Thursday, February 08, 2007

BENING #5. Tukar

Pekan lalu saya barusan saja membayar perpanjangan uang kontrak rumah yang sekarang kami tempati. Memang sejak menikah, kami masih tinggal di rumah yang setiap tahunnya kami perpanjang kontraknya ini. Kami sudah tinggal di kawasan ini memasuki tahun ketiga.

Alangkah terperanjatnya saya ketika sampai kepada induk semang, ternyata uang kontrakannya sudah mengalami kenaikan yang tidak sedikit. Saya mencoba bernegosiasi dengan yang punya. Namun keputusan yang punya tetap tidak berubah, uang kontrakan harus dinaikkan. Apa boleh buat, sebagai seorang yang menyewa, saya harus menerima keputusan tersebut. Beruntung saya punya uang cukup untuk membayarnya saat itu juga.

Di perjalanan pulang, saya berpikir-pikir, alasan apa yang membuat pemilik rumah kami itu menaikkan harga kontrakan rumah. Kalau dicari-cari alasannya kelihatannya tidak ada yang mengena. Saya mencoba berandai, jangan-jangan yang empunya rumah ini tidak perduli pada kami, yang penting kontrakan bisa didapatkannya.

Saya mencoba melepaskan pikiran dari hal itu. Lagipula, kalau mau menuntut, kenapa tidak punya rumah sendiri bukan? Sambil tersenyum saya mencoba menangkap sesuatu. Ternyata memang, ada makna penting di balik pengalaman tadi. Saya melihat, sesuatu yang amat penting untuk disampaikan kini.

Bayangkan kita adalah pemilik rumah kontrakan tadi. Setelah menerima uang kontrakan dari saya, apa yang anda rasakan? Senang tentunya. Sebab properti kita ternyata menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Kita hanya “menunggu” datangnya tahun yang baru, lalu akan ada yang menngontrak rumah kita, lalu kita setiap tahunnya akan menaikkan uang kontrakan rumah itu tentunya dengan berbagai alasan.

Berbicara mengenai hal itu, saya berpikir, kalau rumah yang adalah barang yang tetap tinggal diam, tidak bergerak, tapi dihargai sebegitu tinggi dan mahalnya, apalagi dengan hidup kita, yang hidup dan bisa “bergerak”. Pastilah akan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih mahal, bernilai dan menguntungkan, bukan? Inilah yang kini saya sebut sebagai nilai tukar hidup. Artinya, kita dengan segala kemampuan dan potensi yang ada, memiliki nilai yang bisa ditukar menjadi sesuatu, minimal “uang”.

Bicara nilai tukar, berarti berbicara seberapa bernilai kita. Kita sedang membicarakan seberapa besar orang harus menilai kita, jika ingin menggunakan jasa atau kepentingan kita. Di sini, saya bukan sedang berbicara mengenai materi, namun tentang efektifitas hidup kita.

Saya pernah membaca laporan mengenai daftar mereka yang berpenghasilan besar di dunia. Di daftar teratas pastilah Bill Gates, sang pelopor di dunia teknologi komputer. Dengan penghasilan yang sangat besar itu, nilai tukar Gates, sangatlah tinggi. Saya tidak tahu berapa persisnya, tetapi untuk mendatangkannya dan berbicara dalam satu sesi saja sebuah seminar, tukarannya pastilah sangat mahal.

Di dalam negeri ada banyak pesohor dengan bayaran tertinggi. Tantowi Yahya, pernah disebut-sebut sebagai presenter termahal di Indonesia. Berapa tukarannya? Saya tidak tahu persis. Namun ada yang menyebut angka wah untuk setiap kali kontrak dengan televisi. Belum lagi artis-artis papan atas, yang menerima tukaran kemampuan dengan angka yang sangat fantastis. Tanri Abeng, manajer yang pernah ditukar dengan nilai Rp. 1 miliar. Luar biasa. Di saat penghasilan orang lain masih jutaan, Tanri Abeng yang pernah menjadi menteri itu memiliki nilai tukar hidup yang sangat luar biasa.

Bagaimana dengan kita? Sebagai seorang trainer ”kecil-kecilan”, nilai tukar saya memang berubah. 10 tahun yang lalu, ketika saya hanya adalah seorang trainer yang belajar secara otodidak, saya hanya dihargai puluhan ribu dalam 1 hari. Tetapi kini, nilai tukar saya lumayan ”membaik”. Satu harinya saya punya nilai tukar jutaan rupiah.

Saya tidak hendak membandingkan hidup seseorang dengan hidup orang lain, hanya dengan menggunakan logika mata uang saja. Namun yang patut dicermati sesungguhnya adalah, mengapa dua orang yang sama-sama manusia misalnya, bisa memperoleh penukaran yang berbeda? Apa yang membuat mereka bisa menghasilkan perbedaan dalam hal penghasilan misalnya, padahal memiliki profesi yang sama?

Persoalan ada pada nilainya. Nilai tukar berbicara mengenai seberapa bernilai yang ingin ditukar tadi. Kita ingin menggunakan sebuah barang atau produk pastilah membelinya karena kegunaannya. Maka semakin berguna, akan semakin mahallah dia. Sebaliknya, semakin tak berguna, semakin kehilangan nilai. Ketika masih bisa dimanfaatkan, sebuah lampu akan sangat bernilai. Kita bisa membelinya dengan harga puluhan ribu rupiah. Tetapi coba ketika lampu tersebut sudah rusak, sudah tidak lagi berguna, maka tidak ada lagi nilainya selain dimasukkan ke tong sampah.

Dengan demikian, kalau hendak menggunakan logika sederhana, hidup seseorang bergerak di antara dua sisi ekstrim, yaitu yang sangat berguna tentunya semakin bernilai, sampai dengan sangat tidak berguna yang tentunya semakin tidak bernilai. Semakin seseorang dibutuhkan, maka nilai yang digunakan untuk menebusnya sangatlah tinggi. Sebagaimana contoh yang disebutkan di atas, ada banyak orang yang waktunya yang disita orang lain, maka orang lain tersebut harus membayarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk tujuan itu.

Pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Pertama, masalah profesionalisme. Mereka yang dikenal sangat menguasai bidangnya, pastilah mereka yang memiliki nilai amat tinggi. Mereka mampu menjadi pakar yang memberikan kontribusi yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak, baik dalam menghasilkan keuntungan uang maupun yang tidak. Kehadiran mereka bagaikan semangat, guru, teladan ataupun pendorong motivasi, bahkan tak jarang menjadi cap (merek) yang membuat sebuah produk atau jasa, menjadi lebih dikenal.

Sebuah perusahaan tentu tidak ingin investasinya sia-sia. Maka untuk menjamin bahwa hasil produksinya aman dan laku di pasar, maka perusahaan tersebut tidak akan segan-segan menyewa manajer kelas atas dengan bayaran yang mahal juga tentunya. Film, demikian juga. Seorang pemilik rumah produksi, tentunya ingin memajang film buatannya kalau perlu di box office dalam waktu yang lama. Maka deretan pemain film yang menjadi garanasi bagi lakunya film itu, harus dibayar dengan mahal juga tentunya.

Inilah yang kita sebut tadi sebagai profesionalisme tadi. Dan urusan profesional, mungkin ada banyak pilihan. Namun ketika berbicara dengan kebutuhan spesifik, maka ”kompetisi” dalam nilai tukar semakin lebih tinggi lagi. Menyampaikan materi motivasional, misalnya, ada banyak pilihan yang membuat para trainer nasional kini semakin spesifik. Mereka menunjukkan ciri dan perbedaan dibandingkan yang lain. Akhirnya semakin spesifik mereka, semakin tinggi pula nilai tukarnya tadi. Semakin profesional dan spesifik, nilai tukar hidup seseorang menjadi lebih tinggi lagi.

Maka, kalau kita merasa hidup kita bisa berguna, tidak ada pilihan lain selain membuat hidup kita menjadi lebih mahir, lebih profesional dan lebih spesifik. Ini berarti kita harus sedapat mungkin menguasai satu atau lebih kemampuan, dan membangun kemampuan yang berbeda dibandingkan dengan orang lain. Kita tidak mungkin hanya menjadi orang yang biasa, yaitu yang sama saja dengan orang lain. Tuntutan jaman sekarang adalah bahwa kita harus berbeda dan berkelas. Ini tentunya tidak mudah. Dibutuhkan kerja keras dan kesungguhan mencermati situasi. Kita harus melihat pola perubahan dunia ini lalu menjadikannya sebagai dasar untuk memperbaiki diri.

No comments: