Wednesday, December 10, 2008

Fokus BELA HAM

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dirayakan usianya yang ke-60 tahun ini. Deklarasi yang ditandatangani tahun 1948 itu, pasca Perang Dunia ke-2, adalah upaya umat manusia setidaknya pemimpin dunia saat itu, yang mengakui bahwa hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi, ada bukan karena diberikan, tetapi dibawa sejak lahir, dan menjadi perhatian dari seluruh komunitas dunia.

Deklarasi itu ditandatangani oleh perwakilan dunia dan menjadi rujukan baku, meski kemudian ketika dibawa dalam konteks negara masing-masing ada perbedaan penafsiran yang membuatnya menjadi relatif. Tetapi tidak ada seorang pun, negara manapun yang berani membantah bahwa inti dari hak asasi manusia yaitu non diskriminasi, kesetaraan, keadilan dan kebersamaan, harus diabdikan pada setiap orang, dimana saja dan tidak terbatas sifatnya.



Deklarasi hak asasi manusia adalah milik umat manusia di jaman dulu, sekarang dan yang akan datang. Dunia sering menyebabkan umat manusia berada dalam tekanan dan pengaruh. Karena itu, sebagai pelaku kehidupan yang tertinggi, umat manusia harus dilindungi dari berbagai kemajuan peradaban itu sekalipun. Deklarasi Hak Asasi Manusia menjadi sebuah kesepakatan global untuk melindungi umat manusia dari ancaman rasial, ekonomi, bahkan dari perbedaan agama dan kepercayaan.

Bukan hanya itu. Makna sesungguhnya dari Deklarasi Hak Asasi Manusia itu adalah sebuah komitmen untuk melindungi umat manusia, siapapun itu, dari kekuatan apapun itu, termasuk negara, yang ingin menghancurkan jati diri hak asasi manusia itu sendiri.

Dalam berbagai kebijakan negara dan pemerintah sering adalah pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Termasuk di Indonesia. Di masa lalu, pelanggaran hak asasi manusia bahkan secara tidak sadar dilegalkan atas nama kepentingan politik dan undang-undang. Segala bentuk kedaruratan, meski itu kemudian bahkan menjadi pelanggaran hak asasi manusia, tidak menjadi kepedulian pemerintah. Bagi rezim, yang berlaku adalah model kebijakan ala mereka, meski itu tidak menghargai hak asasi manusia.

Sayangnya, di era reformasi, model tersebut masih saja ada meski dalam bentuk lain. Pelanggaran hak asasi manusia masih saja terjadi di depan mata kita, meski pemerintah ”berada” di sana. Kematian Munir yang banyak dituding sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia hanyalah salah satu bentuk dari gunung es pelanggaran hak asasi manusia yang terus menerus terjadi.

Tidak ada yang bisa menyanggah bahwa masalah pelarangan, sampai pembakaran rumah ibadah, gereja misalnya, adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa gereja lokal bahkan sudah mengakui hal itu, memberitahukannya kepada pemerintah daerah sampai kepada Menteri Agama. Tetapi lagi-lagi, hal itu, kelihatannya belum dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Lambannya respon menjadikan isu itu seolah tidak memerlukan peran negara sebagai pelindung hak asasi manusia.

Pelanggaran hak asasi manusia juga bisa kita lihat dari penggusuran masyarakat dari tanah dan wilayah kehidupannya sendiri. Dimana-mana kita menyaksikan masyarakat korban pembangunan, seolah dipaksa untuk pergi dari haknya sebagai seorang manusia. Mereka kehilangan hak asasinya untuk dilindungi dan diperlakukan sebagai manusia. Masih banyak lagi, termasuk masyarakat korban lumpur Lapindo, korban kebijakan pembangunan, bahkan korban korupsi aparat pemerintah.

Panggilan melaksanakan hak asasi manusia adalah tugas dan kehormatan seorang manusia. Pemerintah harusnya bangga kalau bisa mewujudkan ini. Bukan dengan melarikan diri dari tanggung-jawab dan kewajiban mewujudkan hak asasi manusia pada seluruh masyarakat Indonesia. Hak asasi manusia yang dibawa sejak lahir harus terus menerus diperjuangkan sebagai sebuah pengakuan betapa bernilainya setiap orang di muka bumi ini tanpa terkecuali

Read More......

Fokus HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA

Setiap tanggal 9 Desember selalu diperingati secara global sebagai Hari Anti Korupsi Internasional. Hari itu dirayakan sebagai momentum untuk memperingati perlawanan terhadap korupsi di seluruh penjuru dunia.
Korupsi memang selalu menjadi tujuan dari perjuangan para aparat penegak hukum dan elemen pejuang perlawanan. Begitu banyak upaya dikerahkan untuk melawan korupsi sampai-sampai seluruh negara diberikan rangking korupsinya demi menggubah dan memberikan sanksi sosial di antara bangsa-bangsa.



Korupsi dianggap berhubungan dengan kesejahteraan sebuah bangsa. Negara bersih, negara bebas korupsi, negara semakin sejahtera. Dimana-mana, selalu ada justifikasi bahwa semakin terbuka dan maju sebuah bangsa, salah satu indikatornya adalah status kejadian korupsi di negara tersebut.

Bagaimana Indonesia? Posisi korupsi kita memang belum banyak berubah. Tempat duduk kita belum beranjak dari posisi nomor urut bontot dalam perlawanan terhadap korupsi. Pada tahun 2007, indeks persepsi korupsi kita berada pada nomor urut 143 dari 180 negara yang disurvei. Pada tahun 2008 ini ada perbaikan. Kita “naik kelas” menduduki tempat 126 tetapi tidak lebih baik dari Nigeria, Vietnam, atau Ethiopia dalam posisi. Kita memang lebih baik dari Uganda, Liberia atau Filipina. Singapura, negara tetangga yang amat dekat dengan kita, tetap berada dalam posisi 5 terbesar dalam urusan bersih korupsi. Pengaruh kedekatan dengan negara mereka ternyata tidak menular pada kita yang masih berkutat pada urusan korupsi ini.

Urusan korupsi, memang kebanyakan masih dipersepsikan kepada kita, negara yang sebenarnya sudah tidak bisa lagi dikatakan terbelakang, tetapi nyatanya masih berdiri sejajar dengan kebanyakan negara Afrika dalam urusan korupsi.
Memang di Indonesia ada gerakan maju, tetapi belum cukup efektif untuk memberikan hasil yang signifakan dalam menekan laju perlawanan terhadap korupsi. Sebagaimana dicatat oleh Transparancy Internasional dalam laporannya di tahun 2008 ini, upaya perlawanan korupsi di Indonesia menghadapi apa yang disebut sebagai perlawanan para koruptor.

TI mencatat bahwa koruptor di Indonesia mencoba merasuki para penegak hokum dengan berbagai cara. Sejak dari masalah terbongkarnya kasus korupsi di KPU, kemudian disusul oleh kejadian korupsi di salah seorang aparat di tubuh KPK, sampai kemudian tertangkapnya salah seorang penggagas perlawanan anti korupsi Romli Atmasasmita, dianggap sebagai bagian dari skenario besar para koruptor untuk memangkas semangat perlawanan terhadap korupsi. Sekarang ini ditengarai bahkan ada rencana untuk mempreteli kewenangan lembaga taskforce seperti pengadilan ad hoc dan KPK. Yang terbaru, kali ini pemeriksaan anggota DPR pun tak lagi serta-merta mudah dilakukan sebab sedang diusulkan supaya mereka yang kini ramai ditangkap KPK itu harus mendapatkan persetujuan Presiden terlebih dahulu.

Sebagai bagian dari kekuasaan, korupsi memang sulit untuk diberantas. Lamanya kekuasaan di negeri yang memberikan upah kenyamanan dan ketenangan kepada mereka yang mendukungnya menyebabkan penanganan korupsi tidak mudah. Setiap kali aparat penegak hukum bergerak, yang dihadapi adalah lingkaran setan pelaku korupsi yang berada dimana-mana. Korupsi selalu saja menjadi bagian dari kegiatan di pemerintahan, bisnis, bahkan di tubuh aparat penegak hukum sendiri.

Karena itulah, perlawanan terhadap korupsi selalu saja dibayang-bayangi oleh semangat anti tesis dari mereka yang tidak ingin korupsi hilang dan terhapus dari negara kita. Mereka selalu saja mengangkat bendera perang kepada keinginan untuk melawan korupsi.
Apa boleh buat, genderang perang telah ditabuh. Peningkatan peringkat harusnya bisa membawa kita lebih semangat lagi. Sungguh sangat bisa dibanggaan bahwa dibandingkan dengan tahun 2007 kita bisa lebih baik. Ternyata, kita memang bisa melawan korupsi itu.



Read More......

Sunday, August 31, 2008

FOKUS: Menggalang Semangat Toleransi Beragama

Hanya dalam hitungan jam, sesama umat kita yang beragama muslim akan memulai bulan puasa. Ini adalah ibadah ritual yang selalu datang setiap tahunnya dan menuntut masing-masing kita selalu belajar menahan diri terhadap satu sama lain.



Mereka yang berpuasa tentunya akan menahan diri dari segala sesuatu yang mengganggu kegiatannya. Tetapi yang lebih penting juga adalah mereka yang berpuasa—kebanyakan dari yang beragama berbeda—harusnya juga mengembangkan yang namanya toleransi. Toleransi ketika orang lain berpuasa adalah sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara demi keutuhan kita bersama juga.

Toleransi adalah ciri khas yang memang melekat jauh pada kita, sebelum hari ini sekalipun. Karena bisa bertoleransilah maka negara ini tidak bubar di usianya yang sangat muda. Ketika pertama sekali dibentuk, ada sekelompok orang yang kemudian melakukan kompromi bagaimana supaya negara ini utuh dan tidak terpecah berdasarkan basis agama tertentu.

Memang berdasarkan sejarah ada negara yang memang kuat karena dibangun di atas dasar keagamaan tertentu. Tetapi tidak sedikit juga contoh negara yang kemudian bubar karena tidak sanggup menghadapi perbedaan yang kemudian berujung kepada kekacauan.
Agama memang harusnya menjadi perekat kita bersama. Sebagai salah satu negara yang memiliki sejarah panjang keagamaan, adalah wajar kemudian kita selalu saja mendengungkan hal ini kemana-mana. Di forum internasional, kita selalu saja bisa membuktikan bahwa kita adalah negara beragama yang meski memiliki perbedaan-perbedaan tersebut, tetap saja bisa memanfaatkannya dengan baik, untuk merekatkan dan untuk mempererat hubungan di antara sesama.

Nenek moyang kita malah mempraktekkannya jauh lebih baik dari kita sendiri. Di bulan ramadhan ini mereka biasanya saling kunjung mengunjungi dan hormat menghormati di antara mereka sendiri. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang tidak harus membuat mereka saling berbeda. Yang mereka utamakan dalam hubungan dan keharmonisan adalah bagaimana supaya mereka tetap bisa bersama.

Sekarang ini ada saja pihak yang tidak ingin kita saling bersaudara. Genggaman tangan tanda saling padu sering diputus oleh pihak-pihak yang tidak senang menyaksikan negara kita ini baik. Mereka lebih suka menggunakan cara berpikir sendiri supaya mereka lebih baik dan lebih superior. Itu adalah cara berpikir mereka.

Sayangnya, kondisi tersebut tidak cocok dengan majemuknya masyarakat kita. Ada ratusan suku dan bahasa yang ada di negeri ini tersebar di lebih dari 15 ribu pulau di seantero nusantara. Adalah mustahil menjadikan kita semua seragam dalam apapun itu namanya, kecuali kebangsaan. Hal itulah yang harus kita sadari kalau kita ingin membangun kesadaran yang permanen mengenai bagaimana seharusnya kita bisa hidup dengan lebih baik lagi. Mimpi mengenai membangun Indonesia berdasarkan agama tertentu harusnya tidak lagi didengungkans karena hanya akan memecah belah hubungan erat yang sudah terbina selama ini.

Bulan puasa ini adalah bulan milik mereka yang beragama Islam, tetapi juga harusnya bulan kita bersama, bulan yang harus kita pelihara sebagai momentum untuk menguji kadar toleransi kita bersama-sama. Ke-Indonesiaan kita yang semakin lama semakin teruji dalam berbagai pengalaman kritis terlebih belakangan ini memang semakin harus lebih baik. Semoga kita bisa menjalaninya dengan baik (***)

Read More......

FOKUS: Atas Nama Nasionalisme Lagi?

Gagasan mengusung ide nasionalisme dihembuskan lagi oleh Partai Golkar dan PDI-P. Dalam sebuah acara silaturahmi para Dewan Pertimbangan se-Indonesia, gagasan ini dikemukakan dan menghangat. Analisis media massa menyimpulkan bahwa ada semacam kekutiran di kalangan kedua parpol tersebut melihat kekalahan demi kekalahan yang mereka alami.




Nasionalisme memang sebuah kata yang cukup membantu mendongkrak popularitas. Di masa lalu kekuatan Bung Karno adalah ia mampu meneriakkan kata nasionalisme tersebut untuk membangkitkan semangat masyarakat serta menggelorakan kekuatan patriotisme dan bela negara.
Semangat yang sama sama pernah diperjuangkan pasca jatuhnya Orde Baru. Kala itu dipelopori oleh PDI-P, pekik nasionalisme selalu saja mewarnai euforia yang dibangun di atas keberpihakan pada masyarakat dan mereka yang sering dinamai sebagai ”wong cilik”.
Sayang kemudian momentum tersebut digantikan oleh berbagai masalah yang mempertanyakan ulang semangat nasionalisme yang diusung oleh banyak parpol yang menyebut diri nasionalis. Pertanyaan yang sulit dijawab oleh mereka adalah mengapa nasionalisme yang mereka usung tersebut tidak juga memberikan faedah kepada kebanyakan kehidupan masyarakat? Mengapa ide nasionalisme itu ternyata hanya menguntungkan parpol tersebut untuk kemudian berkuasa dan menduduki kursi di seluruh wilayah politik?
Pertanyaan-pertanyaan berbau gugatan itulah yang kemudian membuat masyarakat akhirnya memilih jalan lain sebagai ide yang membuat mereka mencari alternatif. Ide itu kemudian tersebar, antara praksis politik ”kiri” dan ”kanan” sekaligus. Hasilnya, parpol berbasis agama naik popularitasnya secara signifikan pada pemilu terakhir. Partai nasionalis yang selama ini populer, tergerus dan menempati posisi terbesar tetapi dengan pengurangan kursi yang sangat signifikan.
Inilah yang kini terjadi di lapisan atas politik kita. Terjadi pertarungan ideologis secara praksis, tetapi bukan murni. Di lapangan mereka yang menyebut diri ”nasionalis” tak jarang juga menggunakan label agama untuk menjangkau mereka yang berada di wilayah itu. Parpol berlabel agama juga memasuki ranah lain untuk meningkatkan suara mereka. Jadi ada wilayah-wilayah yang kini saling dimasuki. Hampir tidak ada parpol yang benar-benar sesuai dengan ideologinya di negara ini. Beberapa fakta misalnya, caleg dari PDS ternyata berlatar belakang tidak Kristen. Masih ingat juga bagaimana beberapa parpol yang rela melepas bungkus nasionalis dan menggunakan bungkus keagamaan untuk mengejar suara mayoritas di negara ini.
Jadi menurut kita sebenarnya masalah utama bukan pada pertentangan antara kelompok nasionalis ini dengan kelompok lain. Masalah utama bukan pada pertentangan ide, norma, atau kelas. Masalah besar adalah karena kaum nasionalis itu sendiri banyak diisi oleh kaum oportunis, mereka yang memanfaatkan kesempatan ketika menduduki kekuasaan hanya untuk kemudian mengecewakan masyarakat.
Ini pokok persoalannya. Popularitas Bung Karno juga jatuh bukan karena ada ide lain yang diusung oleh kelompok lain, tetapi karena Bung Karno kurang memperhatikan isu-isu dasar yang dibutuhkan masyarakat pasca gempita nasionalismenya. Itulah yang harusnya diperjuangkan dan digagas. Kita kuatir, koalisi besar akan sulit disatukan karena terlalu banyak kepentingan di dalamnya. Sebab ide untuk menyatukan keduanya sudah lama digagas termasuk dengan mengadakan acara silaturahmi di Medan beberapa bulan lalu (***)

Read More......

FOKUS: Benahi Kebijakan Energi

Lagi-lagi pemerintah tak mau peduli dengan beban masyarakat. Pekan terakhir di bulan Agustus, pemerintah mengumumkan secara tiba-tiba kenaikan harga elipiji tabung 12 kg. Spontan kita merasa terkejut dan seolah tidak percaya, bagaimana mungkin pemerintah tega memberikan kado yang tidak mengenakkan di saat perubahan akibat kenaikan BBM masih terasa dan menjelang bulan puasa harga-harga sudah merangkak naik.



Lagi-lagi pemerintah tak mau peduli dengan beban masyarakat. Pekan terakhir di bulan Agustus, pemerintah mengumumkan secara tiba-tiba kenaikan harga elipiji tabung 12 kg. Spontan kita merasa terkejut dan seolah tidak percaya, bagaimana mungkin pemerintah tega memberikan kado yang tidak mengenakkan di saat perubahan akibat kenaikan BBM masih terasa dan menjelang bulan puasa harga-harga sudah merangkak naik.
Pemerintah sebagaimana biasa melalui Pertamina selalu saja memiliki argumentasi. Mereka menyatakan bahwa selama ini harga elpiji tabung 12 kg masih belum berada pada harga keekonomiannya. Harga yang nantinya harus dicapai adalah sekitar 130 ribu per kg untuk tabung tersebut.
Jelas kita makin terkejut melihat rencana selanjutnya, bahwa setiap bulannya Pertamina akan menaikkan harga elpiji sehingga mencapai titik impas yang diinginkan Pertamina atau pemerintah. Apa arti semuanya ini?
Kelihatannya pemerintah memang seolah tidak peduli pada beberapa hal. Pertama, pemerintah lupa bahwa kebijakan nasional yang selama ini didengungkannya adalah bagaimana supaya ada konversi ke elpiji. Selama ini masyarakat pengguna minyak tanah ”dipaksa” beralih ke gas untuk mencegah subsidi. Kebijakan menaikkan harga elpiji tentunya tidak sejalan dengan kebijakan yang pertama.
Namun yang paling parahnya adalah yang kedua yaitu bahwa kelihatannya pemerintah seolah ingin menggiring masyarakat untuk kemudian menerima elpiji sebagai sebuah alternatif energi. Pemerintah memaksa masyarakat mengikuti kehendak dan kebijakan pemerintah meski itu seperti mengelabui masyarakat. Bagaimana tidak? Kita seolah dipaksa berpindah dari penggunaan satu bentuk energi ke bentuk energi lain, tetapi dengan bungkus mengurangi subsidi, tetapi di saat kita sudah menerima hal tersebut kita kemudian dipaksa menerima menerima harga baru. Terlambat untuk beralih kembali ke minyak tanah, di saat warga miskin sudah kadung menerima tabung elpiji berisi 3 kg gas.
Secara nasional sudah ada suara yang menyatakan bahwa kebijakan ini akan digugat bukan hanya secara hukum tetapi juga akan membawanya ke Mahkamah Konstitusi. Sebab masalah energi ini seolah menjadi sebuah persoalan yang tidak berhubungan dengan hajat hidup masyakat banyak sehingga pemerintah bisa sesuka hati menggunakan cara monopoli. Selama ini memang tidak ada partner bersaing bagi pemerintah. Apa-apa selalu saja bebas dilakukan dengan sesuka hati, termasuk ketika menaikkan harga.
Pemerintah lupa bahwa tingkat kehidupan masyarakat tidak lagi bisa bermain dengan cara yang selama ini dipakai oleh pemerintah. Selama ini pemerintah menggunakan cara-cara yang sangat halus sehingga tanpa sadar masyarakat menerima semuanya tanpa ada perlawanan. Disain di balik semuanya itu adalah pemerintah hanya ingin membawa masyarakat ke dalam kemelaratan.
Patut kita sampaikan bahwa kalau pemerintah mengaku tidak memiliki uang untuk subsidi energi, yang harus dilakukan adalah negosiasi berbagai kebijakan energi yang selama ini merugikan masyarakat tetapi menguntungkan sekelompok orang. Termasuk dengan negosiasi eksport gas ke China yang jelas-jelas merugikan kita, kenapa selama ini dibiarkan? Lalu lihat bagaimana potensi energi kita juga di berbagai wilayah dengan sesukanya kita jual kepada negara lain, demi keuntungan segelintir pihak? Kita sebenarnya bisa lebih baik kalau pemerintah mau berpikir dan mau bekerja keras. Tetapi kalau pemerintah hanya mau enak sendiri, maka jelaslah kebijakan yang ditempuh adalah kebijakan yang menaikkan harga di saat masyarakat sendiri masih bingung bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (***)

Read More......

FOKUS: Kompetisi Saling Tuding

Menjelang pemilu 2009, aksi permainan politik semakin memanas. Beberapa politisi sudah mulai main aksi saling tuding mengenai sebuah persoalan. Layaknya proses kampanye di Amerika Serikat, dimana Obama dan McCain saling menyalahkan secara terbuka, di Indonesia juga tidak kalah menarik. Kebijakan masa lalu adalah salah satu sasaran penting yang kini menghangat



Menjelang pemilu 2009, aksi permainan politik semakin memanas. Beberapa politisi sudah mulai main aksi saling tuding mengenai sebuah persoalan. Layaknya proses kampanye di Amerika Serikat, dimana Obama dan McCain saling menyalahkan secara terbuka, di Indonesia juga tidak kalah menarik.
Kebijakan masa lalu adalah salah satu sasaran penting yang kini menghangat. Adalah proyek Tangguh yang menjual gas kita ke China dengan harga sangat rendah. Wapres Jusuf Kalla kemudian menyatakan kepada media bahwa harga itu sangat rendah dan sangats merugikan Indonesia puluhan tahun ke depan. Penyebabnya kata Wapres adalah karena harga saat itu ditentukan sendiri oleh Megawati Soekarnoputri, Presiden saat itu yang kini diusung oleh PDI-P.
Pernyataan tersebut spontan dibalas oleh PDI-P. Megawati menyatakan bahwa pada tahun 2002, yang mengurusin masalah tersebut adalah SBY dan Jusuf Kalla sendiri yang waktu itu memang menjadi menteri di masa pemerintahannya. Saling tuding kemudian menjadi menghangat karena melibatkan kader parpol itu. Effendi Simbolon, kader PDI-P meminta kepada SBY dan JK, kalau mau ”head to head” di DPR mengenai hal itu, silahkan saja.
Memang masalah energi ini menjadi masalah penting karena belakangan ada semacam tudingan kepada pemerintah ini yang hanya tahu menjual sesuatu kepada negeri ini, dan dengan cara demikian malah memiskinkan masyarakatnya. Tudingan ini sempat juga menjadi bahan kampanye Amien Rais yang menyatakan bahwa jika dirinya menjadi Presiden RI kelak, maka ia akan mengambil 50 persen dari kontrak itu untuk dikembalikan kepada masyarakat.
Sebagaimana di Amerika dimana masalah sentral adalah masalah ekonomi, maka di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Masyarakat diperhadapkan kepada masalah ekonomi, karena itu masyarakat akan sangat konsern kepada hal-hal yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
Kenaikan harga elpiji belakangan ini kemudian menjadi salah satu sumber ketidaksenangan masyarakat kepada pemerintah. Tetapi lihatlah bahwa kemudian yang dilakukan pemerintah adalah mencoba membuang penyebab masalah ini kepada rezim masa lalu dimana terang-terangan memang merugikan masyarakat banyak, tetapi SBY dan JK juga jelas tidak bisa melepaskan diri dari kebijakan masa lalu. Bahkan masyarakat curiga, mengapa baru sekarang pemerintah menegosiasi kembali proyek Tangguh tersebut ketika pemerintahannya hendak berakhir.
Beberapa pekan ke depan, masalah-masalah krusial akan terus menerus menjadi bahan perdebatan di antara para elit politik. Mereka akan menyebut diri lebih baik dari lawannya, dan akan mencoba mencari potensi-potensi dimana lawan politiknya akan mengalami popularitas yang merosot.
Salah satu sumber tuding menuding lain adalah beberapa masalah korupsi yang kini ramai diperbincangkan. Setelah tudingan bahwa kader Partai Golkar, Paskah Suzeta yang kini menjadi Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu menerima 1 miliar rupiah dari BI, kali ini giliran kader PDI-P yang ”berbunyi” sendiri yang menyatakan bahwa ia menerima uang Rp. 500 juta di saat pencalonan Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior BI.
Entah apa lagi yang nantinya akan kita saksikan. Aksi saling tuding dan tebar persoalan akan terus menerus memanas. Yang dibingungkan adalah masyarakat yang hanya bisa terpana melihat elit kita hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak pernah mengurusi masyarakat dengan baik (***)

Read More......

FOKUS: Rendahnya Partisipasi Pra Pemilu

Pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS) sudah dipampangkan oleh KPU di seluruh wilayah pemilihan di Indonesia. Sayangnya, berdasarkan pemantuan KPU, masyarakat yang mendatangi lokasi tersebut umumnya sangat sedikit. Masyarakat kelihatannya enggan mendatangi lokasi pemeriksaan DPS supaya mereka yang tidak mendapatkan namanya bisa mendaftarkan ulang, atau yang ada kesalahan bisa segera diverifikasi oleh KPU. Karena itu KPU akan segera memperpanjang waktu untuk meng-up date DPS ini.




Pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS) sudah dipampangkan oleh KPU di seluruh wilayah pemilihan di Indonesia. Sayangnya, berdasarkan pemantuan KPU, masyarakat yang mendatangi lokasi tersebut umumnya sangat sedikit. Masyarakat kelihatannya enggan mendatangi lokasi pemeriksaan DPS supaya mereka yang tidak mendapatkan namanya bisa mendaftarkan ulang, atau yang ada kesalahan bisa segera diverifikasi oleh KPU. Karena itu KPU akan segera memperpanjang waktu untuk meng-up date DPS ini.
DPS adalah modal untuk mengkalkulasi keperluan pemilu sekaligus untuk menghitung jumlah partisipasi pemilihan nantinya. Kedua hal itu adalah hal penting yang mendesak karena tanpa kepasatian mengenai DPS maka kualitas pemilu 2009 nantinya akan penuh dengan persoalan.
Keperluan pemilu memang sangat urgen dipersiapkan dari sekarang. Jumlah kertas suara yang harus dicetak, sebagai contoh, bergantung sangat besar dari DPS tadi. Tanpa kepastian mengenai jumlah pemilih maka jelas sajalah segala sesuatu akan mubazir, atau KPU bisa juga keteter dalam mempersiapkan logistik tadi.
Yang menjadi hal penting yang menentukan kualitas pemilu 2009 jelas adalah DPS tadi. Pengalaman yang selama ini terjadi dalam masa pemilihan umum adalah ketika masa pemilu dan pilkda datang, barulah masyarakat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara. Sayangnya tanpa daftar panggilan untuk mengikuti pemilihan umum, jelas yang bersangkutan secara otomatis kehilangan haknya.
Inilah yang kemudian menjadi ujung pangkal dari gugatan demi gugatan yang kerap disuarakan oleh pasangan yang umumnya menderita kekalahan. Mereka tidak terima dengan jumlah suara yang mereka dapatkan dan karena itu menggugat dengan menggunakan daftar pemilih yang mendukung mereka selama ini.
Kecuali karena ada kecurangan atas perhitungan, maka jelaslah DPS ini sangat menentukan baik tidaknya penyelenggaraan pemilu. Apalagi dengan adanya sistem baru mengenai pelaksaan pemilu dimana nantinya masyarakat bulan lagi mencoblos melainkan akan menggunakan alat tulis, maka jelas ada yang salah dengan penyelenggaraan pemilu 2009 ini.
Siapa yang sesungguhnya harus bertanggung-jawab atas masalah ini? Jelas memang tudingan utama harus ditujukan kepada KPU. Ada kesan KPU selama ini mudah diatur oleh parpol. Kinerja mereka di KPU banyak dipengaruhi oleh bagaimana parpol mendesakkan kepentingan mereka di dalam kebijakan dan keputusan KPU.
Sayangnya, KPU akhirnya seperti kedodoran dalam melakukan sosialisasi dan kampanye mengenai pentingnya meningkatkan kualitas pemilu mendatang. Yang terlihat adalah KPU terlalu sibuk mengurusin kepentingan parpol, bahkan tidak bisa tegas terhadap parpol. Bayangkan saja, seluruh berkas administrasi caleg yang dikirimkan kepada KPU hampir semua berantakan. Apa jadinya penyelenggaraan pemilu kalau parpol bisa sesuka hati menggunakan apapun berkas, hanya untuk kepentingan pendaftaran belaka?
Maka untuk meningkatkan kualitas pemilu 2009, parpol harus turut serta. Mereka harus melihat bahwa jika benar pendukung mereka ada dan riel, mereka harus ”mengejar” pendukung tersebut, untuk memastikan bahwa pendukung tersebut sudah terdaftar di wilayahnya dalam DPS. Tanpa mengejar dukungan tersebut, maka jelas parpol hanya sibuk dengan dirinya sendiri, dan nantinya kalau kalah hanya tinggal melayangkan gugatan. Ini jelas sangat tidak fair.
Wilayah ini juga harus dimanfaatkan oleh media untuk meningkatkan partisipasinya. Masyarakat harus diajak untuk mendatangi lokasi pencantuman DPS supaya mereka bisa memeriksa dan memastikan bahwa hak mereka nantinya tidak akan disalahgunakan (***)

Read More......

Thursday, May 22, 2008

OPINI 100 Tahun Harkitnas: Indonesia Masih Punya Harapan

Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini Harian SIB, 20 Mei 2008

Tahun ini adalah perayaan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional. Perayaannya terasa istimewa. Hal itu terlihat karena ternyata sudah seabad lamanya bangsa ini pernah menghasilkan kaum muda yang bercita-cita mulia dan luhur untuk menyatukan diri dalam sebuah organisasi kebangsaan bernama Budi Utomo. Mereka, memperlihatkan keluhuran yang amat luar biasa di jamannya. Mereka menyatukan diri dan secara sosio psiko politik, hal itu menjadi cikal bakal dari gerakan Indonesia merdeka.

Tetapi istimewanya perayaan tentunya akan sia-sia tanpa menyerap momentum yang sebenarnya dari makna Hari Kebangkitan Nasional itu. Berapa abad pun tanpa ada sebuah langkah penting untuk dilakukan, hanya akan menjadi seremonial belaka, tanpa ada ujungnya sekalipun.



Kondisi Faktual

Moment Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum penting yang mengubah kesadaran seluruh pelaku sejarahnya kala itu untuk bergerak dari diri sendiri, menjadi sebuah gerakan kebangsaan. Waktu itu, mereka punya kesadaran kolektif bahwa perubahan bisa terjadi dan hanya mungkin terwujud kalau ada sebuah keinginan untuk bersama-sama melakukan sesuatu.

Meski dalam pengertian terbatas, kita mencatat bahwa perubahan memang tidak akan pernah ada sepanjang kelompok masyarakat yang ingin berubah tersebut masih belum memiliki kesadaran kolektif. Ini yang disebut sebagai awareness. Jadi negeri ini kini, belum bisa beranjak dari keterpurukan pasca reformasi, karena belum ada kesadaran kolektif (collective awareness).

Bangsa yang tidak sadar jelas tidak akan maju. Sayangnya ketidaksadaran itu justru diciptakan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai pemimpin kini. Pemimpin di negeri ini sama sekali tidak memiliki kesadaran bahwa mereka harus keluar dari diri mereka, tetapi mencoba melihat kepentingan bangsa dan kemudian bersama-sama membangkitkan bangsa ini.

Pemimpin yang ada sekarang bukan sosok negarawan, yang memikirkan negaranya. Tokoh pendiri Budi Utomo tidak pernah menyebut diri sebagai negarawan, tetapi perbuatannya memperlihatkan hal itu. Tokoh kini kerap menyebut diri sebagai negarawan, tetapi tak pernah memikirkan masa depan negaranya sendiri.

Negara ini kehilangan sosok seorang negarawan. Dalam bayangan kita, negarawan adalah seorang yang memiliki kekuatan dalam nilai-nilai kepentingan berbangsa, lebih daripada kepentingan pribadi atau diri sendiri. Inilah yang sulit kita temukan di negara kita ini, kini.

Apa sebab semuanya ini? Salah seorang pengamat pernah menyatakan hal itu disebabkan karena persoalan moral. Moralitas yang lemah adalah penyebab dari korupnya kekuatan dan pengaruh jiwa kenegarawan yang semakin langka tadi. Para pemimpin yang sekarang dinilai kurang dalam hal moralitas.

Lihat saja bagaimana terungkapnya kasus korupsi demi korupsi dari seluruh jajaran petinggi negeri ini. Mereka yang tersangkut kasus korupsi adalah petinggi parpol, petinggi aparat penegak hukum, bahkan penguasa sekalipun. Menurut kabar yang beredar jumlahnya sudah mencapai 1000 orang. Fantastis. Padahal mereka yang mendirikan Budi Utomo saja hanya kurang dari 10 jari ini, mereka bisa mengubah Indonesia. Bagaimana bisa mengubah Indonesia kalau 1000 di antaranya adalah pelaku korupsi?

Dari fakta itulah kita akhirnya mengerti mengapa negara kita sulit beranjak untuk membersihkan diri dari jeratan korupsi. Masing-masing masih suka memikirkan diri sendiri, urusan sendiri, dan selamatnya diri sendiri. Kita masih sangat sulit melepaskan kenikmatan menggunakan uang negara untuk kepentingan kita sendiri. Itulah yang sangat tragis dari kejadian yang kini menjadi polemik itu.
Negara kita memang sulit menjadi pesemaian bibit unggul pemimpin dengan moral yang pada gilirannya bisa kita harapkan menjadi negarawan di tengah-tengah kita. Kita sering terjebak ke dalam lingkaran setan (circulus vitious) seolah tiada simpul. Kita bahkan digiring untuk menerima kenyataan bahwa lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang terbaik di antara yang terburuk.

Kita harus semakin bergulat dengan persoalan itu. Maka belajar dan bercermin dari hadirnya Budi Utomi, kebangkitan bangsa yang sejati hanya bisa kalau ada sosok negarawan tadi. Di dalam negeri kita harus berhadapan dengan beragam macam persoalan dan tantangan. Salah satu masalah yang maha hebat adalah menurunnya keperdulian pada nasib dan masa depan bangsa.

Banyak pakar menyebut 3 syarat sebagai pilar kemajuan bangsa. Hal itu adalah pendidikan, kesehatan dan pertanian. Namun sampai sekarang tak ada satupun yang mengarahkan kita ke sana. Kita masih sama-sama gamang mengenai arah bangsa ini karena memang tidak ada yang berada di depan kita bersama untuk memberikan tuntunan. Di bidang pendidikan, pemerintah yang seharusnya berpikir lebih sehat justru menyibukkan diri dengan melawan para siswa dan orangtua yang memperjuangkan ketidakadilan dalam Ujian Nasional. Di bidang kesehatan, negara kita amat mengabaikan bahaya hilangnya generasi kita di masa depan serta munculnya berbagai penyakit menular yang menggerus potensi SDM kita. Lemahnya pertanian kita juga semakin diperburuk karena kita lebih suka mengimpor segalanya dari luar negeri. Ketika negara lain menikmati mahalnya minyak, kita justru tidak bisa menikmati mahalnya harga padi sebagai komoditas alternatif kita.

Rasanya negara kita ini semakin sulit untuk melangkahkah kaki ke depan. Hal ini karena tak ada sosok yang menjadi teladan tadi. Kembali kita menyatakan bahwa kita memang benar-benar kehilangan sosok seorang negarawan sejati.

Jalan Keluar

Kalau kita merenungkan ulang tulisan Ben Anderson, misalnya yang menyatakan bahwa imajinasi memang diperlukan supaya nasionalisme meningkat, maka imagined community sebenarnya bukan hanya hadir dalam abstraksi nasionalisme sebuah bangsa, namun di bangun dan dikonstruksikan dalam sebuah perasaan sebagai sesama warga negara yang menyadari kebersamaan itu tadi.

Itulah yang seharusnya menjadi bagian dari pergumulan bersama bangsa kita sekarang ini. Bagaimanapun, tidak akan mungkin melewati berbagai pergumulan yang kini kita hadapi, mulai dari kemiskinan, penderitaan, ketertinggalan, masalah sosial, sampai dengan pertahanan keamanan, sepanjang kita tidak menyadari bahwa masalah itu berhubungan dengan komitmen tak terhingga dari kita untuk bersama.

Itulah yang seharusnya mengubah kita. Kita harus menghentikan kebiasaan buruk semisal fitnah, saling menuding, politik kotor bahkan korupsi, kalau kita ingin bangun dan menjadi bangsa yang menjadi diri sendiri, dan benar-benar bisa merasakan kebangkitan nasionalnya. Kita harus menghentikan kebiasaan buruk berupa mementingkan diri sendiri, kelompok bahkan kekuasaan, kalau kita ingin menjadi bangsa yang memang bisa maju.

Maka memperingati Hari Kebangkitan Nasional harus dengan cara baru. Hal itu harus dilakukan dengan mengubah seluruh elemen bangsa ini dari dimensi fisik sampai dengan dimensi pikirannya. Kita harus mengubahnya secara total, sebab bagaimanapun, mengubah segala masalah menjadi tak lagi masalah, hanyalah mimpi kalau kita tidak melakukan perombakan revolusioner tadi. Kita masih memiliki kesempatan untuk maju, namun semuanya tetap bergantung kepada kemauan dan kesediaan kita untuk berkorban bagi bangsa ini

Read More......

FOKUS Para Pemimpin, Bersatulah

Dalam perayaan puncak Harkitnas, Presiden menyerukan seruan penting untuk direnungkan: Indonesia Bisa. Seruan yang amat jarang kita saksikan dan dengarkan lagi. Dulu kita sering mendengar bagaimana Bung Karno menyerukan berbagai kalimat penuh semangat dan motivasi. Demikian juga dengan masa Orde Baru, pemerintah sering “memanggil” masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan.



Sebuah seruan moral untuk membangun kembali Indonesia memang penting untuk kita bangkitkan. Keterpurukan secara ekonomi, sosial dan politik menyebabkan kita direndahkan dalam pergaulan antar bangsa. Karenanya kita seolah tidak berharga lagi. Ancaman yang pernah dikeluarkan oleh Bung Karno biasanya amat efektif untuk membuat mata negara lain melihat kita. Tetapi kini, mengancam saja pun untuk mempertahankan prinsip dan harga diri kita, sudah tidak pernah lagi kita sampaikan.

Indonesia bisa! Di dalamnya ada makna gerakan moral untuk membangun Indonesia, memulihkan kondisi bangsa. Indonesia bisa adalah sebuah panggilan penting untuk kita serukan kembali di negeri ini, manakala seluruh eleman masyarakat dilanda oleh apatisme dan malaise kerja keras.

Jansen Sinamo, seorang penulis dan motivator Indonesia menyatakan bahwa tidak ada kemajuan tanpa kerja keras dan etos mau maju. Ini penting untuk kita bangkitkan di dada seluruh anak bangsa. Ingin menjadikan Indonesia maju adalah semangat yang bisa mendongkrak kemajuan kita menjadi bangsa yang maju.

Banyak negara bisa maju karena memiliki semangat seperti ini. cita-cita masa depan membangkitkan hasrat untuk memberikan yang terbaik. Memeras tenaga seluruh elemen bangsa ini untuk memajukan negara kita adalah sebuah panggilan penting yang harus terus menerus didorong oleh pemerintah.

Pemerintah seharusnya terus mendorong jiwa dan semangat ini, bukan hanya slogan. Pemerintah harus bisa membangun “kanal” dimana setiap anak bangsa menyalurkan seluruh potensi dan sumber daya mereka untuk membangun negara kita. Pemerintah harus membangun media yang memberikan kesempatan kepada setiap anak bangsa untuk melihat talenta, potensi dan kelebihan mereka, dan menyumbangkan apapun itu, bahkan yang terkecil sekalipun untuk kemajuan dan kehidupan yang lebih baik dari bangsa ini.

Dalam konteks inilah seharusnya pemerintah jangan hanya bisa berteriak, tetapi memperlihatkan komitmen ini dengan sungguh-sungguh. Masih banyak potensi anak bangsa yang belum diajak.

Lawan-lawan politik seharusnya dirangkul oleh pemerintah. Mereka yang rajin memberikan kritik dan memposisikan diri sebagai oposan seharusnya dijadikan sharing partner yang baik, daripada dijadikan sparing partner. Sharing partner adalah pihak yang bisa memberikan pemerintah wawasan baru dengan pandangan baru supaya pemerintah tidak hanya punya kaca mata kuda, tetapi juga punya kaca mata bening untuk melihat masalah dengan baik dan jernih.

Indonesia bisa! Seruan itu tidak bisa diwujudkan kalau pemerintah hanya bisa menunjuk muka orang lain untuk melakukannya. Pemerintah harus memberikan teladan dengan menyatukan seluruh kekuatan bangsa ini. potensi 225 juta jiwa adalah potensi terpendam yang belum mewujud, sebelum Indonesia benar-benar maju dan memperlihatkan diri sebagai bangsa yang benar-benar besar bukan hanya banyak. Mari menjadikan seruan Indonesia bisa sebagai ikon melewati berbagai masalah yang sangat menguras tenaga kita ini

Read More......

FOKUS Rakyat Yang Makin Kesulitan

Akhirnya pemerintah memutuskan besaran kenaikan harga BBM. Menurut Menkeu besaran angka kenaikan mencapai 28,7 persen. Angka itu memang tidak terlalu tinggi sebagaimana pernah ditakutkan oleh banyak kalangan. Tetapi angka itu tetap saja menjadi persoalan besar bagi masyarakat yang daya belinya pasti akan segera menurun.

Salah satu persoalan besar mengapa penolakan terhadap kenaikan BBM sangat tinggi adalah bahwa rakyat kini semakin sulit hidupnya


Untuk membeli kebutuhan pokok saja mereka harus banting tulang setiap hari tanpa ada jaminan kehidupan. Sistem jaminan sosial kita tidak ada, tidak seperti di negara maju. Jadi kalau disini, masyarakat bangun setiap pagi tanpa harapan baru karena negara tidak menjamin kehidupan masyarakat sebagaimana bisa dirasakan mereka yang hidup di negara maju.

Karena itu, kenaikan sekecil apapun memang sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Yang dikuatirkan adalah dampaknya. Jika kenaikan harga BBM terjadi, maka dapat dipastikan sektor transportasi akan segera menyusul naik. Maka efek domino pasti akan terjadi. Harga-harga bahan dan keperluan lain yang menggunakan transportasi juga pasti akan segera naik.

Inilah yang menjadi catatan penting sebagai sebuah bahan perenungan kepada pemerintah, yang selalu menyangka bahwa masyarakat tidak pernah mau mengerti. Pemerintah salah besar kalau menyangka bahwa masyarakat tidak lagi punya pengertian. Perlu kita tegaskan bahwa masyarakat sangat mengerti.
Masyarakat kita tidak kurang baik, sehingga sudah 10 tahun sejak reformasi masyarakat hanya bersabar dan mengurut dada melihat mereka dicurangi. Masyarakat juga tidak begitu berontak ketika akhirnya reformasi justru dinikmati mereka yang duduk di kekuasaan dan sama sekali tidak pernah berteriak dan menunjukkan muka ketika ide reformasi pertama sekali digelar.

Apa kurang sabarnya masyarakat ketika kemudian hasil pemilu 2004 yang dikira membawa perubahan baru justru mengecewakan. Pasangan SBY-Kalla yang dipilih secara langsung nyatanya membangun kekuasaan model bagi-bagi kekuasaan dan hanya menyisakan harapan-harapan tanpa kepastian kepada masyarakat.

Apa alasannya pemerintah menyatakan bahwa masyarakat tidak sabar, padahal sudah sejak lama masyarakat dibiarkan sendiri? Apakah pemerintah tidak melihat bagaimana masyarakat hanya tahu menerima saja manakala pemerintah mengimpor beras, menaikkan harga BBM di luar kemampaun masyarakat di tahun 2005, dan bahkan melakukan kebijakan yang sangat sulit diterima akal masyarakat semisal tebang pilih korupsi?

Mengapa pemerintah merasa bahwa masyarakat tidak sabar, kalau setiap hari lampu PLN padam padahal masyarakat terus menerus bayar iuran, kecelakaan lalu lintas terjadi terus menerus dan menyebabkan kematian seorang Sophan Sopian, padahal masyarakat terus membayar pajak, dan masyarakat juga hanya berdiam diri saja ketika secara perlahan harga kebutuhan pokok terus merangkak?

Masyarakat juga terkesan diam saja ketika pemerintah hanya menggunakan masyarakat sebagai pembenaran dan media mencari popularitas. Masyarakat hanya menurut dan manggut, padahal di depan mata masyarakat ada penderitaan?
Pemerintah harus mengerti bahwa masyarakat sudah terlalu banyak mengerti. Kapan pemerintah mau belajar mengerti penderitaan dan kebutuhan masyarakat?

Read More......

Friday, April 25, 2008

FOKUS Data Pemilih, Sumber Kekacauan

Kalau Pilgubsu 2008 yang barusan saja kita lewati usai, ada satu sumber potensi masalah yang akan menjadi bahan sengketa, bahkan persoalan hukum dan politik kelak di masa mendatang seusai pengumuman pemenang sekalipun, yaitu pendataan pemilih. Diakui sendiri oleh KPUD Sumut bahwa memang pendataan pemilih di Sumatera Utara amat amburadul, dan jauh dari kualitas yang sebenarnya. Tetapi KPUD Sumut menuding bahwa mereka hanyalah pengguna dan melakuakan verifikasi yang sangat terbatas dari segi waktu. Padahal untuk memverifikasi data tersebut, setidaknya dibutuhkan waktu lebih lama dari yang diberikan. Karena itu KPUD Sumut menyatakan bahwa yang harus diminta pertanggung-jawabannya adalah Pemprovsu.



Apa kata Pemprovsu? Diakui sendiri oleh Desk Pilkada Sumut bahwa persoalan pendataan pemilih memang merupakan wewenang Pemprovsu, tetapi dana yang disalurkan melalui mereka, yaitu Rp. 13 miliar itu sudah ditransfer kepada masing-masing pemerintah daerah.

Asumsi Rp. 13 miliar, dijelaskan oleh Sekda Provsu, berasal dari perkiraan jumlah penduduk Sumut sebanyak hampir 13 juta orang, dikalikan Rp. 1000 per kepala. Maka jadilah uang tersebut di atas kertas memang seharusnya dipakai untuk tujuan itu. Pertanyaannya adalah, mengapa dengan konsep yang sudah baku hasil dari dari pendataan pemilih tersebut demikian buruk?

Menurut catatan KPUD Sumut, hampir 15 persen penduduk yang seharusnya bisa menggunakan hak pilihnya, nyatanya tidak menggunakan hak pilih karena tidak terdaftar, atau karena alasan lainnya. Persoalan pendataan juga meliputi kepemilikan ganda kartu pemilih, kartu pemilih yang tidak tersalurkan, bahkan data pemilih yang seharusnya tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Jumlah 15 persen ini jelas tidak sedikit untuk mengubah posisi kemenangan salah seorang kandidat. Menurut catatan, seandainya saja calon dengan perolehan suara paling sedikit saja mendapatkan angka 15 persen itu, maka kandidat tersebut bisa menjadi pemenang pemilu. Jelas, pendataan yang sangat amburadul ini akan menjadi persoalan serius kelak.

Mari kita lihat bagaimana itu dilakukan. Pencatatan kependudukan dilakukan atas tugas dari masing-masing Kepala Daerah kepada BPS di wilayahnya. Rasanya sungguh sangat tidak masuk diakal kalau BPS yang dianggap sebagai pemegang kewenangan atas data di negeri ini bisa kacau dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Presiden Yudhoyono saja selalu menyebutkan data BPS setiap kali merujuk kepada angka kemiskinan. Jadi rasanya sungguh sangat disesalkan bahwa BPS ternyata bisa ditubing ke dalam persoalan yang seharusnya tidak patut mereka lakukan, yaitu dalam memanipulasi data.

Pertanyaannya adalah mungkinkan manipulasi data terjadi? Mungkin saja. Hal itu bisa terjadi karena sekali lagi, kewenangan pendataan terjadi di daerah masing-masing. Mutu data ditentukan oleh komitmen masing-masing daerah. Jadi, memang harus kita akui komitmen masing-masing daerah terhadap pendataan ini memang terkesan amat lemah karena adanya berbagai kepentingan. Pendataan pemilih yang berhubungan dengan posisi suara, bahkan adanya indikasi penggelembungan suara, tentunya amat dipentingkan oleh seluruh Kepala Daerah yang berada di lokasi tersebut. Hal lain, tentu saja, bahwa pendataan pemilih memang dilaksanakan sebagaimana data-data lainnya, yaitu asal-asalan dan sembarangan.

Itulah fakta dasar yang kini berada di depan mata kita. Hasil Pilgubsu memang sudah kita terima, tetapi dengan catatan tertentu menyangkut pendataan pemilih. Semoga ini tidak terulang kembali manakala Pemilu Legislatif dan Pilpres sudah berada di depan mata dan sedang dipersiapkan.

Read More......

FOKUS Untung Rugi Kenaikan BBM

Harga minyak yang naik terus, bahkan sudah mendekati angka $ 119 per barelnya makin membuat situasi dunia berada dalam kepanikan. Beberapa waktu yang lalu ada prediksi bahwa harga minyak akan turun setelah musim dingin berakhir di Amerika Serikat. Nyata tidak. Yang terjadi justru harga minyak tak berhasil diturunkan meski Amerika Serikat dan negara-negara OPEC bahkan sudah sering mendiskusikan masalah ini. Tetapi OPEC memang bergeming. Mereka tidak bersedia menaikkan produksi minyak yang terus menerus disedot oleh negara maju dan Amerika Serikat sendiri. Kenaikan harga minyak akan menjadi sumber keuntungan bagi mereka sendiri.



Di dalam negeri sendiri, kenaikan harga minyak itu menjadi sebab dari berubahnya hitung-hitung ekonomi pemerintah, bahkan kemungkinan juga akan berpengaruh secara sosial politik terhadap kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Sebab sebelumnya Presiden Yudhoyono sendiri sudah menyatakan bahwa posisi APBN akan aman pasca penetapan APBN-P 2008 yang dengan sendirinya akan dilaksanakan. Tetapi ternyata perubahan yang terjadi lebih cepat dan lebih kencang daripada yang direncanakan oleh pemerintah kita.

Memang, menaikkan harga minyak kini menjadi salah satu solusi pasca ketidakpastian rencana penggunaan kartu kendali untuk membatasi penggunaan BBM di negara kita ini. Pertanyaannya adalah, apakah memang pemerintah siap menaikkan harga minyak?

Sebelumnya harus dijelaskan bahwa kenaikan harga minyak akan menyedot subsidi APBN-P yang sudah ditetapkan sebesar lebih dari Rp. 126 trilyun. Kenaikan hanya satu persen saja, sudah menaikkan subsidi sebesar lebih dari Rp. 4 trilyun. Kenaikan harga minyak sekarang sudah melebihi 10 persen dari asumsi APBN-P. Karena itulah jelas posisi keuangan pemerintah memang berada dalam titik kritis. Mendanai terus menerus subsidi hanya akan membuat kas pemerintah bangkrut. Sementara untuk menunggu harga minyak turun jelas amat mustahil.

Pemerintah bukan tidak berbuat. Pemerintah sudah bekerja keras dengan menaikkan produksi (lifting) minyak mentah. Sayangnya, Pertamina gagal melakukannya. Bukannya naik, malah produksinya semakin menurun saja. Pemerintah juga sudah menganggarkan angka Rp. 30 trilyun untuk cadangan melalui pemangkasan anggaran setiap departemen sebesar 15 persen.

Bahaya berikutnya kalau harga minyak dunia terus menerus terjadi adalah meningkatnya risiko kredit bermasalah. Ketidakmampuan para investor menaikkan harga produksi ketika ongkos produksi meningkat akan menyebabkan banyak kredit bermasalah di berbagai sektor.

Karena itulah memang sebagaimana sudah disuarakan oleh beberapa ekonom, pemerintah harus menaikkan harga minyak untuk penggunaan terbatas. Rencana itu adalah menaikkan harga minyak untuk penggunaan kendaraan pribadi roda empat yang diharapkan akan menurunkan penggunaan kebutuhan minyak sekaligus menciptakan gaya hidup hemat. Harga minyak untuk kebutuhan industri juga diperkirakan akan meningkat.

Tinggal pemerintahlah sekarang yang harus menggunakan komunikasi yang elegan kepada masyarakat supaya hal ini tidak menciptakan gejolak dan konflik. Memang pemerintah mungkin akan kehilangan popularitas dalam sekejap, tetapi lebih baik daripada seperti sekarang masyarakat bahkan semakin mengeluh akibat kelangkaan minyak dimana-mana. Bukankah pemerintah masih bisa meningkatkan popularitasnya di segi lain, misalnya penanganan korupsi dan pembenahan birokrasi? Kita tunggu langkah berani pemerintah

Read More......

OPINI Gubernur dan Wakil Gubernur Pilihan Kita


Akhirnya KPUD Sumut menetapkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Sumatra Utara dalam Pilkada 2008 ini adalah pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho. Pasangan ini memperoleh suara sekitar 28 persen, mengalahkan kandidat lainnya.
Apa respon pasangan yang terkenal dengan nama Syampurno ini? Bahagia dan haru? Pasti. Yang namanya kemenangan, tentunya harus disyukuri dan dijadikan kebahagiaan. Tetapi yang juga pasti adalah bahwa pengumuman KPUD Sumut itu bukan akhir dari segalanya. Apa yang harus dikerjakan kemudian?



Kepemimpinan keduanya akan diuji bukan dalam hitungan hari saja. Melainkan dalam waktu 365 hari dikali 5 tahun. Mereka akan memimpin Sumatera Utara dalam waktu yang tidak singkat, tetapi 5 tahun ke depan. Mereka akan menjadi pemandu pembangunan Sumatera Utara, dalam melewati setiap dinamika masyarakat dalam 5 tahun ke depan ini.

Suka atau tidak suka, sebagai masyarakat yang berada dalam bingkai demokrasi, inilah faktanya, bahwa mereka berdua adalah pemenang dari kompetisi bernama Pilkada Gubernur Sumatera Utara. Pasangan Syampurno terpilih sebagai pemimpin setelah melewati proses yang sesungguhnya sangat demokratis. Mereka diusung oleh parpol yang berhak mengusung mereka, mereka—juga pasangan yang lainnya—telah melewati verifikasi dari KPUD Sumut, dan kemudian telah melewati masa kampanye serta kemudian detik-detik penghitungan suara.


Tetapi suka atau tidak suka juga, pasangan Syampurno harus juga mengakui bahwa menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tidak boleh berhenti pada hari kemenangan saja. Perayaan mungkin boleh. Tetapi di depan masih banyak tugas besar menanti. Persoalan pasca pilkada, mulai dari konsekuensi politik, sampai dengan upaya besar menggerakkan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara adalah sebuah proyek besar yang sangat menguras energi dan perhatian.

Harapan
Masyarakat Sumut berharap bahwa pasangan Syampurno akan menjadi pemimpin yang memimpin dengan kejujuran dan keberanian. Kedua kata itu, jujur dan beraniperlu dipegang oleh kedua tokoh itu.

Banyak pemimpin sekarang ini kehilangan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat karena mereka sudah berlaku tidak jujur. Di pentas nasional, banyak tokoh, setelah kekuasaan terpenuhi dan dimiliki, kemudian mengingkari bahwa mereka pernah berjanji kepada masyarakat, pernah meminta dukungan masyarakat, bahkan pernah berkampanye pada masyarakat. Pemimpin tipe ini bukanlah tipe yang jujur.

Negeri ini adalah pentas dimana orang yang tidak jujur berseliweran. Setiap kali kampanye, setiap kandidat mencap diri bersih dan memiliki program yang menjanjikan. Mereka menyatakan akan melakukan ini, akan mengerjakan itu, akan membangun ini dan menyelesaikan itu. Tetapi ketika kemudian kekuasaan diperoleh, mereka kerap menerima aliran uang yang hanya menguntungkan mereka saja, mereka menggunakan kekuasaannya untuk menciderai masyarakat, bahkan menggunakan posisinya untuk melanggengkan kedudukan dan posisinya.

Itu adalah bentuk ketidakjujuran. Masyarakat berharap bahwa kejujuran pasangan Syampurno akan terus berlangsung dan dipelihara. Masyarakat akan sangat merekam setiap tindak tanduk pasangan ini termasuk kalau dalam menjalankan pemerintahannya mereka berbuat kecurangan. Masyarakat akan menunggu hari demi hari, dan menanti apakah Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih ini akan menepati janjinya atau tidak.

Yang berikutnya, keberanian. Keberanian penting untuk membangun Provinsi Sumatera Utara. Ada pameo yang terkenal bahkan di seluruh Indonesia, bahkan urusan keberanian menyogok, penggunaan uang negara, uang pelicin dan segala macam korupsi, semuanya amat terus terang dan terbuka jelas di Sumatera Utara. Istilahnya, di Sumatera Utara yang namanya uang yang tidak benar, sudah ”tahu sama tahu”.

Bahkan kata-kata ”sumut” telah diplesetkan oleh banyak orang sebagai ”semua urusan menggunakan uang tunai”. Apa arti dari semuanya itu? Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih harus malu memimpin provinsi yang dicap demikian. Pasangan Syampurno harus mengubah pameo ini sehingga masyarakat lebih bermartabat. Bukan hanya melawan uang yang tidak jelas, Gubernur dan Wakil Gubernur ini juga harus berani dan dengan gagah berani berani melawan dan membersihkan korupsi di Sumatera Utara.

Di negeri ini yang namanya pejabat kaya, petinggi terkenal, dan elit politik populer sudah banyak. Tetapi yang punya nyali untuk hidup miskin, tidak disukai bahkan dibenci karena berani melawan korupsi masih jarang terdengar. Karena itu, Gubernur dan Wakil Gubernur ini harus berani melawan arus. Keduanya harus benar-benar berani seberani-beraninya membersihkan korupsi di Sumatera Utara.

Yang juga dibutuhkan, selain jujur dan berani adalah kekuatan untuk membangkitkan semangat. Keduanya harus bisa menggerakan masyarakat untuk berbuat bagi Sumatera Utara supaya provinsi ini maju dan mandiri. Sumatera Utara ini adalah daerah yang amat kaya. Tetapi sayangnya, selama ini seluruh sumber daya yang ada hanya dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir atau sekelompok orang saja. Disparitas pembangunan amat terasa kalau kita membandingkan pembangunan antar kawasan, antar kelompok ekonomi tertentu, bahkan antar strata sosial tertentu.

Akibatnya, masyarakat ”biasa” banyak yang kemudian kehilangan sense of belonging. Masyarakat hanya suka menjadi penonton. Ketika masyarakat diabaikan bertahun-tahun dalam seluruh sistem kehidupan, bahkan kadang-kadang tidak diperhatikan dan tidak diperhitungkan sama sekali menyebabkan masyarakat menjadi apatis. Masyarakat beranggapan bahwa provinsi ini hanya untuk mereka yang memiliki kesempatan dan kekuasaan serta kedekatan dengan yang berada di ”atas”. Maka yang terjadi bisa ditebak. Semangat memberikan yang terbaik bagi daerah ini mengendor, menipis dan kini hilang sama sekali. Itulah yang bisa kita rekam sebagai salah satu alasan mengapa banyak warga yang meski namanya ada dalam DPT tetapi enggan memilih.

Posisi Merakyat

Terekam dari berbagai fakta yang kita temukan di lapangan, ada harapan yang sangat besar dari masyarakat untuk mengidamkan sosok pemimpin yang merakyat. Pemimpin yang tidak jauh, tetapi dekat, bukan hanya karena kehadirannya secara fisik, tetapi karena kedekatan hatinya pada setiap persoalan masyarakat, beban masyarakat, serta berbagai harapan masyarakat. Banyak pemimpin biasanya hanya tahu duduk dan memerintah dari jauh. Pemimpin tipe ini amat banyak di negeri ini. Mereka hanya tahu bahwa segala bentuk pelayanan dan pekerjaan untuk masyarakat sudah dibereskan. Tetapi pemimpin tipe ini tidak tahu apa bentuk pelayanan dan pekerjaan yang dilaksanakan untuk rakyat tadi. Tipe ini hanya tahu memberi perintah dan memerintahkan.

Masyarakat sudah jemu dengan pemimpin yang hanya menggunakan telunjuk untuk menuding dan menghakimi. Masyarakat sudah jemu dengan pemimpin yang hanya tahu tidur dan tidak sadar bahwa masyarakat kelaparan. Masyarakat sudah jemu dengan berbagai melodrama yang dimainkan untuk mengelabui masyarakat. Bahkan masyarakat sudah jemu kalau para pemimpin hanya memperkaya diri sendiri dengan uang rakyat.

Masyarakat mengidamkan pemimpin yang merakyat. Untuk bisa sukses, keduanya harus bisa merakyat. Merakyat artinya merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat, merasakan penderitaan, bahkan setiap detak jantung masyarakat. Keduanya, jika ingin disebut merakyat, harus menggunakan setiap detik dalam hidupnya untuk memikirkan bagaimana nasib rakyat. Keduanya, jika ingin disebut merakyat, harus benar-benar menjadi rakyat biasa, dari cara hidup, sampai dengan cara berpikir. Jika ingin merakyat, keduanya harus benar-benar menjadi pemimpin bagi setiap orang—kurang lebih 12 juta masyarakat Sumatera Utara.

Pemimpin yang memposisikan diri seperti itulah yang dirindukan oleh masyarakat Sumatera Utara. Kalau selama 5 tahun keduanya, Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho bisa merakyat, bukan tidak mungkin mereka akan menerima mandat berikutnya dari masyarakat. Selamat dan bersiaplah menjalani tugas sebagai pengemban amanah masyarakat Sumatera Utara sebagai Sumut 1 dan Sumut 2


Read More......

Wednesday, April 23, 2008

FOKUS Tanggung Jawab Besar Masyarakat Sumut Pasca Pilgubsu

Rasanya risau manakala menyaksikan bagaimana sekelompok masyarakat masih saja mendatangi KPU Sumut meminta pilkada ulang. Mereka menuntut supaya KPU Sumut membatalkan hasil rekapitulasi karena nama mereka tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap.



Benar tanggapan Ketua KPU Sumut bahwa sudah sejak lama masyarakat diberikan kesempatan untuk melakukannya, jauh sebelum Pilgubsu. KPU sudah menempelkan DPT di kantor kelurahan, lalu memberikan waktu untuk memperbaikinya kepada masyarakat. Angka 8,4 juta jiwa sebagai pemilih dalam pemilu tersebut bukan angka tiba-tiba, tetapi berasal dari perhitungan.

Rasanya kesadaran bahwa nama mereka seharusnya terdaftar memang terlalu terlambat. Jauh-jauh hari KPU Sumut dengan berbagai metode sosialisasi telah menempuh segala cara, baik melalui media massa, media elektronik bahkan dengan menggunakan berbagai alat peraga lainnya.

Tetapi itulah faktanya. Sekali lagi kita sangat menyesali betapa banyaknya nama yang memang tidak terdaftar. Lebih dari 35 persen kemudian pemilih kemudian menjadi golput, yang sebagian di antaranya adalah mereka yang karena kesadaran yang terlambat tadi harus menyesal.

Jelas benar bahwa masyarakat kita memang memiliki budaya politik yang sangat instant. Mereka tidak menyadari bahwa demokrasi adalah perjuangan panjang yang dengan penuh kesabaran, bahkan pengorbanan, harus diperjuangkan. Pengorbanan, terkadang memang berat diberikan oleh masyarakat yang mengharapkan demokrasi sebagai lampu aladin.

Masyarakat menyangka bahwa demokrasi bisa meyelesaikan masalah dalam sekejap. Masyarakat memiliki mimpi bahwa demokrasi adalah sekejap mata terjadi perubahan dalam seluruh aspek. Tetapi karena itu tidak terwujud, maka masyarakat kemudian dengan mudahnya melakukan tindakan yang sangat berisiko, yaitu memilih figur populer atau figur baru tanpa mengetahui track record-nya.

Persoalan ini sudah disadari oleh banyak pihak. Ketika menyadari bahwa banyak figur baru bermunculan, sebenarnya ada bahayanya, yaitu bahwa masyarakat hanya menggunakan euforia dalam melakukan pemilihan itu. Mereka hanya menggunakan emosi belaka sebelum menetapkan pilihan. Dan itu pulalah yang kemudian terjadi kini, kalau sebagian masyarakat menyelesali hasil pilgubsu, bahkan menyesali ketiadaan nama mereka di dalam DPT yang berakibat pada golputnya tadi.

Bagaimana menyelesaikan masalah ini? Jelas untuk menganulir pilkgubsu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Tuntutan sekelompok masyarakat yang hanya membawa kepentingan dirinya sendiri itu sangat tidak mungkin diakomodir sebagai sebuah persoalan hukum. Tetapi bahwa proses untuk menggugat hasil pencatatan DPT memang terbuka luas.
Belajar dari kasus ini, yang paling tepat adalah menyampaikan abhwa proses pilgubsu ini pembelajaran penting pada masyarakat agar mengikuti kata pepatah, ”jangan meninggalkan gelanggang ketika pertandingan belum usai”. Proses demokrasi masih panjang dan menemuh waktu yang tidak sedikit. Karena itu semua pihak, termasuk masyarakat, harus belajar bersabar dan dengan tekun melakukan tindakan yang mendorong supaya demokrasi tadi bisa berbuah dan menghasilkan kesejahteraan bagi kepentingan bersama.

Kita ingatkan kepada seluruh masyarakat bahwa andaikan proses penghitungan suara dalam pilgubsu ini sudah selesai, itu bukan berarti bahwa masyarakat bisa mengabaikan proses selanjutnya. Masih diperlukan pemantauan, pengamatan, dan pendampingan terhadap seluruh proses lima tahun ke depan ini

Read More......

FOKUS Go Green

Modus operandi mengeruk hasil hutan semakin tidak terkendali. Setidaknya kita mencatat bahwa ada tiga bentuk yang semakin jamak dikerjakan. Pertama, dengan menggunakan model operasi terselubung. Para penyelundup ini menggunakan jalur tersembunyi dan jaringan yang sangat rapi untuk membawa kayu dan hasil hutan lainnya ke luar negeri, dipasarkan di sana, bahkan terkadang dikirimkan kembali ke Indonesia dalam bentuk hasil olahan.


Modus kedua adalah dengan menggunakan kekuatan tangan kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya ijin pengolahan hasil hutan oleh beberapa unit usaha pertambangan, atau dengan diperkenankannya mengolah hutan dengan dasar fungsi keekonomisan tertentu. Kasus ini terungkap terjadi di kawasan hutan Kalimatan.

Yang paling mutakhir kini, dan terungkap dalam kasus gratifikasi adalah, alih fungsi hutan. Hutan yang sebelumnya digunakan sebagai kawasan hutan lindung diturunkan fungsinya sehingga bisa diolah. Dalam kasus penangkapan Sekda Kabupaten Bintan, jelas terlihat bagaimana hutan lindung yang sebelumnya ada kemudian diubah dengan tujuan untuk pembangunan kawasan ibukota Kabupaten baru. Tetapi yang terjadi dan terungkap kemudian adalah kasus korupsi.

Alih fungsi hutan menjadi kawasan perkotaan adalah ekses dari kebijakan luas pemekaran daerah. Kajian mengenai hal ini memang belum ada, tetapi secara kasat mata kita bisa melihat beberapa daerah yang tidak siap, justru mengorbankan hutannya demi membangun lokasi baru.

Kehancuran fungsi hutan di Indonesia memang luar biasa. Sayangnya, semua terjadi karena kesadaran yang masih belum ada pada para penentu keputusan. Para petinggi dan penentu keputusan, malah mempercepat kerusakan dan kehancuran dengan menggunakan kekuatan yang mereka miliki.

Bukannya menggunakan hutan sebagai investasi masa depan, sekarang ini seolah terjadi keinginan yang luar bias besar untuk mempercepat kehancuran kita sendiri. Jangan-jangan, dengan hancurnya hutan di seluruh negeri ini, suatu saat kita akan membeli air bersih dari negara lain karena kita sudah tak lagi memilikinya. Pasca pertemuan di Bali misalnya, hampir belum ada gerakan praktis yang dilakukan oleh negara kita selain dari hanya membicarakan mengenai agenda-agenda pertemuan formal biasa yang sangat tidak berhubungan dengan aksi lapangan menyelamatkan hutan.

Beberapa hari ini ada kampanye untuk memperdulikan lingkungan. Kampanye itu bertajuk besar Go Green. Kampanye yang didukung oleh seluruh elemen lembaga yang ingin menyelamatkan hutan Indonesia itu benar-benar merupakan kampanye besar karena dilakukan secara massal dan didukung oleh media-media besar. Hanya sayangnya, hal itu sangat miskin perhatian dan reaksi dari seluruh masyarakat. Ada kesan, kampanye hanya milik sebagian instansi saja.

Hal ini terjadi karena masyarakat tidak menganggap bahwa hutan dan kampanye itu adalah milik mereka juga. Mereka tidak melihat bahwa masalah pemanasan global dan bencana alam yang terjadi selama ini adalah karena mereka tidak mau terlibat di dalam upaya penyelamatan hutan juga. Masyarakat tidak menganggap bahwa “menjadi hijau” adalah berarti memulai membangun kesadaran dari diri sendiri, untuk menyelamatkan lingkungan demi masa depan yang lebih baik.

Sudah saatnya diperlukan penerjemahan yang lebih tajam terhadap komitmen untuk melakukan moratorium terhadap alih fungsi hutan tadi. Hutan, sekali lagi, jangan hanya dijadikan sebagai alat komiditas yang hanya bernilai sekarang. Kita harus menjadikannya sebagai aset yang tak ternilai yang tidak dapat ditukar dengan cara apapun dan dengan apapun juga

Read More......

Wednesday, February 27, 2008

Melembagakan Sikap Demokratis Dalam Pilkada

Saat ini berbagai kekacauan politik pasca pilkada sedang terjadi. Berbagai hasil pilkada hanya menghasilkan reaksi dan emosi massa. Dua yang terakhir melibatkan hasil pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakilnya. Di Sulawesi Selatan, masyarakat yang menginginkan calon pilihannya segera dilantik, menduduki rumah jabatan Gubernur dan menyatakan sikap menolak caretaker Gubernur yang ”dipasok” dari Jakarta. Hasil pilkada Maluku Utara juga demikian. Pasca keputusan MA yang meminta dilaksanakannya perhitungan ulang di beberapa wilayah, masyarakat yang tidak terima kemudian melampiaskan kekesalannya kepada mereka yang dianggap bertanggung-jawab.


Benturan antar masyarakat pasca pilkada memang kini kerap terjadi. Pasca pilkada, ketika salah satu pihak tidak puas, yang terjadi adalah gelombang ketidakpuasan. Akibatnya, masyarakat yang mendukung salah satu calon yang tidak puas kemudian mengekpresikan ketidaksenangan dengan berbagai cara yang terbukti berpotensi menghasilkan anarkisme.

Psikologis Benturan
Bahwa benturan dalam pemilu menjadi sebuah konflik sudah disampaikan oleh Snyder. Synder menyatakan bahwa hasil dari pemilu tak jarang menyebabkan pertumpahan darah yang bahkan jika semakin berlarut, menyebabkan pecahnya sebuah bangsa. Ia membuktikannya melalui berbagais riset di berbagai negara.
Di Indonesia, konflik dan benturan memang pantas terjadi. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama adalah kenyataan bahwa pilkada di Indonesia diikuti oleh pemilih yang masih terjebak dalam euforia. Masyarakat pemilih di Indonesia umumnya adalah mereka yang sama sekali buta politik. Mereka amat jarang yang mengetahui bahwa terlibat dalam demokrasi membutuhkan etika dan sikap politik yang baik.
Hal ini dipicu oleh kebijakan politik Orde Baru yang selama lebih dari 32 tahun membawa masyarakat Indonesia maju secara ekonomi, tetapi tidak dalam politik. Pemasungan atas parpol menyebabkan proses pembelajaran politik di Indonesia berjalan lambat. Masyarakat juga dihambat ekspresi politiknya, sehingga kemudian yang dihasilkan adalah pemilih yang cukup umur, tetapi tidak cukup rasional dalam berpolitik.

Masyarakat Indonesia hanya bisa mengekpresikan berbagai hal pada saat mereka merasa identik dengan calon yang mereka dukung. Mereka hanya mengetahui bahwa mereka memiliki kedekatan emosial. Tidak ada pertimbangan rasional di dalamnya karena mereka sama sekali memang tidak menggunakannya.

Yang kedua, masalahnya adalah bahwa elit politik yang bersaing justru menikmati keadaan seperti ini. Dukungan dari massa yang bersifat euforia akan melepaskan mereka dari tanggung-jawab politik. Mereka hanya mengerahkan massa, lalu mendanai aksi, kemudian meninggalkan kewajibannya. Maka politik kita pun terjebak ke dalam politik massifikasi massa, tetapi tanpa isi sama sekali. Politik kita masih di bangun di atas model politik personifikasi personal alias populis. Masyarakat tidak memilih kandidat berkualitas atau yang memang menjanjikan program bermutu. Yang dipilih masyarakat adalah kandidat yang dalam logika mereka patut atau bahkan harus dipilih. Alasan pemilihan biasanya nomor belakangan.

Karena itulah memang ada peluang yang sangat besar bagi para pesohor semacam artis dan selebritis untuk masuk dan merambah ke dalam dunia politik. Keberadaan mereka yang hanya memancing rasa ingin tahu masyarakat plus ketenaran menjadi sebuah kombinasi menarik dari politik terbaru kita. Tetapi hal itu hanya akan menjadi sebuah selebrisasi politik kita. Selebihnya tidak ada sama sekali hasilnya.

Akibat
Indonesia terancam kacau balau secara politik karena proses politik hanya menyebabkan benturan dan kekerasan. Masyarakat yang secara politik tidak dewasa akan merusak sendi-sendi demokrasi yang dibangun dengan susah payah oleh masyarakat sendiri. Kerusakan itu jelas bukan berasal dari luar, tetapi dari dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Masyarakat sendiri, tanpa sadar, karena perilaku politik yang tidak demokratis, merusak masa depan demokrasi kita.

Pilkada di Sumut juga sudah di depan mata. Hanya dalam waktu beberapa pekan ke depan, seluruh calon akan berlaga. Ini adalah pesta demokratis yang amat berharga bagi masyarakat Sumut yang sudah lama merindukan pesta demokratis juga merambah ke daerah ini.

Akan tetapi, kondisi Sumatera Utara yang multi etnis, latar belakang, dan keterkaitan antar budaya, suku dan marga, bisa menjadi penyebab benturan. Demikian juga dengan adanya konflik di antara parpol dan sesama parpol, bisa menjadi masalah besar juga. Yang tidak kalah penting adalah bahwa para kandidat juga bisa ”terpeleset” sehingga menjadikan masyarakat pemilih sebagai alat belaka, bukan untuk mendidik masyarakat Sumatera Utara menjadi lebih baik dalam politik.

Pilkada yang sebenarnya merupakan pesta demokratis bagi masyarakat Sumut ini bisa menjadi sumber benturan dan perpecahan. Hal itu harus dicegah sedini mungkin, sebelum ada penyesalan di kemudian hari. Karena itu apa yang diperlukan untuk mencegah hal itu?
Harus kita ingatkan maka sikap teladan dari para pemimpin amat diperlukan. Pemimpin politik di seluruh lini harus menunjukkan sikap yang pantas ditiru oleh masyarakat. Perilaku ”patron-klien” masyarakat kita akan sangat merujuk kepada pemimpinnya. Mereka akan meniru apa yang akan dilakukan oleh pemimpinnya.

Sepanjang para pemimpin tidak memperlihatkan sikap demokratis tersebut—karena justru menikmatinya karena potensial untuk memobilisasi masyarakat—maka masyarakat juga tidak akan berubah. Pemimpin yang legowo, jika kelak kalah dan jujur mengungkapkan kebenaran, akan menjadi sebuah kekuatan besar untuk memberikan perubahan dalam etika politik masyarakat.
Benar bahwa para kandidat bisa saja berkomitmen bersamas, bahkan menandatangani pakta bersama-sama bahwa mereka akan ”siap menang, siap kalah”. Tetapi yang dipentingkan oleh masyarakat kita bukan hanya simbol, tetapi bukti dan rekam jejak yang menunjukkan bahwa memang demikianlah adanya. Para pemimpin dan kandidat yang bersaing harus bisa memperlihatkan kepada para pendukungnya sikap demokratis yang sangat menyentuh. Perhatikan ketika pilkada di DKI Jakarta usai, pasangan yang kalah langsung memasang iklan di media, menyebarkan spanduk, dan mengadakan jumpa pers yang isinya mengakui kekalahan dan menerima kemenangan pasangan lain. Sikap demokratis demikian amat jarang kita temui di negara ini, tetapi bisa saja kita lakukan di Sumut ini.

Berikutnya adalah bahwa peran media dalam membangun sikap demokratis jelas sangat besar. Media massa harus memberikan berbagai dukungan psikologis kepada masyarakat supaya masyarakat juga bisa mengendalikan diri. Seluruh pemberitaan yang menyangkut mengenai kisruh pilkada hanya merupakan bahan bakar bagi masyarakat untuk melakukan kekacauan jika diberitakan dengan tidak proporsional. Dukungan terhadap penyadaran masyarakat harus didukung oleh setiap kelompok non partisan yang kini harus bergerak cepat mencerdaskans masyarakat calon pemilih di Sumut.

Penutup
Menghasilkan pilkada Sumut yang demokratis dalam arti yang sebenarnya memang memerlukan kolaborasi besar di antara seluruh yang terlibat di dalamnya. Namun jika semua yang terlibat bisa memberikan kontribusi, hasilnya akan menjadi kenikmatan bersama yang akan sangat dikenang, memberikan inspirasi kepada daerah lain, atau bahkan kepada generasi sesudah kita. Itu adalah titik penting dari keberadaan kita dalam menyongsong pilkada di Sumut kita tercinta ini

Read More......