Friday, April 25, 2008

FOKUS Data Pemilih, Sumber Kekacauan

Kalau Pilgubsu 2008 yang barusan saja kita lewati usai, ada satu sumber potensi masalah yang akan menjadi bahan sengketa, bahkan persoalan hukum dan politik kelak di masa mendatang seusai pengumuman pemenang sekalipun, yaitu pendataan pemilih. Diakui sendiri oleh KPUD Sumut bahwa memang pendataan pemilih di Sumatera Utara amat amburadul, dan jauh dari kualitas yang sebenarnya. Tetapi KPUD Sumut menuding bahwa mereka hanyalah pengguna dan melakuakan verifikasi yang sangat terbatas dari segi waktu. Padahal untuk memverifikasi data tersebut, setidaknya dibutuhkan waktu lebih lama dari yang diberikan. Karena itu KPUD Sumut menyatakan bahwa yang harus diminta pertanggung-jawabannya adalah Pemprovsu.



Apa kata Pemprovsu? Diakui sendiri oleh Desk Pilkada Sumut bahwa persoalan pendataan pemilih memang merupakan wewenang Pemprovsu, tetapi dana yang disalurkan melalui mereka, yaitu Rp. 13 miliar itu sudah ditransfer kepada masing-masing pemerintah daerah.

Asumsi Rp. 13 miliar, dijelaskan oleh Sekda Provsu, berasal dari perkiraan jumlah penduduk Sumut sebanyak hampir 13 juta orang, dikalikan Rp. 1000 per kepala. Maka jadilah uang tersebut di atas kertas memang seharusnya dipakai untuk tujuan itu. Pertanyaannya adalah, mengapa dengan konsep yang sudah baku hasil dari dari pendataan pemilih tersebut demikian buruk?

Menurut catatan KPUD Sumut, hampir 15 persen penduduk yang seharusnya bisa menggunakan hak pilihnya, nyatanya tidak menggunakan hak pilih karena tidak terdaftar, atau karena alasan lainnya. Persoalan pendataan juga meliputi kepemilikan ganda kartu pemilih, kartu pemilih yang tidak tersalurkan, bahkan data pemilih yang seharusnya tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Jumlah 15 persen ini jelas tidak sedikit untuk mengubah posisi kemenangan salah seorang kandidat. Menurut catatan, seandainya saja calon dengan perolehan suara paling sedikit saja mendapatkan angka 15 persen itu, maka kandidat tersebut bisa menjadi pemenang pemilu. Jelas, pendataan yang sangat amburadul ini akan menjadi persoalan serius kelak.

Mari kita lihat bagaimana itu dilakukan. Pencatatan kependudukan dilakukan atas tugas dari masing-masing Kepala Daerah kepada BPS di wilayahnya. Rasanya sungguh sangat tidak masuk diakal kalau BPS yang dianggap sebagai pemegang kewenangan atas data di negeri ini bisa kacau dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Presiden Yudhoyono saja selalu menyebutkan data BPS setiap kali merujuk kepada angka kemiskinan. Jadi rasanya sungguh sangat disesalkan bahwa BPS ternyata bisa ditubing ke dalam persoalan yang seharusnya tidak patut mereka lakukan, yaitu dalam memanipulasi data.

Pertanyaannya adalah mungkinkan manipulasi data terjadi? Mungkin saja. Hal itu bisa terjadi karena sekali lagi, kewenangan pendataan terjadi di daerah masing-masing. Mutu data ditentukan oleh komitmen masing-masing daerah. Jadi, memang harus kita akui komitmen masing-masing daerah terhadap pendataan ini memang terkesan amat lemah karena adanya berbagai kepentingan. Pendataan pemilih yang berhubungan dengan posisi suara, bahkan adanya indikasi penggelembungan suara, tentunya amat dipentingkan oleh seluruh Kepala Daerah yang berada di lokasi tersebut. Hal lain, tentu saja, bahwa pendataan pemilih memang dilaksanakan sebagaimana data-data lainnya, yaitu asal-asalan dan sembarangan.

Itulah fakta dasar yang kini berada di depan mata kita. Hasil Pilgubsu memang sudah kita terima, tetapi dengan catatan tertentu menyangkut pendataan pemilih. Semoga ini tidak terulang kembali manakala Pemilu Legislatif dan Pilpres sudah berada di depan mata dan sedang dipersiapkan.

Read More......

FOKUS Untung Rugi Kenaikan BBM

Harga minyak yang naik terus, bahkan sudah mendekati angka $ 119 per barelnya makin membuat situasi dunia berada dalam kepanikan. Beberapa waktu yang lalu ada prediksi bahwa harga minyak akan turun setelah musim dingin berakhir di Amerika Serikat. Nyata tidak. Yang terjadi justru harga minyak tak berhasil diturunkan meski Amerika Serikat dan negara-negara OPEC bahkan sudah sering mendiskusikan masalah ini. Tetapi OPEC memang bergeming. Mereka tidak bersedia menaikkan produksi minyak yang terus menerus disedot oleh negara maju dan Amerika Serikat sendiri. Kenaikan harga minyak akan menjadi sumber keuntungan bagi mereka sendiri.



Di dalam negeri sendiri, kenaikan harga minyak itu menjadi sebab dari berubahnya hitung-hitung ekonomi pemerintah, bahkan kemungkinan juga akan berpengaruh secara sosial politik terhadap kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Sebab sebelumnya Presiden Yudhoyono sendiri sudah menyatakan bahwa posisi APBN akan aman pasca penetapan APBN-P 2008 yang dengan sendirinya akan dilaksanakan. Tetapi ternyata perubahan yang terjadi lebih cepat dan lebih kencang daripada yang direncanakan oleh pemerintah kita.

Memang, menaikkan harga minyak kini menjadi salah satu solusi pasca ketidakpastian rencana penggunaan kartu kendali untuk membatasi penggunaan BBM di negara kita ini. Pertanyaannya adalah, apakah memang pemerintah siap menaikkan harga minyak?

Sebelumnya harus dijelaskan bahwa kenaikan harga minyak akan menyedot subsidi APBN-P yang sudah ditetapkan sebesar lebih dari Rp. 126 trilyun. Kenaikan hanya satu persen saja, sudah menaikkan subsidi sebesar lebih dari Rp. 4 trilyun. Kenaikan harga minyak sekarang sudah melebihi 10 persen dari asumsi APBN-P. Karena itulah jelas posisi keuangan pemerintah memang berada dalam titik kritis. Mendanai terus menerus subsidi hanya akan membuat kas pemerintah bangkrut. Sementara untuk menunggu harga minyak turun jelas amat mustahil.

Pemerintah bukan tidak berbuat. Pemerintah sudah bekerja keras dengan menaikkan produksi (lifting) minyak mentah. Sayangnya, Pertamina gagal melakukannya. Bukannya naik, malah produksinya semakin menurun saja. Pemerintah juga sudah menganggarkan angka Rp. 30 trilyun untuk cadangan melalui pemangkasan anggaran setiap departemen sebesar 15 persen.

Bahaya berikutnya kalau harga minyak dunia terus menerus terjadi adalah meningkatnya risiko kredit bermasalah. Ketidakmampuan para investor menaikkan harga produksi ketika ongkos produksi meningkat akan menyebabkan banyak kredit bermasalah di berbagai sektor.

Karena itulah memang sebagaimana sudah disuarakan oleh beberapa ekonom, pemerintah harus menaikkan harga minyak untuk penggunaan terbatas. Rencana itu adalah menaikkan harga minyak untuk penggunaan kendaraan pribadi roda empat yang diharapkan akan menurunkan penggunaan kebutuhan minyak sekaligus menciptakan gaya hidup hemat. Harga minyak untuk kebutuhan industri juga diperkirakan akan meningkat.

Tinggal pemerintahlah sekarang yang harus menggunakan komunikasi yang elegan kepada masyarakat supaya hal ini tidak menciptakan gejolak dan konflik. Memang pemerintah mungkin akan kehilangan popularitas dalam sekejap, tetapi lebih baik daripada seperti sekarang masyarakat bahkan semakin mengeluh akibat kelangkaan minyak dimana-mana. Bukankah pemerintah masih bisa meningkatkan popularitasnya di segi lain, misalnya penanganan korupsi dan pembenahan birokrasi? Kita tunggu langkah berani pemerintah

Read More......

OPINI Gubernur dan Wakil Gubernur Pilihan Kita


Akhirnya KPUD Sumut menetapkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Sumatra Utara dalam Pilkada 2008 ini adalah pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho. Pasangan ini memperoleh suara sekitar 28 persen, mengalahkan kandidat lainnya.
Apa respon pasangan yang terkenal dengan nama Syampurno ini? Bahagia dan haru? Pasti. Yang namanya kemenangan, tentunya harus disyukuri dan dijadikan kebahagiaan. Tetapi yang juga pasti adalah bahwa pengumuman KPUD Sumut itu bukan akhir dari segalanya. Apa yang harus dikerjakan kemudian?



Kepemimpinan keduanya akan diuji bukan dalam hitungan hari saja. Melainkan dalam waktu 365 hari dikali 5 tahun. Mereka akan memimpin Sumatera Utara dalam waktu yang tidak singkat, tetapi 5 tahun ke depan. Mereka akan menjadi pemandu pembangunan Sumatera Utara, dalam melewati setiap dinamika masyarakat dalam 5 tahun ke depan ini.

Suka atau tidak suka, sebagai masyarakat yang berada dalam bingkai demokrasi, inilah faktanya, bahwa mereka berdua adalah pemenang dari kompetisi bernama Pilkada Gubernur Sumatera Utara. Pasangan Syampurno terpilih sebagai pemimpin setelah melewati proses yang sesungguhnya sangat demokratis. Mereka diusung oleh parpol yang berhak mengusung mereka, mereka—juga pasangan yang lainnya—telah melewati verifikasi dari KPUD Sumut, dan kemudian telah melewati masa kampanye serta kemudian detik-detik penghitungan suara.


Tetapi suka atau tidak suka juga, pasangan Syampurno harus juga mengakui bahwa menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tidak boleh berhenti pada hari kemenangan saja. Perayaan mungkin boleh. Tetapi di depan masih banyak tugas besar menanti. Persoalan pasca pilkada, mulai dari konsekuensi politik, sampai dengan upaya besar menggerakkan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara adalah sebuah proyek besar yang sangat menguras energi dan perhatian.

Harapan
Masyarakat Sumut berharap bahwa pasangan Syampurno akan menjadi pemimpin yang memimpin dengan kejujuran dan keberanian. Kedua kata itu, jujur dan beraniperlu dipegang oleh kedua tokoh itu.

Banyak pemimpin sekarang ini kehilangan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat karena mereka sudah berlaku tidak jujur. Di pentas nasional, banyak tokoh, setelah kekuasaan terpenuhi dan dimiliki, kemudian mengingkari bahwa mereka pernah berjanji kepada masyarakat, pernah meminta dukungan masyarakat, bahkan pernah berkampanye pada masyarakat. Pemimpin tipe ini bukanlah tipe yang jujur.

Negeri ini adalah pentas dimana orang yang tidak jujur berseliweran. Setiap kali kampanye, setiap kandidat mencap diri bersih dan memiliki program yang menjanjikan. Mereka menyatakan akan melakukan ini, akan mengerjakan itu, akan membangun ini dan menyelesaikan itu. Tetapi ketika kemudian kekuasaan diperoleh, mereka kerap menerima aliran uang yang hanya menguntungkan mereka saja, mereka menggunakan kekuasaannya untuk menciderai masyarakat, bahkan menggunakan posisinya untuk melanggengkan kedudukan dan posisinya.

Itu adalah bentuk ketidakjujuran. Masyarakat berharap bahwa kejujuran pasangan Syampurno akan terus berlangsung dan dipelihara. Masyarakat akan sangat merekam setiap tindak tanduk pasangan ini termasuk kalau dalam menjalankan pemerintahannya mereka berbuat kecurangan. Masyarakat akan menunggu hari demi hari, dan menanti apakah Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih ini akan menepati janjinya atau tidak.

Yang berikutnya, keberanian. Keberanian penting untuk membangun Provinsi Sumatera Utara. Ada pameo yang terkenal bahkan di seluruh Indonesia, bahkan urusan keberanian menyogok, penggunaan uang negara, uang pelicin dan segala macam korupsi, semuanya amat terus terang dan terbuka jelas di Sumatera Utara. Istilahnya, di Sumatera Utara yang namanya uang yang tidak benar, sudah ”tahu sama tahu”.

Bahkan kata-kata ”sumut” telah diplesetkan oleh banyak orang sebagai ”semua urusan menggunakan uang tunai”. Apa arti dari semuanya itu? Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih harus malu memimpin provinsi yang dicap demikian. Pasangan Syampurno harus mengubah pameo ini sehingga masyarakat lebih bermartabat. Bukan hanya melawan uang yang tidak jelas, Gubernur dan Wakil Gubernur ini juga harus berani dan dengan gagah berani berani melawan dan membersihkan korupsi di Sumatera Utara.

Di negeri ini yang namanya pejabat kaya, petinggi terkenal, dan elit politik populer sudah banyak. Tetapi yang punya nyali untuk hidup miskin, tidak disukai bahkan dibenci karena berani melawan korupsi masih jarang terdengar. Karena itu, Gubernur dan Wakil Gubernur ini harus berani melawan arus. Keduanya harus benar-benar berani seberani-beraninya membersihkan korupsi di Sumatera Utara.

Yang juga dibutuhkan, selain jujur dan berani adalah kekuatan untuk membangkitkan semangat. Keduanya harus bisa menggerakan masyarakat untuk berbuat bagi Sumatera Utara supaya provinsi ini maju dan mandiri. Sumatera Utara ini adalah daerah yang amat kaya. Tetapi sayangnya, selama ini seluruh sumber daya yang ada hanya dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir atau sekelompok orang saja. Disparitas pembangunan amat terasa kalau kita membandingkan pembangunan antar kawasan, antar kelompok ekonomi tertentu, bahkan antar strata sosial tertentu.

Akibatnya, masyarakat ”biasa” banyak yang kemudian kehilangan sense of belonging. Masyarakat hanya suka menjadi penonton. Ketika masyarakat diabaikan bertahun-tahun dalam seluruh sistem kehidupan, bahkan kadang-kadang tidak diperhatikan dan tidak diperhitungkan sama sekali menyebabkan masyarakat menjadi apatis. Masyarakat beranggapan bahwa provinsi ini hanya untuk mereka yang memiliki kesempatan dan kekuasaan serta kedekatan dengan yang berada di ”atas”. Maka yang terjadi bisa ditebak. Semangat memberikan yang terbaik bagi daerah ini mengendor, menipis dan kini hilang sama sekali. Itulah yang bisa kita rekam sebagai salah satu alasan mengapa banyak warga yang meski namanya ada dalam DPT tetapi enggan memilih.

Posisi Merakyat

Terekam dari berbagai fakta yang kita temukan di lapangan, ada harapan yang sangat besar dari masyarakat untuk mengidamkan sosok pemimpin yang merakyat. Pemimpin yang tidak jauh, tetapi dekat, bukan hanya karena kehadirannya secara fisik, tetapi karena kedekatan hatinya pada setiap persoalan masyarakat, beban masyarakat, serta berbagai harapan masyarakat. Banyak pemimpin biasanya hanya tahu duduk dan memerintah dari jauh. Pemimpin tipe ini amat banyak di negeri ini. Mereka hanya tahu bahwa segala bentuk pelayanan dan pekerjaan untuk masyarakat sudah dibereskan. Tetapi pemimpin tipe ini tidak tahu apa bentuk pelayanan dan pekerjaan yang dilaksanakan untuk rakyat tadi. Tipe ini hanya tahu memberi perintah dan memerintahkan.

Masyarakat sudah jemu dengan pemimpin yang hanya menggunakan telunjuk untuk menuding dan menghakimi. Masyarakat sudah jemu dengan pemimpin yang hanya tahu tidur dan tidak sadar bahwa masyarakat kelaparan. Masyarakat sudah jemu dengan berbagai melodrama yang dimainkan untuk mengelabui masyarakat. Bahkan masyarakat sudah jemu kalau para pemimpin hanya memperkaya diri sendiri dengan uang rakyat.

Masyarakat mengidamkan pemimpin yang merakyat. Untuk bisa sukses, keduanya harus bisa merakyat. Merakyat artinya merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat, merasakan penderitaan, bahkan setiap detak jantung masyarakat. Keduanya, jika ingin disebut merakyat, harus menggunakan setiap detik dalam hidupnya untuk memikirkan bagaimana nasib rakyat. Keduanya, jika ingin disebut merakyat, harus benar-benar menjadi rakyat biasa, dari cara hidup, sampai dengan cara berpikir. Jika ingin merakyat, keduanya harus benar-benar menjadi pemimpin bagi setiap orang—kurang lebih 12 juta masyarakat Sumatera Utara.

Pemimpin yang memposisikan diri seperti itulah yang dirindukan oleh masyarakat Sumatera Utara. Kalau selama 5 tahun keduanya, Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho bisa merakyat, bukan tidak mungkin mereka akan menerima mandat berikutnya dari masyarakat. Selamat dan bersiaplah menjalani tugas sebagai pengemban amanah masyarakat Sumatera Utara sebagai Sumut 1 dan Sumut 2


Read More......

Wednesday, April 23, 2008

FOKUS Tanggung Jawab Besar Masyarakat Sumut Pasca Pilgubsu

Rasanya risau manakala menyaksikan bagaimana sekelompok masyarakat masih saja mendatangi KPU Sumut meminta pilkada ulang. Mereka menuntut supaya KPU Sumut membatalkan hasil rekapitulasi karena nama mereka tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap.



Benar tanggapan Ketua KPU Sumut bahwa sudah sejak lama masyarakat diberikan kesempatan untuk melakukannya, jauh sebelum Pilgubsu. KPU sudah menempelkan DPT di kantor kelurahan, lalu memberikan waktu untuk memperbaikinya kepada masyarakat. Angka 8,4 juta jiwa sebagai pemilih dalam pemilu tersebut bukan angka tiba-tiba, tetapi berasal dari perhitungan.

Rasanya kesadaran bahwa nama mereka seharusnya terdaftar memang terlalu terlambat. Jauh-jauh hari KPU Sumut dengan berbagai metode sosialisasi telah menempuh segala cara, baik melalui media massa, media elektronik bahkan dengan menggunakan berbagai alat peraga lainnya.

Tetapi itulah faktanya. Sekali lagi kita sangat menyesali betapa banyaknya nama yang memang tidak terdaftar. Lebih dari 35 persen kemudian pemilih kemudian menjadi golput, yang sebagian di antaranya adalah mereka yang karena kesadaran yang terlambat tadi harus menyesal.

Jelas benar bahwa masyarakat kita memang memiliki budaya politik yang sangat instant. Mereka tidak menyadari bahwa demokrasi adalah perjuangan panjang yang dengan penuh kesabaran, bahkan pengorbanan, harus diperjuangkan. Pengorbanan, terkadang memang berat diberikan oleh masyarakat yang mengharapkan demokrasi sebagai lampu aladin.

Masyarakat menyangka bahwa demokrasi bisa meyelesaikan masalah dalam sekejap. Masyarakat memiliki mimpi bahwa demokrasi adalah sekejap mata terjadi perubahan dalam seluruh aspek. Tetapi karena itu tidak terwujud, maka masyarakat kemudian dengan mudahnya melakukan tindakan yang sangat berisiko, yaitu memilih figur populer atau figur baru tanpa mengetahui track record-nya.

Persoalan ini sudah disadari oleh banyak pihak. Ketika menyadari bahwa banyak figur baru bermunculan, sebenarnya ada bahayanya, yaitu bahwa masyarakat hanya menggunakan euforia dalam melakukan pemilihan itu. Mereka hanya menggunakan emosi belaka sebelum menetapkan pilihan. Dan itu pulalah yang kemudian terjadi kini, kalau sebagian masyarakat menyelesali hasil pilgubsu, bahkan menyesali ketiadaan nama mereka di dalam DPT yang berakibat pada golputnya tadi.

Bagaimana menyelesaikan masalah ini? Jelas untuk menganulir pilkgubsu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Tuntutan sekelompok masyarakat yang hanya membawa kepentingan dirinya sendiri itu sangat tidak mungkin diakomodir sebagai sebuah persoalan hukum. Tetapi bahwa proses untuk menggugat hasil pencatatan DPT memang terbuka luas.
Belajar dari kasus ini, yang paling tepat adalah menyampaikan abhwa proses pilgubsu ini pembelajaran penting pada masyarakat agar mengikuti kata pepatah, ”jangan meninggalkan gelanggang ketika pertandingan belum usai”. Proses demokrasi masih panjang dan menemuh waktu yang tidak sedikit. Karena itu semua pihak, termasuk masyarakat, harus belajar bersabar dan dengan tekun melakukan tindakan yang mendorong supaya demokrasi tadi bisa berbuah dan menghasilkan kesejahteraan bagi kepentingan bersama.

Kita ingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa andaikan proses penghitungan suara dalam pilgubsu ini sudah selesai, itu bukan berarti bahwa masyarakat bisa mengabaikan proses selanjutnya. Masih diperlukan pemantauan, pengamatan, dan pendampingan terhadap seluruh proses lima tahun ke depan ini

Read More......

FOKUS Go Green

Modus operandi mengeruk hasil hutan semakin tidak terkendali. Setidaknya kita mencatat bahwa ada tiga bentuk yang semakin jamak dikerjakan. Pertama, dengan menggunakan model operasi terselubung. Para penyelundup ini menggunakan jalur tersembunyi dan jaringan yang sangat rapi untuk membawa kayu dan hasil hutan lainnya ke luar negeri, dipasarkan di sana, bahkan terkadang dikirimkan kembali ke Indonesia dalam bentuk hasil olahan.


Modus kedua adalah dengan menggunakan kekuatan tangan kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya ijin pengolahan hasil hutan oleh beberapa unit usaha pertambangan, atau dengan diperkenankannya mengolah hutan dengan dasar fungsi keekonomisan tertentu. Kasus ini terungkap terjadi di kawasan hutan Kalimatan.

Yang paling mutakhir kini, dan terungkap dalam kasus gratifikasi adalah, alih fungsi hutan. Hutan yang sebelumnya digunakan sebagai kawasan hutan lindung diturunkan fungsinya sehingga bisa diolah. Dalam kasus penangkapan Sekda Kabupaten Bintan, jelas terlihat bagaimana hutan lindung yang sebelumnya ada kemudian diubah dengan tujuan untuk pembangunan kawasan ibukota Kabupaten baru. Tetapi yang terjadi dan terungkap kemudian adalah kasus korupsi.

Alih fungsi hutan menjadi kawasan perkotaan adalah ekses dari kebijakan luas pemekaran daerah. Kajian mengenai hal ini memang belum ada, tetapi secara kasat mata kita bisa melihat beberapa daerah yang tidak siap, justru mengorbankan hutannya demi membangun lokasi baru.

Kehancuran fungsi hutan di Indonesia memang luar biasa. Sayangnya, semua terjadi karena kesadaran yang masih belum ada pada para penentu keputusan. Para petinggi dan penentu keputusan, malah mempercepat kerusakan dan kehancuran dengan menggunakan kekuatan yang mereka miliki.

Bukannya menggunakan hutan sebagai investasi masa depan, sekarang ini seolah terjadi keinginan yang luar bias besar untuk mempercepat kehancuran kita sendiri. Jangan-jangan, dengan hancurnya hutan di seluruh negeri ini, suatu saat kita akan membeli air bersih dari negara lain karena kita sudah tak lagi memilikinya. Pasca pertemuan di Bali misalnya, hampir belum ada gerakan praktis yang dilakukan oleh negara kita selain dari hanya membicarakan mengenai agenda-agenda pertemuan formal biasa yang sangat tidak berhubungan dengan aksi lapangan menyelamatkan hutan.

Beberapa hari ini ada kampanye untuk memperdulikan lingkungan. Kampanye itu bertajuk besar Go Green. Kampanye yang didukung oleh seluruh elemen lembaga yang ingin menyelamatkan hutan Indonesia itu benar-benar merupakan kampanye besar karena dilakukan secara massal dan didukung oleh media-media besar. Hanya sayangnya, hal itu sangat miskin perhatian dan reaksi dari seluruh masyarakat. Ada kesan, kampanye hanya milik sebagian instansi saja.

Hal ini terjadi karena masyarakat tidak menganggap bahwa hutan dan kampanye itu adalah milik mereka juga. Mereka tidak melihat bahwa masalah pemanasan global dan bencana alam yang terjadi selama ini adalah karena mereka tidak mau terlibat di dalam upaya penyelamatan hutan juga. Masyarakat tidak menganggap bahwa “menjadi hijau” adalah berarti memulai membangun kesadaran dari diri sendiri, untuk menyelamatkan lingkungan demi masa depan yang lebih baik.

Sudah saatnya diperlukan penerjemahan yang lebih tajam terhadap komitmen untuk melakukan moratorium terhadap alih fungsi hutan tadi. Hutan, sekali lagi, jangan hanya dijadikan sebagai alat komiditas yang hanya bernilai sekarang. Kita harus menjadikannya sebagai aset yang tak ternilai yang tidak dapat ditukar dengan cara apapun dan dengan apapun juga

Read More......