Tuesday, August 07, 2007

FOKUS Blokade Demokrasi

Demokrasi kita di Indonesia sulit berkembang. Harus diakui. Kita bisa lihat buktinya. Saksikan saja di jalanan, bagaimana aksi demo anarkis sering terjadi, seolah dialog dan diskusi tak lagi berarti. Demikian juga di gedung parlemen. Bukan demokrasi yang berkembang, tetapi transaksi demokrasi. Artinya demokrasi ditukar dengan kepentingan. Sampai-sampai seorang penulis politik menyatakan bahwa di Indonesia yang terjadi adalah skelokrasi, maksudnya penyempitan pembuluh darah demokrasi.

Kaburnya makna demokrasi juga bisa kita saksikan dari dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kerap diketahui bahwa demokrasi harus berdampak pada kehidupan masyarakat. Itu sebabnya demokrasi dipilih. Tetapi sayangnya yang terjadi adalah kehidupan masyarakat yang semakin sulit saja. Harga-harga terus beranjak naik tak menentu, sementara produk ilegal terus saja menghantui masyarakat.

Apa yang sebenarnya terjadi? Menurut kita inilah yang disebut sebagai blokade demokrasi. Artinya demokrasi kita dihambat secara sengaja. Siapa pelakunya? Siapa lagi kalau bukan pelaku politik.

Sungguh ironi memang bahwa mereka yang menjadi pelaku politik justru memasang barikade untuk mencegah berkembangnya demokrasi di negeri ini. maksudnya apa? Lihat saja salah satu contoh kasus mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan ruang gerak bagi hadirnya calon perseorangan.

Pasca keputusan itu, bukannya diapresiasi oleh seluruh elit politik, MK justru dipersalahkan karena mengeluarkan keputusan tersebut. Ironis. Jelas-jelas bahwa dengan membuka ruang bagi calon perseorangan, MK seharusnya membuka mata elit politik bahwa mereka tidak seharusnya melegalkan aturan menghambat calon perseorangan. Alih-alih segera menyusun aturan mengenai hal itu, Ketua DPR misalnya malah menuding MK sebagi penyebab kekacauan politik.

Sebagai pionir dalam pengetahuan terlebuh praktik politik, elit politik seharusnya mendapatkan tempat terhormat berupa privillage dalam demokrasi kita, pasca otoritarianisme. Namun mereka tidak menggunakan kesempatan itu sebagai sebuah upaya membangun mapannya demokrasi kita. Mereka tidak menggunakan kesempatan reformasi sebagai sebuah “milestone” penting untuk bangsa.

Yang terlihat mereka malah ramai-ramai memperkaya diri. Mereka sibuk mencari keuntungan tambahan penghasilan mereka yang sebenarnya sudah sangat memadai. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mengakali berbagai ketentuan, termasuk mendisain ketentuan yang merugikan masyarakat.

Maka sekarang ini yang terlihat adalah kejenuhan publik. Masyarakat melihat bahwa yang diuntungkan oleh demokrasi yang kerannya dibuka sejak 10 tahun yang lalu hanyalah segelintir orang saja, yang kini menyebut diri dan kelompoknya sebagai elit politik. Mereka menggunakan apapun cara untuk berbuat curang, menggunakan hak politiknya untuk menciderai janjinya kepada rakyat, bahkan merugikan rakyat dalam segala tindak tanduk politiknya.

Jadi, ketika upaya membongkar hegemoni itu dibuka oleh MK, mereka meradang dan tidak terima. Patut kita prediksi bahwa apapun caranya, jika aturan mengenai calon perseorangan “melewati”parpol, maka yang terjadi adalah blokade. Mereka akan menggunakan berbagai cara, termasuk cara yang paling curang sekalipun untuk menghambat masuknya calon perseorangan ke dalam kancah persaingan pilkada, apalagi pilpres.

Kini hanya rakyatlah yang menuntut keputusan MK ini di follow-up. Keputusan MK adalah supaya rakyat berdaulat. Karena di blokade, maka hanya rakyatlah yang bisa menekan elit politik untuk menerima dengan lapang dada keputusan tersebut.

Read More......

FOKUS Mutu Pendidikan Tinggi

Pasca pengumuman Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) lalu, masyarakat diperhadapkan pada keputusan yang tidak mudah. Mereka harus memilih menempatkan anaknya di perguruan tinggi yang kini jumlahnya bertabur, luar biasa banyak.

Memang di Indonesia ini perguruan tinggi menjamur. Di mana-mana, atas nama partisipasi masyarakat, pemerintah memberikan ijin pengelolaan yang berlaku selama dua tahun kepada pendidikan tinggi baru, lalu kemudian diperpanjang setiap empat tahun. Memang, ada keuntungan yang amat besar, karena sistem ujian negara tak lagi penting atau dipergunakan oleh pemerintah untuk menambah beban masyarakat.

Tetapi persoalan tidak disana. Yang penting untuk diperbincangkan adalah bagaimana mutu pendidikan tinggi itu? Kalau menggunakan indikator internasional, hanya ada kurang dari 5 perguruan tinggi negeri saja di Indonesia yang masuk jajaran 100 ke bawah. Lainnya, tergusur di barisan posisi ratusan. Di Sumatera Utara, pendidikan tingginya bahkan tak pernah masuk nominasi.

Ada apa? Salah satu persoalan penting yang selalu saja kita minta dibenahi adalah pada mekanisme pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Menurut aturan yang ada, setiap pendidikan tinggi harus memiliki batas minimal staf pengajar, mahasiswa, termasuk sarana dan prasana.

Kenyataannya tidak demikian. Pemerintah justru membiarkan berdirinya pendidikan tinggi yang menjalankan aktifitas di rumah toko, dengan peserta didik yang tidak jelas, dan staf pengajar yang tidak tidak bermutu. Pemerintah menutup mata bahwa pengelola pendidikan banyak yang hanya mendapatkan keuntungan dana dari masyarakat, namun sama sekali minim pertanggung-jawaban terhadap mereka yang memberikan uangnya kepada pihak pendidikan.

Yang paling fatal adalah para pengelola pendidikan umumnya tidak perduli dengan lulusannya. Ukuran keberhasilan sebuah pendidikan tinggi memang adalah sejauh mana alumninya memberikan kontribusinya kepada masyarakat. Namun ini tidak pernah dipikirkan. Pengelola pendidikan tahunya hanya menerima mahasiswa, lalu meluluskan mereka tanpa sedikitpun mengakitkannya dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya setiap tahun lulusan perguruan tinggi memasuki pasar kerja, tetapi dengan status sebagai penganggur.

Inilah yang kita harus berikan masukan kepada masyarakat. Bahwa pendidikan tinggi adalah haknya masyarakat, itu jelas bahkan dijamin oleh UU. Tetapi bahwa pemerintah harus menjalankan regulasi berupa pengawasan secara baik, itu pun tidak boleh dianggap kecil. Pemerintah harus tegas dan jelas dalam menerapkan aturan pendidikan, terlebih dengan adanya UU Sisdiknas.

Kini banyak pendidikan tinggi menempuh jalan pintas dan menganggnya pantas. Untuk menggarap banyak calon mahasiswa, mereka mengiming-imingi berbagai hal, yang terkadang sama sekali amat jauh kaitannya dengan kebutuhan sebuah pendidikan tinggi. Dalam kondisi dimana masyarakat masih belum bisa mengetahui dengan benar dan jelas pendidikan tinggi mana yang baik, maka mereka hanya akan menjadi korban dari promosi sebuah lembaga pendidikan.

Diperlukan advokasi kepada masyarakat. Jika pemerintah tidak berkenan, kita mendorong lembaga lain untuk memberikan kesadaran publik kepada masyarakat mengenai mutu lembaga pendidikan yang ada di masing-masing daerah, termasuk di Sumatera Utara. Pemeringkatan menurut profil dan performance akan menolong masyarakat supaya tidak menyerahkan masa depan generasi berikutnya kepada perguruan tinggi yang tidak bermutu

Read More......