Sunday, December 23, 2007

FOKUS KPK Harapan Baru

KPK baru telah dilantik oleh Presiden. Kini harapan baru diletakkan di pundak para penerus “generasi pertama” KPK yang telah bekerja selama 4 tahun lamanya. Di hadapan KPK baru ini, jalan panjang menyusuri 4 tahun perjalanan pekerjaan terbentang dan memberikan tantangan baru kepada mereka.


KPK kini sudah bukan lagi KPK masa lalu. Dulu KPK didirikan dengan penuh semangat pemberantasan korupsi. Kala itu KPK pun harus menumpang kantor. Bahkan beberapa auditornya harus rela tertunda gajinya. Namun sebagai sebuah lembaga baru yang penuh dengan proses pembelajaran, akhirnya KPK mampu memperlihatkan diri sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang disegani. Dengan mekanisme penuntutan yang tidak mengenal SP3, KPK pun menjebloskan mereka yang tidak pernah tersentuh hukum ke dalam penjara. Semangat dan barangkali kemampuan yang profesional, menyebabkan KPK pertama memang menjejakkan kaki ke tempat yang sangat rawan penyelewengan.

Memang ada skandal tidak sedap manakala seorang staf KPK memeras kliennya. Namun kemudian KPK bisa bangkit karena KPK pun membersihkan dirinya sendiri. Hal itu karena kita beruntung mendapatkan para pemimpin KPK yang masih berkomitmen terhadap pembersihan korupsi.

KPK juga tidak luput dari tudingan lain. KPK dituding sebagai alat politik yang menggunakan isu korupsi sebagai alat bagi kepentingan politik lain. Hal itulah yang membuat KPK sempat kehilangan kepercayaan dari masyarakat. KPK juga sempat dikatakan ”tebang pilih” dalam kasus korupsi.

Tetapi mau tidak mau, KPK memang masih menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam memberantas korupsi. Kejadian korupsi yang semakin lama semakin menumpuk, membuat masyarakat tidak punya pilihan lain daripada mengandalkan dan mengharapkan KPK melakukan terobosoan yang lebih besar lagi.

Karena itulah seleksi KPK baru ini sempat menuai reaksi yang amat besar dari masyarakat, terlebih ketika DPR RI yang menyeleksinya menolak berbagai masukan yang diberikan oleh kelompok masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat memang sebelumnya telah memberikan masukan dan saran, termasuk menyoroti kinerja mereka yang menjadi calon. Bukan hanya itu, disoroti pula mengenai adanya barganing politik, mengingat di beberapa pertemuan antara parpol seolah terjadi kesepakatan untuk menghasilkan komposisi KPK sekarang. Namun keputusan DPR RI tetap menghasilkan anggota KPK sebagaimana kemudian telah dilantik oleh Presiden. Publik, tetap harap-harap cemas mengenai hal ini.

Apa boleh buat, KPK periode berikutnya ini harus memperlihatkan kepada publik bahwa mereka tidak sebagaimana diduga awal. Di depan mata mereka harus menuntaskan berbagai isu penting, yang sedang menghangat diantaranya adalah kasus aliran dana BI yang diduga melibatkan parlemen. Beranikah KPK ini, tentu saja tergantung kepada nyali mereka.

Di atas kertas, sebagaimana sering disampaikan oleh pimpinan KPK lama, KPK baru ini sudah tinggal tancap gas. Seluruh infrastruktur yang ada di sana telah diletakkan oleh ”angkatan pertamanya”. Semua kemampuan investigasi, bahkan sampai intelijen termasuk penyadapan dan berbagai elemen lainnya, telah berhasil dibangun dengan amat baik oleh KPK lama. Maka sesungguhnya tidak alasan bagi KPK baru ini untuk tidak bekerja keras. Mereka sudah memiliki misil tempur yang tinggal dimuntahkan menuju kepada sasarannya.

Perlu kita ingatkan bahwa korupsi sudah menjadi sorotan publik. Masyarakat tentunya tidak ingin melihat KPK yang sudah susah payah dibangun ini, hanya menjadi alat komoditas politik. Bagaimanapun masyarakat yang menanti, bukan hanya menunggu tetapi juga akan menuntut

Read More......

FOKUS Kesetiakawanan Nasional

Peringatan HKSN dilaksanakan di Medan. Di sini, secara langsung, Presiden dikabarkan akan mencanangkan sejumlah aktifitas yang mengingatkan kita kembali akan pentingnya kesetiakawanan nasional. Tetapi apa sesungguhnya makna yang bisa diharapkan dari HKSN?

Berbicara soal kesetiakawanan memang tidak dapat dilepaskan dari konteks ke-Indonesiaan sekarang ini. Kita tahu bahwa ada sejumlah keprihatinan mendalam atas berbagai persoalan bangsa yang terjadi sampai dengan sekarang.

Salah satu diantaranya adalah merosotnya kehidupan masyarakat secara umum. Hampir 20 persen dari penduduk Indonesia sudah tak lagi bisa hidup dengan keadaan yang biasa. Mereka adalah bagian dari penduduk yang tergolong miskin. Beberapa di antaranya hidup hanya dengan mengandalkan kehidupan sehari saja, dan mengharapkan adanya jaminan esok hari.

Sayangnya, di sisi lain, ada sejumlah pihak di Indonesia yang ternyata amat terjamin hidupnya karena kekayaannya. Majalah Forbes misalnya, menempatkan Menko Kesra kita yang notabene adalah pengusaha sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan yang ribuan kali lipat dari gaji buruh yang beberapa waktu lalu memperjuangkan haknya dan menuntut upah minimum yang hanya Rp. 1,8 juta saja.

Fakta munculnya ketimpangan demi ketimpangan di negeri inilah yang kemudian menjadi bahan renungan ulang kita. Sudahkah kita memaknai kesetiakawanan dengan baik? Sudahkah kita merasa empati satu terhadap yang lain?

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Maarif dalam gelar deklarasi sebuah parpol baru, menyatakan bahwa bangsa ini bukan tidak punya konsep. Dulu pemerintah punya yang namanya triple down effect. Tetapi nyatanya mereka yang berada di tengah-tengah telah merampok haknya masyarakat. Secara agak sinistik, ia menyebut bahwa banyak pemimpin sekarang adalah maling dan garong.

Memang tidak berlebihan jika kita katakan bahwa dibalik kemiskinan yang menyeruak di tengah-tengah masyarakat, amat kontras dengan adanya kegemerlapan sekelompok masyarakat di sisi lainnya. Dan ini menurut dugaan kita justru karena dari atas sendiri, tidak ada niat untuk berbagai dan berkorban.

Niat untuk berbagai kepada sesama tentunya bukan sebuah keinginan yang muncul begitu saja. Ada semangat yang terlepas dari sifat charity, tetapi lebih kepada keinginan untuk memberikan hak pihak lain. Bukan memberikan sebagai sebuah belas kasihan yang penting, tetapi menyadari bahwa mereka yang tidak punya apa-apa, adalah bagian dari diri kita sendiri.

Para pengamat dan penemu misalnya menyatakan bahwa mereka yang miskin bukan miskin dari dirinya sendiri, melainkan karena tiadanya akses. Dan dalam lingkaran setan kemiskinan itu, idiom bahwa yang miskin tetap miskin dan yang kaya makin kaya adalah benar adanya, termasuk di Indonesia. Yang tidak mampu, bisa maju kalau kepadanya diberikan akses. Hanya mereka yang punya biasanya tidak mau memberikan hal itu.

Kenyataan lain muncul dari ketidakmampuan pemerintah memfasilitasi semangat kesetiakawanan ini. Berbagai contoh dimana pemerintah tidak memberikan teladan yang baik apa artinya berkorban memperlihatkan hal itu. Kasus lumpur Lapindo, yang mengabaikan hak mereka yang menjadi korban adalah eksperimentasi nasional betapa kita selalu saja abai memperhatikan yang lain.

Peringatan HKSN seharusnya tidak berhenti begitu saja sebagai sebuah seremoni. Di dalamnya ada keinginan untuk membawa sesama sebangsa setanah air sebagai tanggung-jawab bersama, siapapun itu, sebagai bagian dari warga negara. Itulah makna yang utuh mengenai hal itu. Lain tidak

Read More......

FOKUS Erosi Kepercayaan

Masyarakat dilanda oleh sebuah fenomena sosial yang patut kita sebut sebagai erosi kepercayaan. Istilah ini kita sebut untuk mengingatkan para pemimpin dan elit bahwa yang namanya jabatan dan kedudukan adalah sebuah tanggung-jawab sosial. Kita kerap menyebutnya sebagai noblese oblige. Di balik kekuasaan, ada tanggung-jawab. Di balik kedudukan, ada tuntutan tertentu.

Bagaimana tidak? Setiap kali kita mendengar ada pejabat baru, pemimpin baru, elit baru, selalu saja kita awalnya punya harapan baru juga. Kita menyangka bahwa yang namanya perubahan datang dengan adanya mereka yang memberikan diri untuk melayani kita.

Tetapi nyatanya? Di banyak daerah, terjadi berbagai ketidakpuasan. Bukan hanya menyangkut mereka yang berada di daerah, tetapi juga menyangkut mereka yang berada pada level nasional. Mereka yang kita harap bisa melakukan sesuatu justru tidak bekerja dengan baik. Di depan layar kaca dan media, kita ingin para pemimpin kita bisa berbicara dengan tegas, cepat dan jelas. Namun nyatanya tidak. Mereka justru memicu terciptanya penyakit bernama erosi kepercayaan tadi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa erosi kepercayaan adalah penyakit masyarakat yang dipicu oleh para pemimpin di negeri ini. Sebagaimana sering diungkapkan, termasuk dalam sebuah kata bijak, “where there is no vision, the people perish”, ungkapan ini mengena dengan kondisi di Indonesia kini. Bagaimana negara ini bisa maju rakyatnya jika para pemimpinnya tidak tahu hendak membawa kemana negeri ini? Maka tidak ada tujuan lain selain menjadikan masyarakatnya sendiri tersiksa dan menderita.

Bahwa rezim bisa menciptakan penderitaan kepada masyarakat memang amat kontras terjadi di negeri ini. Di satu sisi, dapat dianggap bahwa dulu Orde Baru memberikan kesengsaraan secara sengaja dan kasat mata terhadap masyarakat. Kebebasan dicabut. Berbicara dihambat. Ekspresi politik dikekang. Semuanya dihambat. Dan lain sebagainya.

Tetapi bandingkan kini. Kebebasan memang tidak dihambat, tetapi buat apa berbicara banyak kalau mereka yang dijadikan tujuan hanya diam saja? Buat apa berbicara kalau pemerintah yang seharusnya mendengar, justru hanya diam seribu basa ketika menyaksikan dengan teganya penderitaan masyarakanya sendiri. Ekspresi politik yang bebas buat apa kalau akhirnya mereka yang membentuk parpol hanya mencari uang dan kedudukan untuk memperkaya diri sendiri?

Inilah semua sebab dari yang kita sebut tadi sebagai erosi kepercayaan. Melihat semua pengalaman yang sama sekali tidak mengenakkan itu, rakyat akhirnya kebanyakan sudah tidak lagi memiliki kepercayaan bahwa mereka bisa mengandalkan penguasa. Mereka sudah tidak lagi percaya bahwa mereka yang punya kekuasaan bisa memberikan solusi. Jadilah, hukum ala rakyat pun berlaku sebagaimana banyak terjadi. Salah satu kasus misalnya perlawanan masyarakat atas eksekusi tanah yang berbuntut kematian di Jeneponto.

Memang kita harus akui bahwa ada banyak masalah di negeri ini. Tetapi apakah dengan demikian seharusnya penguasa bisa tidur dan beristrirahat lalu mencipta lagu? Buat apa lagu banyak tercipta tetapi hanya bisa meninabobokkan masyarakat yang kemudian bangun di pagi hari dengan perut keroncongan?
Pemerintah dan mereka yang berkuasa serta menyebut diri sebagai pemimpin harus mengerti bahwa menjadi pemangku kuasa atas nama rakyat bukanlah berleha-leha. Rakyat mencari pemimpin yang sudi bekerja keras dan membanting tulang atas nama kepentingan dan masa depan masyarakat sendiri. Itulah obat dari erosi kepercayaan masyarakat yan kini semakin mengharu biru itu

Read More......

Tuesday, August 07, 2007

FOKUS Blokade Demokrasi

Demokrasi kita di Indonesia sulit berkembang. Harus diakui. Kita bisa lihat buktinya. Saksikan saja di jalanan, bagaimana aksi demo anarkis sering terjadi, seolah dialog dan diskusi tak lagi berarti. Demikian juga di gedung parlemen. Bukan demokrasi yang berkembang, tetapi transaksi demokrasi. Artinya demokrasi ditukar dengan kepentingan. Sampai-sampai seorang penulis politik menyatakan bahwa di Indonesia yang terjadi adalah skelokrasi, maksudnya penyempitan pembuluh darah demokrasi.

Kaburnya makna demokrasi juga bisa kita saksikan dari dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kerap diketahui bahwa demokrasi harus berdampak pada kehidupan masyarakat. Itu sebabnya demokrasi dipilih. Tetapi sayangnya yang terjadi adalah kehidupan masyarakat yang semakin sulit saja. Harga-harga terus beranjak naik tak menentu, sementara produk ilegal terus saja menghantui masyarakat.

Apa yang sebenarnya terjadi? Menurut kita inilah yang disebut sebagai blokade demokrasi. Artinya demokrasi kita dihambat secara sengaja. Siapa pelakunya? Siapa lagi kalau bukan pelaku politik.

Sungguh ironi memang bahwa mereka yang menjadi pelaku politik justru memasang barikade untuk mencegah berkembangnya demokrasi di negeri ini. maksudnya apa? Lihat saja salah satu contoh kasus mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan ruang gerak bagi hadirnya calon perseorangan.

Pasca keputusan itu, bukannya diapresiasi oleh seluruh elit politik, MK justru dipersalahkan karena mengeluarkan keputusan tersebut. Ironis. Jelas-jelas bahwa dengan membuka ruang bagi calon perseorangan, MK seharusnya membuka mata elit politik bahwa mereka tidak seharusnya melegalkan aturan menghambat calon perseorangan. Alih-alih segera menyusun aturan mengenai hal itu, Ketua DPR misalnya malah menuding MK sebagi penyebab kekacauan politik.

Sebagai pionir dalam pengetahuan terlebuh praktik politik, elit politik seharusnya mendapatkan tempat terhormat berupa privillage dalam demokrasi kita, pasca otoritarianisme. Namun mereka tidak menggunakan kesempatan itu sebagai sebuah upaya membangun mapannya demokrasi kita. Mereka tidak menggunakan kesempatan reformasi sebagai sebuah “milestone” penting untuk bangsa.

Yang terlihat mereka malah ramai-ramai memperkaya diri. Mereka sibuk mencari keuntungan tambahan penghasilan mereka yang sebenarnya sudah sangat memadai. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mengakali berbagai ketentuan, termasuk mendisain ketentuan yang merugikan masyarakat.

Maka sekarang ini yang terlihat adalah kejenuhan publik. Masyarakat melihat bahwa yang diuntungkan oleh demokrasi yang kerannya dibuka sejak 10 tahun yang lalu hanyalah segelintir orang saja, yang kini menyebut diri dan kelompoknya sebagai elit politik. Mereka menggunakan apapun cara untuk berbuat curang, menggunakan hak politiknya untuk menciderai janjinya kepada rakyat, bahkan merugikan rakyat dalam segala tindak tanduk politiknya.

Jadi, ketika upaya membongkar hegemoni itu dibuka oleh MK, mereka meradang dan tidak terima. Patut kita prediksi bahwa apapun caranya, jika aturan mengenai calon perseorangan “melewati”parpol, maka yang terjadi adalah blokade. Mereka akan menggunakan berbagai cara, termasuk cara yang paling curang sekalipun untuk menghambat masuknya calon perseorangan ke dalam kancah persaingan pilkada, apalagi pilpres.

Kini hanya rakyatlah yang menuntut keputusan MK ini di follow-up. Keputusan MK adalah supaya rakyat berdaulat. Karena di blokade, maka hanya rakyatlah yang bisa menekan elit politik untuk menerima dengan lapang dada keputusan tersebut.

Read More......

FOKUS Mutu Pendidikan Tinggi

Pasca pengumuman Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) lalu, masyarakat diperhadapkan pada keputusan yang tidak mudah. Mereka harus memilih menempatkan anaknya di perguruan tinggi yang kini jumlahnya bertabur, luar biasa banyak.

Memang di Indonesia ini perguruan tinggi menjamur. Di mana-mana, atas nama partisipasi masyarakat, pemerintah memberikan ijin pengelolaan yang berlaku selama dua tahun kepada pendidikan tinggi baru, lalu kemudian diperpanjang setiap empat tahun. Memang, ada keuntungan yang amat besar, karena sistem ujian negara tak lagi penting atau dipergunakan oleh pemerintah untuk menambah beban masyarakat.

Tetapi persoalan tidak disana. Yang penting untuk diperbincangkan adalah bagaimana mutu pendidikan tinggi itu? Kalau menggunakan indikator internasional, hanya ada kurang dari 5 perguruan tinggi negeri saja di Indonesia yang masuk jajaran 100 ke bawah. Lainnya, tergusur di barisan posisi ratusan. Di Sumatera Utara, pendidikan tingginya bahkan tak pernah masuk nominasi.

Ada apa? Salah satu persoalan penting yang selalu saja kita minta dibenahi adalah pada mekanisme pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Menurut aturan yang ada, setiap pendidikan tinggi harus memiliki batas minimal staf pengajar, mahasiswa, termasuk sarana dan prasana.

Kenyataannya tidak demikian. Pemerintah justru membiarkan berdirinya pendidikan tinggi yang menjalankan aktifitas di rumah toko, dengan peserta didik yang tidak jelas, dan staf pengajar yang tidak tidak bermutu. Pemerintah menutup mata bahwa pengelola pendidikan banyak yang hanya mendapatkan keuntungan dana dari masyarakat, namun sama sekali minim pertanggung-jawaban terhadap mereka yang memberikan uangnya kepada pihak pendidikan.

Yang paling fatal adalah para pengelola pendidikan umumnya tidak perduli dengan lulusannya. Ukuran keberhasilan sebuah pendidikan tinggi memang adalah sejauh mana alumninya memberikan kontribusinya kepada masyarakat. Namun ini tidak pernah dipikirkan. Pengelola pendidikan tahunya hanya menerima mahasiswa, lalu meluluskan mereka tanpa sedikitpun mengakitkannya dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya setiap tahun lulusan perguruan tinggi memasuki pasar kerja, tetapi dengan status sebagai penganggur.

Inilah yang kita harus berikan masukan kepada masyarakat. Bahwa pendidikan tinggi adalah haknya masyarakat, itu jelas bahkan dijamin oleh UU. Tetapi bahwa pemerintah harus menjalankan regulasi berupa pengawasan secara baik, itu pun tidak boleh dianggap kecil. Pemerintah harus tegas dan jelas dalam menerapkan aturan pendidikan, terlebih dengan adanya UU Sisdiknas.

Kini banyak pendidikan tinggi menempuh jalan pintas dan menganggnya pantas. Untuk menggarap banyak calon mahasiswa, mereka mengiming-imingi berbagai hal, yang terkadang sama sekali amat jauh kaitannya dengan kebutuhan sebuah pendidikan tinggi. Dalam kondisi dimana masyarakat masih belum bisa mengetahui dengan benar dan jelas pendidikan tinggi mana yang baik, maka mereka hanya akan menjadi korban dari promosi sebuah lembaga pendidikan.

Diperlukan advokasi kepada masyarakat. Jika pemerintah tidak berkenan, kita mendorong lembaga lain untuk memberikan kesadaran publik kepada masyarakat mengenai mutu lembaga pendidikan yang ada di masing-masing daerah, termasuk di Sumatera Utara. Pemeringkatan menurut profil dan performance akan menolong masyarakat supaya tidak menyerahkan masa depan generasi berikutnya kepada perguruan tinggi yang tidak bermutu

Read More......

Friday, May 25, 2007

FOKUS UN, Memang Perlu Dipersiapkan Matang

Ruang pengadilan memang masih berbicara keadilan. Dalam sidang gugatan yang diajukan oleh mereka yang merasa menjadi korban Ujian Nasional tahun lalu, pengadilan memutuskan bahwa pemerintah telah lalai dalam mempersiapkan UN sehingga mengakibatkan hak asasi penggugat atas pendidikan yang layak tidak terpenuhi.

Kemenangan ini jelas sebuah langkah maju. Warga negara Indonesia sendiri telah memberikan bukti bahwa mereka hanyalah menjadi korban dari sebuah kebijakan bernama UN.

Lagi-lagi kita membuktikan bahwa UN adalah sebuah pelanggaran hukum. Dalam kasus yang mencuat belakangan ini, berdasarkan laporan Komunitas Air Mata Guru di Medan, kecurangan UN justru telah menjadi bukti bahwa asumsi pemerintah mengenai peningkatan prestasi melalui UN hanyalah utopis semata. UN telah menjadikan pendidikan tercerabut dari akarnya yang sebenarnya.

Kebijakan UN memang bisa kita nilai sebagai kebijakan yang salah kaprah. Dengan kebijakan itu seluruh lembaga pendidikan di Indonesia, dimana pun dan pada jenjang apapun dianggap memiliki awal yang sama. Padahal sejatinya tidak demikian.

Pemerintah seolah menutup mata dari fakta bahwa pendidikan kita masih penuh dengan carut marut. Yayasan Nurani Dunia misalnya pernah menunjukkan fakta kerusakan bangunan sekolah di Jawa Barat, sebuah provinsi yang begitu dengan pemerintah pusat. Tetapi nyatanya kerusakan itu seolah dibiarkan.

Pemerintah selalu punya dalih. Pemerintah menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat membiayai pembangunan sekolah, pengadaan guru dan lain sebagainya. Padahal untuk pekerjaan tersebut, pemerintah telah mendapatkan amanah dari konstitusi kita sendiri mengenai alokasi anggaran sebesar 20 persen dari APBN.

”Keberanian” pemerintah melanggar sendiri harapan yang telah disampaikan oleh penyusun konstitusi jelas merupakan sebuah pelanggaran. Maka jika diurutkan ke belakang, kasus yang memenangkan gugatan warga negara ini sebenarnya sudah bisa ditebak memang harus mengalahkan pemerintah. Pengadilan oleh Mahkamah Konstitusi telah memenangkan gugatan PGRI yang meminta pemerintah memperhatikan dengan benar bagaimana upaya mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN.

Memang kita harus akui bahwa pemerintah kesulitan dalam membangun pendidikan kita. Tetapi solusi hal itu bukan tidak pernah ada. Pemerintah harus bercermin dari apa yang dengan usaha sendiri dilakukan oleh masyarakat.

Yayasan Sampoerna misalnya telah mengalokasikan diri bertahun-tahun yang lalu untuk memberikan beasiswa kepada para siswa dan guru yang tidak mampu untuk bersekolah dan meneruskan pendidikannya. Melalui dana yang disisihkan oleh perusahaannya, pemilik perusahaan tersebut memberikan bantuan kepada sekolah yang tidak mampu.

Pada level yang lebih praktis lagi, kelemahan pemerintah sesungguhnya telah ditutupi oleh berbagai elemen masyarakat yang membuka sekolah, lembaga pendidikan sampai universitas sekalipin. Jadi sesungguhnya sungguh alangkah banyaknya potensi masyarakat yang telah menggantikan tugas pemerintah.

Dengan contoh itu kita mengerti bahwa masalah pendidikan seharusnya benar-benar serius disikapi oleh pemerintah. Kebijakan UN benar-benar harus ditinjau ulang karena secara hukum pemerintah telah kehilangan posisi hukum untuk mempertahankannya. Tidak harus demi sebuah kebijakan yang menelan anggaran miliaran rupiah itu kita terus menerus berdebat. Hukum telah memutuskan hal itu dan pemerintah berkewajiban melaksanakannya

Read More......

FOKUS Premanisme, Berantas Tuntas

Untuk urusan premanisme, aparat Kepolisian memang harus terus bekerja keras. Aksi premanisme di masyarakat telah menyebabkan keresahan dan ketidaktenangan warga masyarakat. Karena itu sejatinya para preman harus dibekuk dan diberantas tuntas.

Aksi bergaya preman itulah yang terjadi di Jakarta. Dua organisasi massa bentrokan akibat berebut lahan parkir. Karenanya, terjadi perkelahian dan menewaskan dua orang. Kematian sia-sia akibat tindakan premanisme itu kemudian memicu persoalan karena yang merasa dirugikan kemudian melakukan tindakan anarkis. Mereka memancing kelompok lawannya dengan melakukan aksi provokasi. Spontan, aksi ini kemudian dihadang dengan keras oleh polisi. Mereka yang membawa senjata tajam dan menganggu keamanan warga masyarakat kemudian dibubarkan secara paksa oleh polisi.

Kasus premanisme di tengah masyarakat memang bervariasi. Baik dari segi tindakan maupun dari sudut pandang namanya saja, jelas itu merupakan sebuah gangguang ketertiban umum. Dan tugas polisilah untuk menertibkan hal itu.

Entah bagaimana awalnya muncul, tetapi premanisme di negeri ini biasanya berlindung di balik nama organisasi massa. Mereka mendirikan organisasi dengan berbagai bentuk dan wujud. Dengan menggunakan nama itu mereka melakukan tindakan pemerasan termasuk kepada warga masyarakat yang tidak tahu menahu.

Salah satu aksi yang pernah marak dan secara diam-diam masih terus terjadi adalah tindakan melakukan kapling atas berbagai fasilitas publik. Ada yang membagi lahan parkir, pasar, pusat perbelanjaan, perkantoran, sampai dengan fasilitas pemerintah. Semuanya awalnya mereka lakukan atas dasar pengamanan.

Namun semakin terlihat bahwa mereka melakukannya tidak dengan tulus. Beberapa di antaranya bahkan melakukan pengamanan dengan melakukan pengrusakan terlebih dahulu, lalu kemudian menawarkan jasa seolah tulus. Padahal di baliknya kita tahu bahwa aksi itu sama sekali jauh dari maksud menolong.

Pada gilirannya, aksi premanisme memang benar-benar meresahkan masyarakat. Dengan dalih apapun itu, perilaku ini telah mengganggu sistem kemasyarakatan sehingga tidak lagi berdasarkan rekatan atas dasar solidaritas tetapi dengan membudayakan kekerasan.
Kasus bentrokan antar kelompok adalah puncak dari perseteruan tidak sehat yang tercipta karena ormas yang ada telah melupakan makna dari keberadaan mereka. Mereka yang seharusnya bergerak untuk memberdayakan masyarakat justru harus menjadikan diri sebagai alat pencipta kekerasan di masyarakat.

Di Sumatera Utara, beruntung bahwa baik Kapolda Sumut maupun Kapoltabes telah dengan sungguh-sungguh menggaruk para preman yang berlindung di balik apapun itu ormasnya. Kita sangat tenang karena perburuan terhadap para preman telah benar-benar melumpuhkan nyali mereka yang tadinya amat berkuasa kini menjadi sangats ketakutan. Kita mengucapkan rasa bangga karena polisi telah benar-benar menunjukkan kekuatan dan kesungguhannya memberantas premanisme.

Namun perlu langkah yang lebih luas lagi. Premanisme yang berlindung di bawah payung ormas harus ditertibkan. Seiring dengan itu maka diperlukan pembangunan moral dan budaya bangsa sehingga yang dihasilkan adalah ketertiban yang berasal dari tanggung-jawab bersama. Dan ini memerlukan kerja keras dan kesungguhan dari kita semua. Penciptaan ketertiban dan penegakan hukum oleh aparat negara niscaya akan mengindarkan bangsa kita dari cara-cara penertiban ala ormas yang bergaya preman. Kita mendukung perburuan preman yang dirintis di Sumatera Utara dan semoga bisa berpengaruh ke seluruh wilayah lain di negeri ini

Read More......

FOKUS Benahi Birokrasi Kita

Koreksi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai pengelolaan aparatur negara dan system pemerintahan secara keseluruhan, patut direnungkan. Taufiq Effendi menyatakan bahwa sistem kita memang aneh. Bagaimana mungkin bahwa pemerintah yang mengangkat para menterinya sebagai pembantu tidak dapat melakukan koreksi kepada para gubernur dan bupati hanya karena mereka dipilih secara langsung.

Andaikan itu bersifat keluhan maka jelas ini merupakan sebuah koreksi atas lambannya perjalanan roda pemerintahan selama ini. Sebagaimana kita ketahui pemerintah dituding sangat lamban bertindak dalam banyak hal. Bahkan pemerintah sering datang setelah masalah diselesaikan oleh masyarakat sendiri.

Ditengarai, hal ini disebabkan karena sistem yang ada. Dan memang sebagaimana disampaikan sendiri oleh Men-PAN, pemerintahan kita sering berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya keterpaduan dan kesatuan gerak langkah. Akibatnya yang terjadi adalah kekacauan. Di permukaan, semuanya seolah bekerja padahal tidak.

Tidak usah jauh-jauh. Pada kasus yang sedang menghangat belakangan ini, bagaimana mungkin sertifikat tanah warga masyarakat Meruya bisa dikeluarkan, sementara tanah tersebut sedang berperkara? Ini adalah sebuah logika yang sangat sulit dimengerti oleh kita semua.

Demikian juga dengan berbagai kasus-kasus tanah, sengketa, perdebatan bahkan di dalam banyak kasus, menjadi sumber dari persoalan yang mengemuka secara politik. Lihat saja kasus pengumpulan dana non-budgeter. Pemerintah sudah menginstruksikan bahwa dana negara harus dimasukkan ke dalam dana APBN, apapun itu bentuknya. Melalui rekening negara yaitu Menteri Keuangan jelas-jelas pemerintah menyakan hal itu kepada parlemen.

Tetapi kenyataannya tidak demikian. Pemerintah sendiri seolah tak sanggup menutup ribuan rekening yang dibuka oleh lembaga negara sendiri. Rekening-rekening itu berpotensi menjadi sumber korupsi yang dilakukan sendiri oleh para penyelenggara negara. Maka secara tidak langsung, korupsi memang sudah disuburkan pula oleh negara dalam hal ini pemerintah sendiri.

Fakta lain adalah adanya peraturan yang tumpang tinduh antar instansi bahkan antar daerah. Kasus pungutan yang bersifat retribusi yang kemudian ditimpa oleh pungutan pajak dan kemudian disusul oleh pajak-pajak lainnya, menyebabkan para pengusaha harus gulung tikar karena tak kuat menahan tekanan. Mereka harus dibebani oleh puluhan permintaan sementara iklim yang kondusif untuk berusaha sering sekali tidak mereka dapatkan.

Pemerintah memang kelihatannya belum melakukan apa-apa atas ”kekacauan” birokrasi yang terjadi ini. Pemerintah hanya berdiam diri saja. Pada tataran manajerial, Presiden seolah menikmati terjadinya hal ini. Presiden sering melakukan kegiatan yang berupa single fighter. Masyarakat kemudian merasa bahwa justru Presiden sendiri tidak memberdayakan para pembantunya.

Inilah yang menjadi tantangan pemerintahan kita. Lembaga negara, departemen, instansi, badan dan berbagai unit pemerintahan berada pada posisi masing-masing tetapi sulit untuk bisa bekerjasama. Masing-masing terjebak dalam ego sektoral karena memiliki kepentingan masing-masing.

Sampai kapan pun kita akan sulit mendapatkan kualitas hasil pemerintah yang bermutu, baik itu berupa program, kebijakan maupun solusi atas masalah karena semuanya dibuat secara parsial. Kita harus mengubah maintenance atas hal ini sehingga semuanya bisa menjadi satu kesatuan yang utuh. Birokrasi dan sistem yang berada di dalamnya adalah ujung tombak dalam rangka memberdayakan masyarakat dan melayani masyarakat

Read More......

FOKUS Permainan Politik Interpelasi

Hak interpelasi DPR terhadap sikap pemerintah yang mendukung resolusi pemberian sanksi terhadap Iran dalam kasus Iran semakin serius disikapi. Untuk pertama kalinya, DPR berhasil mendukung secara penuh hak interpelasi sampai dengan tahapan sekarang ini. Sebelumnya, DPR selalu saja berhenti ketika mengusung interpelasi karena para pengusulnya balik badan. Tercatat interpelasi soal impor beras, kenaikan harga BBM, adalah catatan betapa hak interpelasi telah dimainkan secara tidak konsisten oleh parpol di parlemen.

Kini hak interpelasi sudah bergulir. Sejauh ini, hanya ada 2 fraksi yang menolak pengajuan usulan ini secara resmi, yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PPP. Selebihnya, mendukung dengan berbagai catatan.

Kelihatannya, sikap pemerintah memang sangat ditunggu. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan wawancara yang disampaikan oleh berbagai anggota pengusulnya, terlihat benar bahwa ada semacam ketidakpuasan yang meluas di antara para anggota DPR itu.

Terlihat sekali bahwa usulan interpelasi ini sebenarnya merupakan upaya untuk menaikkan posisi tawar DPR terhadap Presiden yang mewakili pemerintah. Sejak pemerintah semakin lebih kuat dan hampir-hampir tanpa koreksi, jelas saja para wakil rakyat ini kelihatan warnanya.

Mereka tidak dapat memperlihatkan diri sebagai wakil rakyat yang kritis dan minimal bisa berbicara dalam wacana-wacana taktis yang bisa menaikkan pamor. Menuju Pemilu 2009, jelas mereka butuh itu. Dan jika hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa, maka para wakil rakyat ini bisa kehilangan dukungan dari konstituennya.

Maka wajar saja dalam membentuk dukungan dan usulan terhadap interpelasi, terjadi koalisi lintas partai. Partai Golkar yang selama ini mendukung program pemerintah karena Wakil Presiden berasal dari partai berlambang beringin ini, malah lebih lantang bersuara. Demikian juga dengan anggota DPR lain dari fraksi lain.

Kita kini menyaksikan bahwa hak interpelasi yang kini disampaikan sebenarnya hanya merupakan sebuah permainan politik baru bagi anggota DPR. Selama ini mereka memang kehilangan momentum-momentum politik karena garisan partai sudah harus mereka ikuti. Tetapi tidak kali ini ketika masa depan parpol dan anggota DPR itu sendiri harus benar-benar diperjuangkan.

Kelihatan jelas memang bahwa pemerintah kita sangat kuat dalam wacana. Popularitas pemerintah meski menurun belakangan ini, sangat jauh mengalahkan mereka yang duduk di parlemen meski dulunya sangat vokal. Kita tahu inilah kelemahan koalitas sempurna yang dibangun oleh Presiden Yudhoyono. Ruginya, parpol dan fraksi sebagai perpanjangan tangannya di parlemen akhirnya kehilangan ”gigi” untuk bisa berbicara atas nama konstituennya. Maka kini yang menikmati keuntungan atas hal-hal ini adalah pemerintah dan bukannya parlemen.

Apakah hak interpelasi ini berguna bagi masyarakat? Jelas tidak. kalau dilihat dari sudut pandang topiknya saja, hal ini amat jauh panggang dari api. Masalah masyarakat adalah persoalan kemiskinan dan pengangguran sementara nuklir Iran sama sekali tidak menyentuh hal demikian. Maka sekalipun pemerintah berhasil diminta menarik dukungannya, hal itu sama sekali tidak menolong masyarakat keluar dari krisis. Resolusi terhadap hak interpelasi ini sudah bisa ditebak. Masyarakat sama sekali tidak akan mendapatkan kelegaan baru, misalnya. Permainan politik yang kurang begitu enak dilihat dengan jelas sedang terpampang di hadapan kita kini

Read More......

FOKUS Hukum Kita Belum Berwibawa

Persoalan hokum mencuat beberapa pekan ini. Salah satunya dalam kasus yang melibatkan puluhan hektar tanah masyarakat di Kecamatan Meruya Selatan, Jakarta. Kasus yang sempat menghebohkan seluruh masyarakat itu untuk sementara berlangsung adem karena belakangan PN Jakarta Barat menyatakan tidak akan melakukan eksekusi. Meski demikian, PT Portanigra, perusahaan yang sempat dimenangkan oleh MA menyatakan bahwa masyarakat harus siap melepas haknya atas tanah kalau proses hukum di pengadilan memenangkan pihak perusahaan.

Kasus ini menjadi sebuah perhatian kita di tengah carut marutnya hukum nasional kita. Harus kita akui, hukum belumlah menjadi panglima di tengah-tengah tata tertib hubungan di tengah masyarakat maupun dalam bernegara.

Salah satu sebab yang menonjol adalah bahwa hukum masih dianggap hanya sebagai alat kekuasaan. Hukum dijadikan sebagai instrumen yang menghukum mereka yang berhadapan dengan penguasa. Bahkan terkadang, mereka yang berkuasa, baik karena membeli hukum maupun yang karena kekuasaannya menyandang status sebagai hamba hukum, justru mempermainkan hukum tadi.

Dalam kasus sengketa tanah di Meruya tadi misalnya, rakyat telah diabaikan hak-haknya atas tanah karena hukum tidak berpihak pada mereka. Secara faktual, sertifikat tanah masyarakat dianggap tidak sah, padahal yang mengeluarkan sertifikat tersebut adalah negara. Dan negara adalah pemegang kedaulatan tertinggi atas penerapan hukum. Nyatanya, negara justru telah bertindak tidak adil.

Menjadikan hukum tergantung kepada preverensi dan vested interested, tak ayal telah menyeret negara kita ke dalam kekacauan psikologis. Masyarakat sudah tidak lagi merasa bahwa mereka akan dibela haknya manakala memiliki masalah dengan pihak lain atau bahkan dengan negara sekalipun. Masyarakat merasa bahwa mereka akan selalu kalah, bukan karena memang demikian adanya, tetapi karena mereka tidak berhubungan dengan kekuasaan.

Di sinilah kemudian muncul masalah yang potensial mengganggu kita. Karena masyarakat sudah tidak menganggap bahwa hukum adalah sumber tertib dalam bernegara dan bermasyarakat, maka masyarakat menggunakan dirinya sendiri sebagai hukum. Jadilah, aksi main hukum dan pelanggaran dilakukan secara terbuka.

Di Surabaya misalnya, warga masyarakat tanpa segan pada aparat hukum melakukan pemblokiran jalan tol karena tuntutan mereka tidak dipenuhi. Demikian juga dengan warga Meruya, mereka menutup semua akses masuk ke wilayah mereka karena mencurigai datangnya aparat yang akan mengeksekusi tanah mereka.

Tindakan demikian jelas adalah pelanggaran hukum, yang bersumber dari pelanggaran hukum yang terjadi sebelumnya. Masyarakat melihat bahwa karena mereka sudah dijadikan korban dan telah pula dilanggar haknya sebagai warga negara oleh aparat negara sendiri, maka tidak ada jalan lain mereka pun turut meramaikan aksi melanggar hukum tersebut. Masyarakat melihat dengan mata telanjang bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka sementara bagi para pejabat, hukum justru jauh dari dilaksanakan. Maka terjadilah aksi main hukum sendiri tadi oleh masyarakat.

Secara umum, inilah yang menjadi kekuatiran kita. Kita kuatir bahwa hukum sudah tidak berdaya lagi. Padahal dengan adanya hukum, masa depan sebuah negara akan semakin lebih baik. Hukum yang tertib akan menciptakan masyarakat yang aman. Itu adalah sebuah hukum besi yang berlaku di manapun. Maka adalah tantangan bagi kita semua untuk menciptakan hukum yang berwibawa dan adil bagi semua, siapapun itu, tanpa pilihan apapun

Read More......

FOKUS Waspada Gelombang Baru Flu Burung

Kasus flu burung kembali muncul ke permukaan di Sumatera Utara ini. Hal ini dipicu oleh ditemukannya 2 kasus baru di Provinsi yang pernah mengalami Kejadian Luar Biasa penyakit yang belum ada obatnya ini pada tahun 2006.

Kasus pertama muncul sebagai kasus import. Penderitanya merupakan pasien yang berasal dari Pekanbaru, Riau. Sayangnya, penderitanya baru didiagonosis setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Kasus kedua justru merupakan kasus yang berasal dari dalam Provinsi sendiri. Kasus ini tercatat terjadi di Kabupaten Deli Serdang. Seorang wanita yang sedang hamil ditemukan meninggal dunia. Pasien ini didiagnosis positif hanya beberapa jam sebelum meninggal dunia.

Kedua kasus ini tidak dapat dianggap sebelah mata. Dinas Kesehatan Kota Medan memang langsung menyiagakan seluruh aparat di jajaran kesehatannya. Beberapa poster dan himbauan kepada masyarakat kembali disiagakan.

Horor flu burung memang adalah momok bagi Indonesia. Ketika negara-negara lain sudah memasuki tahapan penurunan, di Indonesia jumlah kasus ternyata terus meningkat dari waktu ke waktu. Sampai dengan sekarang, jumlah kasus mencapai hampir 100 orang dengan tingkat kematian masih tetap berada di atas 75 persen. Kematian ini bukan hanya kematian biasa, karena mereka yang menderita sudah sangat bervariasi dan jauh melampaui faktor risiko sebagaimana sudah diketahui sebelumnya.

Berdasarkan rekapitulasi kasus, pasien yang positip menderita flu burung di Indonesia meliputi kelompok umur dengan range yang sangat lebar. Penemuan kasus anak-anak sama seringnya dengan penemuan kasus pada umur yang lebih tua. Bahkan dengan adanya penemuan kasus di Deli Serdang sebagai kasus baru, ini merupakan catatan pertama kematian pasien yang sedang hamil dalam kasus flu burung.

Selain itu sebelumnya faktor risiko flu burung adalah mereka yang memiliki riwayat kontak dengan unggas. Namun di Indonesia, kasus yang ditemukan tidak seluruhnya demikian. Masih ada kasus yang ternyata tidak memiliki unggas. Sebagaimana pernah ditemukan di Kabupaten Karo dan kemudian di Deli Serdang ini, ada kasus yang sama sekali tidak pernah kontak dengan unggas.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin ini semua bisa terjadi? Kelihatannya perlu ada kesungguhan untuk melakukan riset terhadap hal ini. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan harus dengan sungguh-sungguh melacak bagaimana perjalanan penyakit ini dari mereka yang tertular kepada yang tidak.

Pemahaman ini akan berdampak kepada upaya penanggulangan. Sebab jika sumber dan mekanisme penularan sudah terang, maka proses pencegahan akan bisa dilaksanakan sedini mungkin. Bagaimanapun, pemerintah tidak boleh berdiam diri karena masalah ini bisa melebar kemana-mana. Dalam skenario WHO, akibat kasus flu burung, Indonesia bisa dijauhi oleh komunitas internasional. Indonesia juga akan terisolasi dalam seluruh aspek termasuk perdagangan dan komunikasi.

Maka bisa ditebak apa yang akan terjadi. Karena obat dan vaksin pada manusia masih belum ditemukan, keresahan akan terjadi yang akan berujung kepada kekacauan sosial yang mungkin terjadi. Dan ini adalah skenario terburuk yang membuat banyak negara memancangkan sikap waspada terhadap flu burung.

Apa boleh buat. Negara kita harus semakin berpacu dalam mengantisipasi masalah penyebaran flu burung ini. Penemuan kembali kasus di Sumatera Utara adalah sebuah warning penting pada pemerintah daerah di provinsi ini. Seluruh daerah, dibawah koordinasi pimpinan pemerintahan Provinsi Sumatera Utara harus bekerjasama lebih erat untuk mencegah munculnya kasus impor secara massa di seluruh Indonesia tanpa dapat kita kontrol

Read More......

FOKUS Bela Hak Rakyat Atas Tanah

Hak rakyat atas tanah mendapatkan tantangan. Kali ini warga di Kelurahan Meruya Selatan, Jakarta mendapatkan sebuah masalah besar. Sebuah perusahaan memenangkan gugatan atas lahan puluhan hektar di kawasan tanah mereka. Ini diputuskan oleh Mahkamah Agung, sebuah lembaga pemutus yang bersifat final.

Hal ini jelas sangat membingungkan warga. Setahu mereka, warga masih memegang sertifikat atas tanahnya sendiri. Bagaimana mungkin Badan Pertanahan Negara dalam hal ini sebagai pemegang bukti dan pemberi sertifikat bisa mengeluarkan sertifikat ganda? Siapa yang memalsukan surat tanah?

Agenda politik langsung merebak ketika kasus ini semakin kencang bergulir. Anggota DPR berdatangan ke sana. Bahkan komisaris perusahaan tersebut diundang ke parlemen untuk menjelaskan kasus tersebut. Di sana perusahaan tersebut memang tidak dapat menunjukkan sertifikat tanah dari BPN. Keanehan karena bagaimana mungkin mereka bisa memenangkan kasasi padahal barang bukti tidak dapat diperlihatkan.

Gubernur Sutiyoso sendiri sudah menyatakan bahwa dirinya akan berdiri di bekalang masyarakat. Jelas, menurut Gubernur DKI Jakarta ini, hak rakyat atas tanahnya sendiri di Meruya Selatan, telah digerogoti secara sengaja.

Memang dalam kasus ini kita memang menyaksikan bagaimana hak rakyat atas kepemilikannya sendiri dijadikan sebagai permainan. Sejak puluhan tahun sebelumnya rakyat sudah memiliki tanah di sana, bahkan menjadikannya sebagai lahan persawahan. Ketika pengembang berdatangan ke sana, dari sanalah berbagai intrik untuk mengusir warga secara tidak langsung dihasilkan.

Sebagai sebuah strategi, para pengembang inilah yang kemudian menjadikan hak rakyat atas tanahnya sendiri semakin tidak bisa lagi dipegang. Dimana-mana, rakyat akhirnya merelakan satu demi satu miliknya dengan imbalan yang sangat rendah. Di Sumatera Utara misalnya, harga tanah di kawasan pantai di Pulau Nias pernah hanya dihargai Rp. 25,- Sungguh ini memang sangat keterlaluan.

Model pencaplokan hak rakyat atas tanahnya sendiri memang sudah sangat sistematis. Para pengusaha yang datang dengan modal yang sangat besar itu, menjadi pemiu awal yang kemudian menjalar ke organ negara semisal Badan Pertanahan Negara atau lembaga sejenisnya. Rakyat, yang sudah puluhan tahun berada dan berdiam di atas tanahnya, bisa terlempar tanpa sebab dari atas tanahnya sendiri. Hal ini karena permainan politik hukum telah menjadi sangat dominan manakala kepentingan bisnis sangat menggurita.

Di kota besar, gejala ini juga berlangsung bahkan dengan melanggar hukum. Di atas tanah rakyat yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat kecil dan miskin sekalipun, pemerintah daerah telah banyak melakukan tukar guling. Gedung SD ditukar dengan perusahaan. Bahkan di kota Medan, bangunan pendidikan yang tujuannya untuk memajukan bangsa, justru dijadikan perumahan ruko. Kawasan permaian sebagai lahan publik juga ditukar dengan swalayan dan mall. Semuanya diukur dan dinilai dengan potensi bisnis yang bisa dihasilkannya.

Kasus Meruya Selatan adalah puncak dari berbagai penyelewengan dimana negara dan aparatnya sendiri telah terlibat secara penuh. Mereka telah menjadikan rakyat hanya sebagai penumpang di negeri ini. Rakyat bena-benar harus dibela. Mereka yang terancam di eksekusi haknya harus dibela dengan sungguh-sungguh dan dilepaskan dari media politik. Seluruh sistem hukum yang tidak benar harus dibenahi supaya rakyat tidak dibiarkan menderita dan dikubur di atas tanahnya sendiri secara sangat tidak terhormat

Read More......

FOKUS Pembenahan Konstitusi, Perlu Kehati-hatian

Akhirnya, usulan mengenai amandemen kelima UUD 1945 dimasukkan oleh Dewan Perwakilan Daerah untuk dibahas dalam sidang MPR. Poin penting dari usulan tersebut adalah adanya upaya untuk meningkatkan keterlibatan DPD dalam penbentukan UU yang berhubungan dengan pemekaran daerah. Dengan demikian, kedudukan DPD akan lebih kuat.

Usulan itu memang akhinya mengundang kontroversi. Bahkan juga semacam ”permaianan politik”. Usulan yang disampaikan memang memerlukan persetujuan dari pengusul. Dalam perjalanannya, Partai Demokrat misalnya secara penuh menarik dukungannya dari usulan tersebut setelah sebelumnya menjadi salah satu partai pendukung amandemen.

Memang di luar, suara-suara keras menentang atau menyetujui sudah berkumandang. Hanya sayang bahwa publik yang merupakan masyarakat biasa, seolah tak perduli bahwa masa depan konstitusi—yang notabene adalah masa depan mereka—sedang dibenahi dan dipikirkan oleh kalangan elit politik.

Titik penting bagi kita sebenarnya adalah pada jawaban atas pertanyaan, apakah memang UUD 1945 harus kembali diamandemen setelah sebelumnya sudah pernah diamandemen sebanyak 4 kali? Menarik diperhatikan bahwa amandemen sudah dilakukan sebanyak 4 kali hanya dalam kurun waktu sejak tahun 1998.

Sejak diamandemen, memang kita melihat ada perbaikan di sana-sini. Salah satunya dengan hadirnya berbagai lembaga negara dan cara untuk menyelenggarakan kenegaraan, harus diakui sudah banyak mencatat kemajuan. Hanya persoalannya, seiring dengan hal positif, banyak hal lain yang masih bolong.

Salah satu misalnya dengan keberadaan DPD tadi. Awalnya, kehadiran DPD memang menjadi representasi daerah. Hanya belakangan, DPD kemudian menjadi mandul, karena kewenangan yang sama tidak berkurang pada DPR, yang memang sedari awal memiliki keterwakilan yang lebih kuat posisinya dibandingkan dengan DPD.

Kasus lain yang pernah dikritik oleh Ketua MK, misalnya adalah pencantuman angka 20 persen untuk pendidikan. Dalam kenyataannya, meski sudah 3 kali dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran oleh MK, pemerintah sama sekali tetap bergeming. Pemerintah tetap menyatakan bahwa mereka tidak punya uang untuk mencapai angka tersebut. Secara tidak langsung, MK menyatakan bahwa pembuatan pasal tentang angka dalam UUD tersebut sama sekali terlalu terburu-buru.

Beberapa produk UU juga kemudian mengalami kebablasan. Pembatasan masa kerja Pengadilan Tipikor, pengurangan kewenangan KPK, sampai dengan yang kini sedang dibahas adalah mengenai UU Politik, semunya tidak terlepas dari UUD yang merupakan payung bagi seluruh UU tersebut.

Memang perlu disampaikan bahwa masa depan bangsa memang harus tetap diperbaiki. Namun pembenahannya seharusnya berjalan dengan terencana, dan bukan karena kepentingan politik sesaat dan bersifat ad hoc. Kita mau supaya bangsa ini maju dan mandiri, termasuk dalam menyusun pijakan UUD yang baru. Namun kalau tidak hati-hati, itu akan menjadi kotak pandora yang berbahaya bagi seluruh bangsa kita sendiri.

Bagaimanapun amandemen ini bukan hanya urusan politik dan kepentingan elit semata. Kita harus memikirkan bagaimana supaya ada ketertiban dalam membangun bangsa kita. Bentuk negara kita sekarang ini adalah warisan yang akan menjadi bentuk dari negara pewaris kita. Salah di awal, maka bukan tidak mungkin akan muncul persoalan besar pada mereka kelak

Read More......

FOKUS Aliran Dana DKP

Kasus korupsi dana di Departemen Kelautan dan Perikanan yang melibatkan mantan Menteri Rokhmin Daruri semakin menyentil banyak pihak. Kita pun tercengang melihat kenyataan yang disebutkan oleh para tersangka dalam kasus itu. Tanpa tertutupi, aliran dana yang dianggap korupsi itu diungkapkan kepada publik tanpa tedeng aling-aling lagi.

Salah satu yang terungkap adalah diberitakannya bahwa sejumlah Pimpinan Partai Politik dan mantan calon Presiden terlibat dalam menerima aliran dana tersebut. Dana non-budgeter tersebut berdasarkan catatan yang disampaikan di pengadilan oleh pejabat yang menjadi tersangka, telah dijadikan sebagai dana untuk kampanye pada Pemilu 2004.

Sayangnya, yang masih mengakui adanya dana yang mengalir kepada mereka barulah Amien Rais. Mantan Ketua MPR dan calon Presiden itu dengan jelas menyatakan bahwa dirinya sebagai pribadi menerima dana sebesar Rp. 200 juta. Sementara itu sebesar Rp. 200 juta lagi akan dicari diterima melalui pihak mana. Begitupun, Amien Rais tidak menampik bahwa dana tersebut memang diterima olehnya. Bahkan untuk membuktikan hal itu Amien Rais bersedia dipanggil untuk memberikan kesaksian di pengadilan.

Dana DKP yang lain memang diisukan mengalir ke parpol besar. Tapi sampai sekarang mereka menyangkap hal tersebut. Bahkan mereka menuding bahwa dana tersebut andaikan diterima, diberikan kepada per orangan, bukan kepada parpol sebagai institusi. Karenanya mereka menolak kesaksian yang diungkapkan di pengadilan tersebut.

Dari kasus di atas kita menyaksikan bagaimana dana non-budgeter nyata-nyat telah dijadikan sebagai dana peruntukan bagi para pejabat negara. Sebagaimana dana di Bulog yang juga telah menyeret para mantan pejabat, dana dari DKP juga terbukti telah melebar kemana-mana.

Penggunaan dana negara apalagi yang dikumpulkan secara tidak sah jelas tidak dapat diterima. Dan itu adalah sebuah pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di negara ini. Namun semakin ditertibkan, semakin nyata bahwa resistensi justru muncul dari kalangan pejabat negara sendiri. Hal ini dikarenakan mereka sudah menikmati pola penyelewengan yang amat liar ini bertahun-tahun lamanya.

Masalah aliran dana DKP ini juga pastilah akan sangat menyita perhatian karena menarik. Sebab harus dijelaskan, apakah penerimaan tersebut sudah pernah dilaporkan kepada KPU dalam bentuk pertanggung-jawaban? Dan apakah ketentuan mengenai aliran dana yang kabarnya ditujukan kepada kampanye itu tidak mengakibatkan aspek-aspek hukum tertentu termasuk kepada pemerintahan ini, yang diisukan juga turut menerima dana DKP tersebut?

Maka memang harus dikawallah kasus ini. Publik harus melihat apakah penyelesaian kasus ini kemudian akan ditutupi atau tidak. sebab ada kecenderungan bahwa kasus korupsi yang dananya telah melebar kemana-mana itu, dicoba dilokalisir hanya kepada pertanggung-jawaban level mantan Menteri DKP saja.

Karena itu, kita sangat apresiatif terhadap pengakuan Amien Rais. Bak kotak pandora, maka pengakuan itu menunggu pengakuan-pengakuan lain dari mereka yang dituding, serta menuntut penyelesaian yang sangat penuh kehati-hatian tetapi tetap transparan. Bagaimanapun, praktek-praktek penyalahgunaan anggaran yang selama ini sangat menjamur harus diberantas, mulai dari pengungkapan modus operansi yang dilakukan oleh para pejabat negara sendiri.

Read More......

Tuesday, April 24, 2007

Menanti Kabinet Profesional, Mungkinkah?

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu menjadi pembicaraan hangat beberapa pekan ini. Puncaknya kemudian semakin hangat ketika Presiden Yudhoyono mengumumkan bahwa reshuffle terbatas akan diumumkannya pada awal Mei. Sebelumnya Presiden pernah menyampaikan bahwa reshuffle bukan untuk giliran maupun gantian dalam berkuasa.

Wacana reshuffle memang menjadi perhatian publik. Setelah sebelumnya diperkirakan bahwa reshuffle akan dilakukan pada bulan Oktober lalu ketika usia pemerintahan berjalan dua tahun, tetapi nyatanya tidak, wacana reshuffle kemudian bergeser ke 2,5 tahun pemerintahan. Kita melihat bahwa publik memang terus menerus berharap pada reshuffle ini. Ada apa gerangan?
Pembicaraan dan perdebatan publik soal reshuffle itu memang harus dilihat dengan lebih jauh. Bahwa kondisi pemerintahan sekarang memang telah menimbulkan gelombang ketidakpuasan. Dimana-mana masyarakat melihat bahwa pemerintah tak lagi dapat diandalkan dalam menangani dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Karena itu mereka semakin kecewa dan menuntut ada perubahan.

Bukti dari ketidakpuasan itu jelas ada. Survei yang dikemukakan oleh LSI menunjukkan bahwa pemerintah ini semakin lemah dan semakin sulit dipercayai oleh masyarakat. Popularitas Presiden Yudhoyono menurun drastis dibandingkan dengan seluruh waktu pemerintahannya. Survei inilah yang kemudian meledak di dalam beragam berbincangan di tengah masyarakat. Para pengamat menuliskan analisisnya dan berujung kepada setidaknya 13 nama menteri yang kinerjanya tidak memuaskan.

Apa boleh buat. Pemerintah seolah bungkam. Bandingkan dengan wacana tahun lalu di saat dua tahun pemerintahan, aksi cabut mandat berjalan sepi. Alasannya, survei yang dilakukan saat itu masih menempatkan Presiden dalam posisi aman. Juru Bicara Kepresidenan bahkan dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa Presiden masih didukung oleh banyak warga masyarakat. Tetapi tidak kini. Tiadanya komentar dari Istana Negara seolah membenarkan dan mengakui bahwa memang itulah fakta yang terjadi.

Mengapa?

Secara lebih khusus, reshuffle dilihat sebagai solusi dari membludaknya persoalan-persoalan di masyarakat. Mari kita lihat sejenak mereka yang diberikan cap merah oleh publik.
Beberapa anggota kabinet dikabakan berada dalam keadaan yang tidak sehat. Menteri Pertahanan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri LH dan terakhir Mendagri, adalah figur yang pernah diserang oleh penyakit yang berpotensi menurunkan kinerja.

Tetapi sorotan tajam bukan hanya itu. Salah satu menteri yang dianggap publik sebagai tidak bekerja dengan baik adalah Menteri Perhubungan. Sepanjang tahun ini kecelakaan demi kecelakaan dalam bidang perhubungan selalu dicarikan kambing hitam pada human errror dan dana. Padahal, publik tidak mau tahu soal itu. Publik hanya melihat bahwa mereka semakin lama semakin menjadi korban dari kepemimpinan sang menteri.

Berikutnya, dua menteri dianggap oleh publik tak lagi bisa dipercaya secara bersamaan. Keduanya adalah Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Menhuk HAM Hamid. Keduanya dianggap terlibat dalam sebuah skenario yang memang tidak merugikan negara tetapi melanggar rambu-rambu dan etika aturan keuangan negara. Ketua BPK bahkan mencap pelaku dalam kasus transfer dana Tommy Soeharto ini sebagai tidak bermoral.

Menteri lain yang disorot adalah Menko Kesra, Aburizal Bakrie. Namun hal ini lebih kepada penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang semakin kalut dan berlarut-larut. Sikap dan komentar menteri dari Partai Golkar ini umumnya juga tidak simpatik, misalnya ketika menghadapi mereka yang mengalami musibah banjir.

Menteri lain yang pernah mendapatkan gunjingan publik adalah Menteri Pendidikan dengan voucher-gate nya, Menteri BUMN dengan kinerja BUMN yang meroket terjun bebas, dan Menteri Kesehatan yang dianggap tidak paham masalah penanggulangan penyakit. Di sebut lagi Menteri Kebudayaan yang tidak paham bagaimana mengembangkan kebudayaan dan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal, yang dianggap tak lagi punya kekuatan politik.

Apa boleh buat, Presiden harus menerima kenyataan bahwa sekarang ini masyarakat bebas melontarkan kritik terhadap para pembantu-pembantunya, yaitu para menteri. Bukan hanya itu, masyarakat bahwa dengan bebas bisa menyampaikan pendapatnya termasuk tentang Presiden sekalipun.

Yang harus menjadi perhatian Presiden adalah bahwa kinerja para menteri adalah kinerja yang seharusnya juga diukur dan berpedoman pada kepuasaan masyarakat sebagai target program para menteri. Ketidakpuasan masyarakat merupakan ukuran yang mewakili kemampuan para menteri menjalankan programnya. Ketidakpuasan masyarakat yang tertangkap melalui survei LSI tadi benar-benar harus dilihat sebagai evaluasi paling real dari kinerja tadi.

Tidak Mudah

Reshuffle, mudah dibicarakan tetapi tidak mudah dilakukan. Kita melihat bahwa reshuffle kali ini akan sangat mempengaruhi konstelasi politik kita. Ketika menyatakan bahwa reshuffle akan segera diadakan, Presiden menyatakan bahwa dirinya tidak takut melakukannya, pastilah ada latar belakang dari kalimat tersebut. Memang, dengan menggunakan kacamata jernih dan tekstual belaka, reshuffle memang merupakan hak prerogatif Presiden. Semua menteri yang ditanya mengenai hal itu menjawab demikian, bahkan Wakil Presiden juga.

Namun sebagai sebuah upaya yang dapat dikatakan sebagai keputusan politik, reshuffle jelas tidak memberikan kebebasan kepada Presiden sendiri. Sebabnya karena konfigurasi politik yang ingin dibangun dan saling mempengaruhi harus benar-benar dipertimbangkan.

Siapapun tahu bahwa pemerintah kini sedang dilanda oleh demam kekuasaan, termasuk Presiden sendiri. Pemilu 2009 memang masih jauh namun persiapan dan pemanasan menjelang hal itu sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk Presiden sendiri.

Sayangnya, sedari awal Presiden sudah memasang perangkap bagi dirinya sendiri. Keinginannya mengamankan seluruh kekuatan politik dan mencegah gejolak memang berhasil. Ia memberikan kursi-kursi dalam pemerintahannya kepada semua partai politik kecuali PDI-P. Presiden ingin menyenangkan semuanya dan kemudian mendukung dirinya. Namun risiko kini harus dihadapi.

Setiap parpol kini mulai berhitung. Memberikan dukungan atau tidak, akan mempengaruhi pencapaian suara kelak. Dan itu juga bergantung apakah Presiden masih memberikan kursi kepada menteri dari parpol. Lihatlah bahwa hampir semua menteri yang capnya merah tadi berasal dari parpol.

Tidak mungkin Presiden tidak berpikir panjang dan hanya menggunakan legitimasinya sebagai Presiden untuk memutuskan reshuflle ini. Publik tidak dapat dibohongi. Presiden pasti memiliki pertimbangan untuk menempatkan dirinya kembali sebagai Presiden berikutnya. Dan pada saat yang sama, parpol juga tidak mau sebagai pihak yang hanya menunggu. Mereka pun butuh kepastian apakah akan ikut gerbong berikutnya atau ditinggalkan.

Presiden memahami benar bahwa keputusan reshuffle akan mempengaruhi dukungan terhadap dirinya. Maka Presiden harus benar-benar meyakinkan bahwa mereka yang diberikan kepercayaan membantunya dalam pemerintahan harus benar-benar memberikan kontribusi politik baginya di tahun 2009. Setidaknya, Presiden memang berhasil melakukan langkah awal terhadap hal ini dengan adanya para menteri yang membantunya dan notabene adalah Ketua Umum parpol.

Tetapi harus dipertimbangkan bahwa hubungan politik kita tak bisa langgeng. Presiden memang tidak bisa menjamin bahwa memberikan kursi akan memberikan jaminan politik pada Pemilu 2009 nanti. Parpol kita adalah parpol yang umumnya sangat pragmatis. Mereka akan memperhitungkan kekuatan yang real menjadi pendongkrak suara bagi mereka. Jika kelak Presiden pun semakin mengecewakan publik dan menjadi blunder, mendukung sekarang bukan berarti akan selamanya mendukung.

Maka pengumuman reshuffle nanti adalah sebuah pengumuman politik. Tak mungkin kita akan mendapatkan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 3 yang akan lebih profesional. Kecuali karena adanya tekanan publik, Presiden pun juga manusia, yang tetap membutuhkan kursi sebagai Presiden.
Jadi, kabinet profesional? Meminjam istilah populer sekarang, kita akan serentak berteriak, “mimpi kali yee”.

Read More......

FOKUS RI-Singapura, Perjanjian Ekstradisi

Draft perjanjian ekstradisi antara RI dan Singapura sudah ditandatangani. Hal ini diumumkan langsung oleh Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda. Menteri juga menyampaikan bahwa perjanjian ini akan secara resmi di tandatangani pada hari Jumat pekan ini juga.

Makna perjanjian ekstradisi ini amat besar bagi Indonesia. Sebagaimana dikabarkan, Singapura adalah salah satu negara tujuan mereka yang melanggar hukum dari Indonesia. Sebabnya karena negara jiran ini belum memiliki hubungan yang menegaskan adanya ekstradisi antara kedua negara.

RI bukannya tidak pernah melakukan pendekatan. Sayangnya, Singapura menolak dengan berbagai alasan. Salah satunya karena mereka menuding sistem pengadilan di Indonesia masih belum mencerminkan keadilan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sikap itu sebenarnya adalah sebuah sikap pragmatis. Di belakang negara tersebut, terdapat semacam kebijakan balas budi bagi para orang Indonesia yang banyak berada di negara tersebut.

Singapura ternyata menampung warga negara Indonesia yang bermukim di sana. Sebagian besar dari pembeli apartemen dan wisatawan yang berkunjung ke sana adalah mereka yang berasal dari Indonesia. Jadi, Singapura mendapatkan keuntungan jika mereka masih menyediakan perlindungan kepada masyarakat yang memang memiliki banyak kepentingan di sana.

Di dalam negeri sendiri memang ada banyak masalah. Tetapi itu bukan alasan dan memang tidak sepantasnya Singapura menggunakan alasan mengenai sistem pengadilan di Indonesia. Bagaimanapun kita memiliki aturan dan mekanisme dalam menata hukum sendiri.

Ada banyak perkiraan selama ini mengapa Singapura menolak perjanjian ekstradisi. Salah satu argumentasi yang juga disampaikan oleh para pengamat adalah adanya perasaan lebih superior dari negara tersebut terhadap kita di Indonesia. Singapura yang dari sudut pandang kekuatan militer jelas lebih maju kini memang seolah ingin mempertontonkan hal itu.

Keuntungan lain dari Singapura adalah karena mereka dijadikan sebagai salah satu negara kepercayaan Amerika Serikat, super powernya dunia sekarang ini. Berbagai agenda di Asia Tenggara, dipercayakan dikoordinasikan dari Singapura. Bahkan berbagai bantuan militer sengaja diberikan kepada negara itu untuk meningkatkan daya tawarnya bagi tetangga sendiri. Maka jadilah. Singapura yang dulunya hanya negara sempalan dan koloni itu bahkan dianggap besar kepala termasuk kepada Indonesia. Ketika asap dari negara kita menyebar ke sana, bukannya melakukan pembicaraan bilateral sebagai sesama negara bertetangga, Singapura malah melaporkan Indonesia ke PBB.

Tetapi kita harap bahwa perjanjian ekstradisi ini tanpa konsesi apapun. Sebulan terkahir, Indonesia memang sedang melakukan sebuah kebijakan baru. Setelah merebaknya isu bahwa negara itu sekarang sedang giat-giatnya melakukan reklamasi pantainya sehingga kini sudah memanjang ke arah Indonesia sepanjang 12 km, Indonesia memutuskan menghentikan segala eksport pasir ke negara itu.

Razia besar-besaran dilakukan. Akibatnya pembangunan di negara tersebut berhenti. Pasokan pasir dari Indonesia sebagai satu-satunya andalan kini sudah tidak ada lagi. Maka barangkali negara itu keteter dan kemudian mengubah kebijakannya selama ini.

Bagaimanapun pemerintah tak boleh menjual kedaulatan wilayah kita, untuk mendapatkan “promosi” pasca menurunnya popularitas pemerintah. Kebijakan ekstradisi adalah kebijakan yang kita harap lepas dari berbagai maksud lain.

Read More......

Sunday, April 15, 2007

FOKUS Memerintah, Tidak Mudah

Popularitas pemerintah kembali diuji. Kali ini survei memberikan bukti bahwa kepemimpinan Presiden Yudhoyono menurun tajam. Laporan ini disampaikan oleh survei sebuah lembaga independen. Apa kata pemerintah?

Kembali pemerintah seolah menutup mata atas hal itu. Reaksi dari kalangan dalam pemerintah mengabaikan. Juru Bicara Kepresidenen kembali menyatakan bahwa Presiden tidak tidur. Pemerintah tetap bekerja dan segala sesuatu berjalan dengan baik. Logika yang sama dipakai kembali oleh pemerintah, bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan terbaik yang masih bisa dipercaya.

Benarkah bahwa pemerintah harus mengabaikan persepsi masyarakat atas keberadaan mereka? Sepantasnya tidak. Sebab bagaimanapun, suara rakyatlah yang secara langsung memberikan dukungan kepada pemerintah yang untuk pertama sekali ini dipilih dengan menggunakan metode pemilihan langsung.

Ada kesan kita bahwa pemerintah sekarang ini memang mengalami semacam over prouding atas kemenangan yang diraih atas kompetitornya. Karenanya, pemerintah menjadikan kemenangan itu sebagai sebuah prestasi yang harus menerus diungkapkan dan disampaikan sebagai wacana manakala pemerintah diminta untuk memperbaiki diri.

Dari sikap tadi, ada kesan yang lebih jelas bahwa pemerintah mendekati perilaku “semau gue”. Karena pemerintah tidak melihat bahwa sikapnya harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat, maka yang mereka memaksa masyarakat untuk mendengar, mengikuti dan menjalankan apa yang diinginkan oleh pemerintah.

Pemerintah ini tidak secara langsung menyatakan bahwa mereka tidak mau dikritik. Padahal kita tahu bahwa pemerintah ini harus dikritik karena berbagai kebijakannya memang amat jauh dari keberpihakan kepada masyarakat.

Salah satu yang terjadi misalnya adalah ketidakberpihakan pemerintah pada nasib rakyat yang rumahnya harus terendam lumpur di Sidoarjo. Badan pengganti Tim Nasional penanggulangan lumpur Sidoarjo kehilangan kepercayaan publik karena di dalamnya ada orang-orang yang berasal dari kementerian kesra, yang dipimpin oleh pemilik Lapindo Brantas.

Ketidakberpihakan pemerintah juga terlihat dari ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga. Beras, misalnya, tetap tidak terkendali. Beras yang dikonsumsi oleh seluruh warga masyarakat yang kebanyakan warga negara miskin tetap tidak bisa diturunkan harganya. Padahal janji pemerintah adalah dalam waktu sikap harga beras akan terkendali. Sayangnya, janji tinggal janji, nasib petani justru memburuk dengan masuknya impor beras yang dirancang oleh pemerintah. Kenaikan harga pembelian gabah di sentra pembelian pemerintah, dipandang oleh petani sebagai sebuah kebijakan yang sudah tidak ada lagi artinya.

Pemerintah harus diingatkan bahwa memimpin dan melayani adalah esensi dari memerintah. Dan itu tidak mudah. Diperlukan sebuah moral kepemimpinan yang bersumber dari keberanian dan kreativitas. Pemerintah harus berani melakukan tindakan yang tidak populis sekalipun di mata kawan dan lawan politik, jika ingin menyelamatkan masyarakat.

Pemerintah juga dituntut untuk berani untuk mengabaikan tekanan politik. Pengamat menyatakan bahwa pemerintahan ini ingin berkuasa kembali dengan cara menyenangkan hampir semua pihak termasuk partai politik. Akibatnya posisi kebijakan negara ini dipasung oleh kepentingan tadi. Hal ini harus dihentikan dan pemerintah harus berani menyatakan tidak kepada semua kepentingan yang tidak berhubungan dengan masyarakat.

Memerintah tidak mudah. Di sana ada terkandung nilai kehormatan. Tetapi itulah kemuliaan yang didapatkan oleh pemerintah yang adil, arif dan bijak.

Read More......

FOKUS Ketegasan Melawan Impunitas

Hari-hari ini pemerintah sibuk menghadapi berbagai persoalan. Dua di antaranya adalah kasus kematian praja IPDN, serta pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Untuk yang pertama, Presiden membentuk sebuah tim evaluasi yang diketuai oleh Riyas Rasyid. Sementara yang kedua, perkembangkan terakhir memperlihatkan penetapana dua tersangka baru. Keduanya berasal dari pihak manajemen PT Garuda.

Kematian di Indonesia banyak mengalami impunitas. Dalam dunia politik kita mengenal bahwa impunitas bermakna pengabaian. Dengan demikian, impunitas adalah kematian yang diabaikan dan tidak diperdulikan.

Itulah yang hampir terjadi pada dua kasus di atas. Cliff Muntu hampir luput dari pengungkapan sekiranya media tidak membombardir dengan pemberitaannya. Demikian juga dengan kematian Munir, akan menjadi kematian sekiranya para aktifis mendiamkan masalah ini.

Mengapa sampai terjadi impunitas? Penyebab utama adalah karena negara sendiri merancang dan menyebabkan kematian itu. Kekerasan yang terjadi di IPDN adalah kekerasan yang seharusnya menyentuh negara. Kekerasan yang terlembagakan di sebuah lembaga pendidikan milik negara, adalah sebuah bukti bahwa telah terjadi impunitas di dalamnya.

Kekerasan yang melembaga ini berasal dari adanya campur tangan aparatur negara di dalamnya, yang terepresentasi dari keberadaan Departemen Dalam Negeri, serta pihak rektorat dan dosen yang notabene adalah PNS, aparatur negara. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa kematian Cliff Muntu justru seolah ditutupi oleh keberadaan mereka yang seharusnya menjadi aparat pemerintah ini.

Maka terjadilah impunitas setiap kali terjadi kekerasan, termasuk di IPDN. Kematian Cliff Muntu adalah kematian yang terungkap sementara yang benar-benar merupakan kematian yang mengalami impunitas, mungkin lebih banyak lagi. Kesaksian dari mereka yang pernah menjad korban adalah sebuah kenyataan betapa telah terjadi impunitas kematian di sana.

Kematian Munir adalah soal lain dengan prinsip yang sama. Negara telah terlibat di dalamnya. Ada kontak antara pelaku dengan aparat pemerintah dari BIN. Dan para pelaku adalah mereka yang bekerja pada lembaga penerbangan milik pemerintah. Apa artinya? Lembaga pemerintah justru dipergunakan untuk menjadi tempat melanggengkan kematian dan membuat tabir kematian tidak terungkap dan kemudian dilupakan.

Ada banyak kematian lain yang tidak terungkap di negeri ini. Mulai dari tragedi G30-S/PKI, kemudian tregadi Lampung, Priok, Semanggi I dan II, lalu kemudian Tragedi Mei, semuanya ada dalam catatan kita tetapi tidak pernah diungkapkan dengan jelas kepada publik mengenai apa yang terjadi pada mereka. Kita hanya tahu bahwa ada kematian dan ada pengabaian oleh negara di dalamnya.

Kenapa negara tidak mau bertanggung-jawab, atau setidaknya menuntut pertanggung-jawaban dari mereka yang seharusnya bertanggung-jawab? Salah satunya adalah karena kematian itu disebabkan oleh pelaku dengan level kekuasaan yang amat besar. Pelakunya adalah mereka yang memiliki kekuasaan untuk berlindung atau meneror pemerintah sehingga pemerintah sendiri tidak berdaya.

Apa boleh buat. Impunitas memang memerlukan keberanian dan sikap politik. Campur tangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, untuk mendorong, memulai dan memantau perjalanan pengungkapan kematian yang selama ini terabaikan, semoga dapat terjadi pada berbagai kematian lainnya. Impunitas tidak boleh terjadi, dan tidak boleh terus menerus terjadi.

Read More......

Sunday, April 08, 2007

FOKUS Kekerasan Menjadi Budaya

Kekerasan di dunia pendidikan kita layak terus menerus kita kritisi. Yang terbaru dan menjadi perhatian kita semua adalah kekerasan yang terjadi di IPDN. Kekerasan yang menewaskan salah seorang praja di sana telah menjadikan seluruh sorot mata kita beralih ke kampus yang berada di bawah pembinaan Departemen Dalam Negeri itu.

Memang, kekerasan di IPDN hampir luput dari perhatian kita. Kematian praja bernama Cliff Muntu kelihatannya dicoba ditutupi secara sistematis, baik dari pernyataan pihak kampus, maupun dalam penjelasan-penjelasan yang coba disampaikan kepada publik. Tetapi publik tetap tak percaya bahwa semuanya berjalan wajar dan berjalan apa adanya.

Ingatan kita kembali ketika kematian salah seorang praja bernama Wahyu Hidayat juga menghebohkan kita semua. Kala itu, pimpinan tertinggi lembaga itu juga menolak mengakui bahwa kekerasan memang sudah menjadi budaya di sana. Keadaan yang mirip kita jumpai di sekarang, ketika Rektor kampus itu menyatakan bahwa korban meninggal karena penyakit.

Dari dalam kampus yang mendidik praja yang kelak akan memimpin birokrasi itu sendiri sudah terungkap betapa bobroknya pendidikan di sana. Salah seorang dosen yang dulu juga bersuara lantang kepada media mengenai kekerasan di sana menyatakan bahwa kematian akibat kekerasan di kampusnya sudah mencapai 35 orang. Sementara Sekjen Depdagri justru membantahnya dan menyatakan bahwa kematian dalam pendidikan hanyalah 3 orang saja.

Beruntunglah bahwa Presiden tidak begitu saja menerima keadaan itu. Seolah memberikan sinyal bahwa masalah ini akan dituntaskan, selain berbicara dengan keluarga korban, Presiden memerintahkan penyelidikan. Dan kita tahu bahwa pihak pendidikan, terutama Rektor dengan segala jajarannya harus mempertanggung-jawabkan masalah itu kepada kita semua.

Rasanya memang sangat menyedihkan bahwa kampus yang mendidik para pengayom masyarakat itu kelak, dididik dengan cara-cara yang amat jauh dari makna pendidikan. Dalam alam pikir dunia sekarang, baik dengan menggunakan cara berpikir mazhab akal budi maupun mazhab hati nurani, kekerasan tidak pernah diajarkan.

Tokoh-tokoh yang bersimpati wajar kemudian menyatakan bahwa kampus IPDN harus dikaji ulang. Semuanya karena kejadian demi kejadian berbau kekerasan memang seolah tak pernah sepi di sana. Kesaksian mereka yang memilih keluar dari pendidikan dan meninggalkan pendidikan yang sebenarnya menjanjikan, adalah salah satu bukti bahwa kekerasan di lembaga pendidikan telah menjadi budaya.

Bagaimana menghentikannya. Salah satu sudut pandang yang perlu disampaikan di sini adalah pada perubahan cara pandang. Pendidikan adalah persoalan mengubah mental manusia. Dan berhadapan dengan manusia, bukan sebagaimana menempa besi yang semakin di pukul semakin halus.

Mendidik manusia jauh lebih sulit dari hanya sekedar memukul. Pendidikan seorang manusia adalah upaya untuk mengubah hati dan akal sehingga lebih bermoral, bertabat dan berdaya guna sebagai seorang manusia. Beruntunglah kita bahwa tak seorang pun filsuf besar dan penemu besar yang pernah ada di dunia ini, lahir bukan dari kampus penuh kekerasan. Sebaliknya mereka semuanya menemukan dirinya sendiri dari kampus yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Maka sudah saatnya memang kasus ini menjadi bahan renungan kita bersama. Semua pihak harus menjadikan kasus kematian di kampus IPDN sebagai titik balik untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih bermartabat di dalam segala sesuatu. Kita tunggu langkah selanjutnya dari pemerintah.

Read More......

FOKUS Tingkatkan Produktifitas Bangsa

Kabar tidak sedap selalu saja terdengar dari kita. Setelah mengimpor beras, kini kita pun dikabarkan mengimpor gula. Apa arti semuanya ini? Secara sederhana itu berarti kita memang tidak sanggup menghidupi diri kita sendiri. Kita hidup bergantung dari orang lain.

Konon kabarnya, salah satu teori yang menjelaskan penyebab kematian hewan besar di dunia ini menyatakan bahwa telah terjadi persaingan dalam memperebutkan makanan. Hal itu dikarenakan hewan-hewan tersebut bertubuh besar sehingga sangat bergantung dari pasokan makanan. Ketika populasinya bertambah, maka seleksi alam pun terjadi.

Itulah gambaran sederhan dari kehidupan masa lalu yang seharusnya menginspirasi kita semua, bahwa seleksi alam bisa terjadi pada kita, meski kita dikenal sebagai negara dengan kekayaan yang amat berlimpah ruah.

Salah satu yang amat jarang kita renungkan adalah kenyataan bahwa negara kita ini adalah negara yang sangat potensial untuk maju. Berkah Tuhan yang luar biasa kepada bangsa kita adalah pada musim di daerah khatulistiwa dimana cahaya matahari bersinar sepanjang tahun. Apa artinya? Itu berarti setiap saat tumbuhan bisa hidup karena mendapatkan sumber klorofi. Dan kalau tumbuhan hidup, maka hewan dan manusia juga akan bisa hidup. Kalau diurut-urut, maka seharusnya potensi produktifitas yang paling banyak seharusnya adalah pada kita. Negara kita adalah negara yang menikmati iklim yang luar biasa sepanjang tahun.

Tetapi apa yang terjadi? Negara kita amat miskin. Setengah dari penduduk kita hanya hidup dengan 2 dollar sehari. Di negara maju, uang tersebut bahkan hanya digunakan untuk membeli sepotong roti mahal saja. Sementara di negara kita, uang sebanyak itu amat berharga, karena didapatkan dengan membanting tulang, meminta-minta, atau bekerja selama lebih dari 8 jam seharinya.

Padahal negara-negara maju di dunia adalah negara dengan iklim yang sangat ekstrim bahkan dengan lingkungan negara yang penuh dengan tantangan. Lihat saja Amerika, Canada, Prancis dan Rusia. Selalu ada musim yang tidak memiliki sinar matahari di sana. Lalu Jepang. Mereka bahkan berada di kawasan gunung berapi yang menimbulkan gempa setiap saat. Dan Inggris, negara mereka dikelilingi oleh lautan. Namun mereka bisa berkelana jauh dengan kapal-kapal laut yang megah dan besar.

Mengapa bisa terjadi demikian? Salah satunya adalah karena mereka, jika dibandingkan dengan kita, memiliki hasrat dan gairah untuk meningkatkan produktifitas mereka. Dengan asumsi bahwa waktu kerja mereka hanya tinggal seperempatnya dari setahun yang kita miliki, mereka bekerja dengan sungguh-sungguh, sehingga setahun bagi kita sudah setara bahkan lebih dari yang mereka kerjakan.

Hal itu tidak muncul begitu saja. Kita ketinggalan dalam membangun teknologi karena kita tidak pernah berpikir bahwa kita akan menggunakannya. Dengan sumber daya manusia yang besar, sejak dulu kita dilarang menggunakan istilah padat teknologi. Kita menghambur-hamburkan tenaga kita dan luput mempelajari kemajuan negara lain.

Apa yang harus dilakukan? Salah satunya adalah dengan memacu pertumbuhan produksi negara kita dengan menggunakan prinsip spesifisik. Artinya kita menghela ekonomi kita dengan menggunakan seluruh potensi yang ada, menjadikannya lebih bernilai tambah dan kemudian menjadi mahir di dalamnya.

Hal itu jelas tidak mungkin dikerjakan sendirian. Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah daerah supaya semuanya menggerakan diri dalam mencapai produktfitas bangsa. Kalau hal itu tidak kita lakukan, suatu saat kita akan hanya akan menjadi bangsa yang tak ada artinya di tengah bangsa-bangsa yang semakin tidak tertandingi oleh kita.

Read More......

Saturday, March 31, 2007

TRAGEDI BANGSA SAKIT

(Tulisan ini dimuat di Harian SIB, Medan tanggal 31 Maret 2007 )

Beberapa hari belakangan, muncul laporan bahwa di seantero negeri terjadi kejadian-kejadian gangguang kejiwaan. Di Surabaya, penderita gangguan kejiwaan semakin meningkat pasca tergusurnya mereka dari rumahnya karena banjir lumpur. Di kota lain idem dito.

Pada tingkat yang tidak memunculkan agresi, gangguan kejiwaan ini ditengarai telah menyebar secara laten. Kasus seorang ibu yang bunuh diri bersama empat anaknya dicurigai sebagai salah satu fenomena gunung es yang kejadiannya akan terus menerus menampakkan diri.

Apa yang terjadi pada negeri ini? Salah satu penjelasan yang mungkin terjadi adalah bahwa negeri ini sedang dilanda kesakitan massal. Masyarakat sedang berada dalam tingkat situasi psikologis plus patologis yang bersumber dari sakitnya masyarakat kita tadi. Sakit yang terjadi di negeri ini adalah sakit massal yang terjadi pada banyak orang. Bukan hanya pada satu dua orang saja. Tetapi bersifat menyeluruh dan mengenai banyak orang dengan profesi yang berbeda-beda. Bagaimana wujudnya?

Sakit Massal
Sakitnya masyarakat kita bisa dilihat dari beberapa contoh kasus. Perhatikan ketika anda berada di jalan raya. Di sana anda bukan hanya menemukan kendaraan, namun kendaraan liar. Kendaraan dengan sesuka hati berhenti, kapan mau. Mereka tidak perduli apakah orang lain akan berisiko terjadi kecelakaan atau tidak, yang penting mereka melakukan apa yang mereka mau. Maka kecelakaan demi kecelakaan terjadi begitu saja, tanpa pernah bisa dicegah. Sebabnya karena memang tak ada seorang pun yang mau perduli terhadap jiwanya sendiri, apalagi jiwa orang lain.

Sakitnya masyarakat kita juga bisa dilihat dari ketidakmampuan mereka memilih tindakan mana yang tepat dan yang mana yang tidak. Masyarakat lebih menyukai mereka yang menawarkan jalan pintas dalam kekayaan. Maka terjebaklah mereka sebegaimana dalam kasus penyalahgunaan keuangan yang dilakukan oleh PT IBIS. Lalu perhatikan bagaimana seorang polisi—bawahan—menembak atasannya sendiri. Polisi itu tidak tahu lagi membedakan mana aturan yang memang seharusnya diikutinya.

Perhatikan perampokan, pembunuhan dan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Pelakunya tak tahu rasa takut. Persis seperti di film Fear Factor, dimana pesertanya diminta menghilangkan rasa takut dan menganggap bahwa rasa takut hanya ada dalam pikiran, segala sesuatu yang dianggap sebagai kejahatan justru dijadikan sebagai jalan hidup. Mencabut nyawa orang lain bahkan diri sendiri, menjadi sebuah jalan yang dianggap benar. Hidup menjadi amat tidak berarti.

Masyarakat yang sedang sakit juga ditandai dengan buruknya layanan yang disediakan oleh sistem ekonomi. Penyedia angkutan darat dengan sesuka hati menyediakan bus, truk dan kendaraan yang tak layak. Mereka tak perduli pada nyawa penumpang, yang penting mereka bisa mendapatkan uang dengan cara cepat.

Yang lebih parah adalah angkutan laut. Tenggelamnya kapal KM Senopati Nusantara dan terbakarnya serta tenggelamnya kapal KM Levina I adalah sebuah tanda lain dari sakitnya para pengusaha. Mereka mengoperasionalkan kapal yang sangat tidak layak. Mereka tidak perduli sama sekali bahwa di atas kapal itu ada bayi-bayi malang, para wanita yang tidak bisa berenang, dan mereka yang tidak punya harapan selain diri sendiri. Mereka yang memiliki kapal itu hanya tahu bahwa uang masuk pada mereka.

Dan yang paling mengerikan adalah apa yang terjadi pada maskapai penerbangan. Tanpa asuransi pada awak kabin, dengan fasilitas keselamatan yang amat minim, plus pesawat-pesawat tua dan tak layak terbang, maskapai penerbangan kita terbang ke sana kemari mencabut nyawa penumpang. Ada dengan cara tenggelam, terbakar dan jatuh. Yang penting, mereka yang memiliki unit usaha itu menikmati hidup bergelimang uang dan kemewahan. Soal keselamatan, urusan belakangan.

Hampir senada seirama, mereka yang sakit juga adalah mereka yang menipu masyarakat dengan dagangannya. Mereka adalah para pedagang yang mencuri beras Bulog milik masyarakat miskin lalu kemudian menjualnya. Mereka yang sakit itu adalah mereka yang menjadi pengusaha, lalu kemudian menggaji karyawannya secara sangat tidak manuasiwi. Mereka yang sakit adalah para petugas imigrasi yang menilap uangnya para TKW ketika pula ke Indonesia. Mereka adalah petugas yang mengijinkan penyelundup keluar membawa pasir dari Indonesia. Mereka adalah petugas dimana pun itu yang menerim uang suap, uang pelicin dan uang rokok demi sepotong surat.

Masih banyak contoh untuk diungkapkan. Masih banyak orang yang bisa dijadikan pelaku atas sebuah kejadian yang memperlihatkan bahwa negeri ini dilanda oleh pandemi global kesakitan. Tetapi mari kita menelusuri fakta yang lebih jauh lagi.

Dari Atas

Pertanyaan kita berikutnya adalah, mengapa bisa terjadi kesakitan massal itu. Salah satu sebabnya adalah karena terjadi proses replikasi yang sangat cepat yang diakibatkan oleh perilaku meniru.

Dalam konteks sosiologis, banyak teori yang menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Ada ”rule model” yang ditiru dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Di masyarakat kita, dengan mekanisme patron-klien yang masih kental, jelas saja yang menjadi rule model adalah para elit dan pejabat negara yang berada di atas. merekalah yang menyebabkan kesakitan masyarakat dengan mudah menyebar dan meluas tanpa dapat dikendalikan.

Para pejabat negaralah yang mengajarkan kepada masyarakat bagaimana mencuri. Mereka mengajarkan dengan menggunakan kedudukan sebagai kesempatan untuk mengambil uang yang bukan miliknya. Mereka gunakan itu untuk membangun rumahnya dengan kemewahan yang amat sangat, menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, bahkan menyumbang ke rumah ibadah seolah uang haram itu bisa digunakan untuk mencuci dosa.

Para pejabat negara itulah yang mengajarkan kepada kita—masyarakat—bagaimana melanggar aturan. Aturan dibuat, kata mereka, untuk dilanggar. Maka jadilah penyimpangan dan penggelembungan dana negara. APBN saja misalnya digelembungkan sampai 300 persen. Lalu ketika ada pemeriksaan dari BPKP dan BPK, mereka mencari celah dengan melakukan apa saja. Salah seorang tersangka kasus korupsi misalnya, menggunakan anaknya untuk menutupi jejak korupsi yang dilakukannya.

Di negeri ini, yang namanya korupsi, sudah tak lagi lazim dengan angka belasan juta. Yang lazim kini adalah belasan miliar. Dan itu dilakukan bertahun-tahun tanpa malu-malu. Mereka mengklaim diri sebagai pemimpin padahal diam-diam mereka menyimpan kebusukan dalam hidupnya.

Mereka sumber inspirasi dari masyarakat. Mereka dengan seenaknya bisa berkata A hari ini namun di media yang sama bisa berkata B keesokan harinya. Mereka tidak pernah punya nurani dan rasa tanggung-jawab. Warga di Sidoarjo menderita, tak satupun rasa empati dan rasa tanggung-jawab muncul dari para pejabat negara. Mereka mengulur-ulur waktu untuk menunda tanggung-jawab itu. Ketika burung besi satu demi satu jatuh dan terbakar, yang dituding adalah pilot dan pramugari. Padahal ijin maskapai ada pada para pejabat eselon I. Ketika wabah penyakit menyerang mereka menyalahkan masyarakat. Padahal dana untuk memberdayakan kesehatan masyarakat dikorupsi tanpa segan.

Pemimpin
Apa yang terjadi? Sumber penyakit adalah dari atas. Prof JE Sahetapy punya resep bagus. Kalau hendak melihat ikan busuk atau tidak, lihat insangnya. Begitu beliau memberikan nasehat kepada peserta seminar yang penulis ikuti beberapa tahun yang lalu. Negara ini pun begitu.

Negara ini begini, merasakan sakit secara massal, karena para pemimpin tak ada yang bisa diandalkan. Mereka mengalami pembusukan dari dalam, dari dirinya sendiri, yang kemudian menulari seluruh masyarakat. Sikap, perbuatan, perkataan, perilaku, norma dan nilai yang mereka anut amat buruk sehingga menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Dengan jujur kita katakan, mereka yang bertindak sebagai pemimpin yang hanya punya komitmen bagi masyarakat sekarang ini hanyalah dalam hitungan jari. Semuanya, hanya menggunakan kedudukan dan kekuasaannya sebagai alat untuk menguntungkan diri sendiri.

Jadi bagaimana jalan keluar? Tulisan ini adalah sebuah panggilan bagi mereka yang masih muda, masih berpikir ideal dan masih mampu menjadi pemimpin kelak. Mereka ada di kampus-kampus. Mereka ada di lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Mereka ada di elemen independen. Mereka ada dan tersebar secara perlahan.

Bagi mereka, tulisan in disampaikan. Bersiap dan persiapkanlah diri. Bangsa ini sudah berada dalam taraf yang sangat akut. Sakitnya sudah sangat parah. Persiapkan diri untuk memegang estafet. Belajar dan bekerja dengan jujur dan melatih komitmen bagi bangsa. Mereka yang kini sedang sakit, dan berada di atas, pasti akan segera berlalu. Dan saat itulah mereka yang benar-benar pemimpin sejati akan memimpin negara ini dengan lebih baik. Semoga demikian.

Read More......

FOKUS Membela Petani

Pemerintah mengumumkan bahwa akan diadakan perubahan dalam pembelian harga dasar gabah dan beras bagi petani. Kalau selama ini pembelian gabah dihargai kurang dari Rp. 2000 saja per kg-nya, kini pemerintah menaikkannya dalam kisaran sekitar Rp. 500. Sementara itu untuk beras pemerintah menaikkan harganya menjadi Rp. 4000 dari sebelumnya hanya sekitar Rp. 3550 per kg-nya.

Pengumuman itu disampaikan langsung oleh pemerintah melalui Menteri Pertanian dan Menko Ekuin dalam sebuah jumpa pers di Jakarta. Apa arti dari pengumuman tersebut?

Petani memang selama ini selalu menjadi korban dari kebijakan pemerintah sendiri. Di hulu, pemerintah tidak memberikan kebijakan yang bersifat insentif. Jangankan memberikan harga dasar pupuk yang bisa menguntungkan petani, pemerintah juga gagal dalam mengendalikan bibit benih padi. Di lapangan ditemukan banyak bibit palsu yang beredar dan menipu para petani.

Di sepanjang musim tanam pemerintah juga seolah tidak perduli. Para penyuluh pertanian misalnya tidak berperan maksimal. Maka praktis, yang terjadi adalah petani dibiarkan sendiri dalam menjalani kehidupan mereka sebagai petani. Mereka harus menanam dan menjalankan aktifitas pertaniannya scara mandiri tanpa keperdulian dari pemerintah.

Akhinya yang kita perhatikan adalah banyaknya petani yang bertumbangan. Mereka harus beralih profesi. Mereka tidak sanggup bertahan dalam menjalankan aktifitas mereka tanpa hasil yang menguntungkan bagi masa depan mereka sendiri.

Lihat saja bagaimana tidak berpihaknya pemerintah. Beras yang dipanen petani kelihatannya tidak dihargai. Pemerintah lebih menyukai memasukkan beras dari luar negeri. Maka impor beras dilakukan setiap tahunnya tanpa memperhitungkan dampaknya kepada para petani.

Maka dampak ganda yang berlebihan akibat kebijakan yang tidak berpihak itu benar-benar telah menjadikan para petani sebagai warga negara yang terabaikan di negerinya sendiri. Sayangnya pemerintah bermain dua kaki. Di satu sisi ketika pemerintah membutuhkan para petani, pemerintah bermuka amat manis. Tetapi ketika musim impor beras tiba, pemerintah meminta para petani kita untuk mandiri.

Pemerintah memang tidak berperan sebagai pengelola sistem pertanian yang baik. Pemerintah tidak menggunakan seluruh akses yang ada pada dirinya untuk menyelenggarakan sistem pertanian yang berciri khas swasembada pangan.

Di depan mata tantangan akan kebutuhan beras sudah menantang. Berdasarkan proyeksi, jumlah penduduk Indonesia di masa depan akan berlipat kali. Maka kebutuhan beras untuk penduduk sebanyak itu pastilah akan sangat besar. Maka jika pemerintah tidak mengintensifkan upaya untuk mengurus bidang pertanian ini maka kita akan menjadi negara produsen beras yang amat tinggi. Tetapi kita tidak mudah melakukannya sebab kapasitas ekonomi kita tidak mampu menghasilkan devisa sebanyak itu.

Maka alhasil, kita kuatir di masa depan, bangsa ini akan terbenam dalam krisis. Masing-masing akan mempertahankan kepemilikan atas modal, sumber daya dan lain sebagainya. Sementara negara, akan sangat sibuk mencari cara untuk memenuhi kebutuhan warga negara yang semakin lama semakin sulit untuk dicukupkan.

Maka kita berharap bahwa keberpihakan kali ini tidak dengan maksud yang lain. Dan ini butuh langkah konkrit di lapangan. Yang lebih penting tetap adalah membangun sistem pertanian yang kuat dan memberdayakan para petani supaya skenario masa depan yang lebih buruk tidak terwujud.

Read More......

FOKUS Hak Veto Rakyat

Dahulu rakyat adalah entitas yang terabaikan. Di hitung tetapi tidak dimaknai. Itulah nasib rakyat di jaman ketika demokrasi diabaikan. Rezim lebih menyukai melakukan kebijakan represif dan melegalkan pembenaran bahwa kekuasaan adalah warisan dari sebuah peristiwa sejarah.

Namun situasi kini amat berbeda. Jangankan hanya dihitung. Kini rakyat pun bisa melakukan veto atas kebijakan sebuah negara. Begitulah peristiwa yang kita lihat beberapa hari ini.

Salah satu contohnya adalah digagalkannya pembelian laptop kepada 550 anggota DPR-RI oleh opini dan aspirasi rakyat. Pembelian seharga Rp. 12,1 miliar itu kemudian dibatalkan, meski kebanyakan anggota DPR-RI sudah menyetujuinya. Bahkan di detik-detik terakhir, Ketua DPR RI masih berkukuh bahwa anggaran terhadap laptop itu sudah dimasukkan. Namun karena tekanan dan kekuatan rakyat lebih besar, laptop itu pun melayang sudah.

Apa yang kita saksikan di atas adalah sebuah ekperimentasi dari people power ala Indonesia. Istilah people poeer itu sendiri sarat dengan makna kekuatan yang masif dari masyarakat. Dengan menggunakan istilah people power, Filipina pernah dua kali merasakan akibatnya. Dua pemimpin di sana, harus rela tumbang karena gerakan massa yang tak lagi mendukung pemerintah.

Indonesia dekat dengan kisah itu. Di tahun 1998, mantan Presiden Soeharto harus jatuh sebelum waktunya karena massa tidak setuju dengan pilihan yang direpresentasikan oleh anggota DPR/MPR jaman itu. Massa kemudian menunjukkan bahwa hak veto nya dengan turun ke jalan dan melakukan aksi anarkis.

Secara teoritis memang kekuatan massa di saat transisi demokrasi amat sarat dengan kekuatan fisik. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang wajar karena di saat itu, elit politik biasanya amat mementingkan upaya mempertahankan kedudukan dan mengabaikan kepentingan masyarakat.

Inilah yang kini kita saksikan di Indonesia. Elit politik lebih sibuk memperhatikan persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan, dan mengabaikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Maka terpaksalah rakyat turun ke jalan dan melakukan tekanan. Mereka mem-veto kebijakan yang tidak sesuai dan di dalam banyak kasus, memperjuangkan perwujudan hak mereka.

Eksperimentasi hak veto yang terbaru muncul ketika masyarakat perumnas Tanggul Angin Sejahtera-I (Perumtas) mengancam pemerintah. Mereka menyatakan akan meluruk ke Jakarta. Tak ayal, rencana tersebut membuat pemerintah terpaksa menekan PT Lapindo Brantas Inc untuk merealisasikan tuntutan ganti rugi tunai rumah dan tanah masyarakat.

Lagi-lagi kita menyaksikan bahwa elit politik sering mengabaikan rakyat. Akibatnya, terpaksalah rakyat menggunakan hak veto berupa kekuatan massa tadi. Itu pulalah yang kita kuatirkan akan terjadi dalam upaya rakyat menginginkan terbentuknya Propinsi Tapanuli. Melihat pongah dan ulah anggota DPRD Sumut yang menciptakan situasi supaya rekomendasi mengenainya berlarut-larut dan terjebak ke dalam ketidakpastian, massa kemudian menanggapinya dengan turun ke jalan. Pemanasannya, sebagaimana dikatakan oleh media ini sudah terjadi pada hari Rabu (28/3).

Apa arti semuanya ini? Apakah rakyat akan terus menggunakan hak vetonya untuk memblokir sikap elit politik yang hanya mempertahankan kekuasaannya? Apakah hak veto rakyat adalah solusi dari setiap persoalan?

Niscaya inilah proses pembelajaran demokrasi kita. Kita harus terus menerus belajar. Pada para elit politik, lebih banyaklah mendengar rakyat jika tidak ingin diveto.

Read More......

Tuesday, March 27, 2007

TANYA KENAPA?

Kenapa Kita Begini?

Tanya kenapa mereka tidak perduli pada kita?
Tanya kenapa mereka tidak mau mendengar kita?
Tanya kenapa mereka tidak memberikan tangan untuk kita?
Tanya kenapa mereka tidak melangkah untuk kita?

Tanya kenapa?
Sampai kapan kita terus bertanya?
Sampai kapan kita dianggap tidak tahu jawabnya?

Read More......

FOKUS Mengukur Kinerja Parlemen

Lagi-lagi anggota DPR bikin ulah. Kali ini mereka akan menerima laptop. Masing-masing dari 550 orang itu akan menerima jatah satu laptop. Total dana yang di butuhkan mencapai lebih dari Rp. 12 miliar rupiah.

Kembali publik merasa di zhalimi oleh tingkah laku anggota DPR ini. Mereka tak juga kapok-kapok mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat kepada mereka, untuk duduk dan mengemban amanah mulia, melayani masyarakat dan memberikan bakti secara tulus.

Bukannya memenuhi harapan itu, mereka malahan menggunakan harapan itu sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan mereka. Padahal, bayangkan saja dengan dana miliaran rupiah tersebut, banyak kepentingan publik yang bisa dikerjakan. Sekolah, kesehatan, jalan, dan sebagainya, jelas amat penting untuk diperhatikan. Namun anggota DPR merasa bahwa mereka lebih utama untuk diperhatikan dibandingkan semuanya itu.

Kalau bicara soal kepantasan, rasanya aneh bin ajaib bahwa parlemen kita memang selalu tidak pernah merasa puas. Dulu mereka pernah mengajukan biaya untuk mengadakan mesin cuci bagi mereka. Lalu kemudian mereka mengusulakan pendanaan untuk biaya perjalanan dan komunikasi bagi mereka. Dan kini, untuk kepentingan yang belum tentu mendesak pun mereka mendesakkannya ke dalam anggaran negara.

Anggota DPR di luar negeri saja tidak petantang petenteng dengan laptop. Mereka lebih suka menggunakan apa yang memang sepantasnya dimiliki oleh anggota parlemen, yaitu kemampuan berkomunikasi. Untuk mempersiapkan agenda dan rapat mereka, mereka menggunakan sekretaris pribadi. Yang lebih utama bagi mereka adalah kemampuan beradu argumentasi, membangun lobby dan negosiasi politik.

Di kita sebaliknya. Anggota parlemen kita amat manja. Padahal mereka sudah diberikan ruang kerja masing-masing. Lalu setiap mereka diberikan staf pribadi dengan perlengkapan yang memadai termasuk komputer. Bukankah kebanyakan mereka juga tidak mampu menggunakannya?

Publik kelihatannya mulai memahami bahwa logika anggota parlemen memang kebanyakan sudah sungsang. Bukannya bekerja dengan baik sesuai dengan amanah yang telah disampaikan kepadanya, mereka malah menjadikan masyarakat sebagai tumbal. Pasca pemilu, kebanyakan anggota DPR memang putar barisan, lalu menghadapkan wajahnya kepada kekuasaan.

Pengalaman memang menunjukkan bahwa menjadi anggota DPR seolah dijadikan sebagai kesempatan besar untuk meraup keuntungan. Ada prinsip aji mumpung di dalamnya. Lihat, bagaimana fakta ini terungkap di persidangan yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Dari pengakuan di persidangan, ternyata ada uang yang mengalir untuk diberikan kepada mantan anggota Komisi III DPR RI, yang ditujukan untuk THR, kunjungan dan keperluan lain yang bukan sepantasnya diberikan.

Sungguh sangat menyedihkan jika kelakuan anggota DPR kita tak lebih dari mereka yang mencari ”gaji” daripada memberikan pengabdian terbaik. Padahal, dimana-mana, menjadi pejabat publik dan pejabat negara semisal anggota DPR adalah sebuah jabatan yang sarat dengan kemuliaan nurani dan tanggung-jawab pribadi yang amat besar. Kesempatan untuk menjadi anggota DPR seharusnya digunakan sebagai kesempatan besar untuk mengerjakan hal besar bagi masyarakat. Ternyata, semaunya tidak demikian. Anggota DPR kita masih memiliki kelas yang tidak bisa menunjukkan kebanggaan kepada kita

Read More......

FOKUS Meredam Gejala Ketidakpuasan

Masyarakat semakin tidak puas terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah. Di Surabaya, warga masyarakat perumahan Tanggul Angin Sejahtera mengancam akan menduduki Istana Negara jika tuntutan ganti rugi secara tunai tidak dikabulkan oleh pemerintah.

Di Aceh Tenggara, menolak hasil Pilkada, masyarakat melakukan demonstrasi. Akhirnya korban pun berjatuhan. Di Sumatera Utara, aliansi masyarakat yang menuntut anggota DPRD Sumut untuk serius memperhatikan usulan masyarakat dalam rangka membentuk Propinsi Tapanuli, mengancam akan menduduki gedung dewan.

Fenomena di atas adalah sebuah gambaran sederhana bahwa masyarakat semakin tidak sabar melihat kelambanan pemerintah dan termasuk institusi parlemen, termasuk dalam meresponi dan menghasilkan berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.

Masyarakat kelihatannya tidak mau melihat dirinya hanya menjadi korban. Masyarakat semakin mudah terpancing untuk menunjukkan diri dan eksistensinya sebagai entitas yang dalam demokrasi disebut sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Bagaimana tidak terjadi demikian? Hari demi hari yang kita lihat memang adalah performa yang mengecewakan. Dibandingkan berpihak kepada masyarakat, banyak kebijakan yang dihasilkan ternyata lebih banyak yang menjadikan masyarakat hanya sebagai korban.

Ambil contoh ketika pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan harga BBM dan mengimpor beras. Masyarakat benar-benar dikecewakan. Mereka menumpuk rasa kecewa karena pemerintah hanya bisa berjanji bahwa pemerintah akan mempertahankan keadaan dan stok yang aman bagi BBM. Nyatanya pemerintah hanya bicara. Masyarakat tetap kesulitan dalam mendapatkan kebutuhan sehari-harinya.

Yang paling parah adalah kebanyakan kebijakan itu justru menambah penderitaan masyarakat. Ada kesan bahwa mereka yang berada di “atas” tidak tanggap terhadap kebutuhan dan penderitaan masyarakat. Wacana para pejabat negara malah adalah wacana yang tidak mengenakkan untuk didengar. Mereka kalau bicara sering menyakiti hati masyarakat.

Maka terjadilah yang disebut sebagai distrust. Masyarakat tak percaya lagi pada apa yang mereka lihat. Masyarakat bisa menilai bahwa setiap keputusan yang kelihatannya baik, di baliknya terdapat keinginan untuk menjadikan masyarakat hanya sebagai akibat dari tindakan tersebut.

Sungguh menyedihkan jika setiap tindakan aparatur negara, baik pemerintah maupun parlemen harus di veto oleh masyarakat. Apa boleh buat. Memang logika masyarakat tanpa kekuasaan adalah logika kekerasan dan kekuatan fisik. Sebab dalam sejarahnya, sebagaimana pernah dituliskan oleh Gunawan Mohammad, perlawanan masyarakat terhadap penguasa sudah dimulai sejak jaman raja-raja. Kala itu, mereka yang tidak setuju dengan raja, memilih membelakangi raja atau dalam hati mengucapkan kata-kata serapah kepada raja.

Kini semuanya sudah lebih ekspresif. Pemerintah tak lagi bisa meredam aura demokrasi dimana segala sesuatu semakin terbuka. Dan yang paling penting adalah jangan dikira masyarakat akan mudah diperdaya seperti dulu.

Jadi bagaimana solusinya? Tidak ada cara lain, selain dengarkanlah suara masyarakat. Jangan diabaikan

Read More......