Tuesday, February 27, 2007

FOKUS Mengubah Sistem Manajemen Pencegahan Bencana

Pencegahan selalu di awal. Begitu kata dan prinsip dalam manajemen. Jika kita mengantisipasi sesuatu, itu terjadi ketika kejadiannya belum mewujud. Kalau sudah terjadi, itu bukan pencegahan, melainkan terlambat.

Hal itu yang bisa kita saksikan dalam beberapa hari ini. Setelah Adam Air di grounded disusul oleh terbakarnya KM Levina I dan kemudian tenggelamnya kapal tersebut, Departemen Perhubungan dikabarkan sudah merencanakan akan mengganti 3 pejabat terasnya. Dirjen Perhubungan Udara, Dirjen Perhubungan Laut dan Ketua KNKT menjadi korban pertama yang digeser. Di kabarkan Dirjen Perhubungan Darat akan menyusul.

Ketika dikonfirmasi mengenai pencopotan itu, Menteri Perhubungan menyatakan bahwa pencopotan bukan karena masalah kecelakaan. Namun lebih kepada masalah re-organsasi. Tetapi siapapun tahu bahwa korban susulan pasti akan terjadi setiap kali kecelakaan terjadi. Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok misalnya sudah terlebih dahulu dicopot dari jabatannya.

Presiden Yudhoyono sendiri tidak mau kalah ambil bagian menunjukkan sikap perdulinya. Presiden melakukan sidak ke pelabuhan dan kemudian menginspeksi kapal yang hendak berangkat. Di pelabuhan, Presiden diperhadapkan pada semrawutnya pelayanan.
Tetapi semuanya tidak lagi mengubah apapun. Korban sudah berjatuhan di negeri ini. Sudah ratusan orang kehilangan nyawa hanya di tahun 2007 ini saja karena kecelakaan darat, laut dan udara. Semuanya karena kita selalu menggunakan logika terbalik. Logika kita adalah logika post facto. Artinya baru melakukan setelah kejadian.

Padahal dalam dunia menajemen, logika post facto tak lagi digunakan oleh orang. Logika post facto hanya akan mencari korban demi korban, namun kehilangan kesempatan untuk memperbaiki keadaan di awal.

Yang di Atas menganugerahi pada kita kemampuan untuk memikirkan cara dan upaya mencegah sesuatu terjadi sejak dari awal. Dan ini sudah dieksplorasi oleh pemikir-pemikir dan analis melalui berbagai ekperimentasi yang mereka disain untuk menyelamatkan jiwa manusia. Ilmu ini berkembang di hampir semua jalur pemikiran. Dan itulah yang membuat banyak kemajuan.

Sayangnya hal itu tidak terjadi di dalam mengelola transportasi. Selama ini kita hanya mengandalkan segala sesuatu berjalan apa adanya. Seperti kalimat yang terkenal dan menjadi ikon penting: quo sera, sera. Apa yang terjadi, terjadilah. Di dalamnya ada kepasrahan dan ketergantungan kepada nasib.

Bangsa kita memang memiliki psikologis yang erat dengan kepasrahan pada nasib. Hal itu erat kaitannya dengan ketidakmampuan kita membebaskan kita sendiri dari alam pikir yang menganggap bahwa kita tak mampu melakukan sesuatu. Selama ini kita menganggap bahwa perubahan adalah sebuah yang sangat ditakuti. Sama seperti kisah Asterix dan Obelix yang takut langit runtuh, demikian kita juga takut pada perubahan dan kemauan untuk mengantisipasi.

Departemen Perhubungan sebagai organisasi mungkin selama ini menikmati berbagai keuntungan dan privillage sebagai satu-satunya operator transportasi di negeri ini. Namun ternyata bahwa kualitas pekerjaan yang dihasilkan ternyata tidak cukup mampu mencegah kecelakaan. Karena itu harus dilakukan sesuatu. Pada level tertentu, perubahan memang sudah terjadi. Namun perubahan personil bukan jaminan. Yang paling penting adalah perubahan dalam prosedur pencegahan kecelakaan.

No comments: