Friday, April 25, 2008

FOKUS Untung Rugi Kenaikan BBM

Harga minyak yang naik terus, bahkan sudah mendekati angka $ 119 per barelnya makin membuat situasi dunia berada dalam kepanikan. Beberapa waktu yang lalu ada prediksi bahwa harga minyak akan turun setelah musim dingin berakhir di Amerika Serikat. Nyata tidak. Yang terjadi justru harga minyak tak berhasil diturunkan meski Amerika Serikat dan negara-negara OPEC bahkan sudah sering mendiskusikan masalah ini. Tetapi OPEC memang bergeming. Mereka tidak bersedia menaikkan produksi minyak yang terus menerus disedot oleh negara maju dan Amerika Serikat sendiri. Kenaikan harga minyak akan menjadi sumber keuntungan bagi mereka sendiri.



Di dalam negeri sendiri, kenaikan harga minyak itu menjadi sebab dari berubahnya hitung-hitung ekonomi pemerintah, bahkan kemungkinan juga akan berpengaruh secara sosial politik terhadap kredibilitas pemerintah di mata masyarakat. Sebab sebelumnya Presiden Yudhoyono sendiri sudah menyatakan bahwa posisi APBN akan aman pasca penetapan APBN-P 2008 yang dengan sendirinya akan dilaksanakan. Tetapi ternyata perubahan yang terjadi lebih cepat dan lebih kencang daripada yang direncanakan oleh pemerintah kita.

Memang, menaikkan harga minyak kini menjadi salah satu solusi pasca ketidakpastian rencana penggunaan kartu kendali untuk membatasi penggunaan BBM di negara kita ini. Pertanyaannya adalah, apakah memang pemerintah siap menaikkan harga minyak?

Sebelumnya harus dijelaskan bahwa kenaikan harga minyak akan menyedot subsidi APBN-P yang sudah ditetapkan sebesar lebih dari Rp. 126 trilyun. Kenaikan hanya satu persen saja, sudah menaikkan subsidi sebesar lebih dari Rp. 4 trilyun. Kenaikan harga minyak sekarang sudah melebihi 10 persen dari asumsi APBN-P. Karena itulah jelas posisi keuangan pemerintah memang berada dalam titik kritis. Mendanai terus menerus subsidi hanya akan membuat kas pemerintah bangkrut. Sementara untuk menunggu harga minyak turun jelas amat mustahil.

Pemerintah bukan tidak berbuat. Pemerintah sudah bekerja keras dengan menaikkan produksi (lifting) minyak mentah. Sayangnya, Pertamina gagal melakukannya. Bukannya naik, malah produksinya semakin menurun saja. Pemerintah juga sudah menganggarkan angka Rp. 30 trilyun untuk cadangan melalui pemangkasan anggaran setiap departemen sebesar 15 persen.

Bahaya berikutnya kalau harga minyak dunia terus menerus terjadi adalah meningkatnya risiko kredit bermasalah. Ketidakmampuan para investor menaikkan harga produksi ketika ongkos produksi meningkat akan menyebabkan banyak kredit bermasalah di berbagai sektor.

Karena itulah memang sebagaimana sudah disuarakan oleh beberapa ekonom, pemerintah harus menaikkan harga minyak untuk penggunaan terbatas. Rencana itu adalah menaikkan harga minyak untuk penggunaan kendaraan pribadi roda empat yang diharapkan akan menurunkan penggunaan kebutuhan minyak sekaligus menciptakan gaya hidup hemat. Harga minyak untuk kebutuhan industri juga diperkirakan akan meningkat.

Tinggal pemerintahlah sekarang yang harus menggunakan komunikasi yang elegan kepada masyarakat supaya hal ini tidak menciptakan gejolak dan konflik. Memang pemerintah mungkin akan kehilangan popularitas dalam sekejap, tetapi lebih baik daripada seperti sekarang masyarakat bahkan semakin mengeluh akibat kelangkaan minyak dimana-mana. Bukankah pemerintah masih bisa meningkatkan popularitasnya di segi lain, misalnya penanganan korupsi dan pembenahan birokrasi? Kita tunggu langkah berani pemerintah

No comments: