Tuesday, April 24, 2007

Menanti Kabinet Profesional, Mungkinkah?

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu menjadi pembicaraan hangat beberapa pekan ini. Puncaknya kemudian semakin hangat ketika Presiden Yudhoyono mengumumkan bahwa reshuffle terbatas akan diumumkannya pada awal Mei. Sebelumnya Presiden pernah menyampaikan bahwa reshuffle bukan untuk giliran maupun gantian dalam berkuasa.

Wacana reshuffle memang menjadi perhatian publik. Setelah sebelumnya diperkirakan bahwa reshuffle akan dilakukan pada bulan Oktober lalu ketika usia pemerintahan berjalan dua tahun, tetapi nyatanya tidak, wacana reshuffle kemudian bergeser ke 2,5 tahun pemerintahan. Kita melihat bahwa publik memang terus menerus berharap pada reshuffle ini. Ada apa gerangan?
Pembicaraan dan perdebatan publik soal reshuffle itu memang harus dilihat dengan lebih jauh. Bahwa kondisi pemerintahan sekarang memang telah menimbulkan gelombang ketidakpuasan. Dimana-mana masyarakat melihat bahwa pemerintah tak lagi dapat diandalkan dalam menangani dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Karena itu mereka semakin kecewa dan menuntut ada perubahan.

Bukti dari ketidakpuasan itu jelas ada. Survei yang dikemukakan oleh LSI menunjukkan bahwa pemerintah ini semakin lemah dan semakin sulit dipercayai oleh masyarakat. Popularitas Presiden Yudhoyono menurun drastis dibandingkan dengan seluruh waktu pemerintahannya. Survei inilah yang kemudian meledak di dalam beragam berbincangan di tengah masyarakat. Para pengamat menuliskan analisisnya dan berujung kepada setidaknya 13 nama menteri yang kinerjanya tidak memuaskan.

Apa boleh buat. Pemerintah seolah bungkam. Bandingkan dengan wacana tahun lalu di saat dua tahun pemerintahan, aksi cabut mandat berjalan sepi. Alasannya, survei yang dilakukan saat itu masih menempatkan Presiden dalam posisi aman. Juru Bicara Kepresidenan bahkan dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa Presiden masih didukung oleh banyak warga masyarakat. Tetapi tidak kini. Tiadanya komentar dari Istana Negara seolah membenarkan dan mengakui bahwa memang itulah fakta yang terjadi.

Mengapa?

Secara lebih khusus, reshuffle dilihat sebagai solusi dari membludaknya persoalan-persoalan di masyarakat. Mari kita lihat sejenak mereka yang diberikan cap merah oleh publik.
Beberapa anggota kabinet dikabakan berada dalam keadaan yang tidak sehat. Menteri Pertahanan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri LH dan terakhir Mendagri, adalah figur yang pernah diserang oleh penyakit yang berpotensi menurunkan kinerja.

Tetapi sorotan tajam bukan hanya itu. Salah satu menteri yang dianggap publik sebagai tidak bekerja dengan baik adalah Menteri Perhubungan. Sepanjang tahun ini kecelakaan demi kecelakaan dalam bidang perhubungan selalu dicarikan kambing hitam pada human errror dan dana. Padahal, publik tidak mau tahu soal itu. Publik hanya melihat bahwa mereka semakin lama semakin menjadi korban dari kepemimpinan sang menteri.

Berikutnya, dua menteri dianggap oleh publik tak lagi bisa dipercaya secara bersamaan. Keduanya adalah Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Menhuk HAM Hamid. Keduanya dianggap terlibat dalam sebuah skenario yang memang tidak merugikan negara tetapi melanggar rambu-rambu dan etika aturan keuangan negara. Ketua BPK bahkan mencap pelaku dalam kasus transfer dana Tommy Soeharto ini sebagai tidak bermoral.

Menteri lain yang disorot adalah Menko Kesra, Aburizal Bakrie. Namun hal ini lebih kepada penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang semakin kalut dan berlarut-larut. Sikap dan komentar menteri dari Partai Golkar ini umumnya juga tidak simpatik, misalnya ketika menghadapi mereka yang mengalami musibah banjir.

Menteri lain yang pernah mendapatkan gunjingan publik adalah Menteri Pendidikan dengan voucher-gate nya, Menteri BUMN dengan kinerja BUMN yang meroket terjun bebas, dan Menteri Kesehatan yang dianggap tidak paham masalah penanggulangan penyakit. Di sebut lagi Menteri Kebudayaan yang tidak paham bagaimana mengembangkan kebudayaan dan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal, yang dianggap tak lagi punya kekuatan politik.

Apa boleh buat, Presiden harus menerima kenyataan bahwa sekarang ini masyarakat bebas melontarkan kritik terhadap para pembantu-pembantunya, yaitu para menteri. Bukan hanya itu, masyarakat bahwa dengan bebas bisa menyampaikan pendapatnya termasuk tentang Presiden sekalipun.

Yang harus menjadi perhatian Presiden adalah bahwa kinerja para menteri adalah kinerja yang seharusnya juga diukur dan berpedoman pada kepuasaan masyarakat sebagai target program para menteri. Ketidakpuasan masyarakat merupakan ukuran yang mewakili kemampuan para menteri menjalankan programnya. Ketidakpuasan masyarakat yang tertangkap melalui survei LSI tadi benar-benar harus dilihat sebagai evaluasi paling real dari kinerja tadi.

Tidak Mudah

Reshuffle, mudah dibicarakan tetapi tidak mudah dilakukan. Kita melihat bahwa reshuffle kali ini akan sangat mempengaruhi konstelasi politik kita. Ketika menyatakan bahwa reshuffle akan segera diadakan, Presiden menyatakan bahwa dirinya tidak takut melakukannya, pastilah ada latar belakang dari kalimat tersebut. Memang, dengan menggunakan kacamata jernih dan tekstual belaka, reshuffle memang merupakan hak prerogatif Presiden. Semua menteri yang ditanya mengenai hal itu menjawab demikian, bahkan Wakil Presiden juga.

Namun sebagai sebuah upaya yang dapat dikatakan sebagai keputusan politik, reshuffle jelas tidak memberikan kebebasan kepada Presiden sendiri. Sebabnya karena konfigurasi politik yang ingin dibangun dan saling mempengaruhi harus benar-benar dipertimbangkan.

Siapapun tahu bahwa pemerintah kini sedang dilanda oleh demam kekuasaan, termasuk Presiden sendiri. Pemilu 2009 memang masih jauh namun persiapan dan pemanasan menjelang hal itu sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk Presiden sendiri.

Sayangnya, sedari awal Presiden sudah memasang perangkap bagi dirinya sendiri. Keinginannya mengamankan seluruh kekuatan politik dan mencegah gejolak memang berhasil. Ia memberikan kursi-kursi dalam pemerintahannya kepada semua partai politik kecuali PDI-P. Presiden ingin menyenangkan semuanya dan kemudian mendukung dirinya. Namun risiko kini harus dihadapi.

Setiap parpol kini mulai berhitung. Memberikan dukungan atau tidak, akan mempengaruhi pencapaian suara kelak. Dan itu juga bergantung apakah Presiden masih memberikan kursi kepada menteri dari parpol. Lihatlah bahwa hampir semua menteri yang capnya merah tadi berasal dari parpol.

Tidak mungkin Presiden tidak berpikir panjang dan hanya menggunakan legitimasinya sebagai Presiden untuk memutuskan reshuflle ini. Publik tidak dapat dibohongi. Presiden pasti memiliki pertimbangan untuk menempatkan dirinya kembali sebagai Presiden berikutnya. Dan pada saat yang sama, parpol juga tidak mau sebagai pihak yang hanya menunggu. Mereka pun butuh kepastian apakah akan ikut gerbong berikutnya atau ditinggalkan.

Presiden memahami benar bahwa keputusan reshuffle akan mempengaruhi dukungan terhadap dirinya. Maka Presiden harus benar-benar meyakinkan bahwa mereka yang diberikan kepercayaan membantunya dalam pemerintahan harus benar-benar memberikan kontribusi politik baginya di tahun 2009. Setidaknya, Presiden memang berhasil melakukan langkah awal terhadap hal ini dengan adanya para menteri yang membantunya dan notabene adalah Ketua Umum parpol.

Tetapi harus dipertimbangkan bahwa hubungan politik kita tak bisa langgeng. Presiden memang tidak bisa menjamin bahwa memberikan kursi akan memberikan jaminan politik pada Pemilu 2009 nanti. Parpol kita adalah parpol yang umumnya sangat pragmatis. Mereka akan memperhitungkan kekuatan yang real menjadi pendongkrak suara bagi mereka. Jika kelak Presiden pun semakin mengecewakan publik dan menjadi blunder, mendukung sekarang bukan berarti akan selamanya mendukung.

Maka pengumuman reshuffle nanti adalah sebuah pengumuman politik. Tak mungkin kita akan mendapatkan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 3 yang akan lebih profesional. Kecuali karena adanya tekanan publik, Presiden pun juga manusia, yang tetap membutuhkan kursi sebagai Presiden.
Jadi, kabinet profesional? Meminjam istilah populer sekarang, kita akan serentak berteriak, “mimpi kali yee”.

No comments: