Friday, April 25, 2008

FOKUS Data Pemilih, Sumber Kekacauan

Kalau Pilgubsu 2008 yang barusan saja kita lewati usai, ada satu sumber potensi masalah yang akan menjadi bahan sengketa, bahkan persoalan hukum dan politik kelak di masa mendatang seusai pengumuman pemenang sekalipun, yaitu pendataan pemilih. Diakui sendiri oleh KPUD Sumut bahwa memang pendataan pemilih di Sumatera Utara amat amburadul, dan jauh dari kualitas yang sebenarnya. Tetapi KPUD Sumut menuding bahwa mereka hanyalah pengguna dan melakuakan verifikasi yang sangat terbatas dari segi waktu. Padahal untuk memverifikasi data tersebut, setidaknya dibutuhkan waktu lebih lama dari yang diberikan. Karena itu KPUD Sumut menyatakan bahwa yang harus diminta pertanggung-jawabannya adalah Pemprovsu.



Apa kata Pemprovsu? Diakui sendiri oleh Desk Pilkada Sumut bahwa persoalan pendataan pemilih memang merupakan wewenang Pemprovsu, tetapi dana yang disalurkan melalui mereka, yaitu Rp. 13 miliar itu sudah ditransfer kepada masing-masing pemerintah daerah.

Asumsi Rp. 13 miliar, dijelaskan oleh Sekda Provsu, berasal dari perkiraan jumlah penduduk Sumut sebanyak hampir 13 juta orang, dikalikan Rp. 1000 per kepala. Maka jadilah uang tersebut di atas kertas memang seharusnya dipakai untuk tujuan itu. Pertanyaannya adalah, mengapa dengan konsep yang sudah baku hasil dari dari pendataan pemilih tersebut demikian buruk?

Menurut catatan KPUD Sumut, hampir 15 persen penduduk yang seharusnya bisa menggunakan hak pilihnya, nyatanya tidak menggunakan hak pilih karena tidak terdaftar, atau karena alasan lainnya. Persoalan pendataan juga meliputi kepemilikan ganda kartu pemilih, kartu pemilih yang tidak tersalurkan, bahkan data pemilih yang seharusnya tidak bisa menggunakan hak pilihnya.

Jumlah 15 persen ini jelas tidak sedikit untuk mengubah posisi kemenangan salah seorang kandidat. Menurut catatan, seandainya saja calon dengan perolehan suara paling sedikit saja mendapatkan angka 15 persen itu, maka kandidat tersebut bisa menjadi pemenang pemilu. Jelas, pendataan yang sangat amburadul ini akan menjadi persoalan serius kelak.

Mari kita lihat bagaimana itu dilakukan. Pencatatan kependudukan dilakukan atas tugas dari masing-masing Kepala Daerah kepada BPS di wilayahnya. Rasanya sungguh sangat tidak masuk diakal kalau BPS yang dianggap sebagai pemegang kewenangan atas data di negeri ini bisa kacau dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Presiden Yudhoyono saja selalu menyebutkan data BPS setiap kali merujuk kepada angka kemiskinan. Jadi rasanya sungguh sangat disesalkan bahwa BPS ternyata bisa ditubing ke dalam persoalan yang seharusnya tidak patut mereka lakukan, yaitu dalam memanipulasi data.

Pertanyaannya adalah mungkinkan manipulasi data terjadi? Mungkin saja. Hal itu bisa terjadi karena sekali lagi, kewenangan pendataan terjadi di daerah masing-masing. Mutu data ditentukan oleh komitmen masing-masing daerah. Jadi, memang harus kita akui komitmen masing-masing daerah terhadap pendataan ini memang terkesan amat lemah karena adanya berbagai kepentingan. Pendataan pemilih yang berhubungan dengan posisi suara, bahkan adanya indikasi penggelembungan suara, tentunya amat dipentingkan oleh seluruh Kepala Daerah yang berada di lokasi tersebut. Hal lain, tentu saja, bahwa pendataan pemilih memang dilaksanakan sebagaimana data-data lainnya, yaitu asal-asalan dan sembarangan.

Itulah fakta dasar yang kini berada di depan mata kita. Hasil Pilgubsu memang sudah kita terima, tetapi dengan catatan tertentu menyangkut pendataan pemilih. Semoga ini tidak terulang kembali manakala Pemilu Legislatif dan Pilpres sudah berada di depan mata dan sedang dipersiapkan.

No comments: