Wednesday, July 12, 2006

Menghadang Komersialisasi Pendidikan




(catatan: tulisan ini dimuat di Kolom Opini Harian SIB, tanggal 13 Juli 2006)
Dalam sejarahnya pendidikan hadir untuk memberikan pencerahan kepada bangsa ini. Setelah terjebak ke dalam penjajahan lama, maka Ki Hajar Dewantara menggagas sebuah miniaturnya dalam Taman Siswa. Konsep awalnya adalah bagaimana menyelenggarakan sebuah pendidikan yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini sehingga tak lagi dijajah.

Lama berselang, konsep pendidikan itu kini berubah total. Kemajuan dan peradaban global telah mengubah konsep pendidikan yang sangat “Indonesia” itu menjadi sebuah pendidikan ala global tetapi tanpa warna sama sekali. Pendidikan kita terjebak ke dalam komersialisasi pendidikan yang amat fatal dan parah. Hal itulah yang kini kita bisa lihat dari maraknya pendidikan tinggi di Indonesia, dan kasusnya kini mencuat ke permukaan pasca ditemukannya sejumlah perguruan tinggi yang melanggar batas, sehingga menyelenggarakan kelas jauh.

Dalam bukunya McDonalisasi Pendidikan Tinggi, Heru Nugroho dan teman-temannya sudah pernah mengingatkan kita betapa bahayanya kini pendidikan kita terutama pendidikan tinggi. Pendidikan didisain dengan menggunakan logika perusahaan gerai makanan fast food. Sederhananya, pendidikan tinggi dijadikan sebagai sebuah produk cepat saji dan cepat jadi. McDonalisasi yang terkenal dengan ikon “I’m lovin It” itu merambah kemana-mana dengan memanfaatkan selera pasar yang amat membutuhkan makanan model rasa Barat tetapi lidah versi Indonesia.

Hipotesis Heru Nugroho pernah saya angkat ke permukaan ketika masalah BHMN mencuat. Namun para petinggi sebuah PTN yang berkeberatan dengan ketidaksetujuan saya menyatakan bahwa pemberian status BHMN ini memang bukan lampu aladin yang bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Kita menerima argumentasi tersebut namun tetap melihat bahwa pemberian BHMN kepada perguruan tinggi hanya akan mempercepat kompetisi yang tidak sehat.

Bagaimana tidak? Kini perguruan tinggi dengan status BHMN menjadi pengelola pendidikan skala besar. Mereka membuka program studi sebanyak yang mereka mau dan mampu. Mereka menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, persis seperti McDonal, dengan berbagai ikon yang seolah sangat menjanjikan. Pendidikan dan pengelolaannya ditafsirkan sebagai perluasan pendidikan secara lebih massal lagi. Banyak perguruan tinggi, tidak terkecuali PT BHMN meraup mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa menyadari kapasitasnyanya sendiri, apalagi mutu lulusan, demi mengejar target pemasukan untuk kemandirian tadi.

Komersialisasi Pendidikan

Yang kita lihat memang adalah bahwa komersialisasi pendidikan amat jelas dan kentara terasa. Konsep ini menyebabkan pendidikan terjebak ke dalam bentuk perdagangan belaka, dan melupakan hakikat pendidikan.

Pendidikan sebenarnya adalah sebuah asimilasi antara aspek kognitip dan aspek afektif. Proses pendidikan yang kita lihat sekarang ini lebih mengarah kepada pendidikan kognitip belaka namun amat miskin keseriusan dalam meningkatkan kualitas keilmuan, apalagi aspek afektifnya. Itu sebabnya juga, jangan heran jika banyak persoalan sederhana di bangsa ini justru tidak dapat ditangani dengan baik hanya karena tidak memiliki kemampuan untuk itu. Banyak para lulusan pendidikan tinggi hanya bisa menjadi penerjemah ilmu yang berasal dari pendidiknya, namun tidak mampu menjadikannya sebagai alat (tools) untuk menghadapi hidupnya.

Lagipula, lulusan pendidikan tinggi sekalipun kini banyak yang menjadi penganggur. Salah satu sebabnya karena di perguruuan tinggi mereka hanya mendapatkan bekal keilmuwan, bukan untuk dapat mengembangkan diri dengan lebih baik dan lebih mandiri. Maka akibatnya, ketika berhadapan dengan dunia kerja yang penuh dengan persaingan, mereka kewalahan dan akhirnya tidak mendapatkan kesempatan.

Salah satu sebabnya adalah karena mutu pengajaran kognitip tadi. Proses belajar mengajar di perguruan tinggi umumnya amat monolog dan miskin kemampuan analitik. Mereka yang belajar hanya diberikan ilmu pengetahuan sekedarnya saja tanpa kesungguhan daripada staf pengajar yang lebih banyak hanya “nyambi” mengajar. Lihat saja banyak pendidik yang kini tidak pernah menduduki bangku dan mejanya sendiri karena tidak sempat. Mereka menerima banyak “tawaran” untuk memberikan pendidikan sembari mempertahankan hidup.
Komersialisasi pendidikan juga berasal dari gairah pasar, dalam hal ini masyarakat sendiri. Artinya, pendidikan tinggi yang berjiwa komersil melihat pasar sebagai potensi untuk mendapatkan keuntungan. Pasar dilihat sebagai sumber finansial belaka.

Kebutuhan masyarakat kita sayangnya memang amat semu. Masyarakat kita, memang memasuki modernisasi tetapi dengan pola pikir agraris. Artinya di satu sisi terjadi pembaruan kehidupan dimana-mana, namun animo pada hal-hal yang berbau materi dan kebanggaan sosial tetap lebih penting. Itu sebabnya banyak orangtua selalu membanggakan anaknya jika dapat menjadi seorang sarjana. Gelar selalu dinomorsatukan.

Logika ini belum berubah. Dimana-mana kini masyarakat memburu gelar. Maka terjadilah simbiosis antara keduanya, yaitu pengelola pendidikan dengan mental komersil dengan masyarakat yang hanya mengandalkan dan membutuhkan gelar semata. Terjadilah sebuah lingkaran setan yang tidak mudah diputus.

Pemerintah sendiri turut memperkeruh suasana. Terbitnya UU mengenai guru dan dosen yang mensyaratkan sertifikasi sebagai tenaga pendidik tak urung mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan akan gelar dan pendidikan. Lagi-lagi pengelola pendidikan yang lebih dekat dengan status sebagai saudagar langsung memanfaatkan situasi ini dengan menyediakan berbagai kemudahan.

Terobosan

Saya punya teman bernama Andreas Harefa yang kini menjadi penulis best seller, dijuluki “manusia pembelajar” dan menjadi trainer terkemuka di Indonesia saat ini di bawah payung Institut Mahardika milik Jansen Sinamo. Beliau adalah jebolan pendidikan yang tinggi yang tidak percaya kepada pendidikan tinggi. Ketika mengetahui betapa buruknya pendidikan tinggi yang diterimanya, beliau bertekad untuk membuktikan bahwa tanpas gelar, siapapun bisa sukses. Akhirnya keinginannya terwujud. Beliau membuktikan bahwa keberadaannya yang notabene tanpa gelar adalah sebuah bukti bahwa mencari gelar hanyalah kesia-siaan semata. Yang paling penting adalah bagaimana memaksimalkan potensi dirinya.

Menjadi sosok manusia tanpa terjebak ke dalam komersialisasi pendidikan lebih penting untuk diajarkan kepada setiap anak, sejak dari keluarga dan lingkungan. Setiap orang tua bertanggung-jawab terhadap hal ini jika tidak ingin anaknya menjadi korban dari komersialisasi ini. Hal ini harus menjadi komitmen yang tidak boleh terputus, harus dilakukan oleh setiap orang tua. Menanamkan kemandirian tak lagi bisa diharapkan dari pendidikan kita, melainkan pada pemberdayaan keluarga.

Selain itu, terobosan yang dilakukan adalah mendorong berdirinya wadah-wadah independen. Penulis bersama dengan beberapa rekan mendirikan Creative Center, sebuah wadah pengembangan diri. Komunitas-komunitas seperti ini penting untuk memberdayakan setiap pribadi menjadi lebih maksimal dan menemukan potensinya dengan lebih baik dan lebih berdaya.

No comments: