Friday, July 21, 2006

Bening #4. Arah

Hidup harus memiliki arah. Tanpa arah, hidup tak punya tujuan. Arah penting untuk memberikan panduan kepada kita, dalam wujud empat serangkai pertanyaan yang tidak terpisahkan, yaitu: kemana, kapan, mengapa, dan bagaimana menjalani hidup kita.

Apa artinya? Kalau punya arah hidup, kita tahu hendak kemana. Karir, keluarga, perjalanan, dan hidup kita sendiri, jelas semuanya harus punya tujuan akhir. Itulah arah yang akan menjadi panduan kita dalam mengerjakan semuanya itu. Jika kita bekerja tanpa arah maka karir kita bukannya tak berujung, bahkan juga tak berawal. Kita tak tahu beranjak darimana dan kelak tahu hendak menjadi apa. Tanpa arah, karir berubah menjadi rutinitas. Kita pun bekerja tanpa gairah dan semangat. Kita hanya akan menghabiskan waktu untuk sebuah penghasilan bulanan yang tak bermakna. Demikian juga dengan keluarga. Tanpa arah, hanya akan menjadi sebuah arena hubungan yang kering kerontang, bahkan untuk keluarga itu sendiri terasa hambar. Apalagi jika kita hubungankan dengan hidup. Tanpa arah, hidup tak lagi menjadi sebuah kegembiraan. Hidup hanya akan menjadi keluhan dan perjalanan kering yang amat membosankan.

Bandingkan kalau kita punya arah. Kalau kita punya arah, kita tahu hendak jadi apa 1 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, bahkan 20 tahun ke depan. Arah membuat tujuan perjalanan kita menjadi amat mudah ditelusuri.

Berikutnya, arah juga mengajak kita untuk melangkah pada waktunya. Ketika seorang dengan jabatan puncak memiliki arah hidup, maka ia tidak akan ragu-ragu, meski itu adalah keputusan untuk berhenti sekalipun. Semua karena karirnya memiliki arah yang memandu perjalanannya, dengan rambu-rambu yang amat menolong. Arah bagaikan sebuah sinyal yang memberikan panduan berwarna hijau, kuning dan merah. Arah memberikan sinyal, kapan seseorang harus memulai melakukan sesuatu, terus mengerjakan sesuatu atau berhenti mengerjakannya.

Arah juga memberikan alasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup. Hidup yang berarah akan memberikan argumentasi terhadap keputusan dalam karir, keluarga, investasi, jabatan dan sebagainya. Argumentasi itu hadir jika arah disandingkan dengan keputusan-keputusan menyangkut hidup tadi. Arah, adalah alasan untuk melangkahkan kaki ke sesuatu tempat yang hendak dituju.

Dan yang terakhir, arah menyebabkan hidup memiliki langkah-langkah strategis untuk mencapainya. Arah mengeluarkan kemampuan kreativitas seseorang untuk dapat mencapai dan menggapai sebuah tujuan. Dengan arah, seseorang bisa mengatur hidupnya, bahkan ritme hidupnya dengan baik, sehingga secara bertahap—tidak sekaligus—capaian hidup dapat diletakkan. Tahap demi tahap disusun untuk kemudian mencapai puncak yang sudah dinyatakan oleh arah tadi.

Kalau punya arah tertentu, maka seseorang akan lebih mudah memanajemen hidupnya sendiri. Tanpa arah, maka hidupnya akan dimanajemen oleh orang lain. Arah membuat semua putaran waktu dalam hidup menjadi teratur dan mudah dijalani. Arah mengubah beban hidup menjadi sukacita. Arah menyebabkan kehidupan menjadi seringan dedaunan yang hanya butuh mengikuti gerakan angin.

Suatu kali sebuah pesawat terbang dalam kabut malam. Petir di kanan kiri. Para penumpang merasakan ketakutan yang amat sangat. Pesawat berkali-kali terguncang dan terpental. Mereka diminta menggunakan sabuk pengaman dengan baik. Beberapa kali pramugari pesawat dari pengeras suara memberitahukan bahwa pesawat sedang berada dalam badai.

Akhirnya pesawat itu mendarat juga. Rupanya di bawah, tim penyelamat sudah bersedia dan siaga. Ada ambulans, pemadam kebakaran dan tim penyelamat lengkap dengan peralatannya. Mereka segera mengevakuasi para penumpang.

Para wartawan pun memburu sang pilot. Mereka mencecar sang pilot dengan pertanyaan-pertanyaan. Mereka menanyakan bagaimana sang pilot mampu membawa pesawat tersebut terbang melewati badai.

Sang pilot menjawab,”Situasi memang amat buruk. Segalanya amat sulit dikendalikan. Namun yang saya lakukan hanya melewati badai itu. Kami punya radar yang akan menunjukkan jalan.”

Pilot itu benar. Dia hanyalah bertugas untuk melewati badai. Yang bertanggung-jawab untuk menunjukkan jalan adalah radar di pesawatnya. Di tengah badai sekalipun, kalau radar berfungsi dengan baik, maka pesawat adalah mesin yang bertugas hanya untuk terbang. Tanggung-jawab sepenuhnya berada pada radar itu.

Jadi, memang, segalanya perlu arah. Mengapa? Supaya ketika kita melewati badai sekalipun, tanggung-jawab dan beban mentalnya bukan tertimpa pada pemikiran kita seorang, namun pada arah hidup yang telah kita tentunya. Bayangkan apa jadinya kita, ketika mengalami badai kehidupan, tanpa arah dan tanpa ”radar”. Niscaya kita akan terseret, terhentak dan terbuai kemana-mana, tanpa tahu kemana akan pergi.

Radar adalah arah yang menyelamatkan hidup kita. Jika kita punya arah, tugas kita hanyalah melewati kehidupan ini, dan membiarkan arah kita menuntun kita sesuai dengan panduannya sendiri. Jadi, hidup menjadi amat mudah. Lagipula, kelihatannya alasan untuk menggunakan arah hanya satu saja, yaitu karena hidup ini hanya sekali. Karenanya jangan sampai habis dalam perjalanan hanya untuk berputar-putar dan berbalik-balik seolah gelindingan tak menentu. Hidup bukan sebuah bola yang bisa terlempar kesana-kemari. Hidup hanya sekali karena itu harus diarahkan dengan baik.

Arah menyebabkan semua rencana menjadi nyata. Kalau kita hendak membangun rumah, arah kita adalah disain rumah itu. Kalau kita hendak mendirikan jembatan, arah kita adalah maketnya. Kalau kita hendak berbelanja, arah kita adalah daftar yang dibuat untuk itu. Arah membuat semua yang masih berada dalam intuisi menjadi bisa diraba dan dilihat.

Hidup bukan tiada akhir. Maka harus selalu ada arah. Seseorang yang tanpa arah hidup adalah orang yang hidup dalam ambivalen. Hidup terbatas tetapi dengan cara hidup yang tak terbatas. Sungguh sangat menyedihkan dan sia-sia. Kelak, hanya akan ada penyesalan dan tangisan karena ketika sadar bahwa semuanya sudah terlambat, tak ada lagi kesempatan untuk membalikkan waktu.

Read More......

TANYA MENGAPA

Mengapa kita selalu lalai bertindak?
Mengapa kita selalu lamban melakukan sesuatu?
Mengapa kita selalu menunggu bencana terjadi,
baru tergopoh meraup aksi yang tak lagi bisa menyelamatkan?

Bangsa kita harus belajar banyak apa artinya bekerja keras
Bangsa kita harus belajar serius apa artinya merancang hidup
Bangsa kita harus mematri tekad apa artinya sedia payung sebelum hujan

Bencana terjadi lagi, dan kelak akan terjadi lagi
Namun kemana nurani, tekad dan semangat?
Kemana kita, sehingga alam begitu mudah mengguncang kita?
Kemana kita dengan segala keangkuhan, ketika alam murka?

Indonesia, sampai kapanpun akan selalu terlambat
Jika kita tak menjadikannya lebih cepat

Read More......

Panggung Sandiwara Keadilan dan Hukum Di Negeri Kita




Lagu ”Panggung Sandiwara” ternyata bukan hanya lagu semata. Di negeri ini, keadilan dan hukum juga tak ubahnya sebuah panggung sandiwara yang dipertontonkan kepada khalayak ramai. Berbagai pernyataan bahwa negara ini adalah negara hukum, adalah sandiwara semata. Artinya, hanya bisa dinikmati sebagai sebuah tontonan, namun mustahil direalisasikan. Semuanya, sekali lagi karena hukum kita tak ubahnya sebuah sekuel opera sabun. Dan pelaku-pelaku di dalamnya bagaikan pemain sandiwara yang berperan sebagai aktris dan aktor mahir.

Di negeri ini, keadilan dan hukum memang menjadi sandiwara karena satu sebab saja: sifat materialisme telah mengotori dan menciderai para pelaku keadilan dan petinggi hukum. Mereka telah menggadaikan keadailan dan hukum demi uang semata. Dalam arti harafiahnya, kata “keadilan” telah ditransaksikan dengan uang. Uang membuat hakikat dan makna keadilan bergeser menjadi sekedar seberapa besar uang diberikan dan atau diterima.

Dalam pengertian ini, kita melihat bahwa uang telah membuat pelaku kejahatan menjadi merdeka sebebas-bebasnya. Pelaku kejahatan yang berurusan dengan hamba hukum sudah tahu harus melakukan apa. Mereka hanya harus menyediakan sejumlah uang yang merupakan kebutuhan para penegak hukum kotor. Lalu semua urusan bisa dibereskan dengan amat licin dan lihai.

Penegak Hukum

Yang paling kita soroti di dalam kasus tergadainya keadilan di Republik Indonesia ini pastilah bukan hukum yang tertulis. Sebab hukum adalah sebuah benda mati tanpa roh. Yang membuatnya bernafas adalah para penegak hukum.

Sayangnya karena hidup matinya hukum berada di tangan mereka, maka aparat penegak hukum, menjadi sangat dominan. Mereka, karena telah terpengaruh pada uang, justru menggunakan keadilan yang ada di tangannya, lalu menyerahkannya bulat-bulat kepada mereka yang berbuat kejahatan. Untuk perbuatan bejad dan haram itu aparat penegak hukum memperoleh uang imbalan, seolah mereka tak bisa hidup layak dari gaji yang mereka terima dari negara.

Fenomena inilah yang terjadi di negeri kita. Penegak hukum memperoleh keuntungan atas kelakuan mereka itu demi memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Bahwa penegak hukum telah menggadaikan keadilan untuk mendapatkan uang bukan sebuah isapan jempol yang hanya menjadi komoditas gosip. Fakta sudah memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka memilih jalan haram dan menjadi mafia. Mereka adalah para pengacara, hakim, panitera dan jaksa ”hitam” yang bukan hanya ”nakal” tetapi sudah penuh dengan kejahatan.

Di sebuah pengadilan kini hakim harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya karena terbukti memeras terdakwa. Lalu di pengadilan juga setidaknya dua terdakwa menyebutkan bahwa mereka diperas oleh Jaksa. Sebelumnya, publik sudah mengetahui bagaimana pengacara juga terlibat dalam perbuatan haram ini. Dan yang terakhir, anggota KPK sendiri, tertangkap tangan memeras korban yang terlibat dalam kasus korupsi. Aparat kepolisian sendiri tak luput dari masalah dalam kasus pembobolan Bank BNI.

Kita tidak perlu membuktikan bahwa ada mafia di negeri ini sebagaimana pernah diminta oleh Ketua MA Bagir Manan. Semuanya tidak dapat dibuktikan karena terdapat sebuah perilaku yang amat licin dan licik. Segala bentuk transaksi umumnya dibuat tanpa bukti. Semuanya amat rahasia dan penuh dengan tipu muslihat. Namun publik yang pernah berurusan dengan penegak hukum mengerti benar bahwa setiap kali mereka memasuki wilayah paras penegak hukum, terlebih dalam kasus korupsi yang bernilai besar, mereka harus bersiap “diperas” habis-habisan. Di setiap tingkat, polisi, jaksa, hakim dan pengacara berkolaborasi turut mereguk keuntungan dari kasus korupsi yang dilakukan, misalnya, dengan mencoba mengiming-imingi berbagai “jalan keluar” atau “pengaturan” sehingga terdakwa seolah memperoleh angin sorga.

Dampak

Uang sudah menjadi penyebab dari kegagalan kita dalam menegakkan seluruh sistem di negeri ini. Dunia politik, hukum, sosial, keamanan, bahkan kebudayaan menjadi kabur dan tidak ada kepastian. Seluruh sendi-sendi negeri menjadi amat gamang dan sulit menemukan kebenaran di dalamnya, karena semuanya amat relatif. Penyebab utama dan paling utama adalah karena uang.

Namun secara khusus, kita amat memprihatinkan jika keadilan dan hukum sudah bisa dibeli oleh uang. Sebab kita tahu bahwa hukum hadir untuk memberikan kepastian dan jaminan bahwa setiap warga negara berada dalam perlindungan sebesar apapun kesalahan yang diperbuatnya.

Kita patut menjadi amat bersedih jika keadilan dan hukum bisa dibeli dengan uang. Itu berarti bahwa keadilan dan hukum telah menjadi alat untuk melakukan kejahatan. Hukum dan keadilan, yang amat murni dan lurus dari maknanya, menjadi sebuah alat untuk berbuat kejahatan dan mengatur kejahatan.

Dan yang paling kita amat sesali adalah karena penegak hukum telah menjadi pelaku dari hancurnya keadilan dan hukum di negeri ini. Penegak hukum telah menjadi pemain sinetron, yang menggunakan otoritas yang ada pada tangannya untuk menciderai dan menzhalimi kemurnian hukum itu sendiri. Para penegak hukum memang menjadi penanggung-jawab utama dari berbagai masalah yang ada di negeri ini. Dari diri merekalah kekacauan terbit dan mucul.

Perubahan

Jelas, dalam situasi sekarang amat sulit melakukan perubahan. Di dalam sistem yang sudah gelap dan korup, semua orang berusaha mempertahankan sistem ini karena dianggap menguntungkan. Sebab selama bertahun-tahun, orang bertahan dalam keadaan yang jahat ini, meski mereka tahu tidak benar, namun karena memberikan keuntungan yang amat besar, dianggap sebagai kebenaran.

Itu sebabnya, ketika ada perubahan menuju kebaikan, mereka yang menyelewengkan keadilan adalah yang pertama-tama menolak untuk berubah. Mereka menyatakan bahwa kebenaran tidak dapat dimiliki dengan melakukan perbaikan dan keadilan menjadi absud dengan cara baru. Namun semuanya adalah strategi mereka untuk meruntuhkan gelombang pembaruan.

Kini yang kita saksikan memang adalah sebuah perseteruan muka dengan muka (vis a vis) antara mereka yang selama ini menikmati kejahatan dengan segala keuntungannya bagi mereka, dengan mereka yang menyatakan sebagai pembela kebenaran. Para pembela kebenaran yang masih berbicara jujur dengan menggunakan nurani memang masih sedikit dan kebanyakan berada di luar sistem.

Konfrontasi antara kedua pihak inilah yang kini terjadi di negeri kita. Mereka yang selama ini menjadi penegak hukum ”kotor” dan yang telah mengotori tangan, kantong dan keluarganya dengan uang hasil pembalakan pada orang lain, sedang bekerja keras melakukan penentangan pembaruan. Aksi penentangan, baik yang berlangsung secara baik-baik maupun dengan menggunakan metode pembenaran hukum selalu saja digagas.

Untuk melawan mereka, memang diperlukan kerja keras dari mereka yang jujur tadi. Mereka harus tetap membakar semangat perlawanan, mengancungkan tangan untuk tetap kuat menyaksikan melemahnya perlawanan, dan tetap bersuara manakala hanya seberkas cahaya yang bisa disaksikan. Suatu saat negeri ini—semoga—bisa menjadi negeri yang tak lagi panggung sandiwara. Suatu saat, para penegak hukum yang berbuat kejahatan itu, harus tersungkur dan terpelanting, karena mereka tersandung oleh perbuatannya. Kita berharap bahwa akan datang saatnya dimana kita menemukan keadilan tetap adil dan hukum tetap benar. Namun, kita harus bersabar menanti saat itu.

Read More......

Wednesday, July 12, 2006

Bening #3. Prestasi

Putaran Piala Dunia tahun 2006 berakhir sudah. Piala simbol supremasi di bidang sepak bola tersebut di boyong pulang oleh Italia. Di final, negara tersebut mengalahkan Prancis dengan skor 5-3 melalui drama adu pinalti yang dramatis.

Menyaksikan sepanjang pertandingan tersebut, kadang ada rasa sedih, terutama membandingkannya dengan keadaan negara kita sendiri. Kapan kita bisa menjadi bagian dari kompetisi akbar yang amat prestisius itu? Mengapa kita tidak bisa mengikuti jejak negara Asia lain, semisal Jepang dan Korea Selatan, beradu laga olah “si kulit bundar”, berkompetisi bersama negara lain di dunia ini?

Dalam konteks itulah maka kita akan berbicara mengenai satu kata yang sering disebut tetapi kini semakin kehilangan makna, yaitu: prestasi. Apa itu prestasi? Prestasi adalah capaian hidup. Artinya sesuatu yang didapatkan, diperoleh atau dimiliki. Itulah sederhananya prestasi. Jadi kalau Italia berbangga hati karena berprestasi itu karena mereka mendapatkan, memperoleh, dan memiliki hak sebagai juara nomor wahid dalam seleksi sejagad itu.

Apa sebab orang sering tidak berprestasi. Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Karena orangnya tidak mau berprestasi. Kalau kita tadinya bicara soal prestasi, berarti kita bicara soal capaian tertinggi dan terbaik. Artinya, level puncak yang bisa didapatkan oleh seseorang. Jadi sebab seseorang itu tidak berprestasi adalah karena tidak ingin mencapai puncak tertinggi dari sesuatu.

Apa boleh buat, kebanyakan kita masih seperti ini. Kita membiarkan diri kita sendiri sehingga tidak ingin menggapai suatu prestasi. Kita tidak mau mencapai sesuatu yang paling tinggi atau lebih dari yang pernah dicapai. Ibaratnya hidup apa adanya, dan hidup seadanya. Apa yang kita miliki sekarang sudah cukup. Tak perlu mendapatkan lagi yang lebih, karena kita tidak merasa itu penting. Lagipula sering sekali kita melihat orang lain di sekitar kita hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan apa-apa. Dan kita memilih cara hidup seperti itu. Kita, tidak mau berprestasi. Kita merasa cukup.

Ya, merasa cukup dengan keberadaan sekarang memang menjadi masalah utama pada banyak kita. Itu sebabnya, di berbagai unit usaha, di kantor-kantor pemerintah dan swasta, ataupun dalam kehidupan sekalipun, banyak orang hanya berdiam diri saja. Mereka tidak mau melakukan apapun yang disebut sebagai prestasi. Karena merasa sudah cukup dengan keadaan yang sekarang. Segalanya dianggap dalam keadaan baik dan tidak ada yang perlu dikejar.

Jadi bisa disimpulkan bahwa prestasi sebenarnya adalah masalah mental. Masalah sesuatu yang berasal dari dalam. Padahal, justru inilah inti persoalannya, sebab masalah prestasi memang erat kaitannya dengan energi yang berasal dari dalam diri seseorang. Inilah yang kerap disebut sebagai mentalitas berprestasi. Seseorang yang ingin berprestasi harus memiliki ini. Mereka yang ingin maju, berada pada level terbaik, dan mencapai semua keinginan yang diharapkan, harus memiliki gairah dan spirit untuk berprestasi. Gairah inilah yang mendorong dan memberikan kekuatan penuh untuk maju dan membangkitkan semangat untuk berprestasi. Gairah inilah bahan bakar bagi pencapaian prestasi seseorang.

Namun mentalitas berprestasi karena gairah saja tidak cukup. Dibutuhkan latihan kehidupan, yang mungkin memakan waktu bertahun-tahun lamanya, dengan berbagai dinamika tantangan yang ada, untuk memiliki mental berprestasi.
Seekor burung rajawali yang sedang belajar terbang berkata kepada induknya, “Ibu, mengapa aku tidak bisa sekali saja terbang lalu mahir?”

Induknya menjawab,”Anakku, kamu adalah rajawali. Dunia yang harus kamu arungi adalah angkasa yang luas ini. Tidak mungkin kamu bisa menguasai angkasa ini kalau masih berpikir bahwa dengan sekali terbang kamu langsung bisa mengarunginya.”

“Tetapi mengapa, Ibu?” tanya rajawali muda tak puas. “Bukankah kita memiliki sayap yang kokoh untuk terbang?”

“Benar anakku,” kata induk rajawali, “Tetapi sayapmu belum kokoh. Terbanglah terlebih dahulu, supaya kamu tahu bahwa kamu belum sekuat yang kamu bayangkan.’

Rajawali muda tak puas. Ia mencoba melayang. Sekejap ia melayang, namun bukan terbang. Ia terhempas oleh angin. Beruntung, ada induknya yang selalu bersedia menuntun ia kembali mencoba. Namun demikian, perkataan induknya terbukti. Ia belum bisa terbang semahir rajawali lainnya. Ia menyerah, ia belajar dan kemudian terbang berulang kali. Mencoba dan mencoba lagi. Sampai akhirnya ia benar-benar mahir.

Kisah di atas menceritakan kepada kita bahwa menggapai prestasi memang tidak mudah. Tidak ada prestasi yang bisa didapatkan secara instan. Uang, koneksi, kedekatan dengan kekuasaan, sama sekali tidak akan membantu kita mendapatkan prestasi sejati. Kita tidak akan bisa mendapatkan prestasi dengan mudah. Dibutuhkan waktu yang lama, dalam bentuk latihan kehidupan, untuk kemudian menjadikan kita memiliki mentalitas berprestasi dalam hidup. Latihan-latihan “terbang” seperti rajawali, adalah sebuah polesan yang akan meningkatkan spirit dan gairah kita, sehingga kita tahu kita sudah berada pada level mana dalam menggapai prestasi kita.

Seekor rajawali tentunya tidak bisa dengan begitu saja mengarungi lautan luas untuk menunjukkan kegagahannya sebagai sang raja di angkasa. Namun sebagai seorang pemula, sang rajawali muda sudah memiliki semangat untuk mengarungi angkasa. Yang kurang adalah latihan. Ia harus berlatih terbang.

Kita pun demikian. Kita, kalau sudah memiliki semangat dan spirit, harus belajar dan berlatih terus. Kalau kita ingin mengarungi lautan, daratan dan angkasa kehidupan ini, dan mencatatkan prestasi di dalamnya, kita tidak akan mudah mendapatkannya. Semakin luas keinginan prestasi kita, semakin berat tuntutan untuk melatih diri. Inilah kombinasi dua hal yang sangat penting untuk terus menerus kita asah. Gairah untuk berprestasi dan latihan untuk menggapainya. Keduanya akan saling mengisi sehingga mentalitas berprestasi akan lebih kuat dan kokoh lagi.

Memiliki spirit saja, hanya menjadikan kita sebagai sosok rajawali yang bergairah menjadi raja di angkasa, namun belum bisa terbang. Menjalani latihan, tanpa tahu hendak menjadi penguasa angkasa, juga akan membosankan. Kedua hal itu harus berjalan sinergis. Kita harus memiliki keduanya. Kita harus punya spirit untuk bisa menjadi sesuatu yang layak membuat kita terhormat dan mulia karena prestasi kita. Tanpa spirit itu kita bisa mengkerut dengan cepat manakala ada tantangan kecil sekalipun. Tanpa spirit, kita bisa kehilangan arah dalam menggapai prestasi. Tetapi kita juga sekaligus, harus melatih diri supaya kita mendapatkan prestasi itu dengan terhormat dan mulia. Tanpa latihan dan keinginan untuk mencoba terbang, kita hanya akan menjadi seorang pemimpi prestasi. Latihan kehidupan membuat sayap-sayap rajawali yang ada dalam diri kita menjadi lebih kokoh dan mampu menyangga seluruh spirit tadi. Latihan yang baik dan tekun membuat tubuh penuh spirit tadi menggapai prestasi terbaiknya.

Mari kembali melihat kepada definisi prestasi tadi. Disebutkan tadi bahwa prestasi adalah capaian hidup. Sejauh mana capaian itu? Definisi tadi adalah definisi yang sungguh abstrak. Prestasi memang sangat abstrak karena prestasi memang sangat tanpa batas. Kita bisa mendapatkannya lalu kemudian terus berupaya mendapatkannya bahkan bisa mendapatkannya seolah kita belum mendapatkannya. Dengan kata lain, pencapaian prestasi adalah sebuah proses panjang yang tanpa henti dan seharusnya memang tak pernah berhenti. Berprestasi adalah panggilan seumur hidup.

Dunia ini begitu luas. Mahakarya Tuhan yang agung tidak berhenti pada satu, dua, tiga prestasi saja. Tak terhitung banyaknya prestasi yang bisa kita raih kalau kita mau. Kita bisa melakukan sebanyak yang kita bisa, kalau kita mau. Dunia ini begitu luas. Dunia ini begitu besar. Kita tidak boleh berdiam diri, merasa cukup dan merasa puas. Kita harus mendapatkan pencapaian demi pencapaian seumur hidup, karena di bawah kolong langit tempat kitas berada ada begitu banyak prestasi yang bisa dilakukan.

Pencapaian prestasi, adalah hakikat manusia sejati. Artinya seorang manusia yang memiliki kesempurnaan sebagai manusia yang mengarungi kehidupan, kalau terus menerus memperbaiki diri, mencapai prestasi demi prestasi dalam hidupnya. Deburan ombak dengan setiap selalu menganggap setiap pukulan di tepi pantai adalah prestasi. Begitu juga kita, harus selalu berusaha mencapai level yang lebih baik lagi, lebih tinggi lagi dan lebih lagi, seolah kita belum melakukannya dengan baik dan benar. Tak pernah berhenti, dan tak pernah merasa lelah. Itulah hakekat seorang yang berprestasi.

Read More......

Moral Melawan Korupsi

(catatan: tulisan ini dimuat di kolom Opini Harian SIB, 17 Juli 2006)


Perlawanan terhadap korupsi adalah sebuah perjuangan besar. Besarnya perjuangan bukan hanya disebabkan karena pelakunya banyak namun lebih kepada kancah perlawanan yang semakin luas. Kalau dulu kita melihat bahwa konsep koruptor hanyalah pada mereka yang bekerja di birokrasi, kini semakin meluas. Kita melihat bagaimana ”sayap” korupsi melibas mereka yang bekerja di sektor hukum, legislatif, bahkan para pengusaha. Semuanya memperlihatkan bagaimana massifikasi korupsi berjalan dengan amat parah di negeri ini.
Hal itu sebenarnya sudah disadari benar oleh pemerintah. Itu sebabnya secara kualitatif, hampir tidak ditemukan kesulitan dalam memberikan ijin terhadap mereka yang tersangkut kasus korupsi, bahkan pejabat negara sekalipun. Sampai sekarang, ijin pemeriksaan sudah diberikan kepada banyak Gubernur, Bupati dan Walikota. Bahkan anggota DPRD di seluruh Indonesia pun tidak luput dari pemberian ijin ini.
Sampai sekarang, berdasarkan data yang ada, jumlah terdakwa kasus korupsi di Indonesia sudah mencapai 1000-an orang. Itu berarti telah terjadi pembengkakan kasus korupsi di Indonesia, secara khusus sejak pemerintahan ini menjadikan korupsi sebagai target utama. Beruntunglah bahwa pemerintah ini memang cukup jeli mengangkat isu karena isu korupsi tetap menjadi perhatian bagi publik. Setiap kali terdapat pembongkaran kasus korupsi, perhatian publik tetap saja tersita ke arah pelakunya.
Kita menyadari bahwa pemberantasan korupsi memang sebuah hal penting. Dan itu pasti memakan waktu yang lama. Presiden Yudhoyono sendiri sudah menyatakan bahwa untuk membersihkan Indonesia, diperlukan waktu setidaknya satu generasi. Dan itu setidaknya memakan waktu 15 tahun, seperti pernah diungkapkan oleh Presiden.

Persoalan
Melihat waktu yang lama itu, terang saja ada rasa lelah dalam menyaksikan perubahan. Sebab bagaimanapun tidak mudah menyaksikan mereka yang berperilaku korup terus saja bergerak dan menggunakan uang negara untuk kepentingannya sendiri. Belum lagi dengan masalah dimana para pelaku penegak hukum bisa saja tercemar idealismenya dalam menempuh waktu itu. Hal itu wajar saja karena pelaku korupsi punya uang untuk menyuap dan menyogok hamba hukum. Bagi mereka hal itu sangat mudah dilakukan karena uang yang mereka korupsi lebih besar dari uang yang harus mereka ”korbankan”.
Kelelahan sebenarnya bisa dipaksakan diterima jika saja kita menyaksikan arah yang baik dan jelas. Hanya saja persoalan utama yang kita lihat dalam perlawanan melawan korupsi adalah belum jelasnyas titik tujuan.
Dari sudut pandang pemerintah sendiri, hendak kemana perlawanan ini dibawa belum jelas. Perlawanan terhadap korupsi kini malah kelihatannya melenceng dan bergerak bagaikan bola liar, melibas mereka yang sebenarnya tidak terlalu signifikan dalam memberikan pelajaran atas korupsi yang dilakukannya.
Perlawanan terhadap korupsi membutuhkan korban yang signifikan. Artinya, mereka yang menjadi target harus mampu memenuhi kriteria sebagai korupsi yang tidak dapat dimaafkan lagi, korupsi yang sangat besar, dan terutama adalah korupsi yang jika pelakunya diberikan hukuman akan membuat jera yang lain. Ini yang kurang dilakukan oleh pemerintah.
Perlawanan terhadap korupsi kelihatannya menjadi lakon politik. Ada kritik ketika hal ini pernah dilontarkan yaitu bahwa pemerintah menggunakan prinsip tebang pilih. Menurut kita, tebang pilih tetapi signifikan bisa saja karena dikarenakan oleh keterbatasan pemerintah, ketidakmampuan mengganjar semua pelaku serta keinginan mencari popularitas. Hal itu sah-sah saja, namun jangan sampai menjadi rule yang baku. Bagaimanapun, penegakan korupsi tidak bisa dikerjakan dengan memilih dan memilah targetnya, kecuali dengan mempertimbangkan argumentasi tadi di atas, itupun hanya dilakukan dalam waktu yang singkat saja.
Jargon mengenai korupsi memang pernah dibentangkan amat lebar oleh pemerintah. Namun sayangnya, hal itu kemudian lenyap ketika pemerintah disibukkan oleh berbagai hal menyangkut masalah bencana dan sebagainya. Akibatnya yang kita saksikan sekarang ini, ”moral” melawan korupsi kelihatannya mulai menurun.
Moral melawan korupsi yang kita saksikan ini adalah sebuah semangat bersama yang muncul dalam diri semua orang di negeri ini. Moral ini terbentuk karena ada persamaan keinginan dan harapan untuk menyaksikan negeri ini bebas dari korupsi. Moralitas inilah yang kini melemah. Masyarakat seakan tidak percaya pada pemerintah. Masyarakat tidak bersemangat lagi karena kembali kepada konsep tadi, bahwa pemerintah hanya mengandalkan moralitas sebatas kepentingan politik saja.
Padahal masyarakat memerlukan ikon pemberantasan korupsi di masyarakat. Karena masalah korupsi sudah lama terjadi, semangat perlawanan seharusnya dipelihara dan dipertahankan. Perlawanan diupayakan jangan sampai kendor dan melemah. Karena sekali sudah menurun, maka akan sangat sulit membangkitkan kembali perlawanan terhadap korupsi.

Redefinisi
Maka diperlukan setidaknya beberapa hal. Pertama, komitmen. Pemerintah harus berbicara lagi kepada masyarakat mengenai komitmennya ini. Pemerintah harus menggairahkan ulang moral melawan korupsi ini supaya masyarakat yang tadinya mengalami ”perdarahan” semangat, bisa bangkit dan bersemangat untuk melawan korupsi. Namun hal ini bergantung kepada penerjemahannya di lapangan.

Aparat penegak hukum pemberantas korupsi, misalnya KPK, Kejaksaan Agung dan aparat kepolisian harus memiliki komitmen ini. Komitmen diperlukan tentunya supaya mata pisau penanganan korupsi jangan sampai tumpul di tengah jalan. Para penegak hukum harus terus menerus menegakkan integritas dan moralitas mereka sebagai pemberantas dan bukannya yang kelak kemudian harus pula diberantas. Mereka yang bekerja harus memiliki semangat dan daya juang supaya kasus korupsi jangan menjadi mentah dan tidak lagi berarti karena ketidakmampuan mereka menahan godaan. Karenanya, mekanisme seleksi dan pengawasan internal harus benar-benar ditegakkan dengan baik.
Kedua, kreatifitas. Pelaku korupsi jelas bukan anak kemarin sore yang hanya bisa pasrah. Mereka semakin lihai dan semakin kreatif dalam menyembunyikan aksinya. Karena itu mereka pun harus dilawan dengan cara dan jurus kreatif pula. Pemerintah harus terus berpikir, berencana dan menggunakan ide yang baik untuk melawan korupsi. KPK misalnya kini sedang menyiapkan jurus baru untuk menjegal mereka yang mengkorup uang negara sampai di tingkat birokrasi terendah. Jika tidak dapat membuktikan kekayaan, maka kekayaan yang ada disita untuk negara.
Belakangan ada keinginan pemerintah untuk menerbitkan sebuah aturan baru mengenai perlunya bukti awal atas laporan korupsi yang akan dilakukan menggunakan mekanisme internal. Kita harap bukan pada caranya, namun kepada tujuannya. Kita berharap bahwa tujuan melawan korupsi jangan sampai dimatikan sendiri oleh pemerintah dengan caranya membunuh diri sendiri. Moralitas melawan korupsi jangan sampai dibunuh sendiri oleh pemerintah ini.
Sebagai bangsa yang sedang berjuang untuk memperbaiki diri, kita perlu mengingatkan pemerintah bahwa komitmen dan kreatifitas membangun moral melawan korupsi harus terus menerus digagas dan diperjuangkan oleh pemerintah. Bangsa ini sudah lama berada dalam cengkeraman korupsi karena itu harus ditata moralitasnya melawan korupsi secara terus menerus tanpas kenal lelah. Hal ini amat penting dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah

Read More......

Menghadang Komersialisasi Pendidikan




(catatan: tulisan ini dimuat di Kolom Opini Harian SIB, tanggal 13 Juli 2006)
Dalam sejarahnya pendidikan hadir untuk memberikan pencerahan kepada bangsa ini. Setelah terjebak ke dalam penjajahan lama, maka Ki Hajar Dewantara menggagas sebuah miniaturnya dalam Taman Siswa. Konsep awalnya adalah bagaimana menyelenggarakan sebuah pendidikan yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini sehingga tak lagi dijajah.

Lama berselang, konsep pendidikan itu kini berubah total. Kemajuan dan peradaban global telah mengubah konsep pendidikan yang sangat “Indonesia” itu menjadi sebuah pendidikan ala global tetapi tanpa warna sama sekali. Pendidikan kita terjebak ke dalam komersialisasi pendidikan yang amat fatal dan parah. Hal itulah yang kini kita bisa lihat dari maraknya pendidikan tinggi di Indonesia, dan kasusnya kini mencuat ke permukaan pasca ditemukannya sejumlah perguruan tinggi yang melanggar batas, sehingga menyelenggarakan kelas jauh.

Dalam bukunya McDonalisasi Pendidikan Tinggi, Heru Nugroho dan teman-temannya sudah pernah mengingatkan kita betapa bahayanya kini pendidikan kita terutama pendidikan tinggi. Pendidikan didisain dengan menggunakan logika perusahaan gerai makanan fast food. Sederhananya, pendidikan tinggi dijadikan sebagai sebuah produk cepat saji dan cepat jadi. McDonalisasi yang terkenal dengan ikon “I’m lovin It” itu merambah kemana-mana dengan memanfaatkan selera pasar yang amat membutuhkan makanan model rasa Barat tetapi lidah versi Indonesia.

Hipotesis Heru Nugroho pernah saya angkat ke permukaan ketika masalah BHMN mencuat. Namun para petinggi sebuah PTN yang berkeberatan dengan ketidaksetujuan saya menyatakan bahwa pemberian status BHMN ini memang bukan lampu aladin yang bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Kita menerima argumentasi tersebut namun tetap melihat bahwa pemberian BHMN kepada perguruan tinggi hanya akan mempercepat kompetisi yang tidak sehat.

Bagaimana tidak? Kini perguruan tinggi dengan status BHMN menjadi pengelola pendidikan skala besar. Mereka membuka program studi sebanyak yang mereka mau dan mampu. Mereka menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, persis seperti McDonal, dengan berbagai ikon yang seolah sangat menjanjikan. Pendidikan dan pengelolaannya ditafsirkan sebagai perluasan pendidikan secara lebih massal lagi. Banyak perguruan tinggi, tidak terkecuali PT BHMN meraup mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa menyadari kapasitasnyanya sendiri, apalagi mutu lulusan, demi mengejar target pemasukan untuk kemandirian tadi.

Komersialisasi Pendidikan

Yang kita lihat memang adalah bahwa komersialisasi pendidikan amat jelas dan kentara terasa. Konsep ini menyebabkan pendidikan terjebak ke dalam bentuk perdagangan belaka, dan melupakan hakikat pendidikan.

Pendidikan sebenarnya adalah sebuah asimilasi antara aspek kognitip dan aspek afektif. Proses pendidikan yang kita lihat sekarang ini lebih mengarah kepada pendidikan kognitip belaka namun amat miskin keseriusan dalam meningkatkan kualitas keilmuan, apalagi aspek afektifnya. Itu sebabnya juga, jangan heran jika banyak persoalan sederhana di bangsa ini justru tidak dapat ditangani dengan baik hanya karena tidak memiliki kemampuan untuk itu. Banyak para lulusan pendidikan tinggi hanya bisa menjadi penerjemah ilmu yang berasal dari pendidiknya, namun tidak mampu menjadikannya sebagai alat (tools) untuk menghadapi hidupnya.

Lagipula, lulusan pendidikan tinggi sekalipun kini banyak yang menjadi penganggur. Salah satu sebabnya karena di perguruuan tinggi mereka hanya mendapatkan bekal keilmuwan, bukan untuk dapat mengembangkan diri dengan lebih baik dan lebih mandiri. Maka akibatnya, ketika berhadapan dengan dunia kerja yang penuh dengan persaingan, mereka kewalahan dan akhirnya tidak mendapatkan kesempatan.

Salah satu sebabnya adalah karena mutu pengajaran kognitip tadi. Proses belajar mengajar di perguruan tinggi umumnya amat monolog dan miskin kemampuan analitik. Mereka yang belajar hanya diberikan ilmu pengetahuan sekedarnya saja tanpa kesungguhan daripada staf pengajar yang lebih banyak hanya “nyambi” mengajar. Lihat saja banyak pendidik yang kini tidak pernah menduduki bangku dan mejanya sendiri karena tidak sempat. Mereka menerima banyak “tawaran” untuk memberikan pendidikan sembari mempertahankan hidup.
Komersialisasi pendidikan juga berasal dari gairah pasar, dalam hal ini masyarakat sendiri. Artinya, pendidikan tinggi yang berjiwa komersil melihat pasar sebagai potensi untuk mendapatkan keuntungan. Pasar dilihat sebagai sumber finansial belaka.

Kebutuhan masyarakat kita sayangnya memang amat semu. Masyarakat kita, memang memasuki modernisasi tetapi dengan pola pikir agraris. Artinya di satu sisi terjadi pembaruan kehidupan dimana-mana, namun animo pada hal-hal yang berbau materi dan kebanggaan sosial tetap lebih penting. Itu sebabnya banyak orangtua selalu membanggakan anaknya jika dapat menjadi seorang sarjana. Gelar selalu dinomorsatukan.

Logika ini belum berubah. Dimana-mana kini masyarakat memburu gelar. Maka terjadilah simbiosis antara keduanya, yaitu pengelola pendidikan dengan mental komersil dengan masyarakat yang hanya mengandalkan dan membutuhkan gelar semata. Terjadilah sebuah lingkaran setan yang tidak mudah diputus.

Pemerintah sendiri turut memperkeruh suasana. Terbitnya UU mengenai guru dan dosen yang mensyaratkan sertifikasi sebagai tenaga pendidik tak urung mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan akan gelar dan pendidikan. Lagi-lagi pengelola pendidikan yang lebih dekat dengan status sebagai saudagar langsung memanfaatkan situasi ini dengan menyediakan berbagai kemudahan.

Terobosan

Saya punya teman bernama Andreas Harefa yang kini menjadi penulis best seller, dijuluki “manusia pembelajar” dan menjadi trainer terkemuka di Indonesia saat ini di bawah payung Institut Mahardika milik Jansen Sinamo. Beliau adalah jebolan pendidikan yang tinggi yang tidak percaya kepada pendidikan tinggi. Ketika mengetahui betapa buruknya pendidikan tinggi yang diterimanya, beliau bertekad untuk membuktikan bahwa tanpas gelar, siapapun bisa sukses. Akhirnya keinginannya terwujud. Beliau membuktikan bahwa keberadaannya yang notabene tanpa gelar adalah sebuah bukti bahwa mencari gelar hanyalah kesia-siaan semata. Yang paling penting adalah bagaimana memaksimalkan potensi dirinya.

Menjadi sosok manusia tanpa terjebak ke dalam komersialisasi pendidikan lebih penting untuk diajarkan kepada setiap anak, sejak dari keluarga dan lingkungan. Setiap orang tua bertanggung-jawab terhadap hal ini jika tidak ingin anaknya menjadi korban dari komersialisasi ini. Hal ini harus menjadi komitmen yang tidak boleh terputus, harus dilakukan oleh setiap orang tua. Menanamkan kemandirian tak lagi bisa diharapkan dari pendidikan kita, melainkan pada pemberdayaan keluarga.

Selain itu, terobosan yang dilakukan adalah mendorong berdirinya wadah-wadah independen. Penulis bersama dengan beberapa rekan mendirikan Creative Center, sebuah wadah pengembangan diri. Komunitas-komunitas seperti ini penting untuk memberdayakan setiap pribadi menjadi lebih maksimal dan menemukan potensinya dengan lebih baik dan lebih berdaya.

Read More......

Sunday, July 09, 2006

Bening #2. Terjadi

Saya punya gambar unik di rumah. Seekor monyet yang sedang menggaruk kepalanya. Di pojok kiri bawahnya ada sebuah tulisan dalam bahasa Inggris. Tulisan itu berjudul Make It Happen. Lalu ada tiga baris kalimat pendek-pendek: some people watch things happens, some people wonder what has happened, but some people …… Make it happen!

Gambar di atas bagi saya memang penuh pesan. Maknanya dalam. Kadang saya sendiri suka tersenyum ketika memandangnya. Ada banyak artinya. Namun setelah saya merenungkannya, lebih kepada teguran kepada yang hanya bisa menggaruk kepala menonton apa yang sedang terjadi. Artinya, jika hanya menjadi penonton, maka tidak lebih dari seekor monyet tadi. Some people watch things happens. Tragis. Itulah hidup orang yang tidak tahu apa yang sedang terjadi dan berlangsung. Bagaikan penonton sebuah pertunjukkan yang hanya menatap layar dengan tatapan kosong, begitulah orang tipe ini.

Berapa banyak kita yang tidak tahu apa sedang terjadi sekarang ini? Hanya kitalah yang tahu hal itu. Namun kita bisa mengetahuinya dengan melihat dan bercermin dari diri sendiri, sudah sejauh mana kita mencermati setiap kejadian di sekitar kita. Sudah sejauh mana kita merasakan bahwa kita mengetahui apa yang terjadi pada tetangga kita, kerabat kita, masyarakat kita, negara kita, bahkan dunia ini.

Penonton yang hanya menggaruk kepala atas apa yang sedang terjadi adalah mereka yang ketinggalan perubahan. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa dunia sudah berubah. Mereka tidak tahu bahwa kemajuan sudah datang dan peradaban baru sudah berkembang dengan amat pesat.

Lihat saja sekeliling kita. Berapa banyak orang yang masih sibuk mengejar gelar dan titel, pada saat sekarang ini hal itu sudah tidak diperlukan dengan amat sangat? Berapa banyak orang yang masih memakai perhiasan emas dan pertama, kemana-mana untuk memamerkan kemewahan, di saat orang sudah tidak membutuhkan hal itu lagi untuk dipamerkan?

Lalu lihat kantor-kantor pemerintah di negeri ini. Berapa banyak pegawai yang masih mempertahankan menulis dengan mesin ketik, di saat dunia sudah menggunakan alat teknologi canggih? Masih dikantor-kantor, berapa banyak orang yang datang ke kantor hanya karena takut pada atasan?

Lihat lagi lebih luas. Berapa banyak mahasiswa yang datang kuliah hanya untuk mendengar dosen, lalu pulang dan kemudian belajar hanya untuk ujian saja, padahal masa depan seharusnya ditekuni dengan baik? Berapa banyak dosen, guru, atau siapapun itu, yang hanya mengajarkan apa yang dulu diketahuinya ketika mahasiswa?

Kenyataan-kenyataan di atas memperlihatkan bahwa masih banyak orang yang berjalan dalam rutinitasnya dan abai terhadap setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Mereka merasakan bahwa perjalanan hari-harinya sama saja setiap saat. Mereka masih bisa makan, masih bisa minum, masih bisa bekerja. Mereka tidak merasakan apa-apa yang perlu dikuatirkan karena mereka tidak merasakan perubahan apa-apa. Itulah orang jenis yang pertama tadi. Kerjanya hanya bisa menggaruk dan kelak akan bengong saja, jika melihat bahwa segala sesuatu sudah terlambat untuk diperbaiki.

Marilah kita melihat lagi kalimat berikutnya. Some people wonder what has happened. Arti sederhananya adalah bahwa memang ada orang yang menyadari bahwa sesuatu telah terjadi, dan kini mengaguminya. Lebih baik dari yang pertama, orang jenis ini memang menikmati perubahan karena perubahan itu membawa kenikmatan atau kesenangan bagi dirinya. Atau orang ini menikmati perubahan karena perubahan itu menguntungkan baginya.

Mereka yang menggunakan dan menguasai teknologi adalah mereka yang memiliki tipe seperti ini. Mereka tahu bahwa teknologi bisa membantu maka mereka belajar dan mencoba menguasainya. Mahasiswa yang belajar dengan menggunakan berbagai sarana, baik buku teks terbaru sampai penelurusan internet, adalah mereka yang bisa menikmati keajaiban perubahan.

Dulu manusia hanya menggunakan peralatan yang sederhana untuk menulis. Sekarang manusia menggunakan perangkat komputer. Bahkan sekarang ini dikembangkan alat mentrasfer data nir-kabel. Semuanya serba maju. Semua serba cepat. Kuantifikasi bukan lagi dalam hari, namun sudah kepada sekon (detik).

Demikian juga dengan kehidupan. Orang dulu susah dalam menyimpan uang. Mereka terbatas dalam menggunakan uang karena mereka amat minim kebutuhan. Sekarang manusia bisa menggunakan e-banking, kartu kredit dan segala macamnya. Kemajuan telah membawa perubahan yang mencengangkan. Dan ada orang yang bisa memanfaatkan perubahan itu. Gaya hidup pun berubah dengan cepat.

Gaya berkantor sekarang juga sudah semakin berubah. Kalau dulu orang harus masuk dan keluar kantor pada jamnya. Kalau dulu orang dengan bangga berkata dan menunjukkan lokasi kantornya. Sekarang sudah bukan jamannya. Para eksekutif muda hanya menenteng sebuah laptop dan dengan bangga menunjukkan bahwa kantornya ada di dalam tas laptopnya.

Sungguh suatu kemajuan dan banyak orang yang merayakan kemajuan akibat perubahan itu lalu memanfaatkannya dengan baik. Mereka merasakan adanya kejadian da perubahan, dan mereka memanfaatkannya dengan baik.

Namun segala sesuatu yang terjadi—perubahan dan kejadian—tidak tercipta begitu saja. Jika orang pertama sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan orang kedua yang mengetahui dan menggunakan perubahan itu, maka yang paling penting untuk dijawab adalah, siapa yang menyebabkan perubahan? Siapa yang menyebabkan sesuatu terjadi?

Some people …… Make it happen! Hanya sedikit manusia di muka bumi ini yang berperan dan masuk ke dalam kategori penyebab perubahan. Mereka adalah orang-orang yang menyebabkan dunia ini menjadi seperti sekarang ini. Mereka menuntun arah perubahan sesuai dengan arah yang mereka harapkan. Inilah kategori manusia yang menjadi penyebab dari segala sesuatu kejadian.

Dilihat dari jumlah hasil perubahan, Thomas Alva Edison sudah mencatatkan sekitar 3 ribu produk sebagai hasilnya. Dan sekarang perubahan yang diciptakannya telah membawa arah dunia menjadi lebih terang dan lebih maju. Perubahan besar itu setidaknya telah dibuktikannya hanya oleh penemuan bola lampu saja. Belum lagi yang lainnya.

Perubahan yang spektakuler juga dihadirkan oleh seorang manusia bernama Bill Gates. Manusia yang tergolong sebagai terkaya di jagad itu menciptakan ”mesin” bernama komputer, lalu mendisainnya sesuai dengan kebutuhan manusia. Maka, seluruh sektor pekerjaan kini menggunakan alat ciptaannya. Perbankan, industri, pendidikan, perkantoran modern, bahkan transportasi amat bergantung pada komputer yang digagas oleh Bill Gates sejak lama.

Perubahan, datangnya memang tidak dalam satu ruang kosong. Harus ada yang memulai, menggagas dan menyebabkan perubahan itu datang. Dan itu adalah panggilan yang paling tinggi, setidaknya menurut gambar yang saya sudah sampaikan tadi.

Kita tidak perlu dan tidak harus seperti Edison atau Gates. Kita tidak harus sekaya dan setenar mereka. Lihat sajalah, apa yang belum ada dan belum berubah di sekitar kita. Lihat apa yang harus dirubah dan dihadirkan. Maka itulah peluang bagi kita untuk melakukannya. Itulah peluang bagi kita untuk masuk ke dalam kategori sebagai manusia ”penyebab perubahan”. Almarhum Romo Mangunwijaya, misalnya, menggagas sebuah komunitas yang mencintai lingkungan di pinggir Kali Codet. Beliau melihat betapa sulitnya menjadikan lingkungan sebagai teman manusia. Maka ia memulai dari wilayah yang paling sulit untuk diubah, pinggir sungai. Terbukti, ia berhasil.

Perubahan yang kita hasilkan memang tidak harus spektakuler. Kadang-kadang kejadian itu hanya bersifat kecil. Namun tetap menjadi sebuah perubahan yang kelak menentukan arah manusia lainnya.

Namun, perubahan dan kejadian yang paling kecil tentunya adalah dari diri kita sendiri. Kita bisa memulai mengubah diri kita. Dari sebuah kebiasaan negatif menjadi sesuatu yang positif. Dari segi kedisiplinan, segi emosi, segi keteraturan, atau hal lainnya. Kecil, satu saja, tetapi kelak, percayalah, akan mempengaruhi sesosok manusia, yaitu anda sendiri. Kalau begitu, ciptakanlah sebuah kejadian dari diri anda sendiri. Ya, make it happen! Jadilah manusia yang menciptakan kejadian dan perubahan. Tunggu apa lagi! Jangan hanya jadi penonton!

Read More......

Thursday, July 06, 2006

Bening #1. Pendakian

Hidup kadang tidak mudah dimengerti. Namun dari seluruh perjalanan hidup, yang paling sulit dimengerti tentunya adalah ketika mengalami masalah dan penderitaan. Saat itu, kita sering lebih keras mengeluh, mengaduh atau berteriak kesakitan. Suara kita terkadang lebih menyuarakan penolakan dan ketidakberterimaan atas apa yang terjadi. Kita merintih, bahkan tak jarang menangis seolah duka hanya milik kita.

Suatu hari, terbentuklah sebuah buah kelapa. Dia, berada bersama-sama dengan saudara-saudaranya, bertengger di atas sebuah batang kelapa yang menjulang di pinggir pantai Semakin hari semakin bertambah usianya, semakin besarlah ia. Dia biasa bercengkrama dengan saudara-saudaranya. Tiada hari tanpa canda dan tawa di antara mereka. Mereka seolah tak terpisahkan.

Namun suatu kali, ibunda mereka, yang adalah batang kelapa tadi berbicara kepada mereka, ”Anak-anakku sekalian,” katanya, ”beberapa saat lagi akan datang waktunya kalian, kita semua akan berpisah.”

”Apa”, sambut mereka serentak. ”Apa yang hendak ibu sampaikan?”

”Ya,” sahut ibunya, ”hanya dalam hitungan waktu, kalian akan segera meninggalkan ibu. Kalian semuanya akan berpisah-pisah, jatuh ke bawah, ke tanah”.

”Tetapi, kami tidak mau meninggalkan ibu,” mulailah mereka menangis dan berteriak-teriak. ”Kami ingin tetap di sini, Bu.”

”Anak-anakku, inilah hakikat hidup kita,” kata ibu mereka. ”Suatu saat kalian akan menyadari apa yang ibu sampaikan ini benar adanya. Adalah lebih baik bagi kalian untuk berpisah.”

Singkat cerita, jatuhlah buah-buah kelapa itu ke tanah. Mereka terjun bebas dari ketinggian batang kelapa tadi, terbanting ke tanah, berguling sampai akhirnya berhenti. Mereka mencoba saling berpegangan. Namun entah darimana kekuatan itu, mereka tak berdaya melawan daya tarikan ke bawah.

Akhirnya, terjadilah yang disampaikan ibu mereka tadi. Mereka semua jatuh ke bawah. Buah kelapa tadi memandang ke atas, melihat ibunya. Ia begitu sedih. Ia mencoba memanggil saudara-saudaranya. Namun tak satupun yang kelihatan. Mereka jatuh tersebar, bahkan ada yang dibawa arus ke laut.

Ia mulai menangis. Ia merenungi hidupnya sebelumnya di atas, ketika masih bertengger di batang kelapa. Ia teringat bagaimana mereka biasanya bercanda dan tertawa ria. Ia rindu pada saudara-saudaranya, dan suasana sejuk ketika berada di ketinggian. Dia mulai melihat badannya. Ada memar karena terjatuh tadi. Ia tidak tahu hendak berkata apa. Ia hanya bisa meratap. Merindukan semua yang pernah dimilikinya.

Hari demi hari berlalu, tahun demi tahun, tanpa sadar sudah sekian lama terjadi. Peristiwanya sudah lama berlalu. Buah kelapa tadi setiap hari merasakan panas teriknya matahari dan hujan yang datang mengguyur. Dia tak beranjak jauh dari tempatnya tadi terjatuh. Perlahan-lahan dia merasakan ada yang aneh dari badannya. Di ujung badannya, ia melihat sepucuk tunas kelapa muncul. Ia kaget. Ada apa? Apa yang sedang terjadi?

Waktu kemudian berlalu, sang buah kelapa tadi sudah tidak kelihatan sebagai hanya sebagai buah kelapa. Yang kini terlihat adalah sebatang pohon kelapa yang makin lama makin tinggi. Awalnya ia tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi ketika satu demi satu bagian dari sebuah pohon kelapa mulai terbentuk, ia akhirnya mengerti bahwa sebuah proses baru sedang terjadi dalam hidupnya.

Ia mulai menikmati perubahan itu. Ia melihat kakinya mulai memanjang membentuk akar. Lalu ia mulai melihat sesuatu yang berwarna hijau mulai tumbuh di badannya. Semakin kuat, batangnya semakin tinggi. Ia melihat badannya semakin lama semakin ”terangkat” ke atas.

Berhitung waktu, lama kemudian, buah pohon kelapa tadi kini sudah menjadi sebuah pohon kelapa. Ia mencoba membuka mata. Ia melihat sekelilingnya. Ia mencoba memandang dari atas sekelilingnya. Ia melihat ada pohon kelapa lain di sekitarnya. Ia sapa dengan riang, karena beberapa di antaranya adalah saudara-saudaranya tadi. Ia mulai berpikir. Dan ia mulai teringat pada perkataan ibunya, bahwa lebih baik bagi mereka untuk jatuh ke bawah. Ia melihat bahwa inilah artinya semua yang pernah diajarkan oleh ibunya kepadanya.

Apa yang diceritakan di atas adalah sebuah kisah mengenai hidup. Sekali lagi, hidup memang tidak mudah dimengerti. Ada saatnya ketika kita terjatuh kita merasakan kesakitan yang amat sangat. Kita merasakan pukulan yang amat hebat. Mungkin rasa malu. Mungkin rasa tidak percaya. Bahkan mungkin rasa tidak terima.

Hidup terkadang harus dimulai dari titik paling bawah. Dan itu adalah sebuah proses. Mari kita jalani dan nikmati. Sadarilah perubahan demi perubahan yang terjadi dari proses pendakian itu. Jalani dan nikmatilah bahwa ternyata ada keindahan ketika ”jatuh” terjerembab sekalipun. Ada artinya kita mungkin kini terhempas dan terpelanting. Mungkin, itu semuanya adalah kesempatan baik—bahkan mungkin yang terbaik—untuk mendulang prestasi dan kebanggaan kelak. Mungkin kita perlu berada di titik terbawah supaya kita bisa memulai sesuatu yang indah dari bawah. Jadi, mari kita menjalani pendakian dalam hidup dengan penuh kesabaran.

Buah kelapa hanya bisa diminum ketika masih berada di atas batangnya. Namun ia semakin lebih berguna ketika sudah menjadi batang kelapa. Transformasi itu hanya bisa hadir melalui proses pendakian dari bawah. Kita semua mungkin juga akan menjadi lebih baik, lebih berguna dan lebih menjadi berkat ketika kita memulai segala sesuatu dari bawah. Mari melihat segalanya dengan baik karena di balik pendakian, ada sesuatu yang bisa menjadi berkat bagi banyak orang, melalui hidup kita.

Read More......

Wednesday, July 05, 2006

BUKU


Judul: Menjadi Manusia Pemimpin
Penulis: Fotarisman Zaluchu
Tahun Terbit: 2005
Penerbit: Yayasan Gloria, Jogjakarta

Buku ini berbicara mengenai kepemimpinan. Sebagai sebuah konsep, kepemimpinan tidak punya pola yang dipaku mati. Kepemimpinan adalah sebuah seni dimana setiap orang harus mendefinisikannya dalam suasananya sendiri. Karena itu, kita harus belajar belajar pada mereka yang pernah menjalaninya. Buku ini diilhami adalah pengalaman sejumlah tokoh atas kehidupan mereka, yang kemudian direfleksikan di masa kini. Menjadi pemimpin adalah panggilan. Dan karena itu, setiap orang harus memenuhi panggilan kepemimpinan itu di jamannya.

Read More......

BUKU



Judul: Pertarungan Kekuasaan
Penulis: Fotarisman Zaluchu
Tahun terbit: 2005
Penerbit: Cita Pustaka Media, Bandung
Kata Pengantar: Indra J Piliang

Buku ini mengulas pandangan penulis mengenai proses politik yang mengemuka ketika pemilihan umum secara langsung digelar. Di sana terjadi berbagai intrik yang berujung kepada ambisi kekuasaan. Sebagai sebuah rangkuman mengenai kompetisi itu, penulis mengulas bagaimana politik Indonesia penuh dengan janji-janji bahkan kepalsuan yang sama sekali tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Meski sudah lama berlalu, sampai sekarang dampaknya masih terasa dan sangat jelas. Politik Indonesia, hanya berkisar pada pertarungan kekuasaan belaka. Sementara nasib rakyat tetap tidak dijamah sama sekali. Sekalipun pemilihan langsung digelar, rakyat belum mendapatkan manfaat langsungnya.

Read More......

TIPS: Menulis Itu Mudah


Setiap orang bisa menulis. Mulai dari anak kecil sampai orang yang sangat tua sekalipun. Tahukah anda bahwa di Indonesia, ada seseorang pada usia 64 tahun berhasil menulis 50 judul buku? Dan tahukah anda bahwa sebuah novel pernah ditulis oleh seorang anak kecil berusia 8 tahun? Sekali lagi, menulis itu mudah.

Menulis bukan membaca
Banyak orang gagal menulis karena menyangka bahwa mahir menulis dapat diperoleh dengan membaca. Sebenarnya, untuk dapat mahir menulis, kunci utamanya adalah membiasakan diri menulis. Menjadikan menulis sebagai rutinitas akan mengubah seseorang menjadi lebih mahir dalam menulis. Karena itu, berlatih adalah kata kuncinya

Untuk mahir menulis, tahapan yang dapat kita tempuh adalah sebagai berikut:

Memulai Dengan Ide
Menuangkan Ide
Membangun Sistematika
Memeriksa Tulisan

Langkah Pertama

Kita akan memulai dengan langkah pertama, yaitu memulai dengan ide.

Apa itu ide?
Ide adalah inspirasi tulisan. Artinya tanpa ide, kita tidak dapat memulai menulis. Ide merupakan titik tolak utama dari tulisan. Ide dapat ditemukan dari sekitar kita. Biasanya ide muncul karena berkaitan dengan pekerjaan kita, hobi kita, atau pengalaman hidup kita sendiri. Namun pada dasarnya, ide itu ada dimana-mana, tetapi membutuhkan pengamatan dari kita. Sewaktu menyaksikan sekelompok anak-anak bermain kita mungkin terpicu untuk menulis tentang pengembangan belajar anak usia sekolah. Sewaktu menyaksikan seorang anak sedang bermain sepeda, mungkin kita terangsang untuk menulis tentang model-model permainan untuk anak.

Mengembangkan Ide
Selanjutnya, ide harus dikembangkan. Fenomena yang tadinya sudah merangsang pikiran kita, harus dipertajam. Jangan langsung menulis, sebab kalau masih sebatas langkah di atas, minat akan berhenti dan mudah kehilangan akal. Caranya, ide harus dipertajam sehingga memiliki kekuatan untuk diterjemahkan ke dalam tulisan. Seperti sebuah pisau yang masih tumpul, ide harus dipertajam untuk dapat digunakan. Ide dapat dikembangkan dengan mengasahnya menggunakan
pertanyaan-pertanyaan berikut: apa? siapa? mengapa? kapan? dimana? bagaimana?

Apa?
Kita dapat dengan mencoba mengembangkan pertanyaan mengenai apa saja yang perlu diketahui tentang pekerjaan tertentu. Misalnya mengenai pekerjaan kita, kita dapat mengembangkan pertanyaan, apa saja yang perlu diketahui seorang sehingga dapat bekerja dengan lebih baik?

Siapa?
Kita dapat mengembangkan ide dengan mengajukan pertanyaan menggunakan kata bantu siapa. Kita terpancing untuk mengembangkan ide menjelaskan mengenai figur atau sosok tertentu. Itu merupakan ide dengan bantuan kata siapa.

Mengapa?
Kata mengapa juga bisa menjadi alat bantu mengembangkan ide. Mengapa sebuah kejadian terjadi, mengapa pekerjaan terbengkalai, mengapa kasus tertentu muncul, semuanya berhubungan dengan kata mengapa.

Kapan?
Kita dapat juga tertarik untuk menuliskan mengenai sesuatu yang berhubungan dengan waktu, sejarah, dan seterusnya. Hal ini berhubungan dengan kata kapan.

Dimana?
Menjelaskan mengenai sebuah lokasi, tempat, atau posisi yang berkaitan dengan kata dimana, juga merupakan sebuah sumber ide.

Bagaimana?
Dan yang terakhir, kita dapat menggunakan kata bagaimana untuk menemukan ide. Bagaimana kita dapat mengajar dengan baik, bagaimana mengembangkan kurikulum, bagaimana memotivasi orang, adalah ide yang berasal dari kata bagaimana

Kembali pada pejaran di atas, sebuah tulisan pada dasarnya muncul karena terpicu oleh pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan mengenai sesuatu hal.

Bagi yang baru memulai, gunakanlah satu bantuan kata tanya saja. Jagalah kata tersebut, karena karena kata itu akan menolong kita dalam menuangkan gagasan secara konkrit.

Langkah Kedua

Jika kita sudah memiliki ide, langkah berikutnya adalah menuangkannya dalam bentuk tulisan. Sejak terpicu oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai apa, siapa, mengapa, kapan, dimana, bagaimana, mulailah menulis-nuliskan ide ke dalam coretan-coretan ringan. Namun untuk membuatnya menjadi lebih baik, kita dapat menggunakan point-point argumentasi.

Contoh
Misalnya ide awal kita adalah bagaimana mengajar dengan baik?
Maka kita sudah mulai mengembangkan pokok-pokok gagasan. untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan cara membuatnya dalam bentuk point.
Untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengajar dengan baik,
kita menuliskan point:
1. Mempersiapkan bahan dengan bacaan terbaru
2. Mempelajari ulang tujuan pelajaran
3. Mendisain latihan bagi subjek belajar

Point-point inilah yang kemudian menjadi titik awal dari kita untuk mengembangkannya menjadi tulisan yang lebih luas lagi. Mengembangkan point, dapat menggunakan penjelasan yang bersumber dari gagasan pribadi, ataupun menggunakan literatur yang mungkin kita miliki. Namun, usahakanlah berpedoman pada EYD. Kalimat yang baik selalu memiliki satu pokok pikiran. Dan penjelasan yang baik, selalu memiliki benang merah yang terangkai dengan baik, dari awal sampai akhir.

Langkah Ketiga
Langkah berikutnya adalah membangun sistematika.
Sistematika yang baik setidaknya mencakup tiga hal, yaitu pendahuluan, pembahasan dan kesimpulan.

Pendahuluan Tulisan
Pendahuluan berarti latar belakang tulisan tersebut. Latar belakang yang baik menggunakan kalimat-kalimat yang melatarbelakangi kita sehingga ingin menulis hal demikian. Untuk lebih baiknya, latar belakang berisikan argumentasi kuantitatif atau kualitatif mengenai masalah yang sedang ditulis. Dalam contoh kita di atas tadi, menulis mengenai bagaimana mengajar yang baik kita perlukan untuk memberikan pemahaman kepada para guru sehingga kualitas pengajarannya dapat lebih ditingkatkan.

Pembahasan
Sementara itu, pembahasan adalah bahasan mengenai masalah yang sudah kita picu tadi dalam langkah pertama dan kedua. Kita dapat menggunakan studi pustaka yang merujuk kepada buku-buku dukungan, atau menggunakan argumentasi yang kita buat sendiri berdasarkan pengalaman kita. Pembahasan yang baik harus berfokus pada ke-enam kata kunci tadi. Pembahasan jangan melebar terlalu jauh dari topik. Dalam contoh kita, karena kita sudah memilih 3 point maka fokus bahasan kita hanyalah pada ketiga hal tersebut

Kesimpulan
Setelah selesai, buatlah kesimpulan tulisan. Gunakanlah kalimat yang jelas dan tegas mengenai apa yang hendak kita nyatakan. Buatlah kesimpulan berdasarkan apa yang ingin kita ketahui.

Langkah Keempat

Memeriksa tulisan adalah melakukan pembacaan dan editing terhadap tulisan yang sudah dituangkan. Untuk menguji apakah tulisan kita sudah baik, kita harus mengembalikannya kepada pertanyaan awal, apakah sudah sesuai dengan kata tanya pemicu ide tadi? Tulisan yang baik memiliki keterbacaan yang baik. Penulis pemula, sebaiknya menggunakan orang lain sebagai alat bantu. Mintalah orang lain untuk membaca tulisan kita. Jika mereka mengerti, tulisan kita sudah cukup baik untuk disebut sebagai tulisan.

Menulis itu mudah, bukan?
Tetapi mengapa menulis menjadi sulit?

Pertama, kita tidak meluangkan waktu. Kita terbiasa menggunakan komunikasi verbal. Akibatnya kemampuan kita menulis sama sekali tidak terasah.

Kedua, kita tidak memiliki niat untuk menulis. Akibatnya ketika kita menemui kegagalan, kita langsung berhenti.

Sebab ketiga adalah kita tidak memiliki kebiasaan membaca. Padahal membaca adalah jalan satu-satunya untuk memiliki kosa kata dan pola kalimat

Read More......

Tuesday, July 04, 2006

Mari Membangkitkan Bangsa


Inilah panggilan kita,
Inilah impian kita,
supaya kelak,
suatu saat bangsa kita
terhormat dan bermartabat sebagai bangsa

Read More......

Membangkitkan Bangsa Indonesia


Adalah fakta yang sebenarnya bahwa bangsa ini memang luar biasa bangkrutnya. Pendidikan kita kabarnya mencapai titik nadir. Setengah dari seluruh ruang kelas kita berada dalam keadaan rusak. Pertanian kita parah dan tidak berarti. Negeri yang pernah terkenal dengan swasembada beras ini kini mengimpor beras ratusan ribu ton setiap tahunnya. Industri kita terhempas. Ketiadaan uang menyebabkan banyak industri yang menggunakan bahan baku import harus tutup sebelum bisa berkembang. Secara sosial kita sudah terpecah-pecah akibat banyak social distrust. Kerusuhan dan ketidaknyamanan terjadi dimana-mana. Penyakit sosial kini merebak dengan mudahnya. Masalah sedikit sudah langsung menyebabkan kekacauan. Keamanan dan ketertiban menjadi amat langka. Kejahatan merajalela. Hukum dibiarkan bebas begitu saja. Akibatnya terjadi ketidakpastian dalam semua sektor. Tidak ada lagi kewibawaan. Yang terakhir sesama hakim bahkan saling ”berantem” dan tidak kompak dalam mengadili kasus. Penegak hukum merasa diri paling benar. Sementara itu derajat kesehatan semakin rendah. Kematian ibu dna bayi begitu tinggi. Merebaknya kasus flu burung seolah menebar horor bagi bangsa ini.

Mengapa semuanya terjadi? Salah satu yang menjadi alasan adalah karena kita tidak pernah serius membangun etos dan semangat untuk ”membangkitkan bangsa”. Sejarah mengenai impian mereka yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk bangsa ini ditinggalkan dalam lapukan lemari dan buku-buku saja. Bangsa ini tidak pernah menggunakan semangat yang sama dengan yang dimiliki oleh para pemimpin bangsa kita untuk membangun Indonesia yang kuat dan mandiri.

Sejak dulu sampai sekarang etos dan semangat itu diabaikan. Para pemimpin kita lebih suka membangun semangat untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaan. Mereka lebih berorientasi pada keinginan untuk mencapai prestasi politik secara personal atau kelompok, dan mengabaikan kebutuhan bersama.

Alasan kedua adalah bahwa karena seluruh sumber daya yang ada di negeri ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir atau sekelompok orang saja. Mereka menguasai dan menjadikan semuanya seolah merekalah yang menentukan hitam putihnya bangsa kita. Mereka menjadikan kekayaan bangsa sebagai hak milik yang dengan sesuka hati dimanfaatkan. Akibatnya, masyarakat dan kita semua kehilangan sense of belonging. Kita hanya menjadi penonton dan kemudian memiliki sikap sebagai penonton saja. Diabaikan bertahun-tahun dalam seluruh sistem kehidupan, bahkan kadang-kadang tidak diperhatikan dan tidak diperhitungkan sama sekali menyebabkan masyarakat menjadi apatis. Masyarakat beranggapan bahwa negeri ini hanya untuk mereka yang memiliki kesempatan untuk itu. Maka yang terjadi bisa ditebak. Semangat memberikan yang terbaik bagi bangsa ini mengendor, menipis dan kini hilang sama sekali.

Yang menjadi penyebab berikutnya adalah karena kita tidak memperoleh impian yang diasah dan diperbaharui terus menerus mengenai bangsa ini. Padahal, impian adalah tujuan bersama yang akan menggerakkan semangat untuk maju dan melangkah ke depan, apapun yang terjadi pada saat ini.
Impian hadir dari pemimpin. Impian mewujud karena pemimpin. Dan impian diperbaharui karena ada pemimpin. Sayangnya mereka yang menyatakan diri sebagai pemimpin bagi bangsa ini hanyalah pemimpin karena kursi dan karena jabatan. Mereka sama sekali tidak memiliki cinta dan pengabdian. Mereka hanya menjadi pemimpin dalam arti yang sangat sempit.

Andaikan apa yang kita kini alami adalah sebuah peperangan melawan kemelaratan dan kemiskinan, maka yang kita saksikan kini adalah sebuah medan perang tanpa komandan. Komandan perang yang seharusnya berdiri di depan memberi contoh, berdiri di depan memberi semangat dan berdiri di belakang memberikan dorongan sama sekali tidak ada. Padahal tanpa komandan, barisan perang hanyalah sebuah barisan tak beraturan. Tepatnya lebih mirip gerombolan. Dan itulah kita kini. Masyarakat ada. Manusianya ada. Seluruh lembaga negara ada. Semua pimpinan lembaga ada. Bahkan semuanya berebutan ketika hendak menjadi pemimin. Namun, pada saat yang sama, tak tahu hendak kemana dan hendak menjadi apa.

Solusi
Pertanyaan penting apakah mungkin membangkitkan kembali bangsa ini? Adakah semangat untuk membangkitkan bangsa Indonesia dapat menjadi sebuah impian yang menjadi nyata?

Kita selalu beranggapan bahwa solusi selalu akan ada jika kita berikhtiar mau keluar dari masalah ini. Inilah ciri yang membuat kita bisa maju. Salah satunya cara untuk keluar dari masalah ini adalah dengan memajukan IPTEK kita. Beberapa waktu lalu, gagasan mengenai IPTEK kita digagas habis. Semua pihak bertanya bagaimana dan sudah seperti apakah peran IPTEK dalam negeri kita. Namun tidak ada yang memulai menyatakan bahwa kata kunci bagi kemajuan dan kebangkitan negeri kita adalah IPTEK.

Data menunjukkan bahwa para peneliti dan ilmuwan di negeri ini bukan kurang banyak. Hanya saja mereka selama ini tidak diberdayakan dengan maksimal. Mereka dibiarkan bekerja sendiri. Padahal potensi untuk menghasilkan sebuah keunggulan bisa datang dari IPTEK itu sendiri.

Membangun negeri ini dengan IPTEK tidak salah. Semangat untuk memandirikan bangsa, menerjemahkan semangat nasionalisme bukan hanya dengan berteriak-teriak di gedung DPR dan Istana perihal nasionalisme dan kebangsaan. Semangat untuk mengasah nilai tambah dan nilai lebih dari setiap potensi yang ada di negeri ini adalah juga nasionalisme dalam wujud yang lebih nyata.

Yang berikutnya adalah meyelenggarakan pendidikan nasional secara benar dan sungguh-sungguh. Karena sudah kadung dilakukan meski salah kaprah, Ujian Nasional ini misalnya dapat digunakan oleh pemerintah sebagai starting point untuk melakukan sesuatu. Pemerintah harus benar-benar menerapkan anggaran 20 persen untuk pendidikan itu. Pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk memajukan Indonesia di masa depan.
Dan yang tidak kalah penting adalah bahwa pemerintah harus benar-benar menjadi pemerintah yang membangun semangat. Pemerintah jangan hanya bicara supaya masyarakat mengerti kondisi ”kantong” pemerintah. Sesulit apapun keadaan, jika pemerintah kehadiran dan keberadaannya menunjukkan empati, maka masyarakat akan mengerti. Pemerintah harus menjadi pemberi semangat dan menggelorakan semangat untuk membangun bangsa ini. Pemerintah harus memberikan teladan dalam segala hal untuk memperlihatkan bahwa ajakan pemerintah adalah sebuah kebersamaan. Pemerintah harus memperlihatkannya dari caranya menangani kasus korupsi, dalam memberikan kebijakan kepada masyarakat, dalam membersihkan kebocoran uang negara dan penyalahgunaan wewenang, dan terlebih dalam berbicara jujur pada rakyat.

Kita dulu pernah punya semangat kebangkitan nasional. Kita pernah memilikinya dalam sejarah kita. Dan semangat itu bisa dihadirkan kembali pada saat sulit seperti ini. Mari kita semua memperjuangkannya. Semua kita yang bermimpi mengenai kebangkitkan bangsa ini, marilah bergandeng tangan mencapainya. Mari kita wujudkan mimpi itu, kita jadikan kita bukan hanya pemimpi, namun juga yang mampu membuat impian menjadi nyata. Mari, bangkitkan bangsa ini.

Read More......

Menata Birokrasi Kita

Ketika berbicara di hadapan peserta Kursus Singkat Lemhanas, Wakil Presiden secara tidak langsung mengakui bahwa ada masalah dengan birokrasi pemerintah. Wakil Presiden menyampaikan bahwa salah satu penyebab lambannya kebijakan pemerintah adalah karena masih lambannya peran kontributif aparat birokrasi di dalam menjalankan berbagai rencana yang sudah disampaikan kepada mereka.

Lambannya birokrasi kita bagaikan lagu lama. Lihat saja iklan salah satu produk. Masyarakat yang datang kepada birokrasi kita selalu saja diperlama-lama menunggu sesuatu yang datang menjadi sogokan kepada birokasi. Iklan tersebut seharusnya dilihat dengan rasa malu oleh aparat birokrasi. Ejekan bersifat sarkastis tersebut memperlihatkan bahwa bukan hanya masalah yang ada, namun masalah besar.

Masalah besar dalam birokrasi kita dapat dirangkum ke dalam analisis tiga hal. Pertama efektifitas. Birokrasi kita banyak yang bekerja dengan tujuan yang terkadang tidak jelas. Mereka bekerja katanya untuk melayani publik namun sayangnya tidak mencapai fungsi pelayanan itu. Sebab ketika bekerja, birokrasi ini masih mengharapkan adanya ”lampiran” dari kegiatan tersebut. Padahal setiap bulannya sudah menerima penggajian atas pekerjaannya.

Kedua, masalah efisiensi. Birokrasi kita umumnya boros. Banyak yang hadir dan menghadiri kantor, namun sedikit yang benar-benar bekerja. Kerap birokrasi kita hanya menghabiskan waktunya di kantor tanpa melakukan apa-apa selain daripada melakukans sesuatu yang tidak penting, atau bisa dikerjakan sekejap.

Ketiga, soal mutu. Banyak birokrasi kita—harus diakui—adalah birokrasi yang masuk ke dalam sistem pemerintahan tanpa dapat diandalkan. Istilah kasarnya, hampir tidak ada yang bisa diharapkan, bahkan pikiran sekalipun. Ini yang membuat banyak di antara mereka harus dikasihani karena berada di tempat yang tidak sesuai dengan mereka.

Akibat
Masalah tidak bekerjanya birokrasi sebagaimana fungsi dan keberadaannya sebagai pelayan masyarakat memang sangat disesali. Dengan jumlah sebanyak 3,6 juta orang, trilyunan rupiah harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendanai mereka yang bekerja sebagai birokrasi ini. Bahkan tahun depan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sudah merencanakan bahwa gaji terendah dalam sistem birokrasi kita adalah Rp. 2 juta rupiah. Bahkan untuk penggajian bulan Juni tahun ini, para birokrasi yang bekerja fungsional diberikan insentif khusus.

Kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi semuanya ini. Namun kita sangat menyesali bagaimana mungkin pengeluaran negara yang amat besar ditujukan kepada pekerjaan yang dilakukan tidak profesional. Bayangkan saja, sebanyak 70 persen dari APBN diperoleh dari pajak. Dan sebanyak itu pulalah yang diberikan untuk mendanai penyelenggaraan negara. Jadi negara ini harus menanggung pembelanjaan yang tidak menguntungkan. Dengan kata lain, birokrasi kita hanya mengurani ”pos pengangguran” yang berusaha dicegah oleh pemerintah.

Jika dilihat dengan kacamata terbalik, masyarakat telah dengan rela membayar pajak untuk membayar mereka yang melayani masyarakat tanpa mendapatkan keuntungan apa-apa. Malah yang dilakukan aparat birokrasi umumnya adalah merugikan masyarakat. Di dalam setiap mata anggaran pemerintah daerah ada fenomena yang sama. Hampir semua isinya mayoritas adalah pembelanjaan aparatur negara. Tidak tanggung-tanggung. Biayanya bisa mencapai trilyunan rupiah bagi daerah kaya. Bandingkan dengan belanja untuk publik yang umumnya sangat jauh lebih rendah. Jadi, sungguh alangkah ironinya jika kemudian masyarakat yang membayar pada birokrasi harus pula menjadi korban ketidakbecusan pekerjaan itu.

Selama ini masyarakat memang tidak sadar bahwa mereka harusnya dilayani karena sudah membayar untuk itu. Masyarakat hanya mengetahui bahwa mereka amat bergantung kepada birokrasi. Sebab layanan pemerintah kepada masyarakat memang diberikan kepada birokrasi. Jadi masyarakat dibiarkan tidak mengetahui hal ini seolah menjadi sebuah kesengajaan.

Pengelolaan

Yang kita saksikan adalah bahwa pola pengelolaan birokrasi kita masih sangat mementingkan kuantitas daripada kualitas. Lihat saja bagaimana model pengelolaan penerimaan birokrasi. Semuanya bagaikan ajang untuk mendapatkan jatah dan uang. Penerimaan birokrasi seolah dijadikan sarana untuk menguntungkan diri sendiri.

Akibatnya maka dihasilkan adalah mereka yang memang tidak bermental melayani. Bagaimana mungkin mereka yang bermental tidak melayani bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat? Masalah masyarakat harus di “dekati” dengan sentuhan kemanusiaan dan ketulusan untuk memberikan yang terbaik. Birokrasi kita sayangnya amat jarang yang memiliki itu.

Bercermin dari apa yang pernah dialami oleh pemerintah sendiri, sudah saatnya memang pemerintah memberdayakan birokrasi kita sehingga memiliki manajemen kehidupan birokrasi yang lebih baik. Pola pekerjaan dan mutu manusia yang bekerja di birokrasi bisa dibenahi. Birokrasi harus mempersiapkan diri untuk menghadapi banyak perubahan yang kini terjadi di depan mata.

Perubahan Indonesia memang berlangsung dengan sangat cepat. Bencana, perubahan dunia, kegiatan untuk menanggulangi pengungsi, teknologi informasi, persaingan, dan banyak hal lain memerlukan efektfitas dan efisiensi. Artinya pemerintah hanya bisa menghadapi semuanya itu jika didukung oleh birokrasi yang mampu untuk itu. Maka sudah saatnya pemerintah meningkatkan kecepatannya dari dalam.

Tidak mungkin bisa membawa Indonesia bersaing dengan negara lain jika hanya menggunakan birokrasi model sekarang. Tidak mungkin bisa berada di barisan terdepan jika mental birokrasi kita hanya seperti demikian. Impian mengenai Indonesia baru mana mungkin tercapai jika mengandalkan manusia-manusia pekerja yang tidak efektif dan efisien seperti sekarang ini.

Sebaiknya, jika masih mengandalkan birokrasi seperti ini, yang terjadi adalah kerapuhan. Di atas kertas, produktifitas bangsa ini akan digerogoti oleh korupsi dari dalam. Demikian juga dengan berbagai asumsi dan logika pertumbuhan, akan bersifat semu, sebab birokrasi yang bermental tidak efektif dan efisien akan menggunakan segala cara mengubah angka pasti menjadi semu dan palsu semata. Kesimpulannya, birokrasi kita sekarang ini hanyalah akan menghasilkan pemerintahan yang semu pula.

Pemerintah harus benar-benar memikirkan cara supaya di masa depan pola pelayanan birokrasi di saat bencana jangan sampai menjadikan pemerintah menjadi korban ketidak efektifan dan ketidak efisienan. Birokrasi harus benar-benar dapat dijadikan sebagai ujung tombak dalam setiap masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terlebih di saat pentint sekarang ini. Masyarakat sudah membayar amat mahal setiap tahunnya, maka sudah saatnya pemerintah menyediakan layanan yang dikerjakan oleh birokrasi profesional kita. Titik-titik strategis adalah bagaimana menerapkan prinsip menajemen ”the right man, in the right place, in the right time”. Aplikasinya sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu bagaimana memilih mereka yang berkualitas untuk bekerja secara efektif dan efisien, melayani masyarakat dan memberikan yang terbaik

Read More......

Menggugat Politik Keberagaman

Salah satu kekayaan bangsa ini yang amat tidak tertandingi oleh bangsa manapun di seluruh dunia adalah keragaman budaya, agama dan sosialnya. Di Indonesia, ada begitu banyak keragaman yang berakar secara alami dari seluruh proses kultural yang bergabung dengan perubahan yang terjadi secara global. Semua bentuk tersebut kini tertata sebagai bagian dari diri kita yang bisa kita saksikan seperti sekarang ini.

Semua perbedaan muncul dan berkembang. Tradisi budaya lahir dan diteruskan turun temurun, perbedaan agama menjadi sebuah warisan, dan kehidupan sosial yang sangat variatif menjadi ciri khas di setiap penjuru negeri. Mudah ditemukan bahwa di setiap wilayah yang berada dalam satu lokasi sekalipun, terdapat perbedaan yang amat nyata. Itu sebabnya kita memiliki ribuan perbedaan yang berdeviasi dari berbagai budaya yang ada sebelumnya.
Apa artinya semuanya itu? Yang harus kita akui ternyata adalah bahwa bangsa kita ini sungguh amat kaya ternyata. Adakah bangsa dan negara dengan kekayaan keberagaman yang luar biasa besar? Rasanya tidak. Kita beruntung karena kita berada di kawasan khatulistiwa dimana matahari bersinar sepanjang masa. Itu artinya, budaya yang ada hidup terus menerus dan kemudian menghasilkan jati dirinya seperti sekarang ini. Budaya kita amat produktif dan kreatif karena disuburkan oleh putaran waktu tiada henti. Budaya kita bisa amat maju karena tidak ada hambatan waktu dalam memajukannya.

Berikutnya, keberagaman yang luar biasa itu ternyata menjadi identitas kita. Setiap kali kita disebutkan sebagai Indonesia, yang terbanyang di benak setiap orang adalah bahwa kita memiliki budaya yang amat banyak. Mereka beramai-ramai datang dan berkunjung ke negeri ini karena ingin menyaksikan keberagaman itu dalam satu ”paket” negeri bernama Indonesia.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa keberagaman itu telah terbukti menjadi kekuatan kita dalam sejarahnya. Kita bisa seperti sekarang karena keberagaman itu telah melewati sejarah Indonesia itu sendiri. Kita tentunya masih ingat bagaimana perjuangan melawan penjajah dilakukan, karena di balik persatuan yang digagas oleh para pejuang, ada keberagaman yang diakui oleh mereka. Perjuangan demi perjuangan yang digagas oleh para pendiri negara ini, berdasar pada pengakuan betapa beragamnya kehidupan kita itu. Mereka tidak pernah mengingkari dan menciptakan penyeragaman di antara mereka.

Politik Keberagaman
Bagaimanapun, kita memandangnya sebagai sebuah potensi yang amat besar. Meski kita tahu di baliknya ada bahaya yang besar pula. Negara sebesar Uni Sovyet misalnya terkoyak oleh karena keragaman yang ada. Demikian pula dengan bekas negara Yugoslavia, dan yang terakhir adalah Irak. Negara yang masih menuai badai politik akibat perbedaan yang ada sekarang ini adalah Nepal dan yang terdekat di antaranya adalah Thailand. Mereka kesulitan dan kewalahan dalam menghadapi perbedaan di antara mereka sendiri.

Sumber utama dari kekacauan itu adalah ketidakmampuan masing-masing negara itu dalam mengelola perbedaan itu. Artinya, perbedaan justru diekspolotasi untuk dijadikan sebagai ideologi yang menjatuhkan satu sama lain. Di sinilah kita mengenal istilah politik keberagaman. Artinya, keberagaman yang tadinya alami kini direduksi menjadi sebuah kebijakan yang berakar dari paradigma politik yang dianut oleh negar atau pemerintah yang berkuasa.

Reduksi atas keberagaman bukan sesuatu yang salah dan dosa politik. Sebab pada dasarnya negara memang harus mengambil alih fungsinya sebagai regulator seluruh sistem yang ada di dalam masyarakat, termasuk keberagaman sekalipun. Tanpa peran negara, maka keberagaman bisa menjadi sebuah fatalisme yang amat parah.

Sayangnya, setiap kali peran negara muncul, yang ada adalah inkonsistensi antara keberadaan keberagaman itu sendiri dengan maksud pemerintah. Kita bukannya tidak pernah mengalaminya. Di masa lalu Orde Lama, ketika rezim yang berkuasa masih sangat dominan, perbedaan dikedepankan dengan jargon yang kala itu amat terkenal: Nasakom. Isinya ada tiga, nasionalisme, agama dan komunisme. Waktu itu, ideologi yang ada memang sangat berpihak kepada komunisme, sehingga kemudian ideologi lain disingkirkan, termasuk perbedaan budaya yang ada. Terkait, beberapa tokoh kebudayaan kemudian harus masuk bui karenanya. Penguasa memandang bahwa keberagaman ternyata perlu disederhanakan menjadi makna dan tafsir penguasa penguasa saja.

Di masa Orde Baru, keberadaan keberagaman menjadi lebih parah. Kalau yang sebelumnya memandang bahwa keberagaman masih ada dan perlu disederhanakan, penguasa jaman Orde Baru memandang bahwa keberagaman justru tidak ada. Seluruh ideologi disatukan di bawah satu kata, sementara keragaman dianggap tabu untuk dibicarakan.

Kita masih ingat bagaimana seluruh keberagaman disatukan ke dalam berbagai kata yang maknanya sungguh bertolak belakang. Misalnya saja, disebutkanlah nama Pancasila sebagai alat pemersatu. Maka semua keberagaman merujuk kepada Pancasila. Padahal Pancasila sendiri di dalam dirinya memiliki keberagaman. Lalu dikenal pula nama misalnya demokrasi Pancasila. Ternyata semuanya berujung kepada penyatuan seluruh perbedaan politik mendukung penguasa. Padahal nama demokrasi itu sendiri berakar pada perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Di jaman pemerintah yang baru ini, suasana awalnya begitu terbuka dan bebas dalam berekpresi. Sayangnya, belakangan ini muncul sebuah gagasan-gagasan yang berujung kepada politik keberagaman gaya baru. Entah bagaimana caranya, namun yang terlihat di lapangan amat jelas, bahwa penguasa menggunakan legalitasnya untuk “menciptakan” keberagaman namun kemudian menggunakan keberagaman tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Kini semuanya sudah terlanjur berjalan tanpa kendali. Di negeri ini semuanya seolah memiliki hak atas yang lain. Beberapa kasus penutupan rumah ibadah, misalnya adalah bukti bahwa sekarang ini perbedaan kembali dianggap sebagai sebuah identitas yang harus dibangkitkan. Dan penguasa punya kepentingan atas hal itu. Secara perlahan-lahan, penguasa menggunakan keberagaman dengan cara tersamar untuk menghasilkan sebuah populatitas, meski yang terjadi kemudian adalah sebuah pemaksaan. Memang negara tidak lagi berperan dalam memaksa masyarakat untuk seragam, namun negara membiarkan terjadinya perlakuan yang memaksakan itu di antara masyarakat sendiri. Menurut kita, itu bukan kegagalan negara dalam menegakkan dirinya sebagai regulator, melainkan karena itulah politik keberagaman yang kini ada. Pemerintah ingin mendapatkan keuntungan jika ada identitas yang mayoritas meski itu didapatkan dari penindasan atas keberagaman itu sendiri. Padahal, sejarah bangsa lain, dan kita sendiri juga, telah menganggap hal tersebut sebagai sebuah bahaya yang bisa mengancam keutuhan negeri ini.

Tekanan
Pemerintah memang harus terus menerus ditekan atas politik keberagaman yang mereka anut seperti sekarang ini. Mereka yang berkuasa hanya menjadikan keberagaman sebagai alat ekploitasi. Risikonya ada banyak. Pertama, pemerintah hanya akan mendapatkan dukungan politik semu dari kelompok mayoritas yang bukannya tidak memiliki agenda lain di balik dukungan kepada pemerintah. Kedua, pemerintah juga akan mengalami risiko lain dari perpecahan yang bukan tidak mungkin akan banyak bermunculan. Kekacauan dan saling sikut akan muncul—tanda-tandanya sudah terlihat—sehingga mengakibatkan ketidakpercayaan antar masyarakat tumbuh subur. Dan yang paling berbahaya, yaitu ketika keberagaman dan saling mempertahankan identitas menjadi sebuah alat perjuangan. Ini akan menjadikan negeri ini sebagai arena balas dendam fisik sebagaimana sudah kita lihat buktinya dari negara tetangga kita, Timor Leste.

Pemerintah sudah saatnya melihat semuanya ini. Pemerintah harus menjadikan perbedaan tetap hidup dan berkembang, namun tidak sampai menjadi sebuah ideologi yang menentukan hidup mati kelompok, etnis, agama, atau entitas tertentu demi kekuasaan dan dukungan politik untuk mereka. Sebab bagaimanapun, keragaman kita di negeri ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Kita, menjadi bangsa seperti sekarang ini justru karena kita berbeda. Kalau mau memajukan bangsa, tidak dengan menyeragamkan. Ketika pemerintah Singapura, China dan Jepang ingin membangun semangat untuk maju pada seluruh warganya, mereka menggali nilai budaya yang merupakan warisan leluhur mereka dan menjadikannya kekuatan untuk maju. Demikian juga seharusnya kita. Kita harus menjadikan keberagaman sebagai alat untuk maju dan menjadikan diri lebih baik lagi. Seluruh cara harus dikerahkan supaya kita bisa maju dalam berbagai perbedaan yang ada itu dan dengan bertekun menjadikannya sebagai kekuatan untuk menyatukan bangsa

Read More......