Tuesday, February 27, 2007

FOKUS Mengubah Sistem Manajemen Pencegahan Bencana

Pencegahan selalu di awal. Begitu kata dan prinsip dalam manajemen. Jika kita mengantisipasi sesuatu, itu terjadi ketika kejadiannya belum mewujud. Kalau sudah terjadi, itu bukan pencegahan, melainkan terlambat.

Hal itu yang bisa kita saksikan dalam beberapa hari ini. Setelah Adam Air di grounded disusul oleh terbakarnya KM Levina I dan kemudian tenggelamnya kapal tersebut, Departemen Perhubungan dikabarkan sudah merencanakan akan mengganti 3 pejabat terasnya. Dirjen Perhubungan Udara, Dirjen Perhubungan Laut dan Ketua KNKT menjadi korban pertama yang digeser. Di kabarkan Dirjen Perhubungan Darat akan menyusul.

Ketika dikonfirmasi mengenai pencopotan itu, Menteri Perhubungan menyatakan bahwa pencopotan bukan karena masalah kecelakaan. Namun lebih kepada masalah re-organsasi. Tetapi siapapun tahu bahwa korban susulan pasti akan terjadi setiap kali kecelakaan terjadi. Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok misalnya sudah terlebih dahulu dicopot dari jabatannya.

Presiden Yudhoyono sendiri tidak mau kalah ambil bagian menunjukkan sikap perdulinya. Presiden melakukan sidak ke pelabuhan dan kemudian menginspeksi kapal yang hendak berangkat. Di pelabuhan, Presiden diperhadapkan pada semrawutnya pelayanan.
Tetapi semuanya tidak lagi mengubah apapun. Korban sudah berjatuhan di negeri ini. Sudah ratusan orang kehilangan nyawa hanya di tahun 2007 ini saja karena kecelakaan darat, laut dan udara. Semuanya karena kita selalu menggunakan logika terbalik. Logika kita adalah logika post facto. Artinya baru melakukan setelah kejadian.

Padahal dalam dunia menajemen, logika post facto tak lagi digunakan oleh orang. Logika post facto hanya akan mencari korban demi korban, namun kehilangan kesempatan untuk memperbaiki keadaan di awal.

Yang di Atas menganugerahi pada kita kemampuan untuk memikirkan cara dan upaya mencegah sesuatu terjadi sejak dari awal. Dan ini sudah dieksplorasi oleh pemikir-pemikir dan analis melalui berbagai ekperimentasi yang mereka disain untuk menyelamatkan jiwa manusia. Ilmu ini berkembang di hampir semua jalur pemikiran. Dan itulah yang membuat banyak kemajuan.

Sayangnya hal itu tidak terjadi di dalam mengelola transportasi. Selama ini kita hanya mengandalkan segala sesuatu berjalan apa adanya. Seperti kalimat yang terkenal dan menjadi ikon penting: quo sera, sera. Apa yang terjadi, terjadilah. Di dalamnya ada kepasrahan dan ketergantungan kepada nasib.

Bangsa kita memang memiliki psikologis yang erat dengan kepasrahan pada nasib. Hal itu erat kaitannya dengan ketidakmampuan kita membebaskan kita sendiri dari alam pikir yang menganggap bahwa kita tak mampu melakukan sesuatu. Selama ini kita menganggap bahwa perubahan adalah sebuah yang sangat ditakuti. Sama seperti kisah Asterix dan Obelix yang takut langit runtuh, demikian kita juga takut pada perubahan dan kemauan untuk mengantisipasi.

Departemen Perhubungan sebagai organisasi mungkin selama ini menikmati berbagai keuntungan dan privillage sebagai satu-satunya operator transportasi di negeri ini. Namun ternyata bahwa kualitas pekerjaan yang dihasilkan ternyata tidak cukup mampu mencegah kecelakaan. Karena itu harus dilakukan sesuatu. Pada level tertentu, perubahan memang sudah terjadi. Namun perubahan personil bukan jaminan. Yang paling penting adalah perubahan dalam prosedur pencegahan kecelakaan.

Read More......

FOKUS Kelalaian Yang Dibayar Mahal

Lalai. Begitulah ciri khas bangsa kita. Kata itu bagaikan stigma yang erat melekat pada profil bangsa kita. Karena itu, bencana silih berganti bagaikan arisan dan meminta korban yang tidak sedikit.

Kita selalu lalai karena selalu mengabaikan segala sesuatu. Kita menganggap bahwa segala sesuatunya berlangsung baik saja dan tak perlu bekerja untuk meningkatkan kualitas. Maka yang sangat ditakutkan, yaitu bencana memang seolah tak mau lepas.

Kasus kecelakaan demi kecelakaan yang terjadi di negeri ini, sepekan terakhir, adalah gambaran sederhana bagaimana kita selalu melalaikan apa yang seharusnya menjadi tanggung-jawab kita. Ketika pesawat Adam Air mengalami ”patah”, unsur kelalaian terjadi pada pemerintah. Pemerintah baru melakukan pemeriksaan ketika kecelakaan sudah terjadi. Andaikan sebelumnya dilakukan pemeriksaan yang terkendali dan berdisiplin tinggi, rasanya mustahil menyaksikan hal tersebut. Demikian juga dengan kasus tenggelamnya kapal KM Levina I. Unsur kelalaian terjadi ketika manajemen pelayaran tidak melakukan pemeriksaan secara berkala terhadap aturan yang seharusnya dipenuhi dalam sebuah pelayaran.

Kelalaian bisa dikategorikan sebagai kesengajaan kalau itu terjadi ketika peringatan dan pembelajaran pernah dialami. Tetapi sebagaimana Jansen Sinamo pernah berkata bahwa bangsa kita adalah bangsa yang terlambat belajar.

Beberapa hari ini, masyarakat di Sidoarjo kini melakukan pemblokiran jalan raya dan jalur kereta api. Mereka menuntut ganti rugi atas rumah dan lahan miliknya yang kini menjadi kolam lumpur. PT Lapindo Brantas Inc terbukti lalai dalam mengendalikan dampak atas ekplorasi yang dilakukannya. Lapindo, sayangnya, juga lebih lalai karena mengabaikan proses pencegahan bencana yang seharusnya diterapkan di masa darurat. Akibatnya, lebih dari lima desa di sana kini dibanjiri oleh lumpur.

Kelalaian kita selalu memakan korban. Pemerintah seolah tak punya nyali untuk memperbaiki seluruh manajemen pemerintahan sehingga kelalaian manusia sebagai faktor human error tidak terjadi. Ketika kecelakaan kereta api terjadi, sejatinya itu adalah kecelakaan terakhir. Namun anehnya kecelakaan yang pertama, akan disusul oleh yang kedua, ketiga dan seterusnya. Perhatikanlah bahwa kecelakaan pesawat udara, kapal dan kereta api yang terjadi di awal tahun 2007 ini adalah ulangan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab di tahun-tahun sebelumnya sudah banyak korban berjatuhan.

Kita tidak bisa mengendalikan mentalitas lalai ini sepanjang kita tidak membangun dan menggerakkan disiplin nasional secara kontinu. Di Singapura, masyarakat tertib naik angkutan kota, dan tidak membuang sampah sembarangan. Mereka tidak pernah melalaikan tanggung-jawabnya dalam hubungannya sebagai warga negara. Mereka tidak pernah menjadikan diri mereka sebagai sumber risiko bagi orang lain.

Awalnya tidak mudah. Disiplin dibangun dengan mesin. Artinya gerakan disiplin dibarengi dengan hukuman, yang disebut sebagai reward and punishment. Mereka yang terbukti tidak disiplin diberikan hukuman berat. Maka masyarakat kemudian mengubah diri. Mereka menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada karena menyadari bahwa itulah yang terbaik.

Kita harus melakukan ini jika tidak ingin babak belur dibantai oleh kelalaian kita sendiri. Pemerintah harus mau menanggung seluruh biaya untuk mendisplinkan seluruh masyarakat, mulai dari transportasi, pemukiman, perjalanan sampai di kantor-kantor. Pemerintah harus menjadikan disiplin sebagai kata kunci dalam rangka memandirikan bangsa. Tentunya hal itu harus dimulai dari diri pemerintah sendiri. Pemerintah harus memberikan contoh dan teladan bagaimana menjadi disiplin.

Read More......

FOKUS IPTEK dan Antisipasi Masalah

Berulang-ulang menghadapi bencana, seharusnya negara kita sudah mulai berpikir bagaimana mengantisipasinya. Salah satu yang perlu dan penting untuk menjadi alternatif adalah bagaimana memberdayakan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sesungguhnya kita sudah miliki.

Sewaktu kita mengalami masalah mahalnya bahan bakar minyak, salah satu alternatif yang dikembangkan adalah minyak jarak. Sekarang ini uji cobanya sudah sampai pada tahapan penyebarluasan. Mobil hibrida berbahan bakar minyak jarak kini dianggap lebih ringan, tahan getar dan mudah dikendarai dibandingkan dengan yang menggunakan bahan bakar minyak.

Salah satu yang juga sekarang sedang dikembangkan adalah deteksi dini bencana alam, yang dalam beberapa kasus terbukti sudah berjalan dengan baik. Sayang, meski berfungsi, alat deteksi dini tsunami misalnya adalah bantuan yang diberikan oleh negara lain kepada kita.

Mengapa kita sulit mengembangkan IPTEK kita. Kita percaya bahwa salah satunya adalah karena pengaruh dana untuk menjadikannya lebih baik. Dana riset IPTEK di berbagai sektor umumnya tidak maksimal untuk menghasilkan prototipenya saja sekalipun. Padahal untuk dapat menghasilkan produk yang bisa secara massal diproduksi, diperlukan dana yang luar biasa besar.

Salah satu hal yang menyebabkan masalah ini karena urusan IPTEK sering sekali dianggap sebagai masalah kecil. Paradigma pemerintah adalah bahwa IPTEK tidak berhubungan dengan popularitas mereka. Padahal kalau diperhatikan, bisa saja untuk penyelenggaan pemilu, untuk menjamin keakuratan dan kejujuran hasilnya, dikembangkan alat untuk memilih yang berbasis pada sidik jari saja.

Pemerintah belum melihat IPTEK sebagai kebutuhan penting. Logika pemerintah adalah bahwa masalah ekonomi dibenahi dulu. Apalagi di era pemerintahan yang penuh dengan sifat dan logika populisme ini, masalah IPTEK dianggap tidak relevan. Yang dianggap lebih baik adalah masalah-masalah segera dan menghasilkan dukungan masyarakat luas.

Kita tentunya bisa membangun analogi untuk memperlihatkan bahwa dengan IPTEK sebuah negara bisa memiliki kekuatan untuk maju dan bertahan. Kukuhnya Iran pada sikapnya mengembangkan teknologi nuklir misalnya adalah sebuah sikap yang dari sudut pandang tertentu, malah lebih baik daripada kita yang hanya berdiam diri saja dan hanya tahu menerima apapun yang terjadi.

Bangsa tanpa IPTEK hanya menjadi korban. Sebuah kasus menghebohkan yang terjadi belakangan ini adalah contohnya. Strain virus flu burung asal Indonesia, diisukan telah dijual beli kepada perusahaan farmasi asal Australia. Dengan mendapatkan strain virus tersebut, perusahaans tersebut kemudian menawarkan vaksin kepada Indonesia dan kelak kita kalau ingin mengembangkan vaksin yang sama harus membayar paten kepada mereka.

Sungguh penuh ironi. Bahkan untuk menjaga hak kita sendiri pun kita sangat sulit melakukannya. Tragedi banjir di Jakarta misalnya bukan tidak pernah didengungkan cara penanggulangannya. Pakar tata kota dan manajemen lingkungan dari dalam negeri sudah mengusulkan berbagai cara. Namun sekali lagi, pemerintah seolah tidak perduli karena tidak merasa bahwa IPTEK adalah solusi bagi masalah.

Andainya pemerintah dari dulu mengandalkan IPTEK, maka padi tentunya akan menguning sepanjang tahun, pesawat usang tidak akan terus dipakai dan kapal tidak akan tenggelam. Tetapi apa boleh buat. Negara kita masih membutakan diri dari apa yang seharusnya penting untuk dikerjakan dan ditekuni.

Read More......

Wednesday, February 21, 2007

FOKUS Solusi Beras, Pemberdayaan dan Pengawasan

Masalah operasi pasar beras yang sedang dilakukan oleh Bulog semakin menjadi-jadi. Dari laporan yang disampaikan media, kita menyaksikan bagaimana warga masyarakat saling berebutan beras tersebut. Banyak yang akhirnya tidak mendapatkan karena jatah beras yang dibagikan memang sangat terbatas.

Namun pada saat yang sama, media juga mengisahkan bagaimana para pelaku pasar, yaitu para pedagang beras skala menengah ke atas justru merayakan operasi pasar beras ini. Mereka mendapatkan beras operasi pasar dengan cara-cara curang. Ada yang menggunakan joki, ada yang terlibat dalam pembelian langsung, bahkan ada yang membeli kupon yang sudah dibagikan ke tangan masyarakat miskin.

Repotnya, beras hasil operasi pasar ini kemudian dijual kembali kepada masyarakat dengan harga pasar. Bahkan secara terang-terangan, pedagang beras melakukan pengoplosan beras Bulog dengan mencampurnya dengan beras lain yang ada pada mereka. Banyak juga di antaranya yang mengganti bungkus beras tersebut dengan merk lain yang sudah dikenal oleh masyarakat.

Maka harga beras sejak 2 bulan dilakukannya oparasi pasar terhadap beras ini masih tetap sama saja dibandingkan dengan sebelumnya. Warga masyarakat masih mengeluhkan mahalnya harga beras bahkan ketika Bulog sudah turun tangan sekalipun, masyarakat masih tetap terjebak ke dalam harga beras yang sangat mahal tadi.

Bulog sendiri seolah menyerah. Bahkan mereka menyatakan bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah juga idem dito. Mereka menyatakan bahwa impor beras akan terus dilakukan seiring dengan membanjiri pasar dengan beras Bulog. Alhasil, pedagang penjual beras tetap bersorak dan akan terus bersukacita karena pemerintah memanjakan mereka. Pemerintah seolah menggarami laut, sementara warga miskin kemudian harus makan nasi aking atau mengolah jagung menjadi bubur.

Sebenarnya, masalah penyaluran beras nasional ini hanyalah sebuah bagian dari ketiadaan rencana nasional. Kita, sudah tidak punya lagi manajemen perberasan sejak dari hulu ke hilir. Maka akibatnya yang terjadi adalah sebuah langkah-langkah yang sifatnya karikatif semata, bahkan tidak terukur.

Pemerintah tidak punya konsep bagaimana memberdayakan produksi pertanian secara khusus beras. Sederhana saja contohnya, ketika harga beras selangit, siapa yang untung? Jelas bukan petani, sebab harga pupuk amat tinggi dan harga gabah sangat rendah. Petani gigit jari. Yang tidak tahan kemudian melakukan konversi terhadap lahan pertaniannya sehingga menurunkan produksi pertanian negara kita yang notabene pernah meraih swasembada pangan.

Pemerintah seolah tak bisa mengendalikan masalah ini. Solusi yang enak dan menguntungkan adalah mengandalkan impor beras. Padahal di dalam negeri sendiri, jika saja pemerintah mau, produksi beras bisa digenjot untuk memenuhi stok dalam negeri kita. Memang di tahun 2007 Menteri Pertanian sudah menyatakan akan meningkatkan produksi sampai 2 juta ton. Sayangnya, pernyataan tersebut sudah kalah kesalib oleh keinginan dan kegetolan pemerintah meneruskan impor beras.

Maka solusi masalah perberasan bukan hanya dengan melakukan operasi pasar beras. Itu adalah sebuah solusi jangka pendek yang hanya akan bertahan dalam keadaan darurat. Yang paling penting adalah pemerintah harus mau mengubah cara dan arah pandangnya dalam menata manajemen perberasan nasional kita. Masyarakat petani harus diberdayakan supaya menjadi petani berkelas dan bermartabat. Ini akan lebih baik supaya kekacauan seperti sekarang tidak terulang terus menerus.

Read More......

FOKUS Kisruh, Sesama Penyelenggara Negara

Kekisruhan baru terjadi di negeri ini. Sesama penyelenggara negara saling serang dan tuding, seolah bukan satu komponen. Kejadian ini benar-benar preseden buruk bagi upaya menuju pemerintahan yang berwibawa.

Sebagaimana diketahui, mantan Menteri Hukum dan HAM yang sekarang menjadi Mensesneg, Yusril Ihza Mahendra, diperiksa oleh KPK sebagai saksi perkara pengadaan pemindai sidik jari. Perkara itu melibatkan Sekjen dan pimpinan proyek karena ditengarai sarat dengan korupsi akibat penunjukkan langsung.

Namun reaksi dari menteri Yusril amat mencengangkan. Dengan membawa sejumlah dokumen berisi rekomendasi dari Presiden mengenai penunjukkan langsung yang dimintakan oleh KPK, Yusril mengadukan Ketua KPK. Alasannya adalah bahwa KPK sendiri melakukan penunjukkan langsung proyek pengadaan alat penyadap.

Sontak, tindakan Yusril menjadi perbincangan publik. Publik terbelah dalam pro dan kontra. Istana Negara pun mengambil sikap. Menteri Sekretaris Kabinet mengadakan jumpa pers yang menyatakan bahwa proyek di KPK atas rekomendasi Menteri Sekretaris Negara yaitu Yusril sendiri. Besoknya, Yusril menggelar jumpa pers dan menyatakan bahwa Keputusan Presiden mengenai penunjukkan langsung harus ditata dengan baik sehingga tidak saling membatalkan aturan yang sebelumnya sudah ada.

Proses yang terjadi di atas adalah sebuah kejadian yang harus kita sesali. Penyelenggara negara yang berhubungan dengan proses hukum, dalam hal ini Mensesneg, KPK dan Menseskab, telah terjebak ke dalam opini-opini yang tidak konstruktif.

Harus kita akui bahwa masalah hukum adalah masalah yang sangat sensitif karena melibatkan begitu banyak filosofi, aturan terkait dan tafsiran, dan yang tidak dapat dilupakan adalah preseden yang ada. Dengan demikian, karena beragamnya pandangan dimana posisi hukum berada, jelas saja tidak dapat diselesaikan dengan melakukan dan melemparkan opini. Opini kepada publik malah akan mengaburkan konteks hukum yang sedang dibangun oleh para penegak hukum.

Jika semua pejabat dan penyelenggara negara memilih jalan melempar opini ketika menyelesaikan kasus tertentu, alamat di negeri ini bakalan kacau akan informasi. Sebab opini lebih sarat dengan pandangan subjektifitas yang dibungkus oleh kacamata pelakunya. Sementara informasi yang benar seharusnya didukung oleh data yang ada.

Bagaimanapun, gambaran pro dan kontra, terlepas dari posisi hukum dan kebenaran yang ada di baliknya, kejadian di atas patut kita sebut sebagai memalukan. Para penyelenggara negara telah terjebak di dalam keinginan untuk membenarkan diri sendiri, yang sayangnya dilakukan di dalam sebuah negara yang tentunya ada aturan tersendiri.

Andainya yang terjadi adalah sebuah penataan yang bersumber dari mereka sendiri, maka kejadian ini tidak akan terlihat di permukaan. Proses penunjukkan langsung proyek pembangunan ternyata menjadi polemik yang sangat penting untuk dibahas ulang. Sebab nyatanya, mekanisme ini memang sarat dengan adu kepentingan dan bisa berujung kepada akibat hukum sebagaimana dialami oleh menteri Yusril.

Namun pada saat yang sama, batasan terhadap penunjukkan langsung juga harus tegas, jangan sampai disalahgunakan tanpa kontrol. Hal itu menjadi catatan penting karena negara, melalui kasus KPK, ternyata melegalkan mekanisme demikian.

Sebagai sebuah catatan, proses ini tidak mudah diselesaikan. Para penyelengga negara harus berbicara dengan cara yang pantas. Opini tidak layak dilemparkan sebab masalah yang ada terlalu rumit untuk dipecahkan dengan cara yang tidak pada tempatnya. Publik jangan sampais dibuat bingung oleh ulah para penyelenggara negara sendiri.

Read More......

Thursday, February 08, 2007

BENING #5. Tukar

Pekan lalu saya barusan saja membayar perpanjangan uang kontrak rumah yang sekarang kami tempati. Memang sejak menikah, kami masih tinggal di rumah yang setiap tahunnya kami perpanjang kontraknya ini. Kami sudah tinggal di kawasan ini memasuki tahun ketiga.

Alangkah terperanjatnya saya ketika sampai kepada induk semang, ternyata uang kontrakannya sudah mengalami kenaikan yang tidak sedikit. Saya mencoba bernegosiasi dengan yang punya. Namun keputusan yang punya tetap tidak berubah, uang kontrakan harus dinaikkan. Apa boleh buat, sebagai seorang yang menyewa, saya harus menerima keputusan tersebut. Beruntung saya punya uang cukup untuk membayarnya saat itu juga.

Di perjalanan pulang, saya berpikir-pikir, alasan apa yang membuat pemilik rumah kami itu menaikkan harga kontrakan rumah. Kalau dicari-cari alasannya kelihatannya tidak ada yang mengena. Saya mencoba berandai, jangan-jangan yang empunya rumah ini tidak perduli pada kami, yang penting kontrakan bisa didapatkannya.

Saya mencoba melepaskan pikiran dari hal itu. Lagipula, kalau mau menuntut, kenapa tidak punya rumah sendiri bukan? Sambil tersenyum saya mencoba menangkap sesuatu. Ternyata memang, ada makna penting di balik pengalaman tadi. Saya melihat, sesuatu yang amat penting untuk disampaikan kini.

Bayangkan kita adalah pemilik rumah kontrakan tadi. Setelah menerima uang kontrakan dari saya, apa yang anda rasakan? Senang tentunya. Sebab properti kita ternyata menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Kita hanya “menunggu” datangnya tahun yang baru, lalu akan ada yang menngontrak rumah kita, lalu kita setiap tahunnya akan menaikkan uang kontrakan rumah itu tentunya dengan berbagai alasan.

Berbicara mengenai hal itu, saya berpikir, kalau rumah yang adalah barang yang tetap tinggal diam, tidak bergerak, tapi dihargai sebegitu tinggi dan mahalnya, apalagi dengan hidup kita, yang hidup dan bisa “bergerak”. Pastilah akan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih mahal, bernilai dan menguntungkan, bukan? Inilah yang kini saya sebut sebagai nilai tukar hidup. Artinya, kita dengan segala kemampuan dan potensi yang ada, memiliki nilai yang bisa ditukar menjadi sesuatu, minimal “uang”.

Bicara nilai tukar, berarti berbicara seberapa bernilai kita. Kita sedang membicarakan seberapa besar orang harus menilai kita, jika ingin menggunakan jasa atau kepentingan kita. Di sini, saya bukan sedang berbicara mengenai materi, namun tentang efektifitas hidup kita.

Saya pernah membaca laporan mengenai daftar mereka yang berpenghasilan besar di dunia. Di daftar teratas pastilah Bill Gates, sang pelopor di dunia teknologi komputer. Dengan penghasilan yang sangat besar itu, nilai tukar Gates, sangatlah tinggi. Saya tidak tahu berapa persisnya, tetapi untuk mendatangkannya dan berbicara dalam satu sesi saja sebuah seminar, tukarannya pastilah sangat mahal.

Di dalam negeri ada banyak pesohor dengan bayaran tertinggi. Tantowi Yahya, pernah disebut-sebut sebagai presenter termahal di Indonesia. Berapa tukarannya? Saya tidak tahu persis. Namun ada yang menyebut angka wah untuk setiap kali kontrak dengan televisi. Belum lagi artis-artis papan atas, yang menerima tukaran kemampuan dengan angka yang sangat fantastis. Tanri Abeng, manajer yang pernah ditukar dengan nilai Rp. 1 miliar. Luar biasa. Di saat penghasilan orang lain masih jutaan, Tanri Abeng yang pernah menjadi menteri itu memiliki nilai tukar hidup yang sangat luar biasa.

Bagaimana dengan kita? Sebagai seorang trainer ”kecil-kecilan”, nilai tukar saya memang berubah. 10 tahun yang lalu, ketika saya hanya adalah seorang trainer yang belajar secara otodidak, saya hanya dihargai puluhan ribu dalam 1 hari. Tetapi kini, nilai tukar saya lumayan ”membaik”. Satu harinya saya punya nilai tukar jutaan rupiah.

Saya tidak hendak membandingkan hidup seseorang dengan hidup orang lain, hanya dengan menggunakan logika mata uang saja. Namun yang patut dicermati sesungguhnya adalah, mengapa dua orang yang sama-sama manusia misalnya, bisa memperoleh penukaran yang berbeda? Apa yang membuat mereka bisa menghasilkan perbedaan dalam hal penghasilan misalnya, padahal memiliki profesi yang sama?

Persoalan ada pada nilainya. Nilai tukar berbicara mengenai seberapa bernilai yang ingin ditukar tadi. Kita ingin menggunakan sebuah barang atau produk pastilah membelinya karena kegunaannya. Maka semakin berguna, akan semakin mahallah dia. Sebaliknya, semakin tak berguna, semakin kehilangan nilai. Ketika masih bisa dimanfaatkan, sebuah lampu akan sangat bernilai. Kita bisa membelinya dengan harga puluhan ribu rupiah. Tetapi coba ketika lampu tersebut sudah rusak, sudah tidak lagi berguna, maka tidak ada lagi nilainya selain dimasukkan ke tong sampah.

Dengan demikian, kalau hendak menggunakan logika sederhana, hidup seseorang bergerak di antara dua sisi ekstrim, yaitu yang sangat berguna tentunya semakin bernilai, sampai dengan sangat tidak berguna yang tentunya semakin tidak bernilai. Semakin seseorang dibutuhkan, maka nilai yang digunakan untuk menebusnya sangatlah tinggi. Sebagaimana contoh yang disebutkan di atas, ada banyak orang yang waktunya yang disita orang lain, maka orang lain tersebut harus membayarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk tujuan itu.

Pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Pertama, masalah profesionalisme. Mereka yang dikenal sangat menguasai bidangnya, pastilah mereka yang memiliki nilai amat tinggi. Mereka mampu menjadi pakar yang memberikan kontribusi yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak, baik dalam menghasilkan keuntungan uang maupun yang tidak. Kehadiran mereka bagaikan semangat, guru, teladan ataupun pendorong motivasi, bahkan tak jarang menjadi cap (merek) yang membuat sebuah produk atau jasa, menjadi lebih dikenal.

Sebuah perusahaan tentu tidak ingin investasinya sia-sia. Maka untuk menjamin bahwa hasil produksinya aman dan laku di pasar, maka perusahaan tersebut tidak akan segan-segan menyewa manajer kelas atas dengan bayaran yang mahal juga tentunya. Film, demikian juga. Seorang pemilik rumah produksi, tentunya ingin memajang film buatannya kalau perlu di box office dalam waktu yang lama. Maka deretan pemain film yang menjadi garanasi bagi lakunya film itu, harus dibayar dengan mahal juga tentunya.

Inilah yang kita sebut tadi sebagai profesionalisme tadi. Dan urusan profesional, mungkin ada banyak pilihan. Namun ketika berbicara dengan kebutuhan spesifik, maka ”kompetisi” dalam nilai tukar semakin lebih tinggi lagi. Menyampaikan materi motivasional, misalnya, ada banyak pilihan yang membuat para trainer nasional kini semakin spesifik. Mereka menunjukkan ciri dan perbedaan dibandingkan yang lain. Akhirnya semakin spesifik mereka, semakin tinggi pula nilai tukarnya tadi. Semakin profesional dan spesifik, nilai tukar hidup seseorang menjadi lebih tinggi lagi.

Maka, kalau kita merasa hidup kita bisa berguna, tidak ada pilihan lain selain membuat hidup kita menjadi lebih mahir, lebih profesional dan lebih spesifik. Ini berarti kita harus sedapat mungkin menguasai satu atau lebih kemampuan, dan membangun kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan orang lain. Kita tidak mungkin hanya menjadi orang yang biasa, yaitu yang sama saja dengan orang lain. Tuntutan jaman sekarang adalah bahwa kita harus berbeda dan berkelas. Ini tentunya tidak mudah. Dibutuhkan kerja keras dan kesungguhan mencermati situasi. Kita harus melihat pola perubahan dunia ini lalu menjadikannya sebagai dasar untuk memperbaiki diri.

Read More......

FOKUS Menata Ulang Kota-Kota Kita

Persoalan banjir yang menyerang kota Jakarta memunculkan kembali pertanyaan di benak kita mengenai penataan ruang dan pemukiman di kota. Hal ini menjadi penting karena kerap disampaikan bahwa banjir terjadi karena persoalan lingkungan.

Menghubungkan banjir dengan penataan kota memang amat logis. Sebab di manapun di dunia ini, banjir banyak disebabkan karena adanya peningkatan jumlah debit air permukaan, dan pada saat yang sama terjadi penurunan daya serap air di tanah.

Kota-kota besar memang kini menghadapi sebuah perubahan yang amat masif. Perubahan itu adalah terjadinya transformasi dari pepohonan yang menghijau menjadi lokasi hunian dan bisnisi yang terbuat dari beton. Transformasi ini terjadi karena kebutuhan.

Di kota besar peningkatan aktifitas manusia berkorelasi dengan kebutuhan hunian dan pemukiman. Akibatnya, lahan menjadi semakin sempit. Maka tak ada pilihan lain, untuk mempertahankan aktifitasnya, manusia melakukan perampingan lahan secara terus menerus. Dampak yang kemudian lupa dan sering diabaikan adalah bahwa penataan hunian dan pemukiman tadi tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan terutama aliran air yang mengalir melewatinya.

Maka yang kemudian terlihat adalah sebuah fenomena bangunan yang secara arsitektur cukup baik. Lihat saja kawasan mewah di berbagai kota, dibangun menjulang tinggi dan penuh dengan kemewahan. Bangunan itu dijadikan sebagai pusat bisnis, pusat perumahan dan perkantoran serta pusat rekreasi. Sifat alamiah memang akhirnya menghilang. Maka pohon alam berubah menjadi pohon beton. Bangunan-bangunan tinggi menjadi pohon di kota besar.

Dalam jangka pendek, perubahan memang tidak ditemukan. Namun secara perlahan perubahan kontur permukaan tanah mengakibatkan sesuatu yang amat dasyat terjadi di bawah tanah. Karena lahan di lapisan permukaan tertutup bangunan beton, maka aliran air di permukaan bawah tanah semakin menipis. Tiada lagi ditemukan adanya cadangan air tanah. Maka masyarakat di perkotaan semakin sulit mendapatkan air tanah. Padahal air tanah diyakini menjadi penyeimbang lapisan sedimen di permukaan tanah dan berhubungan erat dengan elastisitas bangunan di atasnya.

Hal yang lebih parah terjadi di lapisan permukaan tanah. Karena pori-pori tanah diganti menjadi bangunan beton, maka air tidak pernah mengalir ke dalam tanah lagi. air tersebut akan tergerus dan mencari kawasan yang lebih rendah di bagian atas tanah. Ketika hujan, air dalam bentuk demikianlah yang kemudian menjadi air bah yang akan menghancurkan kawasan apa saja yang berada di depannya.

Banyak orang beranggapan bahwa penataan kota memerlukan kesimbangan dengan kawasan lainnya. Hal itu benar adanya. Layaknya sebuah kartu domino, gangguan keseimbangan pada kawasan atas pastilah akan menghasilkan air bah pada kawasan di bawahnya. Bogor dan kawasan puncak, adalah daerah yang potensial mengancam keberadaan kota Jakarta. Di kota Medan, bahaya potensial datang dari kawasan pegunungan di daerah Berastagi dan sekitarnya.

Pengetahuan di atas sebenarnya adalah pengetahuan dasar. Karena itu setiap pengembangan kota harus memperhatikan hal-hal di atas. Ada rencana mengembangkan kawasan kota Medan sehingga menjadi lebih mirip Jakarta dalam urusan metro-nya. Namun kita harap bahwa pengembangan ini tidak menjadikan masalah Jakarta berpindah ke kota Medan. Para penentu dan pengambil kebijakan masalah penataan ruang kota harus sungguh-sungguh memperhatikan hal ini sebelum bencana terjadi di depan mata.

Read More......

Tuesday, February 06, 2007

FOKUS Tingkatkan Keperdulian

Bencana banjir yang terjadi di Jakarta, hingga kini, menyiratkan pesan penting kepada kita sesama bangsa Indonesia. Pesan itu adalah, sudahkah kita perduli? Keperdulian pada penderitaan sesama, adalah sebuah panggilan penting kepada kita semua, menyusul banyaknya bencana yang kita hadapi di tahun 2007 ini.

Bencana mau tidak mau dan suka tidak suka memang harus dijalani dan dihadapi. Bagaimanapun, itu adalah sebuah hakikat dari keberadaan manusia dalam kehidupan yang fana ini. Namun ada bedanya tentu, ketika menghadapi bencana secara bersama-sama dan dengan sendiri-sendiri.

Di layar kaca dan dari laporan media, dengan jelas kita menangkap bagaimana penderitaan itu terjadi. Ada bayi yang harus dibawa dengan perahu karet. Ada pasien rumah sakit yang harus diungsikan. Ada wanita tua yang harus dibopong. Ada berbagai kisah tragis menyangkut hal ini.

Di sinilah sentuhan nurani terjadi pada kita, seharusnya sebagai sesama warga bangsa. Sudahkah kita perduli?

Beberapa di antaranya memang langsung menyingsingkan lengan baju. Mereka yang mampu melakukan sesuatu segera mengambil bagian. Beberapa di antaranya membuka dapur umum. Lalu ada yang membuat nasi bungkus untuk kemudian dikirimkan kepada para pengungsi. Warga masyarakat lain mengirimkan paket sembako kepada mereka yang tidak mampu.

Itulah langkah-langkah keperdulian yang dilakukan oleh mereka yang masih memandang sesama sebagai sesama dalam arti yang sesungguhnya. Memang kata “sesama” semakin tergerus maknanya karena berbagai penggunaan yang sudah tidak menyiratkan maknanya lagi. Kata itu pernah digunakan oleh penguasa untuk mendatangkan hasrat kebersamaan, namun kemudian dijadikan hanya sebagai simbol wacana saja.

Maka alangkah lebih banyak berbicara apa yang dilakukan oleh warga masyarakat tadi. Mereka lebih menjelaskan makna sesama itu, dengan makanan, minuman, bahan pakaian dan berbagai kebutuhan lainnya yang mereka antarkan dan dibawa dengan tulus.

Alangkah bedanya dengan mereka yang duduk di atas kekuasaan. Ketika bencana datang, mereka justru lebih suka berdebat mengenai penyebab bencana dan sumber-sumber yang bisa dijadikan kambing hitam. Lihat saja, Menko Kesra malah menuding media membesar-besarkan masalah. Sementaa itu, Wakil Gubernur Fauzi Bowo menyatakan bahwa hal ini adalah kejadian yang memang harus dihadapi karena pengaruh alam.

Model komunikasi para pemimpin dalam suasana bencana memang amat jauh dari keinginan untuk membangun kebersamaan dan keperdulian. Sampai sekarang lihat saja tak ada satupun pejabat yang berbicara di depan publik untuk meminta seluruh masyarakat Indonesia turut mengambil bagian dalam bencana ini. Mereka tak satupun menjadikan bencana sebagai momentum untuk mengubah bencana menjadi semangat untuk berbangsa yang sama.

Untunglah memang bahwa masyarakat tidak terjebak ke dalam ketidakperdulian para elit tadi. Secara sendiri-sendiri masyarakat sudah memberikan perhatian kepada sesamanya yang menderita. Dan bahwa pemerintah belum mengambil bagian, itu adalah persoalan yang harusnya ditagih. Pemerintah seharusnya mengurus kepentingan dan persoalan masyarakat, bukan membiarkan masyarakat.

Bagaimanapun bencana harus dikelola. Begitulah manajemen bencana yang baik. Pemerintah tidak boleh membiarkan aksi karikatif masyarakat ini menjadi tidak berarti. Pemerintah harus mengambil bagian di dalamnya karena bencana pasti akan terus terjadi dan penangglangannya membutuhkan lebih banyak tangan dan kaki yang perduli pada nasib sesamanya.

Read More......

Sunday, February 04, 2007

FOKUS Menyatukan Kekuatan Menghadapi Bencana

Awal tahun ini kita memang bagaikan tak berhenti dihadang oleh bencana. Permulaan almanak diisi dengan musibah tenggelamnya kapal KM Senopati Nuasantara dan hilangnya pesawat terbang Adam Air.

Belum berhenti tersebut, masalah tanah longsor, bencana penyakit datang dengan hebat disertai pula dengan serangan flu burung. Belum selesai dengan itu, wabah DBD menyerang. Dan kini, kita menghadapi bencana alam berupa banjir. Sudah 3 hari banjir menyerang Jakarta dan tercatat sudah belasan orang meninggal dunia karena berbagai sebab.

Bencana memang sebuah persoalan yang tidak bisa ditebak datangnya. Namun bencana bisa dihadapi. Itu adalah kata kunci bagi kita ketika kita menghadapi persoalan yang terus menerus menyerang kita ini.

Pengalaman selama ini setiap kali bencana datang kita tidak memiliki kemampuan menghadapinya. Kita selalu saja terlambat dalam menolong mereka yang mengungsi. Bencana yang terjadi justru menyebabkan masalah baru kepada mereka yang mengalami bencana. Akibatnya, pemerintah selalu mendapat tudingan dari masyakat sebagai tidak perduli dan selalu terlambat.

Apa buktinya? Lihat saja penanganan bencana banjir di Jakarta. Pemerintah daerah DKI Jakarta dituding sebagai tidak melalukan penanggulangan bencana dengan baik. Masih banyak warga yang mengungsi hidup dengan penuh keprihatinan. Bahan makanan tidak memadai sementara ancaman penyakit mendatangi.

Sementara itu Wakil Presiden sudah menyatakan pula bahwa pemerintah pusat tidak akan campur tangan karena pemerintah daerah DKI Jakarta dianggap cukup kaya untuk menghadapi masalah itu sendiri. Di saat yang sama DPW PKS DKI Jakarta mencap bencana banjir ini merupakan bukti kegagalan pemerintah daerah.

Memang semua kritik tersebut ada benarnya. Kita sudah mengetahuinya dari media massa yang melakukan investigasi sendiri bencana ini. Namun yang amat disayangkan adalah bahwa dalam bencana, termasuk bencana banjir ini, pemerintah seolah kehilangan tenaga untuk membangun potensi dan kemampuan untuk menghadang bencana.

Akibatnya semua pihak kemudian bekerja sendiri-sendiri, tentunya dengan kepentingannya masing-masing. Lihat saja ketika bencana banjir terjadi. Karena pemerintah tidak bekerja dengan sigap, maka masyarakat sendiri melakukan aktifitasnya tanpa menanti datangnya bantuan dari pemerintah. Dalam keadaan itu, pada saat yang sama, beberapa elemen datang dengan bantuannya kepada masyarakat.

Amat disayangkan bahwa semua berjalan sendiri-sendiri. Masyarakat dengan segala kemampuannya, melalukan pekerjaan menghadapi bencana secara sendiri. Pemerintah juga. Maka bayangkan sumber daya yang tidak efisien yang terbuang begitu saja. Padahal andaikan semuanya bisa dipadukan, maka yang terjadi bukan hanya bahwa masalah akan dihadapi, namun masalah akan dijadikan sebagai sebuah moment kebersamaan yang akan mendorong semangat berbangsa lebih baik lagi.

Yang terjadi kini adalah masalah banjir seolah menjadi polemik. Belum-belum pemerintah dituding terlambat. Lalu masyarakat dituding sebagai tidak melakukan perilaku yang baik. Semuanya bisa dikatakan benar. Tetapi sesudahnya apa?

Inilah yang harus dikoreksi. Menyelesaikan masalah harus benar-benar dengan membangun seluruh kekuatan yang ada pada bangsa ini dengan baik, mengkoordinasikannya supaya bekerja sesuai dengan peran masing-masing dan kemudian membangun sebuah sinergisme supaya tercapai efektifitas dan efisiensi. Bencana bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, namun bisa dihadapi dengan cara yang benar.

Read More......

FOKUS Banjir, Salah Siapa

Ibukota RI, Jakarta terendam banjir. Itu adalah berita besar yang terpampang di hampir seluruh media. Banjir, memang melumpuhkan Jakarta, menenggelamkan rumah warga dan menyebabkan ribuan warga mengungsi. Sungguh menyedihkan bahwa simbol negara kita bagaikan tercekam dalam penderitaan. Kereta api lumpuh. Sarana transportasi macet total.

Ada apa dengan banjir? Sungguh amat disayangkan bahwa kita sebagai warga negara tak pernah belajar dari pengalaman. Beberapa tahun lalu, Jakarta pernah mengalami hal yang sama. Jakarta dan sekitarnya terendam oleh banjir besar selama seminggu. Kemacetan dan kelumpuhan multi sektor terjadi.

Bertahun-tahun kemudian Jakarta dilanda oleh banjir secara sporadis. Hingga kini banjir kemudian terjadi lagi. Tinggi banjir yang bahkan mencapai 3 meter telah menyebabkan kota Jakarta dan sekitarnya bagaikan lautan air. Danau besar terbentuk dimana-mana dan lautan manusia yang menderita juga bertambah.

Persoalan ini memang persoalan klasik. Sayangnya, antisipasi tidak pernah datang. Penataan banjir bagaikan persoalan kecil dibandingkan dengan pengembangan perumahan, pembangunan koridor baru busway atau menjelang pilkada di jantung Indonesia itu. Padahal, seandainya bisa menjadi barometer, gagalnya antisipasi banjir di sana adalah sebuah kegagalan dalam menunjukkan keseriusan membangun yang dimulai dari pemerintah pusat sendiri.

Banjir dalam skala besar tidak mungkin terjadi jika tidak ada kerusakan besar. Itu adalah kenyataan yang sangat penting untuk diperhatikan oleh kita semua. Kerusakan besar memang terjadi dimana-mana, terutama di Jakarta. Daerah penyangga tidak cukup kuat untuk menjadi daerah resapan dan penahan luapan air. Daerah itu telah diubah menjadi bangunan tinggi dan kuat.

Semua yang bisa dikonversi akan dikonversi, atas nama pembangunan memang menjadi sebuah kalimat yang selalu diamini oleh pelaksana pembangunan. Bukan saja di Jakarta, di hampir semua kota besar, lahan kosong, pepohonan hijau, bahkan pinggiran sungai, dijadikan objek pembangunan. Dibangunlah di atasnya pemukiman, mall, pusat bisnis dan lain sebagainya, yang memang secara ekonomis amat menguntungkan.
Tetapi yang terjadi memang sebuah pertukaran yang tidak selamanya menguntungkan. Alam punya batas toleransi sendiri. Maka kerugian yang diberikan pada manusia diganti dengan meluapnya air dimana-mana ketika musim penghujan datang. Maka fenomena yang kita saksikan adalah alam membuktikan kekuatannya.

Kita teringat dengan puisi yang berasal dari suku kuno di pedalaman Amerika Latin. Mereka menyatakan, “pepohonan jangan ditebang, karena pohon berdiri di atas debu nenek moyang”. Itu adalah ekspresi kehidupan yang di era modern semakin langka maknanya. Kebalikannya justru terjadi. Pohon dianggap gangguan dan tidak perlu sama sekali. Bahkan jika mau, pohon kemudian diciptakan manusia dalam bentuk pajangan.
Manusia merusak alam, maka alampun membalaskan sakitnya dirusak. Itulah yang kemudian terjadi ketika banjir ini terjadi. Entah untuk kesekian kalinya alam menyatakan hal ini dan entah untuk sampai kapan, kebijakan pembangunan akan lebih berpihak kepada upaya memperbaiki lingkungan. Akan tetapi dilihat dari sudut pandang manapun, banjir yang terjadi di Jakarta, sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis dan pusat sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, adalah masalah kita bersama. Sebuah iklan punya jargon, “tanya kenapa”. Kita, seharusnya tak perlu bertanya-tanya mengenai banjir yang terjadi ini. Tidak perlu, “kenapa tanya”. Yang perlu adalah melakukan sesuatu untuk mencegah terulangnya banjir ini di masa depan.

Read More......