Tuesday, April 24, 2007

Menanti Kabinet Profesional, Mungkinkah?

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu menjadi pembicaraan hangat beberapa pekan ini. Puncaknya kemudian semakin hangat ketika Presiden Yudhoyono mengumumkan bahwa reshuffle terbatas akan diumumkannya pada awal Mei. Sebelumnya Presiden pernah menyampaikan bahwa reshuffle bukan untuk giliran maupun gantian dalam berkuasa.

Wacana reshuffle memang menjadi perhatian publik. Setelah sebelumnya diperkirakan bahwa reshuffle akan dilakukan pada bulan Oktober lalu ketika usia pemerintahan berjalan dua tahun, tetapi nyatanya tidak, wacana reshuffle kemudian bergeser ke 2,5 tahun pemerintahan. Kita melihat bahwa publik memang terus menerus berharap pada reshuffle ini. Ada apa gerangan?
Pembicaraan dan perdebatan publik soal reshuffle itu memang harus dilihat dengan lebih jauh. Bahwa kondisi pemerintahan sekarang memang telah menimbulkan gelombang ketidakpuasan. Dimana-mana masyarakat melihat bahwa pemerintah tak lagi dapat diandalkan dalam menangani dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Karena itu mereka semakin kecewa dan menuntut ada perubahan.

Bukti dari ketidakpuasan itu jelas ada. Survei yang dikemukakan oleh LSI menunjukkan bahwa pemerintah ini semakin lemah dan semakin sulit dipercayai oleh masyarakat. Popularitas Presiden Yudhoyono menurun drastis dibandingkan dengan seluruh waktu pemerintahannya. Survei inilah yang kemudian meledak di dalam beragam berbincangan di tengah masyarakat. Para pengamat menuliskan analisisnya dan berujung kepada setidaknya 13 nama menteri yang kinerjanya tidak memuaskan.

Apa boleh buat. Pemerintah seolah bungkam. Bandingkan dengan wacana tahun lalu di saat dua tahun pemerintahan, aksi cabut mandat berjalan sepi. Alasannya, survei yang dilakukan saat itu masih menempatkan Presiden dalam posisi aman. Juru Bicara Kepresidenan bahkan dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa Presiden masih didukung oleh banyak warga masyarakat. Tetapi tidak kini. Tiadanya komentar dari Istana Negara seolah membenarkan dan mengakui bahwa memang itulah fakta yang terjadi.

Mengapa?

Secara lebih khusus, reshuffle dilihat sebagai solusi dari membludaknya persoalan-persoalan di masyarakat. Mari kita lihat sejenak mereka yang diberikan cap merah oleh publik.
Beberapa anggota kabinet dikabakan berada dalam keadaan yang tidak sehat. Menteri Pertahanan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri LH dan terakhir Mendagri, adalah figur yang pernah diserang oleh penyakit yang berpotensi menurunkan kinerja.

Tetapi sorotan tajam bukan hanya itu. Salah satu menteri yang dianggap publik sebagai tidak bekerja dengan baik adalah Menteri Perhubungan. Sepanjang tahun ini kecelakaan demi kecelakaan dalam bidang perhubungan selalu dicarikan kambing hitam pada human errror dan dana. Padahal, publik tidak mau tahu soal itu. Publik hanya melihat bahwa mereka semakin lama semakin menjadi korban dari kepemimpinan sang menteri.

Berikutnya, dua menteri dianggap oleh publik tak lagi bisa dipercaya secara bersamaan. Keduanya adalah Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Menhuk HAM Hamid. Keduanya dianggap terlibat dalam sebuah skenario yang memang tidak merugikan negara tetapi melanggar rambu-rambu dan etika aturan keuangan negara. Ketua BPK bahkan mencap pelaku dalam kasus transfer dana Tommy Soeharto ini sebagai tidak bermoral.

Menteri lain yang disorot adalah Menko Kesra, Aburizal Bakrie. Namun hal ini lebih kepada penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang semakin kalut dan berlarut-larut. Sikap dan komentar menteri dari Partai Golkar ini umumnya juga tidak simpatik, misalnya ketika menghadapi mereka yang mengalami musibah banjir.

Menteri lain yang pernah mendapatkan gunjingan publik adalah Menteri Pendidikan dengan voucher-gate nya, Menteri BUMN dengan kinerja BUMN yang meroket terjun bebas, dan Menteri Kesehatan yang dianggap tidak paham masalah penanggulangan penyakit. Di sebut lagi Menteri Kebudayaan yang tidak paham bagaimana mengembangkan kebudayaan dan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal, yang dianggap tak lagi punya kekuatan politik.

Apa boleh buat, Presiden harus menerima kenyataan bahwa sekarang ini masyarakat bebas melontarkan kritik terhadap para pembantu-pembantunya, yaitu para menteri. Bukan hanya itu, masyarakat bahwa dengan bebas bisa menyampaikan pendapatnya termasuk tentang Presiden sekalipun.

Yang harus menjadi perhatian Presiden adalah bahwa kinerja para menteri adalah kinerja yang seharusnya juga diukur dan berpedoman pada kepuasaan masyarakat sebagai target program para menteri. Ketidakpuasan masyarakat merupakan ukuran yang mewakili kemampuan para menteri menjalankan programnya. Ketidakpuasan masyarakat yang tertangkap melalui survei LSI tadi benar-benar harus dilihat sebagai evaluasi paling real dari kinerja tadi.

Tidak Mudah

Reshuffle, mudah dibicarakan tetapi tidak mudah dilakukan. Kita melihat bahwa reshuffle kali ini akan sangat mempengaruhi konstelasi politik kita. Ketika menyatakan bahwa reshuffle akan segera diadakan, Presiden menyatakan bahwa dirinya tidak takut melakukannya, pastilah ada latar belakang dari kalimat tersebut. Memang, dengan menggunakan kacamata jernih dan tekstual belaka, reshuffle memang merupakan hak prerogatif Presiden. Semua menteri yang ditanya mengenai hal itu menjawab demikian, bahkan Wakil Presiden juga.

Namun sebagai sebuah upaya yang dapat dikatakan sebagai keputusan politik, reshuffle jelas tidak memberikan kebebasan kepada Presiden sendiri. Sebabnya karena konfigurasi politik yang ingin dibangun dan saling mempengaruhi harus benar-benar dipertimbangkan.

Siapapun tahu bahwa pemerintah kini sedang dilanda oleh demam kekuasaan, termasuk Presiden sendiri. Pemilu 2009 memang masih jauh namun persiapan dan pemanasan menjelang hal itu sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk Presiden sendiri.

Sayangnya, sedari awal Presiden sudah memasang perangkap bagi dirinya sendiri. Keinginannya mengamankan seluruh kekuatan politik dan mencegah gejolak memang berhasil. Ia memberikan kursi-kursi dalam pemerintahannya kepada semua partai politik kecuali PDI-P. Presiden ingin menyenangkan semuanya dan kemudian mendukung dirinya. Namun risiko kini harus dihadapi.

Setiap parpol kini mulai berhitung. Memberikan dukungan atau tidak, akan mempengaruhi pencapaian suara kelak. Dan itu juga bergantung apakah Presiden masih memberikan kursi kepada menteri dari parpol. Lihatlah bahwa hampir semua menteri yang capnya merah tadi berasal dari parpol.

Tidak mungkin Presiden tidak berpikir panjang dan hanya menggunakan legitimasinya sebagai Presiden untuk memutuskan reshuflle ini. Publik tidak dapat dibohongi. Presiden pasti memiliki pertimbangan untuk menempatkan dirinya kembali sebagai Presiden berikutnya. Dan pada saat yang sama, parpol juga tidak mau sebagai pihak yang hanya menunggu. Mereka pun butuh kepastian apakah akan ikut gerbong berikutnya atau ditinggalkan.

Presiden memahami benar bahwa keputusan reshuffle akan mempengaruhi dukungan terhadap dirinya. Maka Presiden harus benar-benar meyakinkan bahwa mereka yang diberikan kepercayaan membantunya dalam pemerintahan harus benar-benar memberikan kontribusi politik baginya di tahun 2009. Setidaknya, Presiden memang berhasil melakukan langkah awal terhadap hal ini dengan adanya para menteri yang membantunya dan notabene adalah Ketua Umum parpol.

Tetapi harus dipertimbangkan bahwa hubungan politik kita tak bisa langgeng. Presiden memang tidak bisa menjamin bahwa memberikan kursi akan memberikan jaminan politik pada Pemilu 2009 nanti. Parpol kita adalah parpol yang umumnya sangat pragmatis. Mereka akan memperhitungkan kekuatan yang real menjadi pendongkrak suara bagi mereka. Jika kelak Presiden pun semakin mengecewakan publik dan menjadi blunder, mendukung sekarang bukan berarti akan selamanya mendukung.

Maka pengumuman reshuffle nanti adalah sebuah pengumuman politik. Tak mungkin kita akan mendapatkan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 3 yang akan lebih profesional. Kecuali karena adanya tekanan publik, Presiden pun juga manusia, yang tetap membutuhkan kursi sebagai Presiden.
Jadi, kabinet profesional? Meminjam istilah populer sekarang, kita akan serentak berteriak, “mimpi kali yee”.

Read More......

FOKUS RI-Singapura, Perjanjian Ekstradisi

Draft perjanjian ekstradisi antara RI dan Singapura sudah ditandatangani. Hal ini diumumkan langsung oleh Menteri Luar Negeri, Hassan Wirajuda. Menteri juga menyampaikan bahwa perjanjian ini akan secara resmi di tandatangani pada hari Jumat pekan ini juga.

Makna perjanjian ekstradisi ini amat besar bagi Indonesia. Sebagaimana dikabarkan, Singapura adalah salah satu negara tujuan mereka yang melanggar hukum dari Indonesia. Sebabnya karena negara jiran ini belum memiliki hubungan yang menegaskan adanya ekstradisi antara kedua negara.

RI bukannya tidak pernah melakukan pendekatan. Sayangnya, Singapura menolak dengan berbagai alasan. Salah satunya karena mereka menuding sistem pengadilan di Indonesia masih belum mencerminkan keadilan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sikap itu sebenarnya adalah sebuah sikap pragmatis. Di belakang negara tersebut, terdapat semacam kebijakan balas budi bagi para orang Indonesia yang banyak berada di negara tersebut.

Singapura ternyata menampung warga negara Indonesia yang bermukim di sana. Sebagian besar dari pembeli apartemen dan wisatawan yang berkunjung ke sana adalah mereka yang berasal dari Indonesia. Jadi, Singapura mendapatkan keuntungan jika mereka masih menyediakan perlindungan kepada masyarakat yang memang memiliki banyak kepentingan di sana.

Di dalam negeri sendiri memang ada banyak masalah. Tetapi itu bukan alasan dan memang tidak sepantasnya Singapura menggunakan alasan mengenai sistem pengadilan di Indonesia. Bagaimanapun kita memiliki aturan dan mekanisme dalam menata hukum sendiri.

Ada banyak perkiraan selama ini mengapa Singapura menolak perjanjian ekstradisi. Salah satu argumentasi yang juga disampaikan oleh para pengamat adalah adanya perasaan lebih superior dari negara tersebut terhadap kita di Indonesia. Singapura yang dari sudut pandang kekuatan militer jelas lebih maju kini memang seolah ingin mempertontonkan hal itu.

Keuntungan lain dari Singapura adalah karena mereka dijadikan sebagai salah satu negara kepercayaan Amerika Serikat, super powernya dunia sekarang ini. Berbagai agenda di Asia Tenggara, dipercayakan dikoordinasikan dari Singapura. Bahkan berbagai bantuan militer sengaja diberikan kepada negara itu untuk meningkatkan daya tawarnya bagi tetangga sendiri. Maka jadilah. Singapura yang dulunya hanya negara sempalan dan koloni itu bahkan dianggap besar kepala termasuk kepada Indonesia. Ketika asap dari negara kita menyebar ke sana, bukannya melakukan pembicaraan bilateral sebagai sesama negara bertetangga, Singapura malah melaporkan Indonesia ke PBB.

Tetapi kita harap bahwa perjanjian ekstradisi ini tanpa konsesi apapun. Sebulan terkahir, Indonesia memang sedang melakukan sebuah kebijakan baru. Setelah merebaknya isu bahwa negara itu sekarang sedang giat-giatnya melakukan reklamasi pantainya sehingga kini sudah memanjang ke arah Indonesia sepanjang 12 km, Indonesia memutuskan menghentikan segala eksport pasir ke negara itu.

Razia besar-besaran dilakukan. Akibatnya pembangunan di negara tersebut berhenti. Pasokan pasir dari Indonesia sebagai satu-satunya andalan kini sudah tidak ada lagi. Maka barangkali negara itu keteter dan kemudian mengubah kebijakannya selama ini.

Bagaimanapun pemerintah tak boleh menjual kedaulatan wilayah kita, untuk mendapatkan “promosi” pasca menurunnya popularitas pemerintah. Kebijakan ekstradisi adalah kebijakan yang kita harap lepas dari berbagai maksud lain.

Read More......

Sunday, April 15, 2007

FOKUS Memerintah, Tidak Mudah

Popularitas pemerintah kembali diuji. Kali ini survei memberikan bukti bahwa kepemimpinan Presiden Yudhoyono menurun tajam. Laporan ini disampaikan oleh survei sebuah lembaga independen. Apa kata pemerintah?

Kembali pemerintah seolah menutup mata atas hal itu. Reaksi dari kalangan dalam pemerintah mengabaikan. Juru Bicara Kepresidenen kembali menyatakan bahwa Presiden tidak tidur. Pemerintah tetap bekerja dan segala sesuatu berjalan dengan baik. Logika yang sama dipakai kembali oleh pemerintah, bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan terbaik yang masih bisa dipercaya.

Benarkah bahwa pemerintah harus mengabaikan persepsi masyarakat atas keberadaan mereka? Sepantasnya tidak. Sebab bagaimanapun, suara rakyatlah yang secara langsung memberikan dukungan kepada pemerintah yang untuk pertama sekali ini dipilih dengan menggunakan metode pemilihan langsung.

Ada kesan kita bahwa pemerintah sekarang ini memang mengalami semacam over prouding atas kemenangan yang diraih atas kompetitornya. Karenanya, pemerintah menjadikan kemenangan itu sebagai sebuah prestasi yang harus menerus diungkapkan dan disampaikan sebagai wacana manakala pemerintah diminta untuk memperbaiki diri.

Dari sikap tadi, ada kesan yang lebih jelas bahwa pemerintah mendekati perilaku “semau gue”. Karena pemerintah tidak melihat bahwa sikapnya harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat, maka yang mereka memaksa masyarakat untuk mendengar, mengikuti dan menjalankan apa yang diinginkan oleh pemerintah.

Pemerintah ini tidak secara langsung menyatakan bahwa mereka tidak mau dikritik. Padahal kita tahu bahwa pemerintah ini harus dikritik karena berbagai kebijakannya memang amat jauh dari keberpihakan kepada masyarakat.

Salah satu yang terjadi misalnya adalah ketidakberpihakan pemerintah pada nasib rakyat yang rumahnya harus terendam lumpur di Sidoarjo. Badan pengganti Tim Nasional penanggulangan lumpur Sidoarjo kehilangan kepercayaan publik karena di dalamnya ada orang-orang yang berasal dari kementerian kesra, yang dipimpin oleh pemilik Lapindo Brantas.

Ketidakberpihakan pemerintah juga terlihat dari ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga. Beras, misalnya, tetap tidak terkendali. Beras yang dikonsumsi oleh seluruh warga masyarakat yang kebanyakan warga negara miskin tetap tidak bisa diturunkan harganya. Padahal janji pemerintah adalah dalam waktu sikap harga beras akan terkendali. Sayangnya, janji tinggal janji, nasib petani justru memburuk dengan masuknya impor beras yang dirancang oleh pemerintah. Kenaikan harga pembelian gabah di sentra pembelian pemerintah, dipandang oleh petani sebagai sebuah kebijakan yang sudah tidak ada lagi artinya.

Pemerintah harus diingatkan bahwa memimpin dan melayani adalah esensi dari memerintah. Dan itu tidak mudah. Diperlukan sebuah moral kepemimpinan yang bersumber dari keberanian dan kreativitas. Pemerintah harus berani melakukan tindakan yang tidak populis sekalipun di mata kawan dan lawan politik, jika ingin menyelamatkan masyarakat.

Pemerintah juga dituntut untuk berani untuk mengabaikan tekanan politik. Pengamat menyatakan bahwa pemerintahan ini ingin berkuasa kembali dengan cara menyenangkan hampir semua pihak termasuk partai politik. Akibatnya posisi kebijakan negara ini dipasung oleh kepentingan tadi. Hal ini harus dihentikan dan pemerintah harus berani menyatakan tidak kepada semua kepentingan yang tidak berhubungan dengan masyarakat.

Memerintah tidak mudah. Di sana ada terkandung nilai kehormatan. Tetapi itulah kemuliaan yang didapatkan oleh pemerintah yang adil, arif dan bijak.

Read More......

FOKUS Ketegasan Melawan Impunitas

Hari-hari ini pemerintah sibuk menghadapi berbagai persoalan. Dua di antaranya adalah kasus kematian praja IPDN, serta pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Untuk yang pertama, Presiden membentuk sebuah tim evaluasi yang diketuai oleh Riyas Rasyid. Sementara yang kedua, perkembangkan terakhir memperlihatkan penetapana dua tersangka baru. Keduanya berasal dari pihak manajemen PT Garuda.

Kematian di Indonesia banyak mengalami impunitas. Dalam dunia politik kita mengenal bahwa impunitas bermakna pengabaian. Dengan demikian, impunitas adalah kematian yang diabaikan dan tidak diperdulikan.

Itulah yang hampir terjadi pada dua kasus di atas. Cliff Muntu hampir luput dari pengungkapan sekiranya media tidak membombardir dengan pemberitaannya. Demikian juga dengan kematian Munir, akan menjadi kematian sekiranya para aktifis mendiamkan masalah ini.

Mengapa sampai terjadi impunitas? Penyebab utama adalah karena negara sendiri merancang dan menyebabkan kematian itu. Kekerasan yang terjadi di IPDN adalah kekerasan yang seharusnya menyentuh negara. Kekerasan yang terlembagakan di sebuah lembaga pendidikan milik negara, adalah sebuah bukti bahwa telah terjadi impunitas di dalamnya.

Kekerasan yang melembaga ini berasal dari adanya campur tangan aparatur negara di dalamnya, yang terepresentasi dari keberadaan Departemen Dalam Negeri, serta pihak rektorat dan dosen yang notabene adalah PNS, aparatur negara. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa kematian Cliff Muntu justru seolah ditutupi oleh keberadaan mereka yang seharusnya menjadi aparat pemerintah ini.

Maka terjadilah impunitas setiap kali terjadi kekerasan, termasuk di IPDN. Kematian Cliff Muntu adalah kematian yang terungkap sementara yang benar-benar merupakan kematian yang mengalami impunitas, mungkin lebih banyak lagi. Kesaksian dari mereka yang pernah menjad korban adalah sebuah kenyataan betapa telah terjadi impunitas kematian di sana.

Kematian Munir adalah soal lain dengan prinsip yang sama. Negara telah terlibat di dalamnya. Ada kontak antara pelaku dengan aparat pemerintah dari BIN. Dan para pelaku adalah mereka yang bekerja pada lembaga penerbangan milik pemerintah. Apa artinya? Lembaga pemerintah justru dipergunakan untuk menjadi tempat melanggengkan kematian dan membuat tabir kematian tidak terungkap dan kemudian dilupakan.

Ada banyak kematian lain yang tidak terungkap di negeri ini. Mulai dari tragedi G30-S/PKI, kemudian tregadi Lampung, Priok, Semanggi I dan II, lalu kemudian Tragedi Mei, semuanya ada dalam catatan kita tetapi tidak pernah diungkapkan dengan jelas kepada publik mengenai apa yang terjadi pada mereka. Kita hanya tahu bahwa ada kematian dan ada pengabaian oleh negara di dalamnya.

Kenapa negara tidak mau bertanggung-jawab, atau setidaknya menuntut pertanggung-jawaban dari mereka yang seharusnya bertanggung-jawab? Salah satunya adalah karena kematian itu disebabkan oleh pelaku dengan level kekuasaan yang amat besar. Pelakunya adalah mereka yang memiliki kekuasaan untuk berlindung atau meneror pemerintah sehingga pemerintah sendiri tidak berdaya.

Apa boleh buat. Impunitas memang memerlukan keberanian dan sikap politik. Campur tangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, untuk mendorong, memulai dan memantau perjalanan pengungkapan kematian yang selama ini terabaikan, semoga dapat terjadi pada berbagai kematian lainnya. Impunitas tidak boleh terjadi, dan tidak boleh terus menerus terjadi.

Read More......

Sunday, April 08, 2007

FOKUS Kekerasan Menjadi Budaya

Kekerasan di dunia pendidikan kita layak terus menerus kita kritisi. Yang terbaru dan menjadi perhatian kita semua adalah kekerasan yang terjadi di IPDN. Kekerasan yang menewaskan salah seorang praja di sana telah menjadikan seluruh sorot mata kita beralih ke kampus yang berada di bawah pembinaan Departemen Dalam Negeri itu.

Memang, kekerasan di IPDN hampir luput dari perhatian kita. Kematian praja bernama Cliff Muntu kelihatannya dicoba ditutupi secara sistematis, baik dari pernyataan pihak kampus, maupun dalam penjelasan-penjelasan yang coba disampaikan kepada publik. Tetapi publik tetap tak percaya bahwa semuanya berjalan wajar dan berjalan apa adanya.

Ingatan kita kembali ketika kematian salah seorang praja bernama Wahyu Hidayat juga menghebohkan kita semua. Kala itu, pimpinan tertinggi lembaga itu juga menolak mengakui bahwa kekerasan memang sudah menjadi budaya di sana. Keadaan yang mirip kita jumpai di sekarang, ketika Rektor kampus itu menyatakan bahwa korban meninggal karena penyakit.

Dari dalam kampus yang mendidik praja yang kelak akan memimpin birokrasi itu sendiri sudah terungkap betapa bobroknya pendidikan di sana. Salah seorang dosen yang dulu juga bersuara lantang kepada media mengenai kekerasan di sana menyatakan bahwa kematian akibat kekerasan di kampusnya sudah mencapai 35 orang. Sementara Sekjen Depdagri justru membantahnya dan menyatakan bahwa kematian dalam pendidikan hanyalah 3 orang saja.

Beruntunglah bahwa Presiden tidak begitu saja menerima keadaan itu. Seolah memberikan sinyal bahwa masalah ini akan dituntaskan, selain berbicara dengan keluarga korban, Presiden memerintahkan penyelidikan. Dan kita tahu bahwa pihak pendidikan, terutama Rektor dengan segala jajarannya harus mempertanggung-jawabkan masalah itu kepada kita semua.

Rasanya memang sangat menyedihkan bahwa kampus yang mendidik para pengayom masyarakat itu kelak, dididik dengan cara-cara yang amat jauh dari makna pendidikan. Dalam alam pikir dunia sekarang, baik dengan menggunakan cara berpikir mazhab akal budi maupun mazhab hati nurani, kekerasan tidak pernah diajarkan.

Tokoh-tokoh yang bersimpati wajar kemudian menyatakan bahwa kampus IPDN harus dikaji ulang. Semuanya karena kejadian demi kejadian berbau kekerasan memang seolah tak pernah sepi di sana. Kesaksian mereka yang memilih keluar dari pendidikan dan meninggalkan pendidikan yang sebenarnya menjanjikan, adalah salah satu bukti bahwa kekerasan di lembaga pendidikan telah menjadi budaya.

Bagaimana menghentikannya. Salah satu sudut pandang yang perlu disampaikan di sini adalah pada perubahan cara pandang. Pendidikan adalah persoalan mengubah mental manusia. Dan berhadapan dengan manusia, bukan sebagaimana menempa besi yang semakin di pukul semakin halus.

Mendidik manusia jauh lebih sulit dari hanya sekedar memukul. Pendidikan seorang manusia adalah upaya untuk mengubah hati dan akal sehingga lebih bermoral, bertabat dan berdaya guna sebagai seorang manusia. Beruntunglah kita bahwa tak seorang pun filsuf besar dan penemu besar yang pernah ada di dunia ini, lahir bukan dari kampus penuh kekerasan. Sebaliknya mereka semuanya menemukan dirinya sendiri dari kampus yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Maka sudah saatnya memang kasus ini menjadi bahan renungan kita bersama. Semua pihak harus menjadikan kasus kematian di kampus IPDN sebagai titik balik untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih bermartabat di dalam segala sesuatu. Kita tunggu langkah selanjutnya dari pemerintah.

Read More......

FOKUS Tingkatkan Produktifitas Bangsa

Kabar tidak sedap selalu saja terdengar dari kita. Setelah mengimpor beras, kini kita pun dikabarkan mengimpor gula. Apa arti semuanya ini? Secara sederhana itu berarti kita memang tidak sanggup menghidupi diri kita sendiri. Kita hidup bergantung dari orang lain.

Konon kabarnya, salah satu teori yang menjelaskan penyebab kematian hewan besar di dunia ini menyatakan bahwa telah terjadi persaingan dalam memperebutkan makanan. Hal itu dikarenakan hewan-hewan tersebut bertubuh besar sehingga sangat bergantung dari pasokan makanan. Ketika populasinya bertambah, maka seleksi alam pun terjadi.

Itulah gambaran sederhan dari kehidupan masa lalu yang seharusnya menginspirasi kita semua, bahwa seleksi alam bisa terjadi pada kita, meski kita dikenal sebagai negara dengan kekayaan yang amat berlimpah ruah.

Salah satu yang amat jarang kita renungkan adalah kenyataan bahwa negara kita ini adalah negara yang sangat potensial untuk maju. Berkah Tuhan yang luar biasa kepada bangsa kita adalah pada musim di daerah khatulistiwa dimana cahaya matahari bersinar sepanjang tahun. Apa artinya? Itu berarti setiap saat tumbuhan bisa hidup karena mendapatkan sumber klorofi. Dan kalau tumbuhan hidup, maka hewan dan manusia juga akan bisa hidup. Kalau diurut-urut, maka seharusnya potensi produktifitas yang paling banyak seharusnya adalah pada kita. Negara kita adalah negara yang menikmati iklim yang luar biasa sepanjang tahun.

Tetapi apa yang terjadi? Negara kita amat miskin. Setengah dari penduduk kita hanya hidup dengan 2 dollar sehari. Di negara maju, uang tersebut bahkan hanya digunakan untuk membeli sepotong roti mahal saja. Sementara di negara kita, uang sebanyak itu amat berharga, karena didapatkan dengan membanting tulang, meminta-minta, atau bekerja selama lebih dari 8 jam seharinya.

Padahal negara-negara maju di dunia adalah negara dengan iklim yang sangat ekstrim bahkan dengan lingkungan negara yang penuh dengan tantangan. Lihat saja Amerika, Canada, Prancis dan Rusia. Selalu ada musim yang tidak memiliki sinar matahari di sana. Lalu Jepang. Mereka bahkan berada di kawasan gunung berapi yang menimbulkan gempa setiap saat. Dan Inggris, negara mereka dikelilingi oleh lautan. Namun mereka bisa berkelana jauh dengan kapal-kapal laut yang megah dan besar.

Mengapa bisa terjadi demikian? Salah satunya adalah karena mereka, jika dibandingkan dengan kita, memiliki hasrat dan gairah untuk meningkatkan produktifitas mereka. Dengan asumsi bahwa waktu kerja mereka hanya tinggal seperempatnya dari setahun yang kita miliki, mereka bekerja dengan sungguh-sungguh, sehingga setahun bagi kita sudah setara bahkan lebih dari yang mereka kerjakan.

Hal itu tidak muncul begitu saja. Kita ketinggalan dalam membangun teknologi karena kita tidak pernah berpikir bahwa kita akan menggunakannya. Dengan sumber daya manusia yang besar, sejak dulu kita dilarang menggunakan istilah padat teknologi. Kita menghambur-hamburkan tenaga kita dan luput mempelajari kemajuan negara lain.

Apa yang harus dilakukan? Salah satunya adalah dengan memacu pertumbuhan produksi negara kita dengan menggunakan prinsip spesifisik. Artinya kita menghela ekonomi kita dengan menggunakan seluruh potensi yang ada, menjadikannya lebih bernilai tambah dan kemudian menjadi mahir di dalamnya.

Hal itu jelas tidak mungkin dikerjakan sendirian. Pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintah daerah supaya semuanya menggerakan diri dalam mencapai produktfitas bangsa. Kalau hal itu tidak kita lakukan, suatu saat kita akan hanya akan menjadi bangsa yang tak ada artinya di tengah bangsa-bangsa yang semakin tidak tertandingi oleh kita.

Read More......