Sunday, August 31, 2008

FOKUS: Menggalang Semangat Toleransi Beragama

Hanya dalam hitungan jam, sesama umat kita yang beragama muslim akan memulai bulan puasa. Ini adalah ibadah ritual yang selalu datang setiap tahunnya dan menuntut masing-masing kita selalu belajar menahan diri terhadap satu sama lain.



Mereka yang berpuasa tentunya akan menahan diri dari segala sesuatu yang mengganggu kegiatannya. Tetapi yang lebih penting juga adalah mereka yang berpuasa—kebanyakan dari yang beragama berbeda—harusnya juga mengembangkan yang namanya toleransi. Toleransi ketika orang lain berpuasa adalah sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara demi keutuhan kita bersama juga.

Toleransi adalah ciri khas yang memang melekat jauh pada kita, sebelum hari ini sekalipun. Karena bisa bertoleransilah maka negara ini tidak bubar di usianya yang sangat muda. Ketika pertama sekali dibentuk, ada sekelompok orang yang kemudian melakukan kompromi bagaimana supaya negara ini utuh dan tidak terpecah berdasarkan basis agama tertentu.

Memang berdasarkan sejarah ada negara yang memang kuat karena dibangun di atas dasar keagamaan tertentu. Tetapi tidak sedikit juga contoh negara yang kemudian bubar karena tidak sanggup menghadapi perbedaan yang kemudian berujung kepada kekacauan.
Agama memang harusnya menjadi perekat kita bersama. Sebagai salah satu negara yang memiliki sejarah panjang keagamaan, adalah wajar kemudian kita selalu saja mendengungkan hal ini kemana-mana. Di forum internasional, kita selalu saja bisa membuktikan bahwa kita adalah negara beragama yang meski memiliki perbedaan-perbedaan tersebut, tetap saja bisa memanfaatkannya dengan baik, untuk merekatkan dan untuk mempererat hubungan di antara sesama.

Nenek moyang kita malah mempraktekkannya jauh lebih baik dari kita sendiri. Di bulan ramadhan ini mereka biasanya saling kunjung mengunjungi dan hormat menghormati di antara mereka sendiri. Bagi mereka agama adalah sesuatu yang tidak harus membuat mereka saling berbeda. Yang mereka utamakan dalam hubungan dan keharmonisan adalah bagaimana supaya mereka tetap bisa bersama.

Sekarang ini ada saja pihak yang tidak ingin kita saling bersaudara. Genggaman tangan tanda saling padu sering diputus oleh pihak-pihak yang tidak senang menyaksikan negara kita ini baik. Mereka lebih suka menggunakan cara berpikir sendiri supaya mereka lebih baik dan lebih superior. Itu adalah cara berpikir mereka.

Sayangnya, kondisi tersebut tidak cocok dengan majemuknya masyarakat kita. Ada ratusan suku dan bahasa yang ada di negeri ini tersebar di lebih dari 15 ribu pulau di seantero nusantara. Adalah mustahil menjadikan kita semua seragam dalam apapun itu namanya, kecuali kebangsaan. Hal itulah yang harus kita sadari kalau kita ingin membangun kesadaran yang permanen mengenai bagaimana seharusnya kita bisa hidup dengan lebih baik lagi. Mimpi mengenai membangun Indonesia berdasarkan agama tertentu harusnya tidak lagi didengungkans karena hanya akan memecah belah hubungan erat yang sudah terbina selama ini.

Bulan puasa ini adalah bulan milik mereka yang beragama Islam, tetapi juga harusnya bulan kita bersama, bulan yang harus kita pelihara sebagai momentum untuk menguji kadar toleransi kita bersama-sama. Ke-Indonesiaan kita yang semakin lama semakin teruji dalam berbagai pengalaman kritis terlebih belakangan ini memang semakin harus lebih baik. Semoga kita bisa menjalaninya dengan baik (***)

Read More......

FOKUS: Atas Nama Nasionalisme Lagi?

Gagasan mengusung ide nasionalisme dihembuskan lagi oleh Partai Golkar dan PDI-P. Dalam sebuah acara silaturahmi para Dewan Pertimbangan se-Indonesia, gagasan ini dikemukakan dan menghangat. Analisis media massa menyimpulkan bahwa ada semacam kekutiran di kalangan kedua parpol tersebut melihat kekalahan demi kekalahan yang mereka alami.




Nasionalisme memang sebuah kata yang cukup membantu mendongkrak popularitas. Di masa lalu kekuatan Bung Karno adalah ia mampu meneriakkan kata nasionalisme tersebut untuk membangkitkan semangat masyarakat serta menggelorakan kekuatan patriotisme dan bela negara.
Semangat yang sama sama pernah diperjuangkan pasca jatuhnya Orde Baru. Kala itu dipelopori oleh PDI-P, pekik nasionalisme selalu saja mewarnai euforia yang dibangun di atas keberpihakan pada masyarakat dan mereka yang sering dinamai sebagai ”wong cilik”.
Sayang kemudian momentum tersebut digantikan oleh berbagai masalah yang mempertanyakan ulang semangat nasionalisme yang diusung oleh banyak parpol yang menyebut diri nasionalis. Pertanyaan yang sulit dijawab oleh mereka adalah mengapa nasionalisme yang mereka usung tersebut tidak juga memberikan faedah kepada kebanyakan kehidupan masyarakat? Mengapa ide nasionalisme itu ternyata hanya menguntungkan parpol tersebut untuk kemudian berkuasa dan menduduki kursi di seluruh wilayah politik?
Pertanyaan-pertanyaan berbau gugatan itulah yang kemudian membuat masyarakat akhirnya memilih jalan lain sebagai ide yang membuat mereka mencari alternatif. Ide itu kemudian tersebar, antara praksis politik ”kiri” dan ”kanan” sekaligus. Hasilnya, parpol berbasis agama naik popularitasnya secara signifikan pada pemilu terakhir. Partai nasionalis yang selama ini populer, tergerus dan menempati posisi terbesar tetapi dengan pengurangan kursi yang sangat signifikan.
Inilah yang kini terjadi di lapisan atas politik kita. Terjadi pertarungan ideologis secara praksis, tetapi bukan murni. Di lapangan mereka yang menyebut diri ”nasionalis” tak jarang juga menggunakan label agama untuk menjangkau mereka yang berada di wilayah itu. Parpol berlabel agama juga memasuki ranah lain untuk meningkatkan suara mereka. Jadi ada wilayah-wilayah yang kini saling dimasuki. Hampir tidak ada parpol yang benar-benar sesuai dengan ideologinya di negara ini. Beberapa fakta misalnya, caleg dari PDS ternyata berlatar belakang tidak Kristen. Masih ingat juga bagaimana beberapa parpol yang rela melepas bungkus nasionalis dan menggunakan bungkus keagamaan untuk mengejar suara mayoritas di negara ini.
Jadi menurut kita sebenarnya masalah utama bukan pada pertentangan antara kelompok nasionalis ini dengan kelompok lain. Masalah utama bukan pada pertentangan ide, norma, atau kelas. Masalah besar adalah karena kaum nasionalis itu sendiri banyak diisi oleh kaum oportunis, mereka yang memanfaatkan kesempatan ketika menduduki kekuasaan hanya untuk kemudian mengecewakan masyarakat.
Ini pokok persoalannya. Popularitas Bung Karno juga jatuh bukan karena ada ide lain yang diusung oleh kelompok lain, tetapi karena Bung Karno kurang memperhatikan isu-isu dasar yang dibutuhkan masyarakat pasca gempita nasionalismenya. Itulah yang harusnya diperjuangkan dan digagas. Kita kuatir, koalisi besar akan sulit disatukan karena terlalu banyak kepentingan di dalamnya. Sebab ide untuk menyatukan keduanya sudah lama digagas termasuk dengan mengadakan acara silaturahmi di Medan beberapa bulan lalu (***)

Read More......

FOKUS: Benahi Kebijakan Energi

Lagi-lagi pemerintah tak mau peduli dengan beban masyarakat. Pekan terakhir di bulan Agustus, pemerintah mengumumkan secara tiba-tiba kenaikan harga elipiji tabung 12 kg. Spontan kita merasa terkejut dan seolah tidak percaya, bagaimana mungkin pemerintah tega memberikan kado yang tidak mengenakkan di saat perubahan akibat kenaikan BBM masih terasa dan menjelang bulan puasa harga-harga sudah merangkak naik.



Lagi-lagi pemerintah tak mau peduli dengan beban masyarakat. Pekan terakhir di bulan Agustus, pemerintah mengumumkan secara tiba-tiba kenaikan harga elipiji tabung 12 kg. Spontan kita merasa terkejut dan seolah tidak percaya, bagaimana mungkin pemerintah tega memberikan kado yang tidak mengenakkan di saat perubahan akibat kenaikan BBM masih terasa dan menjelang bulan puasa harga-harga sudah merangkak naik.
Pemerintah sebagaimana biasa melalui Pertamina selalu saja memiliki argumentasi. Mereka menyatakan bahwa selama ini harga elpiji tabung 12 kg masih belum berada pada harga keekonomiannya. Harga yang nantinya harus dicapai adalah sekitar 130 ribu per kg untuk tabung tersebut.
Jelas kita makin terkejut melihat rencana selanjutnya, bahwa setiap bulannya Pertamina akan menaikkan harga elpiji sehingga mencapai titik impas yang diinginkan Pertamina atau pemerintah. Apa arti semuanya ini?
Kelihatannya pemerintah memang seolah tidak peduli pada beberapa hal. Pertama, pemerintah lupa bahwa kebijakan nasional yang selama ini didengungkannya adalah bagaimana supaya ada konversi ke elpiji. Selama ini masyarakat pengguna minyak tanah ”dipaksa” beralih ke gas untuk mencegah subsidi. Kebijakan menaikkan harga elpiji tentunya tidak sejalan dengan kebijakan yang pertama.
Namun yang paling parahnya adalah yang kedua yaitu bahwa kelihatannya pemerintah seolah ingin menggiring masyarakat untuk kemudian menerima elpiji sebagai sebuah alternatif energi. Pemerintah memaksa masyarakat mengikuti kehendak dan kebijakan pemerintah meski itu seperti mengelabui masyarakat. Bagaimana tidak? Kita seolah dipaksa berpindah dari penggunaan satu bentuk energi ke bentuk energi lain, tetapi dengan bungkus mengurangi subsidi, tetapi di saat kita sudah menerima hal tersebut kita kemudian dipaksa menerima menerima harga baru. Terlambat untuk beralih kembali ke minyak tanah, di saat warga miskin sudah kadung menerima tabung elpiji berisi 3 kg gas.
Secara nasional sudah ada suara yang menyatakan bahwa kebijakan ini akan digugat bukan hanya secara hukum tetapi juga akan membawanya ke Mahkamah Konstitusi. Sebab masalah energi ini seolah menjadi sebuah persoalan yang tidak berhubungan dengan hajat hidup masyakat banyak sehingga pemerintah bisa sesuka hati menggunakan cara monopoli. Selama ini memang tidak ada partner bersaing bagi pemerintah. Apa-apa selalu saja bebas dilakukan dengan sesuka hati, termasuk ketika menaikkan harga.
Pemerintah lupa bahwa tingkat kehidupan masyarakat tidak lagi bisa bermain dengan cara yang selama ini dipakai oleh pemerintah. Selama ini pemerintah menggunakan cara-cara yang sangat halus sehingga tanpa sadar masyarakat menerima semuanya tanpa ada perlawanan. Disain di balik semuanya itu adalah pemerintah hanya ingin membawa masyarakat ke dalam kemelaratan.
Patut kita sampaikan bahwa kalau pemerintah mengaku tidak memiliki uang untuk subsidi energi, yang harus dilakukan adalah negosiasi berbagai kebijakan energi yang selama ini merugikan masyarakat tetapi menguntungkan sekelompok orang. Termasuk dengan negosiasi eksport gas ke China yang jelas-jelas merugikan kita, kenapa selama ini dibiarkan? Lalu lihat bagaimana potensi energi kita juga di berbagai wilayah dengan sesukanya kita jual kepada negara lain, demi keuntungan segelintir pihak? Kita sebenarnya bisa lebih baik kalau pemerintah mau berpikir dan mau bekerja keras. Tetapi kalau pemerintah hanya mau enak sendiri, maka jelaslah kebijakan yang ditempuh adalah kebijakan yang menaikkan harga di saat masyarakat sendiri masih bingung bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (***)

Read More......

FOKUS: Kompetisi Saling Tuding

Menjelang pemilu 2009, aksi permainan politik semakin memanas. Beberapa politisi sudah mulai main aksi saling tuding mengenai sebuah persoalan. Layaknya proses kampanye di Amerika Serikat, dimana Obama dan McCain saling menyalahkan secara terbuka, di Indonesia juga tidak kalah menarik. Kebijakan masa lalu adalah salah satu sasaran penting yang kini menghangat



Menjelang pemilu 2009, aksi permainan politik semakin memanas. Beberapa politisi sudah mulai main aksi saling tuding mengenai sebuah persoalan. Layaknya proses kampanye di Amerika Serikat, dimana Obama dan McCain saling menyalahkan secara terbuka, di Indonesia juga tidak kalah menarik.
Kebijakan masa lalu adalah salah satu sasaran penting yang kini menghangat. Adalah proyek Tangguh yang menjual gas kita ke China dengan harga sangat rendah. Wapres Jusuf Kalla kemudian menyatakan kepada media bahwa harga itu sangat rendah dan sangats merugikan Indonesia puluhan tahun ke depan. Penyebabnya kata Wapres adalah karena harga saat itu ditentukan sendiri oleh Megawati Soekarnoputri, Presiden saat itu yang kini diusung oleh PDI-P.
Pernyataan tersebut spontan dibalas oleh PDI-P. Megawati menyatakan bahwa pada tahun 2002, yang mengurusin masalah tersebut adalah SBY dan Jusuf Kalla sendiri yang waktu itu memang menjadi menteri di masa pemerintahannya. Saling tuding kemudian menjadi menghangat karena melibatkan kader parpol itu. Effendi Simbolon, kader PDI-P meminta kepada SBY dan JK, kalau mau ”head to head” di DPR mengenai hal itu, silahkan saja.
Memang masalah energi ini menjadi masalah penting karena belakangan ada semacam tudingan kepada pemerintah ini yang hanya tahu menjual sesuatu kepada negeri ini, dan dengan cara demikian malah memiskinkan masyarakatnya. Tudingan ini sempat juga menjadi bahan kampanye Amien Rais yang menyatakan bahwa jika dirinya menjadi Presiden RI kelak, maka ia akan mengambil 50 persen dari kontrak itu untuk dikembalikan kepada masyarakat.
Sebagaimana di Amerika dimana masalah sentral adalah masalah ekonomi, maka di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Masyarakat diperhadapkan kepada masalah ekonomi, karena itu masyarakat akan sangat konsern kepada hal-hal yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
Kenaikan harga elpiji belakangan ini kemudian menjadi salah satu sumber ketidaksenangan masyarakat kepada pemerintah. Tetapi lihatlah bahwa kemudian yang dilakukan pemerintah adalah mencoba membuang penyebab masalah ini kepada rezim masa lalu dimana terang-terangan memang merugikan masyarakat banyak, tetapi SBY dan JK juga jelas tidak bisa melepaskan diri dari kebijakan masa lalu. Bahkan masyarakat curiga, mengapa baru sekarang pemerintah menegosiasi kembali proyek Tangguh tersebut ketika pemerintahannya hendak berakhir.
Beberapa pekan ke depan, masalah-masalah krusial akan terus menerus menjadi bahan perdebatan di antara para elit politik. Mereka akan menyebut diri lebih baik dari lawannya, dan akan mencoba mencari potensi-potensi dimana lawan politiknya akan mengalami popularitas yang merosot.
Salah satu sumber tuding menuding lain adalah beberapa masalah korupsi yang kini ramai diperbincangkan. Setelah tudingan bahwa kader Partai Golkar, Paskah Suzeta yang kini menjadi Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu menerima 1 miliar rupiah dari BI, kali ini giliran kader PDI-P yang ”berbunyi” sendiri yang menyatakan bahwa ia menerima uang Rp. 500 juta di saat pencalonan Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior BI.
Entah apa lagi yang nantinya akan kita saksikan. Aksi saling tuding dan tebar persoalan akan terus menerus memanas. Yang dibingungkan adalah masyarakat yang hanya bisa terpana melihat elit kita hanya sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak pernah mengurusi masyarakat dengan baik (***)

Read More......

FOKUS: Rendahnya Partisipasi Pra Pemilu

Pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS) sudah dipampangkan oleh KPU di seluruh wilayah pemilihan di Indonesia. Sayangnya, berdasarkan pemantuan KPU, masyarakat yang mendatangi lokasi tersebut umumnya sangat sedikit. Masyarakat kelihatannya enggan mendatangi lokasi pemeriksaan DPS supaya mereka yang tidak mendapatkan namanya bisa mendaftarkan ulang, atau yang ada kesalahan bisa segera diverifikasi oleh KPU. Karena itu KPU akan segera memperpanjang waktu untuk meng-up date DPS ini.




Pengumuman Daftar Pemilih Sementara (DPS) sudah dipampangkan oleh KPU di seluruh wilayah pemilihan di Indonesia. Sayangnya, berdasarkan pemantuan KPU, masyarakat yang mendatangi lokasi tersebut umumnya sangat sedikit. Masyarakat kelihatannya enggan mendatangi lokasi pemeriksaan DPS supaya mereka yang tidak mendapatkan namanya bisa mendaftarkan ulang, atau yang ada kesalahan bisa segera diverifikasi oleh KPU. Karena itu KPU akan segera memperpanjang waktu untuk meng-up date DPS ini.
DPS adalah modal untuk mengkalkulasi keperluan pemilu sekaligus untuk menghitung jumlah partisipasi pemilihan nantinya. Kedua hal itu adalah hal penting yang mendesak karena tanpa kepasatian mengenai DPS maka kualitas pemilu 2009 nantinya akan penuh dengan persoalan.
Keperluan pemilu memang sangat urgen dipersiapkan dari sekarang. Jumlah kertas suara yang harus dicetak, sebagai contoh, bergantung sangat besar dari DPS tadi. Tanpa kepastian mengenai jumlah pemilih maka jelas sajalah segala sesuatu akan mubazir, atau KPU bisa juga keteter dalam mempersiapkan logistik tadi.
Yang menjadi hal penting yang menentukan kualitas pemilu 2009 jelas adalah DPS tadi. Pengalaman yang selama ini terjadi dalam masa pemilihan umum adalah ketika masa pemilu dan pilkda datang, barulah masyarakat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara. Sayangnya tanpa daftar panggilan untuk mengikuti pemilihan umum, jelas yang bersangkutan secara otomatis kehilangan haknya.
Inilah yang kemudian menjadi ujung pangkal dari gugatan demi gugatan yang kerap disuarakan oleh pasangan yang umumnya menderita kekalahan. Mereka tidak terima dengan jumlah suara yang mereka dapatkan dan karena itu menggugat dengan menggunakan daftar pemilih yang mendukung mereka selama ini.
Kecuali karena ada kecurangan atas perhitungan, maka jelaslah DPS ini sangat menentukan baik tidaknya penyelenggaraan pemilu. Apalagi dengan adanya sistem baru mengenai pelaksaan pemilu dimana nantinya masyarakat bulan lagi mencoblos melainkan akan menggunakan alat tulis, maka jelas ada yang salah dengan penyelenggaraan pemilu 2009 ini.
Siapa yang sesungguhnya harus bertanggung-jawab atas masalah ini? Jelas memang tudingan utama harus ditujukan kepada KPU. Ada kesan KPU selama ini mudah diatur oleh parpol. Kinerja mereka di KPU banyak dipengaruhi oleh bagaimana parpol mendesakkan kepentingan mereka di dalam kebijakan dan keputusan KPU.
Sayangnya, KPU akhirnya seperti kedodoran dalam melakukan sosialisasi dan kampanye mengenai pentingnya meningkatkan kualitas pemilu mendatang. Yang terlihat adalah KPU terlalu sibuk mengurusin kepentingan parpol, bahkan tidak bisa tegas terhadap parpol. Bayangkan saja, seluruh berkas administrasi caleg yang dikirimkan kepada KPU hampir semua berantakan. Apa jadinya penyelenggaraan pemilu kalau parpol bisa sesuka hati menggunakan apapun berkas, hanya untuk kepentingan pendaftaran belaka?
Maka untuk meningkatkan kualitas pemilu 2009, parpol harus turut serta. Mereka harus melihat bahwa jika benar pendukung mereka ada dan riel, mereka harus ”mengejar” pendukung tersebut, untuk memastikan bahwa pendukung tersebut sudah terdaftar di wilayahnya dalam DPS. Tanpa mengejar dukungan tersebut, maka jelas parpol hanya sibuk dengan dirinya sendiri, dan nantinya kalau kalah hanya tinggal melayangkan gugatan. Ini jelas sangat tidak fair.
Wilayah ini juga harus dimanfaatkan oleh media untuk meningkatkan partisipasinya. Masyarakat harus diajak untuk mendatangi lokasi pencantuman DPS supaya mereka bisa memeriksa dan memastikan bahwa hak mereka nantinya tidak akan disalahgunakan (***)

Read More......