Saturday, March 31, 2007

TRAGEDI BANGSA SAKIT

(Tulisan ini dimuat di Harian SIB, Medan tanggal 31 Maret 2007 )

Beberapa hari belakangan, muncul laporan bahwa di seantero negeri terjadi kejadian-kejadian gangguang kejiwaan. Di Surabaya, penderita gangguan kejiwaan semakin meningkat pasca tergusurnya mereka dari rumahnya karena banjir lumpur. Di kota lain idem dito.

Pada tingkat yang tidak memunculkan agresi, gangguan kejiwaan ini ditengarai telah menyebar secara laten. Kasus seorang ibu yang bunuh diri bersama empat anaknya dicurigai sebagai salah satu fenomena gunung es yang kejadiannya akan terus menerus menampakkan diri.

Apa yang terjadi pada negeri ini? Salah satu penjelasan yang mungkin terjadi adalah bahwa negeri ini sedang dilanda kesakitan massal. Masyarakat sedang berada dalam tingkat situasi psikologis plus patologis yang bersumber dari sakitnya masyarakat kita tadi. Sakit yang terjadi di negeri ini adalah sakit massal yang terjadi pada banyak orang. Bukan hanya pada satu dua orang saja. Tetapi bersifat menyeluruh dan mengenai banyak orang dengan profesi yang berbeda-beda. Bagaimana wujudnya?

Sakit Massal
Sakitnya masyarakat kita bisa dilihat dari beberapa contoh kasus. Perhatikan ketika anda berada di jalan raya. Di sana anda bukan hanya menemukan kendaraan, namun kendaraan liar. Kendaraan dengan sesuka hati berhenti, kapan mau. Mereka tidak perduli apakah orang lain akan berisiko terjadi kecelakaan atau tidak, yang penting mereka melakukan apa yang mereka mau. Maka kecelakaan demi kecelakaan terjadi begitu saja, tanpa pernah bisa dicegah. Sebabnya karena memang tak ada seorang pun yang mau perduli terhadap jiwanya sendiri, apalagi jiwa orang lain.

Sakitnya masyarakat kita juga bisa dilihat dari ketidakmampuan mereka memilih tindakan mana yang tepat dan yang mana yang tidak. Masyarakat lebih menyukai mereka yang menawarkan jalan pintas dalam kekayaan. Maka terjebaklah mereka sebegaimana dalam kasus penyalahgunaan keuangan yang dilakukan oleh PT IBIS. Lalu perhatikan bagaimana seorang polisi—bawahan—menembak atasannya sendiri. Polisi itu tidak tahu lagi membedakan mana aturan yang memang seharusnya diikutinya.

Perhatikan perampokan, pembunuhan dan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Pelakunya tak tahu rasa takut. Persis seperti di film Fear Factor, dimana pesertanya diminta menghilangkan rasa takut dan menganggap bahwa rasa takut hanya ada dalam pikiran, segala sesuatu yang dianggap sebagai kejahatan justru dijadikan sebagai jalan hidup. Mencabut nyawa orang lain bahkan diri sendiri, menjadi sebuah jalan yang dianggap benar. Hidup menjadi amat tidak berarti.

Masyarakat yang sedang sakit juga ditandai dengan buruknya layanan yang disediakan oleh sistem ekonomi. Penyedia angkutan darat dengan sesuka hati menyediakan bus, truk dan kendaraan yang tak layak. Mereka tak perduli pada nyawa penumpang, yang penting mereka bisa mendapatkan uang dengan cara cepat.

Yang lebih parah adalah angkutan laut. Tenggelamnya kapal KM Senopati Nusantara dan terbakarnya serta tenggelamnya kapal KM Levina I adalah sebuah tanda lain dari sakitnya para pengusaha. Mereka mengoperasionalkan kapal yang sangat tidak layak. Mereka tidak perduli sama sekali bahwa di atas kapal itu ada bayi-bayi malang, para wanita yang tidak bisa berenang, dan mereka yang tidak punya harapan selain diri sendiri. Mereka yang memiliki kapal itu hanya tahu bahwa uang masuk pada mereka.

Dan yang paling mengerikan adalah apa yang terjadi pada maskapai penerbangan. Tanpa asuransi pada awak kabin, dengan fasilitas keselamatan yang amat minim, plus pesawat-pesawat tua dan tak layak terbang, maskapai penerbangan kita terbang ke sana kemari mencabut nyawa penumpang. Ada dengan cara tenggelam, terbakar dan jatuh. Yang penting, mereka yang memiliki unit usaha itu menikmati hidup bergelimang uang dan kemewahan. Soal keselamatan, urusan belakangan.

Hampir senada seirama, mereka yang sakit juga adalah mereka yang menipu masyarakat dengan dagangannya. Mereka adalah para pedagang yang mencuri beras Bulog milik masyarakat miskin lalu kemudian menjualnya. Mereka yang sakit itu adalah mereka yang menjadi pengusaha, lalu kemudian menggaji karyawannya secara sangat tidak manuasiwi. Mereka yang sakit adalah para petugas imigrasi yang menilap uangnya para TKW ketika pula ke Indonesia. Mereka adalah petugas yang mengijinkan penyelundup keluar membawa pasir dari Indonesia. Mereka adalah petugas dimana pun itu yang menerim uang suap, uang pelicin dan uang rokok demi sepotong surat.

Masih banyak contoh untuk diungkapkan. Masih banyak orang yang bisa dijadikan pelaku atas sebuah kejadian yang memperlihatkan bahwa negeri ini dilanda oleh pandemi global kesakitan. Tetapi mari kita menelusuri fakta yang lebih jauh lagi.

Dari Atas

Pertanyaan kita berikutnya adalah, mengapa bisa terjadi kesakitan massal itu. Salah satu sebabnya adalah karena terjadi proses replikasi yang sangat cepat yang diakibatkan oleh perilaku meniru.

Dalam konteks sosiologis, banyak teori yang menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Ada ”rule model” yang ditiru dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Di masyarakat kita, dengan mekanisme patron-klien yang masih kental, jelas saja yang menjadi rule model adalah para elit dan pejabat negara yang berada di atas. merekalah yang menyebabkan kesakitan masyarakat dengan mudah menyebar dan meluas tanpa dapat dikendalikan.

Para pejabat negaralah yang mengajarkan kepada masyarakat bagaimana mencuri. Mereka mengajarkan dengan menggunakan kedudukan sebagai kesempatan untuk mengambil uang yang bukan miliknya. Mereka gunakan itu untuk membangun rumahnya dengan kemewahan yang amat sangat, menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, bahkan menyumbang ke rumah ibadah seolah uang haram itu bisa digunakan untuk mencuci dosa.

Para pejabat negara itulah yang mengajarkan kepada kita—masyarakat—bagaimana melanggar aturan. Aturan dibuat, kata mereka, untuk dilanggar. Maka jadilah penyimpangan dan penggelembungan dana negara. APBN saja misalnya digelembungkan sampai 300 persen. Lalu ketika ada pemeriksaan dari BPKP dan BPK, mereka mencari celah dengan melakukan apa saja. Salah seorang tersangka kasus korupsi misalnya, menggunakan anaknya untuk menutupi jejak korupsi yang dilakukannya.

Di negeri ini, yang namanya korupsi, sudah tak lagi lazim dengan angka belasan juta. Yang lazim kini adalah belasan miliar. Dan itu dilakukan bertahun-tahun tanpa malu-malu. Mereka mengklaim diri sebagai pemimpin padahal diam-diam mereka menyimpan kebusukan dalam hidupnya.

Mereka sumber inspirasi dari masyarakat. Mereka dengan seenaknya bisa berkata A hari ini namun di media yang sama bisa berkata B keesokan harinya. Mereka tidak pernah punya nurani dan rasa tanggung-jawab. Warga di Sidoarjo menderita, tak satupun rasa empati dan rasa tanggung-jawab muncul dari para pejabat negara. Mereka mengulur-ulur waktu untuk menunda tanggung-jawab itu. Ketika burung besi satu demi satu jatuh dan terbakar, yang dituding adalah pilot dan pramugari. Padahal ijin maskapai ada pada para pejabat eselon I. Ketika wabah penyakit menyerang mereka menyalahkan masyarakat. Padahal dana untuk memberdayakan kesehatan masyarakat dikorupsi tanpa segan.

Pemimpin
Apa yang terjadi? Sumber penyakit adalah dari atas. Prof JE Sahetapy punya resep bagus. Kalau hendak melihat ikan busuk atau tidak, lihat insangnya. Begitu beliau memberikan nasehat kepada peserta seminar yang penulis ikuti beberapa tahun yang lalu. Negara ini pun begitu.

Negara ini begini, merasakan sakit secara massal, karena para pemimpin tak ada yang bisa diandalkan. Mereka mengalami pembusukan dari dalam, dari dirinya sendiri, yang kemudian menulari seluruh masyarakat. Sikap, perbuatan, perkataan, perilaku, norma dan nilai yang mereka anut amat buruk sehingga menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Dengan jujur kita katakan, mereka yang bertindak sebagai pemimpin yang hanya punya komitmen bagi masyarakat sekarang ini hanyalah dalam hitungan jari. Semuanya, hanya menggunakan kedudukan dan kekuasaannya sebagai alat untuk menguntungkan diri sendiri.

Jadi bagaimana jalan keluar? Tulisan ini adalah sebuah panggilan bagi mereka yang masih muda, masih berpikir ideal dan masih mampu menjadi pemimpin kelak. Mereka ada di kampus-kampus. Mereka ada di lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Mereka ada di elemen independen. Mereka ada dan tersebar secara perlahan.

Bagi mereka, tulisan in disampaikan. Bersiap dan persiapkanlah diri. Bangsa ini sudah berada dalam taraf yang sangat akut. Sakitnya sudah sangat parah. Persiapkan diri untuk memegang estafet. Belajar dan bekerja dengan jujur dan melatih komitmen bagi bangsa. Mereka yang kini sedang sakit, dan berada di atas, pasti akan segera berlalu. Dan saat itulah mereka yang benar-benar pemimpin sejati akan memimpin negara ini dengan lebih baik. Semoga demikian.

Read More......

FOKUS Membela Petani

Pemerintah mengumumkan bahwa akan diadakan perubahan dalam pembelian harga dasar gabah dan beras bagi petani. Kalau selama ini pembelian gabah dihargai kurang dari Rp. 2000 saja per kg-nya, kini pemerintah menaikkannya dalam kisaran sekitar Rp. 500. Sementara itu untuk beras pemerintah menaikkan harganya menjadi Rp. 4000 dari sebelumnya hanya sekitar Rp. 3550 per kg-nya.

Pengumuman itu disampaikan langsung oleh pemerintah melalui Menteri Pertanian dan Menko Ekuin dalam sebuah jumpa pers di Jakarta. Apa arti dari pengumuman tersebut?

Petani memang selama ini selalu menjadi korban dari kebijakan pemerintah sendiri. Di hulu, pemerintah tidak memberikan kebijakan yang bersifat insentif. Jangankan memberikan harga dasar pupuk yang bisa menguntungkan petani, pemerintah juga gagal dalam mengendalikan bibit benih padi. Di lapangan ditemukan banyak bibit palsu yang beredar dan menipu para petani.

Di sepanjang musim tanam pemerintah juga seolah tidak perduli. Para penyuluh pertanian misalnya tidak berperan maksimal. Maka praktis, yang terjadi adalah petani dibiarkan sendiri dalam menjalani kehidupan mereka sebagai petani. Mereka harus menanam dan menjalankan aktifitas pertaniannya scara mandiri tanpa keperdulian dari pemerintah.

Akhinya yang kita perhatikan adalah banyaknya petani yang bertumbangan. Mereka harus beralih profesi. Mereka tidak sanggup bertahan dalam menjalankan aktifitas mereka tanpa hasil yang menguntungkan bagi masa depan mereka sendiri.

Lihat saja bagaimana tidak berpihaknya pemerintah. Beras yang dipanen petani kelihatannya tidak dihargai. Pemerintah lebih menyukai memasukkan beras dari luar negeri. Maka impor beras dilakukan setiap tahunnya tanpa memperhitungkan dampaknya kepada para petani.

Maka dampak ganda yang berlebihan akibat kebijakan yang tidak berpihak itu benar-benar telah menjadikan para petani sebagai warga negara yang terabaikan di negerinya sendiri. Sayangnya pemerintah bermain dua kaki. Di satu sisi ketika pemerintah membutuhkan para petani, pemerintah bermuka amat manis. Tetapi ketika musim impor beras tiba, pemerintah meminta para petani kita untuk mandiri.

Pemerintah memang tidak berperan sebagai pengelola sistem pertanian yang baik. Pemerintah tidak menggunakan seluruh akses yang ada pada dirinya untuk menyelenggarakan sistem pertanian yang berciri khas swasembada pangan.

Di depan mata tantangan akan kebutuhan beras sudah menantang. Berdasarkan proyeksi, jumlah penduduk Indonesia di masa depan akan berlipat kali. Maka kebutuhan beras untuk penduduk sebanyak itu pastilah akan sangat besar. Maka jika pemerintah tidak mengintensifkan upaya untuk mengurus bidang pertanian ini maka kita akan menjadi negara produsen beras yang amat tinggi. Tetapi kita tidak mudah melakukannya sebab kapasitas ekonomi kita tidak mampu menghasilkan devisa sebanyak itu.

Maka alhasil, kita kuatir di masa depan, bangsa ini akan terbenam dalam krisis. Masing-masing akan mempertahankan kepemilikan atas modal, sumber daya dan lain sebagainya. Sementara negara, akan sangat sibuk mencari cara untuk memenuhi kebutuhan warga negara yang semakin lama semakin sulit untuk dicukupkan.

Maka kita berharap bahwa keberpihakan kali ini tidak dengan maksud yang lain. Dan ini butuh langkah konkrit di lapangan. Yang lebih penting tetap adalah membangun sistem pertanian yang kuat dan memberdayakan para petani supaya skenario masa depan yang lebih buruk tidak terwujud.

Read More......

FOKUS Hak Veto Rakyat

Dahulu rakyat adalah entitas yang terabaikan. Di hitung tetapi tidak dimaknai. Itulah nasib rakyat di jaman ketika demokrasi diabaikan. Rezim lebih menyukai melakukan kebijakan represif dan melegalkan pembenaran bahwa kekuasaan adalah warisan dari sebuah peristiwa sejarah.

Namun situasi kini amat berbeda. Jangankan hanya dihitung. Kini rakyat pun bisa melakukan veto atas kebijakan sebuah negara. Begitulah peristiwa yang kita lihat beberapa hari ini.

Salah satu contohnya adalah digagalkannya pembelian laptop kepada 550 anggota DPR-RI oleh opini dan aspirasi rakyat. Pembelian seharga Rp. 12,1 miliar itu kemudian dibatalkan, meski kebanyakan anggota DPR-RI sudah menyetujuinya. Bahkan di detik-detik terakhir, Ketua DPR RI masih berkukuh bahwa anggaran terhadap laptop itu sudah dimasukkan. Namun karena tekanan dan kekuatan rakyat lebih besar, laptop itu pun melayang sudah.

Apa yang kita saksikan di atas adalah sebuah ekperimentasi dari people power ala Indonesia. Istilah people poeer itu sendiri sarat dengan makna kekuatan yang masif dari masyarakat. Dengan menggunakan istilah people power, Filipina pernah dua kali merasakan akibatnya. Dua pemimpin di sana, harus rela tumbang karena gerakan massa yang tak lagi mendukung pemerintah.

Indonesia dekat dengan kisah itu. Di tahun 1998, mantan Presiden Soeharto harus jatuh sebelum waktunya karena massa tidak setuju dengan pilihan yang direpresentasikan oleh anggota DPR/MPR jaman itu. Massa kemudian menunjukkan bahwa hak veto nya dengan turun ke jalan dan melakukan aksi anarkis.

Secara teoritis memang kekuatan massa di saat transisi demokrasi amat sarat dengan kekuatan fisik. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang wajar karena di saat itu, elit politik biasanya amat mementingkan upaya mempertahankan kedudukan dan mengabaikan kepentingan masyarakat.

Inilah yang kini kita saksikan di Indonesia. Elit politik lebih sibuk memperhatikan persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan, dan mengabaikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Maka terpaksalah rakyat turun ke jalan dan melakukan tekanan. Mereka mem-veto kebijakan yang tidak sesuai dan di dalam banyak kasus, memperjuangkan perwujudan hak mereka.

Eksperimentasi hak veto yang terbaru muncul ketika masyarakat perumnas Tanggul Angin Sejahtera-I (Perumtas) mengancam pemerintah. Mereka menyatakan akan meluruk ke Jakarta. Tak ayal, rencana tersebut membuat pemerintah terpaksa menekan PT Lapindo Brantas Inc untuk merealisasikan tuntutan ganti rugi tunai rumah dan tanah masyarakat.

Lagi-lagi kita menyaksikan bahwa elit politik sering mengabaikan rakyat. Akibatnya, terpaksalah rakyat menggunakan hak veto berupa kekuatan massa tadi. Itu pulalah yang kita kuatirkan akan terjadi dalam upaya rakyat menginginkan terbentuknya Propinsi Tapanuli. Melihat pongah dan ulah anggota DPRD Sumut yang menciptakan situasi supaya rekomendasi mengenainya berlarut-larut dan terjebak ke dalam ketidakpastian, massa kemudian menanggapinya dengan turun ke jalan. Pemanasannya, sebagaimana dikatakan oleh media ini sudah terjadi pada hari Rabu (28/3).

Apa arti semuanya ini? Apakah rakyat akan terus menggunakan hak vetonya untuk memblokir sikap elit politik yang hanya mempertahankan kekuasaannya? Apakah hak veto rakyat adalah solusi dari setiap persoalan?

Niscaya inilah proses pembelajaran demokrasi kita. Kita harus terus menerus belajar. Pada para elit politik, lebih banyaklah mendengar rakyat jika tidak ingin diveto.

Read More......

Tuesday, March 27, 2007

TANYA KENAPA?

Kenapa Kita Begini?

Tanya kenapa mereka tidak perduli pada kita?
Tanya kenapa mereka tidak mau mendengar kita?
Tanya kenapa mereka tidak memberikan tangan untuk kita?
Tanya kenapa mereka tidak melangkah untuk kita?

Tanya kenapa?
Sampai kapan kita terus bertanya?
Sampai kapan kita dianggap tidak tahu jawabnya?

Read More......

FOKUS Mengukur Kinerja Parlemen

Lagi-lagi anggota DPR bikin ulah. Kali ini mereka akan menerima laptop. Masing-masing dari 550 orang itu akan menerima jatah satu laptop. Total dana yang di butuhkan mencapai lebih dari Rp. 12 miliar rupiah.

Kembali publik merasa di zhalimi oleh tingkah laku anggota DPR ini. Mereka tak juga kapok-kapok mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat kepada mereka, untuk duduk dan mengemban amanah mulia, melayani masyarakat dan memberikan bakti secara tulus.

Bukannya memenuhi harapan itu, mereka malahan menggunakan harapan itu sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan mereka. Padahal, bayangkan saja dengan dana miliaran rupiah tersebut, banyak kepentingan publik yang bisa dikerjakan. Sekolah, kesehatan, jalan, dan sebagainya, jelas amat penting untuk diperhatikan. Namun anggota DPR merasa bahwa mereka lebih utama untuk diperhatikan dibandingkan semuanya itu.

Kalau bicara soal kepantasan, rasanya aneh bin ajaib bahwa parlemen kita memang selalu tidak pernah merasa puas. Dulu mereka pernah mengajukan biaya untuk mengadakan mesin cuci bagi mereka. Lalu kemudian mereka mengusulakan pendanaan untuk biaya perjalanan dan komunikasi bagi mereka. Dan kini, untuk kepentingan yang belum tentu mendesak pun mereka mendesakkannya ke dalam anggaran negara.

Anggota DPR di luar negeri saja tidak petantang petenteng dengan laptop. Mereka lebih suka menggunakan apa yang memang sepantasnya dimiliki oleh anggota parlemen, yaitu kemampuan berkomunikasi. Untuk mempersiapkan agenda dan rapat mereka, mereka menggunakan sekretaris pribadi. Yang lebih utama bagi mereka adalah kemampuan beradu argumentasi, membangun lobby dan negosiasi politik.

Di kita sebaliknya. Anggota parlemen kita amat manja. Padahal mereka sudah diberikan ruang kerja masing-masing. Lalu setiap mereka diberikan staf pribadi dengan perlengkapan yang memadai termasuk komputer. Bukankah kebanyakan mereka juga tidak mampu menggunakannya?

Publik kelihatannya mulai memahami bahwa logika anggota parlemen memang kebanyakan sudah sungsang. Bukannya bekerja dengan baik sesuai dengan amanah yang telah disampaikan kepadanya, mereka malah menjadikan masyarakat sebagai tumbal. Pasca pemilu, kebanyakan anggota DPR memang putar barisan, lalu menghadapkan wajahnya kepada kekuasaan.

Pengalaman memang menunjukkan bahwa menjadi anggota DPR seolah dijadikan sebagai kesempatan besar untuk meraup keuntungan. Ada prinsip aji mumpung di dalamnya. Lihat, bagaimana fakta ini terungkap di persidangan yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Dari pengakuan di persidangan, ternyata ada uang yang mengalir untuk diberikan kepada mantan anggota Komisi III DPR RI, yang ditujukan untuk THR, kunjungan dan keperluan lain yang bukan sepantasnya diberikan.

Sungguh sangat menyedihkan jika kelakuan anggota DPR kita tak lebih dari mereka yang mencari ”gaji” daripada memberikan pengabdian terbaik. Padahal, dimana-mana, menjadi pejabat publik dan pejabat negara semisal anggota DPR adalah sebuah jabatan yang sarat dengan kemuliaan nurani dan tanggung-jawab pribadi yang amat besar. Kesempatan untuk menjadi anggota DPR seharusnya digunakan sebagai kesempatan besar untuk mengerjakan hal besar bagi masyarakat. Ternyata, semaunya tidak demikian. Anggota DPR kita masih memiliki kelas yang tidak bisa menunjukkan kebanggaan kepada kita

Read More......

FOKUS Meredam Gejala Ketidakpuasan

Masyarakat semakin tidak puas terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah. Di Surabaya, warga masyarakat perumahan Tanggul Angin Sejahtera mengancam akan menduduki Istana Negara jika tuntutan ganti rugi secara tunai tidak dikabulkan oleh pemerintah.

Di Aceh Tenggara, menolak hasil Pilkada, masyarakat melakukan demonstrasi. Akhirnya korban pun berjatuhan. Di Sumatera Utara, aliansi masyarakat yang menuntut anggota DPRD Sumut untuk serius memperhatikan usulan masyarakat dalam rangka membentuk Propinsi Tapanuli, mengancam akan menduduki gedung dewan.

Fenomena di atas adalah sebuah gambaran sederhana bahwa masyarakat semakin tidak sabar melihat kelambanan pemerintah dan termasuk institusi parlemen, termasuk dalam meresponi dan menghasilkan berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.

Masyarakat kelihatannya tidak mau melihat dirinya hanya menjadi korban. Masyarakat semakin mudah terpancing untuk menunjukkan diri dan eksistensinya sebagai entitas yang dalam demokrasi disebut sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Bagaimana tidak terjadi demikian? Hari demi hari yang kita lihat memang adalah performa yang mengecewakan. Dibandingkan berpihak kepada masyarakat, banyak kebijakan yang dihasilkan ternyata lebih banyak yang menjadikan masyarakat hanya sebagai korban.

Ambil contoh ketika pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan harga BBM dan mengimpor beras. Masyarakat benar-benar dikecewakan. Mereka menumpuk rasa kecewa karena pemerintah hanya bisa berjanji bahwa pemerintah akan mempertahankan keadaan dan stok yang aman bagi BBM. Nyatanya pemerintah hanya bicara. Masyarakat tetap kesulitan dalam mendapatkan kebutuhan sehari-harinya.

Yang paling parah adalah kebanyakan kebijakan itu justru menambah penderitaan masyarakat. Ada kesan bahwa mereka yang berada di “atas” tidak tanggap terhadap kebutuhan dan penderitaan masyarakat. Wacana para pejabat negara malah adalah wacana yang tidak mengenakkan untuk didengar. Mereka kalau bicara sering menyakiti hati masyarakat.

Maka terjadilah yang disebut sebagai distrust. Masyarakat tak percaya lagi pada apa yang mereka lihat. Masyarakat bisa menilai bahwa setiap keputusan yang kelihatannya baik, di baliknya terdapat keinginan untuk menjadikan masyarakat hanya sebagai akibat dari tindakan tersebut.

Sungguh menyedihkan jika setiap tindakan aparatur negara, baik pemerintah maupun parlemen harus di veto oleh masyarakat. Apa boleh buat. Memang logika masyarakat tanpa kekuasaan adalah logika kekerasan dan kekuatan fisik. Sebab dalam sejarahnya, sebagaimana pernah dituliskan oleh Gunawan Mohammad, perlawanan masyarakat terhadap penguasa sudah dimulai sejak jaman raja-raja. Kala itu, mereka yang tidak setuju dengan raja, memilih membelakangi raja atau dalam hati mengucapkan kata-kata serapah kepada raja.

Kini semuanya sudah lebih ekspresif. Pemerintah tak lagi bisa meredam aura demokrasi dimana segala sesuatu semakin terbuka. Dan yang paling penting adalah jangan dikira masyarakat akan mudah diperdaya seperti dulu.

Jadi bagaimana solusinya? Tidak ada cara lain, selain dengarkanlah suara masyarakat. Jangan diabaikan

Read More......