Sunday, April 08, 2007

FOKUS Kekerasan Menjadi Budaya

Kekerasan di dunia pendidikan kita layak terus menerus kita kritisi. Yang terbaru dan menjadi perhatian kita semua adalah kekerasan yang terjadi di IPDN. Kekerasan yang menewaskan salah seorang praja di sana telah menjadikan seluruh sorot mata kita beralih ke kampus yang berada di bawah pembinaan Departemen Dalam Negeri itu.

Memang, kekerasan di IPDN hampir luput dari perhatian kita. Kematian praja bernama Cliff Muntu kelihatannya dicoba ditutupi secara sistematis, baik dari pernyataan pihak kampus, maupun dalam penjelasan-penjelasan yang coba disampaikan kepada publik. Tetapi publik tetap tak percaya bahwa semuanya berjalan wajar dan berjalan apa adanya.

Ingatan kita kembali ketika kematian salah seorang praja bernama Wahyu Hidayat juga menghebohkan kita semua. Kala itu, pimpinan tertinggi lembaga itu juga menolak mengakui bahwa kekerasan memang sudah menjadi budaya di sana. Keadaan yang mirip kita jumpai di sekarang, ketika Rektor kampus itu menyatakan bahwa korban meninggal karena penyakit.

Dari dalam kampus yang mendidik praja yang kelak akan memimpin birokrasi itu sendiri sudah terungkap betapa bobroknya pendidikan di sana. Salah seorang dosen yang dulu juga bersuara lantang kepada media mengenai kekerasan di sana menyatakan bahwa kematian akibat kekerasan di kampusnya sudah mencapai 35 orang. Sementara Sekjen Depdagri justru membantahnya dan menyatakan bahwa kematian dalam pendidikan hanyalah 3 orang saja.

Beruntunglah bahwa Presiden tidak begitu saja menerima keadaan itu. Seolah memberikan sinyal bahwa masalah ini akan dituntaskan, selain berbicara dengan keluarga korban, Presiden memerintahkan penyelidikan. Dan kita tahu bahwa pihak pendidikan, terutama Rektor dengan segala jajarannya harus mempertanggung-jawabkan masalah itu kepada kita semua.

Rasanya memang sangat menyedihkan bahwa kampus yang mendidik para pengayom masyarakat itu kelak, dididik dengan cara-cara yang amat jauh dari makna pendidikan. Dalam alam pikir dunia sekarang, baik dengan menggunakan cara berpikir mazhab akal budi maupun mazhab hati nurani, kekerasan tidak pernah diajarkan.

Tokoh-tokoh yang bersimpati wajar kemudian menyatakan bahwa kampus IPDN harus dikaji ulang. Semuanya karena kejadian demi kejadian berbau kekerasan memang seolah tak pernah sepi di sana. Kesaksian mereka yang memilih keluar dari pendidikan dan meninggalkan pendidikan yang sebenarnya menjanjikan, adalah salah satu bukti bahwa kekerasan di lembaga pendidikan telah menjadi budaya.

Bagaimana menghentikannya. Salah satu sudut pandang yang perlu disampaikan di sini adalah pada perubahan cara pandang. Pendidikan adalah persoalan mengubah mental manusia. Dan berhadapan dengan manusia, bukan sebagaimana menempa besi yang semakin di pukul semakin halus.

Mendidik manusia jauh lebih sulit dari hanya sekedar memukul. Pendidikan seorang manusia adalah upaya untuk mengubah hati dan akal sehingga lebih bermoral, bertabat dan berdaya guna sebagai seorang manusia. Beruntunglah kita bahwa tak seorang pun filsuf besar dan penemu besar yang pernah ada di dunia ini, lahir bukan dari kampus penuh kekerasan. Sebaliknya mereka semuanya menemukan dirinya sendiri dari kampus yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Maka sudah saatnya memang kasus ini menjadi bahan renungan kita bersama. Semua pihak harus menjadikan kasus kematian di kampus IPDN sebagai titik balik untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih bermartabat di dalam segala sesuatu. Kita tunggu langkah selanjutnya dari pemerintah.

No comments: