Tuesday, February 06, 2007

FOKUS Tingkatkan Keperdulian

Bencana banjir yang terjadi di Jakarta, hingga kini, menyiratkan pesan penting kepada kita sesama bangsa Indonesia. Pesan itu adalah, sudahkah kita perduli? Keperdulian pada penderitaan sesama, adalah sebuah panggilan penting kepada kita semua, menyusul banyaknya bencana yang kita hadapi di tahun 2007 ini.

Bencana mau tidak mau dan suka tidak suka memang harus dijalani dan dihadapi. Bagaimanapun, itu adalah sebuah hakikat dari keberadaan manusia dalam kehidupan yang fana ini. Namun ada bedanya tentu, ketika menghadapi bencana secara bersama-sama dan dengan sendiri-sendiri.

Di layar kaca dan dari laporan media, dengan jelas kita menangkap bagaimana penderitaan itu terjadi. Ada bayi yang harus dibawa dengan perahu karet. Ada pasien rumah sakit yang harus diungsikan. Ada wanita tua yang harus dibopong. Ada berbagai kisah tragis menyangkut hal ini.

Di sinilah sentuhan nurani terjadi pada kita, seharusnya sebagai sesama warga bangsa. Sudahkah kita perduli?

Beberapa di antaranya memang langsung menyingsingkan lengan baju. Mereka yang mampu melakukan sesuatu segera mengambil bagian. Beberapa di antaranya membuka dapur umum. Lalu ada yang membuat nasi bungkus untuk kemudian dikirimkan kepada para pengungsi. Warga masyarakat lain mengirimkan paket sembako kepada mereka yang tidak mampu.

Itulah langkah-langkah keperdulian yang dilakukan oleh mereka yang masih memandang sesama sebagai sesama dalam arti yang sesungguhnya. Memang kata “sesama” semakin tergerus maknanya karena berbagai penggunaan yang sudah tidak menyiratkan maknanya lagi. Kata itu pernah digunakan oleh penguasa untuk mendatangkan hasrat kebersamaan, namun kemudian dijadikan hanya sebagai simbol wacana saja.

Maka alangkah lebih banyak berbicara apa yang dilakukan oleh warga masyarakat tadi. Mereka lebih menjelaskan makna sesama itu, dengan makanan, minuman, bahan pakaian dan berbagai kebutuhan lainnya yang mereka antarkan dan dibawa dengan tulus.

Alangkah bedanya dengan mereka yang duduk di atas kekuasaan. Ketika bencana datang, mereka justru lebih suka berdebat mengenai penyebab bencana dan sumber-sumber yang bisa dijadikan kambing hitam. Lihat saja, Menko Kesra malah menuding media membesar-besarkan masalah. Sementaa itu, Wakil Gubernur Fauzi Bowo menyatakan bahwa hal ini adalah kejadian yang memang harus dihadapi karena pengaruh alam.

Model komunikasi para pemimpin dalam suasana bencana memang amat jauh dari keinginan untuk membangun kebersamaan dan keperdulian. Sampai sekarang lihat saja tak ada satupun pejabat yang berbicara di depan publik untuk meminta seluruh masyarakat Indonesia turut mengambil bagian dalam bencana ini. Mereka tak satupun menjadikan bencana sebagai momentum untuk mengubah bencana menjadi semangat untuk berbangsa yang sama.

Untunglah memang bahwa masyarakat tidak terjebak ke dalam ketidakperdulian para elit tadi. Secara sendiri-sendiri masyarakat sudah memberikan perhatian kepada sesamanya yang menderita. Dan bahwa pemerintah belum mengambil bagian, itu adalah persoalan yang harusnya ditagih. Pemerintah seharusnya mengurus kepentingan dan persoalan masyarakat, bukan membiarkan masyarakat.

Bagaimanapun bencana harus dikelola. Begitulah manajemen bencana yang baik. Pemerintah tidak boleh membiarkan aksi karikatif masyarakat ini menjadi tidak berarti. Pemerintah harus mengambil bagian di dalamnya karena bencana pasti akan terus terjadi dan penangglangannya membutuhkan lebih banyak tangan dan kaki yang perduli pada nasib sesamanya.

No comments: