut memperkeruh suasana. Terbitnya UU mengenai guru dan dosen yang mensyaratkan sertifikasi sebagai tenaga pendidik tak urung mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan akan gelar dan pendidikan. Lagi-lagi pengelola pendidikan yang lebih dekat dengan status sebagai saudagar langsung memanfaatkan situasi ini dengan menyediakan berbagai kemudahan.

Terobosan

Saya punya teman bernama Andreas Harefa yang kini menjadi penulis best seller, dijuluki “manusia pembelajar” dan menjadi trainer terkemuka di Indonesia saat ini di bawah payung Institut Mahardika milik Jansen Sinamo. Beliau adalah jebolan pendidikan yang tinggi yang tidak percaya kepada pendidikan tinggi. Ketika mengetahui betapa buruknya pendidikan tinggi yang diterimanya, beliau bertekad untuk membuktikan bahwa tanpas gelar, siapapun bisa sukses. Akhirnya keinginannya terwujud. Beliau membuktikan bahwa keberadaannya yang notabene tanpa gelar adalah sebuah bukti bahwa mencari gelar hanyalah kesia-siaan semata. Yang paling penting adalah bagaimana memaksimalkan potensi dirinya.

Menjadi sosok manusia tanpa terjebak ke dalam komersialisasi pendidikan lebih penting untuk diajarkan kepada setiap anak, sejak dari keluarga dan lingkungan. Setiap orang tua bertanggung-jawab terhadap hal ini jika tidak ingin anaknya menjadi korban dari komersialisasi ini. Hal ini harus menjadi komitmen yang tidak boleh terputus, harus dilakukan oleh setiap orang tua. Menanamkan kemandirian tak lagi bisa diharapkan dari pendidikan kita, melainkan pada pemberdayaan keluarga.

Selain itu, terobosan yang dilakukan adalah mendorong berdirinya wadah-wadah independen. Penulis bersama dengan beberapa rekan mendirikan Creative Center, sebuah wadah pengembangan diri. Komunitas-komunitas seperti ini penting untuk memberdayakan setiap pribadi menjadi lebih maksimal dan menemukan potensinya dengan lebih baik dan lebih berdaya.

Read More......

Sunday, July 09, 2006

Bening #2. Terjadi

Saya punya gambar unik di rumah. Seekor monyet yang sedang menggaruk kepalanya. Di pojok kiri bawahnya ada sebuah tulisan dalam bahasa Inggris. Tulisan itu berjudul Make It Happen. Lalu ada tiga baris kalimat pendek-pendek: some people watch things happens, some people wonder what has happened, but some people …… Make it happen!

Gambar di atas bagi saya memang penuh pesan. Maknanya dalam. Kadang saya sendiri suka tersenyum ketika memandangnya. Ada banyak artinya. Namun setelah saya merenungkannya, lebih kepada teguran kepada yang hanya bisa menggaruk kepala menonton apa yang sedang terjadi. Artinya, jika hanya menjadi penonton, maka tidak lebih dari seekor monyet tadi. Some people watch things happens. Tragis. Itulah hidup orang yang tidak tahu apa yang sedang terjadi dan berlangsung. Bagaikan penonton sebuah pertunjukkan yang hanya menatap layar dengan tatapan kosong, begitulah orang tipe ini.

Berapa banyak kita yang tidak tahu apa sedang terjadi sekarang ini? Hanya kitalah yang tahu hal itu. Namun kita bisa mengetahuinya dengan melihat dan bercermin dari diri sendiri, sudah sejauh mana kita mencermati setiap kejadian di sekitar kita. Sudah sejauh mana kita merasakan bahwa kita mengetahui apa yang terjadi pada tetangga kita, kerabat kita, masyarakat kita, negara kita, bahkan dunia ini.

Penonton yang hanya menggaruk kepala atas apa yang sedang terjadi adalah mereka yang ketinggalan perubahan. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa dunia sudah berubah. Mereka tidak tahu bahwa kemajuan sudah datang dan peradaban baru sudah berkembang dengan amat pesat.

Lihat saja sekeliling kita. Berapa banyak orang yang masih sibuk mengejar gelar dan titel, pada saat sekarang ini hal itu sudah tidak diperlukan dengan amat sangat? Berapa banyak orang yang masih memakai perhiasan emas dan pertama, kemana-mana untuk memamerkan kemewahan, di saat orang sudah tidak membutuhkan hal itu lagi untuk dipamerkan?

Lalu lihat kantor-kantor pemerintah di negeri ini. Berapa banyak pegawai yang masih mempertahankan menulis dengan mesin ketik, di saat dunia sudah menggunakan alat teknologi canggih? Masih dikantor-kantor, berapa banyak orang yang datang ke kantor hanya karena takut pada atasan?

Lihat lagi lebih luas. Berapa banyak mahasiswa yang datang kuliah hanya untuk mendengar dosen, lalu pulang dan kemudian belajar hanya untuk ujian saja, padahal masa depan seharusnya ditekuni dengan baik? Berapa banyak dosen, guru, atau siapapun itu, yang hanya mengajarkan apa yang dulu diketahuinya ketika mahasiswa?

Kenyataan-kenyataan di atas memperlihatkan bahwa masih banyak orang yang berjalan dalam rutinitasnya dan abai terhadap setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Mereka merasakan bahwa perjalanan hari-harinya sama saja setiap saat. Mereka masih bisa makan, masih bisa minum, masih bisa bekerja. Mereka tidak merasakan apa-apa yang perlu dikuatirkan karena mereka tidak merasakan perubahan apa-apa. Itulah orang jenis yang pertama tadi. Kerjanya hanya bisa menggaruk dan kelak akan bengong saja, jika melihat bahwa segala sesuatu sudah terlambat untuk diperbaiki.

Marilah kita melihat lagi kalimat berikutnya. Some people wonder what has happened. Arti sederhananya adalah bahwa memang ada orang yang menyadari bahwa sesuatu telah terjadi, dan kini mengaguminya. Lebih baik dari yang pertama, orang jenis ini memang menikmati perubahan karena perubahan itu membawa kenikmatan atau kesenangan bagi dirinya. Atau orang ini menikmati perubahan karena perubahan itu menguntungkan baginya.

Mereka yang menggunakan dan menguasai teknologi adalah mereka yang memiliki tipe seperti ini. Mereka tahu bahwa teknologi bisa membantu maka mereka belajar dan mencoba menguasainya. Mahasiswa yang belajar dengan menggunakan berbagai sarana, baik buku teks terbaru sampai penelurusan internet, adalah mereka yang bisa menikmati keajaiban perubahan.

Dulu manusia hanya menggunakan peralatan yang sederhana untuk menulis. Sekarang manusia menggunakan perangkat komputer. Bahkan sekarang ini dikembangkan alat mentrasfer data nir-kabel. Semuanya serba maju. Semua serba cepat. Kuantifikasi bukan lagi dalam hari, namun sudah kepada sekon (detik).

Demikian juga dengan kehidupan. Orang dulu susah dalam menyimpan uang. Mereka terbatas dalam menggunakan uang karena mereka amat minim kebutuhan. Sekarang manusia bisa menggunakan e-banking, kartu kredit dan segala macamnya. Kemajuan telah membawa perubahan yang mencengangkan. Dan ada orang yang bisa memanfaatkan perubahan itu. Gaya hidup pun berubah dengan cepat.

Gaya berkantor sekarang juga sudah semakin berubah. Kalau dulu orang harus masuk dan keluar kantor pada jamnya. Kalau dulu orang dengan bangga berkata dan menunjukkan lokasi kantornya. Sekarang sudah bukan jamannya. Para eksekutif muda hanya menenteng sebuah laptop dan dengan bangga menunjukkan bahwa kantornya ada di dalam tas laptopnya.

Sungguh suatu kemajuan dan banyak orang yang merayakan kemajuan akibat perubahan itu lalu memanfaatkannya dengan baik. Mereka merasakan adanya kejadian da perubahan, dan mereka memanfaatkannya dengan baik.

Namun segala sesuatu yang terjadi—perubahan dan kejadian—tidak tercipta begitu saja. Jika orang pertama sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan orang kedua yang mengetahui dan menggunakan perubahan itu, maka yang paling penting untuk dijawab adalah, siapa yang menyebabkan perubahan? Siapa yang menyebabkan sesuatu terjadi?

Some people …… Make it happen! Hanya sedikit manusia di muka bumi ini yang berperan dan masuk ke dalam kategori penyebab perubahan. Mereka adalah orang-orang yang menyebabkan dunia ini menjadi seperti sekarang ini. Mereka menuntun arah perubahan sesuai dengan arah yang mereka harapkan. Inilah kategori manusia yang menjadi penyebab dari segala sesuatu kejadian.

Dilihat dari jumlah hasil perubahan, Thomas Alva Edison sudah mencatatkan sekitar 3 ribu produk sebagai hasilnya. Dan sekarang perubahan yang diciptakannya telah membawa arah dunia menjadi lebih terang dan lebih maju. Perubahan besar itu setidaknya telah dibuktikannya hanya oleh penemuan bola lampu saja. Belum lagi yang lainnya.

Perubahan yang spektakuler juga dihadirkan oleh seorang manusia bernama Bill Gates. Manusia yang tergolong sebagai terkaya di jagad itu menciptakan ”mesin” bernama komputer, lalu mendisainnya sesuai dengan kebutuhan manusia. Maka, seluruh sektor pekerjaan kini menggunakan alat ciptaannya. Perbankan, industri, pendidikan, perkantoran modern, bahkan transportasi amat bergantung pada komputer yang digagas oleh Bill Gates sejak lama.

Perubahan, datangnya memang tidak dalam satu ruang kosong. Harus ada yang memulai, menggagas dan menyebabkan perubahan itu datang. Dan itu adalah panggilan yang paling tinggi, setidaknya menurut gambar yang saya sudah sampaikan tadi.

Kita tidak perlu dan tidak harus seperti Edison atau Gates. Kita tidak harus sekaya dan setenar mereka. Lihat sajalah, apa yang belum ada dan belum berubah di sekitar kita. Lihat apa yang harus dirubah dan dihadirkan. Maka itulah peluang bagi kita untuk melakukannya. Itulah peluang bagi kita untuk masuk ke dalam kategori sebagai manusia ”penyebab perubahan”. Almarhum Romo Mangunwijaya, misalnya, menggagas sebuah komunitas yang mencintai lingkungan di pinggir Kali Codet. Beliau melihat betapa sulitnya menjadikan lingkungan sebagai teman manusia. Maka ia memulai dari wilayah yang paling sulit untuk diubah, pinggir sungai. Terbukti, ia berhasil.

Perubahan yang kita hasilkan memang tidak harus spektakuler. Kadang-kadang kejadian itu hanya bersifat kecil. Namun tetap menjadi sebuah perubahan yang kelak menentukan arah manusia lainnya.

Namun, perubahan dan kejadian yang paling kecil tentunya adalah dari diri kita sendiri. Kita bisa memulai mengubah diri kita. Dari sebuah kebiasaan negatif menjadi sesuatu yang positif. Dari segi kedisiplinan, segi emosi, segi keteraturan, atau hal lainnya. Kecil, satu saja, tetapi kelak, percayalah, akan mempengaruhi sesosok manusia, yaitu anda sendiri. Kalau begitu, ciptakanlah sebuah kejadian dari diri anda sendiri. Ya, make it happen! Jadilah manusia yang menciptakan kejadian dan perubahan. Tunggu apa lagi! Jangan hanya jadi penonton!

Read More......

Thursday, July 06, 2006

Bening #1. Pendakian

Hidup kadang tidak mudah dimengerti. Namun dari seluruh perjalanan hidup, yang paling sulit dimengerti tentunya adalah ketika mengalami masalah dan penderitaan. Saat itu, kita sering lebih keras mengeluh, mengaduh atau berteriak kesakitan. Suara kita terkadang lebih menyuarakan penolakan dan ketidakberterimaan atas apa yang terjadi. Kita merintih, bahkan tak jarang menangis seolah duka hanya milik kita.

Suatu hari, terbentuklah sebuah buah kelapa. Dia, berada bersama-sama dengan saudara-saudaranya, bertengger di atas sebuah batang kelapa yang menjulang di pinggir pantai Semakin hari semakin bertambah usianya, semakin besarlah ia. Dia biasa bercengkrama dengan saudara-saudaranya. Tiada hari tanpa canda dan tawa di antara mereka. Mereka seolah tak terpisahkan.

Namun suatu kali, ibunda mereka, yang adalah batang kelapa tadi berbicara kepada mereka, ”Anak-anakku sekalian,” katanya, ”beberapa saat lagi akan datang waktunya kalian, kita semua akan berpisah.”

”Apa”, sambut mereka serentak. ”Apa yang hendak ibu sampaikan?”

”Ya,” sahut ibunya, ”hanya dalam hitungan waktu, kalian akan segera meninggalkan ibu. Kalian semuanya akan berpisah-pisah, jatuh ke bawah, ke tanah”.

”Tetapi, kami tidak mau meninggalkan ibu,” mulailah mereka menangis dan berteriak-teriak. ”Kami ingin tetap di sini, Bu.”

”Anak-anakku, inilah hakikat hidup kita,” kata ibu mereka. ”Suatu saat kalian akan menyadari apa yang ibu sampaikan ini benar adanya. Adalah lebih baik bagi kalian untuk berpisah.”

Singkat cerita, jatuhlah buah-buah kelapa itu ke tanah. Mereka terjun bebas dari ketinggian batang kelapa tadi, terbanting ke tanah, berguling sampai akhirnya berhenti. Mereka mencoba saling berpegangan. Namun entah darimana kekuatan itu, mereka tak berdaya melawan daya tarikan ke bawah.

Akhirnya, terjadilah yang disampaikan ibu mereka tadi. Mereka semua jatuh ke bawah. Buah kelapa tadi memandang ke atas, melihat ibunya. Ia begitu sedih. Ia mencoba memanggil saudara-saudaranya. Namun tak satupun yang kelihatan. Mereka jatuh tersebar, bahkan ada yang dibawa arus ke laut.

Ia mulai menangis. Ia merenungi hidupnya sebelumnya di atas, ketika masih bertengger di batang kelapa. Ia teringat bagaimana mereka biasanya bercanda dan tertawa ria. Ia rindu pada saudara-saudaranya, dan suasana sejuk ketika berada di ketinggian. Dia mulai melihat badannya. Ada memar karena terjatuh tadi. Ia tidak tahu hendak berkata apa. Ia hanya bisa meratap. Merindukan semua yang pernah dimilikinya.

Hari demi hari berlalu, tahun demi tahun, tanpa sadar sudah sekian lama terjadi. Peristiwanya sudah lama berlalu. Buah kelapa tadi setiap hari merasakan panas teriknya matahari dan hujan yang datang mengguyur. Dia tak beranjak jauh dari tempatnya tadi terjatuh. Perlahan-lahan dia merasakan ada yang aneh dari badannya. Di ujung badannya, ia melihat sepucuk tunas kelapa muncul. Ia kaget. Ada apa? Apa yang sedang terjadi?

Waktu kemudian berlalu, sang buah kelapa tadi sudah tidak kelihatan sebagai hanya sebagai buah kelapa. Yang kini terlihat adalah sebatang pohon kelapa yang makin lama makin tinggi. Awalnya ia tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi ketika satu demi satu bagian dari sebuah pohon kelapa mulai terbentuk, ia akhirnya mengerti bahwa sebuah proses baru sedang terjadi dalam hidupnya.

Ia mulai menikmati perubahan itu. Ia melihat kakinya mulai memanjang membentuk akar. Lalu ia mulai melihat sesuatu yang berwarna hijau mulai tumbuh di badannya. Semakin kuat, batangnya semakin tinggi. Ia melihat badannya semakin lama semakin ”terangkat” ke atas.

Berhitung waktu, lama kemudian, buah pohon kelapa tadi kini sudah menjadi sebuah pohon kelapa. Ia mencoba membuka mata. Ia melihat sekelilingnya. Ia mencoba memandang dari atas sekelilingnya. Ia melihat ada pohon kelapa lain di sekitarnya. Ia sapa dengan riang, karena beberapa di antaranya adalah saudara-saudaranya tadi. Ia mulai berpikir. Dan ia mulai teringat pada perkataan ibunya, bahwa lebih baik bagi mereka untuk jatuh ke bawah. Ia melihat bahwa inilah artinya semua yang pernah diajarkan oleh ibunya kepadanya.

Apa yang diceritakan di atas adalah sebuah kisah mengenai hidup. Sekali lagi, hidup memang tidak mudah dimengerti. Ada saatnya ketika kita terjatuh kita merasakan kesakitan yang amat sangat. Kita merasakan pukulan yang amat hebat. Mungkin rasa malu. Mungkin rasa tidak percaya. Bahkan mungkin rasa tidak terima.

Hidup terkadang harus dimulai dari titik paling bawah. Dan itu adalah sebuah proses. Mari kita jalani dan nikmati. Sadarilah perubahan demi perubahan yang terjadi dari proses pendakian itu. Jalani dan nikmatilah bahwa ternyata ada keindahan ketika ”jatuh” terjerembab sekalipun. Ada artinya kita mungkin kini terhempas dan terpelanting. Mungkin, itu semuanya adalah kesempatan baik—bahkan mungkin yang terbaik—untuk mendulang prestasi dan kebanggaan kelak. Mungkin kita perlu berada di titik terbawah supaya kita bisa memulai sesuatu yang indah dari bawah. Jadi, mari kita menjalani pendakian dalam hidup dengan penuh kesabaran.

Buah kelapa hanya bisa diminum ketika masih berada di atas batangnya. Namun ia semakin lebih berguna ketika sudah menjadi batang kelapa. Transformasi itu hanya bisa hadir melalui proses pendakian dari bawah. Kita semua mungkin juga akan menjadi lebih baik, lebih berguna dan lebih menjadi berkat ketika kita memulai segala sesuatu dari bawah. Mari melihat segalanya dengan baik karena di balik pendakian, ada sesuatu yang bisa menjadi berkat bagi banyak orang, melalui hidup kita.

Read More......