Monday, December 04, 2006

FOKUS Olahraga, Kita Pun Sulit Bersaing

Kita memang semakin terpuruk. Di arena Asian Games 2006, kita masih jauh tertinggal di bandingkan dengan negara lain. Perolehan negara kita masih sangat jauh dari harapan. Bahkan di arena khas Indonesia, dimana kita pernah merajainya semisal bulu tangkis, kita benar-benar babak belur.

Ada apa dengan kita? Gambaran sulitnya memperoleh medali oleh para utusan Indonesia di arena sesama bangsa Asia tersebut adalah gambaran sederhana dari bagaimana kita mencapai prestasi. Bagaimana tidak? Untuk memberangkatkan tim Indonesia ke kompetisi tersebut, kita hanya rata-rata punya waktu 6 bulan.

Negara lain mengalokasikannya jauh-jauh hari. China misalnya, yang kini menjadi jawara di hampir semua nomor, telah mendidik anak-anak di sana dalam semangat berolahraga. Motto mereka adalah menjadi pemenang di segala lini. Dan itu dicapai dengan melatih, mendidik, dan menggembleng mereka yang potensial di masa depan untuk menjadi pemenang. Dapat dikatakan, China sekarang tidak kesulitan mencapai nomor satu karena stok anak-anak unggul mereka sangat luar biasa.

Mengapa kita tidak bisa demikian? Karena kita tidak terbiasa mencapai prestasi dengan kerja keras. Bangsa ini amat pelit dengan dana pengembangan sumber daya manusianya. Dana yang ada malah dikorup dan dijadikan sebagai alat untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Lapangan olahraga disulap menjadi mall dan bangunan rumah toko. Praktis, anak-anak kecil kita tak punya sense menjadi atlit olahraga. Bayangan masa depan mereka adalah menjadi buruh, bisnisman, atau pejabat. Sudah itu mereka tidak punya cita-cita menjadi tokoh olahraga yang memajukan bangsa karena sedari kecil mereka tidak punya potret mengenai hal itu. Potret mereka adalah pada manusia yang sehari-harinya berjas dan memegang materi rapat. Bukan pada mereka yang berpeluh keringat mengurai semangat.

Bagaimana kita bisa maju kalau untuk belajar menggapai prestasi kita terkadang melatih anak-anak kita dengan jalan haram? Lihat saja contoh sederhana proses ujian nasional. Kita tidak membiarkan anak-anak kita lulus dengan cara mereka. Kita justru mendongkrak mereka dengan patokan UN yang mustahil dicapai bahkan oleh yang menyusunnya sendiri. Maka akibatnya sekolah menjadi ajang mencari uang bagi para guru dan pendidik yang membuka les dadakan. Lalu ketika UN berlangsung, mereka menjual soal kepada para siswanya sendiri.

Bagaimana kita bisa maju kalau kita menempuh jalan pintas dan menganggapnya pantas? Lihat saja kaset-kaset bajakan, produk palsu dan berbagai barang impor masuk secara ilegal dan kita puas memakainya. Bagaimana kita bisa menghargai jerih payah kalau kita tidak pernah belajar apa artinya menciptakan, melakukan dan mengerjakannya sendiri?

Keterpurukan kita dilengkapi oleh ketidakmengertian mereka yang seharusnya melakukannya. Bagi mereka, para penguasa dan pejabat itu, olahraga amat tidak populis. Mereka melihatnya sebagai investasi yang percuma dan dibuang tidak sayang. Mereka tidak perduli bahkan anggaran untuk olahraga pun dipotong. Bagi mereka, olahraga adalah sebuah dunia biasa. Bagi mereka, prestasi adalah politik. Lain tidak.

Bangsa ini lupa bahwa dalam sejarahnya olahraga adalah bagian dari budaya kebijakan. Mereka yang mengajarkan olahraga, dari awal pertamanya adalah maraton, adalah mereka yang menguasai etika dan keberadaban hidup di jaman Athena. Mereka dikenal amat cinta akan nilai-nilai luhur dan etika hidup, karena bagi mereka itulah martabat yang paling mulia. Olahraga asalinya adalah pemujaan kepada dewa sebagai pemegang hidup di dunia.

Kita sudah bisa menebak bahwa Indonesia akan menjadi pecundang di arena Asian Games 2006 ini. Hal ini seharusnya menjadi refleksi kepada kita mengenai motto ”memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.” Kemana motto itu? Dan kenapa tidak menjadi spirit bersama? Hal ini harus dijawab oleh mereka yang mengurus negeri ini.

Read More......

FOKUS Moralitas Anggota DPR, Memalukan

Beredarnya rekaman berisikan adegan mesra antara salah seorang anggota DPR dengan seorang penyanyi dangdut telah menghebohkan seluruh kita. Adegan berbau mesum itu menjadi bola politik yang menjadi liar dan mengundang berbagai kritik dan tudingan tak sedap kepada parpol yang menjadi tempat asal yang bersangkutan.

Lagi-lagi, kejadian di atas, apa boleh buat, telah menempatkan anggota DPR kepada bukti berikut dari ketidakjujuran moral. Sebelumnya berbagai kasus telah menunjukkan ketidakmampuan mereka menjadi sosok dan elit yang bisa diteladani.

Jamak kita ketahui sebelum ini adalah kepergian mereka untuk berkunjung ke luar negeri. Dengan menggunakan uang negara, dengan berbagai alasan yang sebenarnya tidak masuk akal dan sangat memaksakan diri, mereka ketahuan berbelanja di negeri tujuan mereka. Tanpa malu-malu mereka pulang dengan membawa belanjaan tanpa tahu apa hasil dari kepergian mereka itu.

Hal ini benar-benar sudah di luar batas kewajaran. Dan ini terjadi bukan hanya dilakukan oleh anggotanya. Ketua DPR sendiri memberikan contoh betapa elit politik kita jauh dari kepatutan. Dalam sebuah perjalanan safari Ramadhan beberapa waktu yang lalu Ketua DPR menggunakan fasilitas parlemen untuk mendukung kegiatan pribadinya itu. Bahkan sambil membagikan voucher bantuan sekolah, Ketua DPR tetap bersikukuh bahwa dirinya melakukannya atas nama pribadi. Belakangan, sekelompok orang kemudian mengadukanya ke Badan Kehormatan DPR.

Kepatutan dan moralitas memang amat jauh dari mereka yang duduk di parlemen sana. Mereka hanya mementingkan hasrat dan keinginan semata, tanpa tahu lagi batas dan rambu-rambu sebagai wakil rakyat yang dipanggil “terhormat”. Lihat saja di berbagai daerah yang namanya wakil rakyat banyak kedapatan berbuat mesum, menggunakan narkoba, tersangkut judi, dan yang paling memalukan adalah korupsi berjamaah. Sayang bahwa mereka tidak malu-malu melakukannya, seolah tindakan itu adalah sebuah privillage atas jabatan mereka sebagai anggota parlemen.

Persoalan di negara ini adalah pada rule of conduct yang sama sekali tidak dipegang dengan baik. Memang ada Badan Kehormatan DPR. Namun badan bentukan DPR ini sendiri adalah badan yang sama sekali tidak punya kewenangan untuk memberikan putusan menyangkut pelanggaran susila tanpa ada laporan dari masyarakat. Badan ini benar-benar adalah badan politik yang dibuat hanya karena desakan warga masyarakat kala itu.

Akomodasi rule of conduct ini menyebabkan anggota parlemen baik di pusat maupun di daerah dengan seenaknya menggunakan apapun yang bisa dilakukan. Dalam pikiran mereka batasan perilaku adalah langit. Itu sebabnya mereka bebas melakukan apa saja sepanjang mereka tidak melanggar aturan partainya. Sayangnya, tidak ada pula partai yang benar-benar secara eksplisit mencantumkan batas-batas moralitas termasuk korupsi.

Memang ada kesan bahwa kembali kepada yang bersangkutanlah semua perilaku tersebut. Namun harus dimengerti bahwa masyarakat kita sudah tidak dapat lagi dibodoh-bodohi. Parpol yang terkesan hanya menjadi ”preman”, sudah ditandai oleh masyarakat. Dan mereka yang ingin mengakhiri karir dengan cara yang tidak santun, pastilah akan menuai hukuman politik dari masyarakat.

Urat malu dan kehormatan memang amat langka ada parlemen. Mereka sama sekali jauh dari keinginan itu. Bagi mereka, menjadi anggota parlemen adalah kebebasan melakukan apapun, mendekati istilah ”serigala” sebagaimana yang dilontarkan oleh Prof. JE Sahetapy.

Sistem politik kita tidak seperti di Amerika, yang jika melakukan asusila, bisa tergusur karena dianggap mempermalukan masa depan partai. Di sini, harus dibangun sistem serupa supaya setiap tindakan harus dipertanggung-jawabkan kepada parpolnya sendiri. Parpol harus menegaskan bahwa tindak tanduk setiap anggotanya akan menentukan hidup matinya parpol tersebut.

Read More......