Monday, September 25, 2006

Horor Flu Burung di Indonesia

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian SIB, Medan tanggal 23 September 2006 dengan judul "Penyebaran Flu Burung Di Indonesia)

Serangan virus H5N1 yang menyebabkan kematian unggas dan manusia semakin mematikan. Setelah sebelumnya hanya menyerang sebagian daerah saja, serangan virus ini sudah menjalari kemana-mana. Dalam waktu singkat, sejak ditemukan pertama sekali pada manusia pada tahun 2005, tercatat di awal September ini, sudah 65 pasien positif flu burung pada manusia, dengan tingkat kematian mencapai 75 persen. Penyebaran pada unggas juga sudah luar biasa banyaknya. Kini sudah 30 propinsi di Indonesia tercatat sebagai wilayah dengan positif flu burung.

Tidak dapat dibantah bahwa penyebaran flu burung sudah menyebar di seluruh wilayah tanah, jauh dari harapan semula bahwa penyebarannya akan dapat diisolir sehingga dapat lebih baik. Itu berarti, bahwa pemanggilan sejumlah Kepala Daerah oleh Presiden Yudhoyono di awal penyebaran flu burung semakin mengganas, ternyata tidak efektif untuk mencegah penularannya ke wilayah lain di seluruh Indonesia. Dengan logika yang sama, ternyata, bahwa penyebaran flu burung terutama pada unggas di seluruh Indonesia ternyata gagal pula di kontrol oleh mereka yang dipercaya dan memiliki otoritas atas penanggulangan masalah ini, yaitu Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan.

Di Sumatera Utara saja, sebanyak tiga desa di Dairi sudah mengalami kematian unggas secara mendadak dan ditengarai menjadi sebuah wabah baru. Lalu disusun oleh kematian unggas di Tebing Tinggi dan beberapa wilayah lainnya. Gelombang penularan juga terjadi secara hebat di Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi. Disana, ternak dan manusia mengalami kematian oleh karena flu burung ini.

Minimnya Kewaspadaan

Mengapa penularan dan kematian akibat flu burung ini sedemikian cepat dan meluas tanpa dapat kita cegah? Dalam sebuah film berjudul Race Against The Killer Flu yang dirilis oleh National Geographic, diceritakan bagaimana upaya perlawanan terhadap flu burung ini sedang gencar dilakukan oleh para ahli di seluruh dunia. Dalam skenario yang telah disimulasikan melalui penggunaan komputer, jika satu saja kasus terjadi, maka sebuah negeri dalam waktu singkat (20 minggu) akan mengalami berbagai kegagalan ekonomi, sosial, keamanan dan infrastruktur.

Dalam film itu, direkomendasikan untuk mengedepankan sikap waspada. Ada sebuah sistem deteksi yang harus terus menerus aktif untuk meresponi munculnya kasus flu burung, terutama di awal periodenya. Di Hongkong, misalnya, tingkat kematian bisa dicegah karena dilakukan pencegahan awal yang sangat efektif, yaitu pemusnahan unggas. Jutaan unggas dimusnahkan untuk mencegah penularan. Para pedagang dan penjual ayam bahkan terlibat dalam usaha mencegah ini dengan merelakan unggasnya dimusnahkan.

Yang juga menarik melalui film itu adalah bahwa terdapatnya kemungkinan terjadinya pandemi flu burung akibat proses mutasi yang tidak dapat dicegah. Dalam skenario terburuknya, sebanyak 130 juta orang akan mati akibat keganasan flu burung yang diasumsikan akan dapat menular dari manusia ke manusia jika medium untuk itu tidak dicegah. Virus flu burung adalah virus yang sangat aktif, pintar memanipulasi diri dan sangat tahan lama.

Kematian global akibat flu burung, yang kerap di sebut sebagai pandemi memang semakin meresahkan. Hal ini dipicu oleh ketakutan masyarakat dunia pada berulangnya kasus kematian akibat flu burung pada tahun 1918 yang menewaskan hampir 30 juta orang. Karena itu sekarang ini sedang dikembangkan riset besar-besaran untuk memacu produksi obat-obatan dan vaskin supaya upaya penanggulangannya dapat mendahului proses penyebarannya.

Indonesia

Di dalam negeri, gagalnya penanggulangan flu burung diakibatkan karena tidak adanya kesadaran dan kewaspadaan bahwa flu burung bisa menjadi teror yang sangat menakutkan. Para penentu keputusan masih lebih menyukai bermain lintas atas. Benar bahwa Indonesia sudah mempersiapkan diri dengan pembentukan Komnas Flu Burung. Anggaran trilyunan rupiah sudah disiapkan. Hanya saja pekerjaan tim ini lebih tidak efektif mengingat flu burung bukannya berhenti namun semakin meluas.

Menteri Kesehatan sendiri sudah mengakui bahwa penularan penyakit ini kini berjalan tanpa logika geografis. Alasan itu nampaknya tidak masuk akal. Argumentasi tersebut nampaknya hanya membuang masalah kepada penyakit itu sendiri, bukannya memberikan tanggung-jawab di dalamnya. Sebab berdasarkan penelitian para epidemiologis, perjalanan penyakit ini sebenarnya bisa dicegah persis di daerah dimana karakteristik penderita paling banyak ditemukan. Di Hongkong, gagalnya penularan massal pada manusia adalah karena penanganan persis pada saat penyakit ini pertama ditemukan.

Di Indonesia sebaliknya. Penyakit ini ketika pertama sekali ditemukan pada tahun 2005 justru diupayakan disembunyikan dari pengetahuan publik. Menteri Kesehatan bukannya mengumumkan keadaan waspada, namun berwacana di depan publik bahwa hal ini masih harus dikonfirmasi. Padahal penemuan banyak lembaga litbang di tahun 2003 sampai tahun 2005 bahwa adanya virus flu burung pada unggas, hanya akan menunggu waktu penularannya kepada manusia.

Penelitian membuktikan bahwa penyakit ini umumnya terjadi dan mudah menular di antara para peternak atau mereka yang berada di sekitar peternakan unggas. Maka di Hongkong misalnya, dilakukan pemusnahan unggas persis di wilayah yang dimaksud tadi, tanpa menunggu datangnya kasus. Upaya pre-emptive ini merupakan sebuah cara yang sangat melumpuhkan datangnya gelombang baru kasus flu burung.

Di Indonesia para peternak dan pemelihara unggas masih belum memiliki kesadaran yang sama dengan mereka yang di Hongkong. Mereka tidak bisa disalahkan karena mereka tidak pernah menerima pendidikan dan perubahan perilaku dari dua departemen penting tadi. Masyarakat akhirnya menganggap bahwa flu burung adalah sebuah ilusi yang datangnya dari rekaan pemerintah.

Lambannya reaksi Indonesia terhadap penularan flu burung ini memang disesali banyak negara yang takut jika flu burung ”asal” Indonesia mendarat di negeri mereka. Sebagai tetangga yang baik, Indonesia seharusnya bisa diandalkan untuk mencegah hal ini. Namun seolah karena merasa terancam karena ketidakperdulian Indonesia, banyak negara akhirnya memaksakan diri mendanai Indonesia dalam menanggulangi masalah di dalam negeri sendiri. Ini sangat memalukan dan terkesan mencoreng arang di muka sendiri.

Rekomendasi

Rekomendasi yang sering diabaikan adalah pada perubahan kultural. Ketika masalah ini terjadi seharusnya pemerintah menggunakannya sebagai kesempatan untuk memberikan perubahan perilaku kepada masyarakat dalam hubungannya dengan penanggulangan penyakit. Banyak hal sederhana bisa dilakukan. Sayangnya, pemerintah tidak menangkap hal ini sebagai sesuatu yang penting. Penanggulangan flu burung hanya dilakukan dengan berbagai media yang lebih mirip kesan asal jadi. Para peneliti perubahan perilaku pun seolah tidak perduli.

Kita tahu bahwa serangan ganas virus flu burung di Indonesia belum berhenti. Kita menanti upaya yang lebih maksimal dari pemerintah. Kandang yang semakin sunyi karena ditinggal mati oleh penghuninya, serta rumah-rumah yang menjadi tempat penderita yang meninggal dunia harusnya menjadi penggubah kesadaran bersama.

Pemerintah bisa melakukannya. Sebagai peneliti, penulis sedang melakukan upaya perubahan perilaku pada sekelompok kecil penduduk di kota Medan mengenai flu burung ini. Dan ini ternyata berhasil. Pendekatan peer education melalui pendidikan bagi orang dewasa (andragogik) yang dikombinasikan dengan berbagai model komunikasi terbukti meningkatkan perilaku masyarakat untuk lebih waspada terhadap masalah ini.

Namun pekerjaan yang harus dilakukan lebih banyak lagi. Seluruh pelosok negeri ini adalah laboratorium alami bagi virus flu burung. Ini jelas merupakan bahaya massal yang jika tidak dicegah akan menjadi bahaya besar bagi kita semua. Perburuan untuk mendahului virus ini harus terus menerus dilakukan dengan mengajak seluruh elemen birokrasi-masyarakat-donatur untuk bekerja sama. Saatnya memberikan perhatian yang lebih kepada upaya untuk mencegah penyebaran flu burung.

Read More......

FOKUS: Menghadirkan Keadilan Hukum

Eksekusi terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu “membakar” Maumere. Ribuan masyakat yang tidak puas atas keputusan untuk mengeksekusi tersebut tumpah ke jalan. Mereka melakukan pembakaran terhadap gedung pengadilan, dan membobol lembaga pemasyarakatan. Beruntung aksi anarkis massa yang diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar Rp. 4 miliar tersebut tidak berlanjut. Massa hanya melakukan aksi damai dengan melakukan doa bersama dalam berbagai kegiatan keagamaan, baik misa arwah maupun dalam ibadah.

Kisah eksekuti yang dilakukan pekan lalu itu memang menjadi sebuah perdebatan panjang sejak ketiganya ditangkap aparat enam tahun lalu. Adalah Poso, kota yang berdarah-darah akibat berbagai kerusuhan yang terjadi dalam nuansa agama. Ketiga terpidana kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Namun dalam perjalanan berikutnya, kota Poso sebenarnya tidak pernah tenang. Selalu saja ada kerusuhan. Rumah dibakar tanpa pernah dikenali siapa yang melakukannya. Bahkan masyarakat menjadi korban penembakan tanpa sekalipun diketahui pelaku dan motif.

Itu sebabnya, banyak yang meragukan penangkapan Tibo cs akan menyelesaikan persoalan. Bahkan sebelum eksekusi ini dijalankan, ada aspek politis yang tidak mudah dijelaskan berupa pencopotan jabatan Kapolda Sulawesi Tengah. Ia dinilai tidak menjalankan perintah atasan karena masih mengulur waktu yang saat itu sudah ditetapkan untuk segera mengeksekusi.

Eksekusi Tibo cs juga melebihi tekanan atas eksekusi terpidan mati lain yang pernah terjadi di Indonesia. Dua kelompok massa, saling membangun opini pro dan kontra. Yang mendukung menyuarakan ketegasan untuk segera melakukan tindakan hukum setelah grasi dan PK mereka ditolak, sementara yang kontra meminta pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk keberadaan umat beragama.

Namun pemerintah tetap tidak bergoyahkan. Tibo cs kemudian dieksekusi di hadapan regu tembak, meski kemudian menyisakan banyak persoalan, termasuk tidak dikabulkannya permohonan mereka untuk melalui sebuah misa arwah khusus kepada mereka menjelang kematian.

Dari berbagai sudut pandang inilah maka kita melihat adanya beberapa masalah yang berhubungan dengan keadilan, pasca eksekusi Tibo cs. Yang menarik ternyata adalah bahwa sampai sekarang aktor intelektual dari kerusuhan Poso dan yang kemudian masih menjadi persoalan di sana, sampai sekarang tidak tertangkap oleh aparat. Masyarakat melihat dengan ragu, apakah ketiganya sebagai petani pendatang, mampu melakukan sebuah tindakan teroganisir dan sangat luar biasa sehingga Poso kini menjadi sebuah ladang permusuhan? Bagaimana mungkin mereka yang—katakanlah—sebagai pelaku kerusuhan bisa menjadi pelaku yang sebenarnya sementara kita tahu bahwa kerusuhan yang terjadi waktu itu melibatkan begitu banyak orang termasuk kepentingan politik di dalamnya?

Berbagai pertanyaan di atas sebuah refleksi bahwa kematian Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu jangan sampai menjadi sebuah kematian sia-sia. Mereka yang bagi sebagian orang hanya menjadi tumbal, haruslah menjadi titik tolak bagi berjalannya keadilan di negeri ini. Mereka tetap menjadi sebuah monumen mengenai sebuah kejadian biasa, jika pemerintah gagal menjelaskan kepada publik apa yang sebenarnya sedang terjadi di Poso.

Sekarang ini pemerintah sibuk menghadirkan wacana bahwa eksekusi ini jauh dari soal agama. Beberapa tokoh agama juga diundang untuk menenangkan warga. Menurut kita yang seharusnya jauh lebih penting adalah bagaimana keadilan hadir di setiap sudut negeri ini suapaya pelaku kejahatan, baik teroris, koruptor, maling, pembunuh dan sebagainya dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Itu baru namanya keadilan hukum yang sejati

Read More......