Thursday, May 22, 2008

OPINI 100 Tahun Harkitnas: Indonesia Masih Punya Harapan

Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini Harian SIB, 20 Mei 2008

Tahun ini adalah perayaan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional. Perayaannya terasa istimewa. Hal itu terlihat karena ternyata sudah seabad lamanya bangsa ini pernah menghasilkan kaum muda yang bercita-cita mulia dan luhur untuk menyatukan diri dalam sebuah organisasi kebangsaan bernama Budi Utomo. Mereka, memperlihatkan keluhuran yang amat luar biasa di jamannya. Mereka menyatukan diri dan secara sosio psiko politik, hal itu menjadi cikal bakal dari gerakan Indonesia merdeka.

Tetapi istimewanya perayaan tentunya akan sia-sia tanpa menyerap momentum yang sebenarnya dari makna Hari Kebangkitan Nasional itu. Berapa abad pun tanpa ada sebuah langkah penting untuk dilakukan, hanya akan menjadi seremonial belaka, tanpa ada ujungnya sekalipun.



Kondisi Faktual

Moment Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum penting yang mengubah kesadaran seluruh pelaku sejarahnya kala itu untuk bergerak dari diri sendiri, menjadi sebuah gerakan kebangsaan. Waktu itu, mereka punya kesadaran kolektif bahwa perubahan bisa terjadi dan hanya mungkin terwujud kalau ada sebuah keinginan untuk bersama-sama melakukan sesuatu.

Meski dalam pengertian terbatas, kita mencatat bahwa perubahan memang tidak akan pernah ada sepanjang kelompok masyarakat yang ingin berubah tersebut masih belum memiliki kesadaran kolektif. Ini yang disebut sebagai awareness. Jadi negeri ini kini, belum bisa beranjak dari keterpurukan pasca reformasi, karena belum ada kesadaran kolektif (collective awareness).

Bangsa yang tidak sadar jelas tidak akan maju. Sayangnya ketidaksadaran itu justru diciptakan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai pemimpin kini. Pemimpin di negeri ini sama sekali tidak memiliki kesadaran bahwa mereka harus keluar dari diri mereka, tetapi mencoba melihat kepentingan bangsa dan kemudian bersama-sama membangkitkan bangsa ini.

Pemimpin yang ada sekarang bukan sosok negarawan, yang memikirkan negaranya. Tokoh pendiri Budi Utomo tidak pernah menyebut diri sebagai negarawan, tetapi perbuatannya memperlihatkan hal itu. Tokoh kini kerap menyebut diri sebagai negarawan, tetapi tak pernah memikirkan masa depan negaranya sendiri.

Negara ini kehilangan sosok seorang negarawan. Dalam bayangan kita, negarawan adalah seorang yang memiliki kekuatan dalam nilai-nilai kepentingan berbangsa, lebih daripada kepentingan pribadi atau diri sendiri. Inilah yang sulit kita temukan di negara kita ini, kini.

Apa sebab semuanya ini? Salah seorang pengamat pernah menyatakan hal itu disebabkan karena persoalan moral. Moralitas yang lemah adalah penyebab dari korupnya kekuatan dan pengaruh jiwa kenegarawan yang semakin langka tadi. Para pemimpin yang sekarang dinilai kurang dalam hal moralitas.

Lihat saja bagaimana terungkapnya kasus korupsi demi korupsi dari seluruh jajaran petinggi negeri ini. Mereka yang tersangkut kasus korupsi adalah petinggi parpol, petinggi aparat penegak hukum, bahkan penguasa sekalipun. Menurut kabar yang beredar jumlahnya sudah mencapai 1000 orang. Fantastis. Padahal mereka yang mendirikan Budi Utomo saja hanya kurang dari 10 jari ini, mereka bisa mengubah Indonesia. Bagaimana bisa mengubah Indonesia kalau 1000 di antaranya adalah pelaku korupsi?

Dari fakta itulah kita akhirnya mengerti mengapa negara kita sulit beranjak untuk membersihkan diri dari jeratan korupsi. Masing-masing masih suka memikirkan diri sendiri, urusan sendiri, dan selamatnya diri sendiri. Kita masih sangat sulit melepaskan kenikmatan menggunakan uang negara untuk kepentingan kita sendiri. Itulah yang sangat tragis dari kejadian yang kini menjadi polemik itu.
Negara kita memang sulit menjadi pesemaian bibit unggul pemimpin dengan moral yang pada gilirannya bisa kita harapkan menjadi negarawan di tengah-tengah kita. Kita sering terjebak ke dalam lingkaran setan (circulus vitious) seolah tiada simpul. Kita bahkan digiring untuk menerima kenyataan bahwa lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang terbaik di antara yang terburuk.

Kita harus semakin bergulat dengan persoalan itu. Maka belajar dan bercermin dari hadirnya Budi Utomi, kebangkitan bangsa yang sejati hanya bisa kalau ada sosok negarawan tadi. Di dalam negeri kita harus berhadapan dengan beragam macam persoalan dan tantangan. Salah satu masalah yang maha hebat adalah menurunnya keperdulian pada nasib dan masa depan bangsa.

Banyak pakar menyebut 3 syarat sebagai pilar kemajuan bangsa. Hal itu adalah pendidikan, kesehatan dan pertanian. Namun sampai sekarang tak ada satupun yang mengarahkan kita ke sana. Kita masih sama-sama gamang mengenai arah bangsa ini karena memang tidak ada yang berada di depan kita bersama untuk memberikan tuntunan. Di bidang pendidikan, pemerintah yang seharusnya berpikir lebih sehat justru menyibukkan diri dengan melawan para siswa dan orangtua yang memperjuangkan ketidakadilan dalam Ujian Nasional. Di bidang kesehatan, negara kita amat mengabaikan bahaya hilangnya generasi kita di masa depan serta munculnya berbagai penyakit menular yang menggerus potensi SDM kita. Lemahnya pertanian kita juga semakin diperburuk karena kita lebih suka mengimpor segalanya dari luar negeri. Ketika negara lain menikmati mahalnya minyak, kita justru tidak bisa menikmati mahalnya harga padi sebagai komoditas alternatif kita.

Rasanya negara kita ini semakin sulit untuk melangkahkah kaki ke depan. Hal ini karena tak ada sosok yang menjadi teladan tadi. Kembali kita menyatakan bahwa kita memang benar-benar kehilangan sosok seorang negarawan sejati.

Jalan Keluar

Kalau kita merenungkan ulang tulisan Ben Anderson, misalnya yang menyatakan bahwa imajinasi memang diperlukan supaya nasionalisme meningkat, maka imagined community sebenarnya bukan hanya hadir dalam abstraksi nasionalisme sebuah bangsa, namun di bangun dan dikonstruksikan dalam sebuah perasaan sebagai sesama warga negara yang menyadari kebersamaan itu tadi.

Itulah yang seharusnya menjadi bagian dari pergumulan bersama bangsa kita sekarang ini. Bagaimanapun, tidak akan mungkin melewati berbagai pergumulan yang kini kita hadapi, mulai dari kemiskinan, penderitaan, ketertinggalan, masalah sosial, sampai dengan pertahanan keamanan, sepanjang kita tidak menyadari bahwa masalah itu berhubungan dengan komitmen tak terhingga dari kita untuk bersama.

Itulah yang seharusnya mengubah kita. Kita harus menghentikan kebiasaan buruk semisal fitnah, saling menuding, politik kotor bahkan korupsi, kalau kita ingin bangun dan menjadi bangsa yang menjadi diri sendiri, dan benar-benar bisa merasakan kebangkitan nasionalnya. Kita harus menghentikan kebiasaan buruk berupa mementingkan diri sendiri, kelompok bahkan kekuasaan, kalau kita ingin menjadi bangsa yang memang bisa maju.

Maka memperingati Hari Kebangkitan Nasional harus dengan cara baru. Hal itu harus dilakukan dengan mengubah seluruh elemen bangsa ini dari dimensi fisik sampai dengan dimensi pikirannya. Kita harus mengubahnya secara total, sebab bagaimanapun, mengubah segala masalah menjadi tak lagi masalah, hanyalah mimpi kalau kita tidak melakukan perombakan revolusioner tadi. Kita masih memiliki kesempatan untuk maju, namun semuanya tetap bergantung kepada kemauan dan kesediaan kita untuk berkorban bagi bangsa ini

Read More......

FOKUS Para Pemimpin, Bersatulah

Dalam perayaan puncak Harkitnas, Presiden menyerukan seruan penting untuk direnungkan: Indonesia Bisa. Seruan yang amat jarang kita saksikan dan dengarkan lagi. Dulu kita sering mendengar bagaimana Bung Karno menyerukan berbagai kalimat penuh semangat dan motivasi. Demikian juga dengan masa Orde Baru, pemerintah sering “memanggil” masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan.



Sebuah seruan moral untuk membangun kembali Indonesia memang penting untuk kita bangkitkan. Keterpurukan secara ekonomi, sosial dan politik menyebabkan kita direndahkan dalam pergaulan antar bangsa. Karenanya kita seolah tidak berharga lagi. Ancaman yang pernah dikeluarkan oleh Bung Karno biasanya amat efektif untuk membuat mata negara lain melihat kita. Tetapi kini, mengancam saja pun untuk mempertahankan prinsip dan harga diri kita, sudah tidak pernah lagi kita sampaikan.

Indonesia bisa! Di dalamnya ada makna gerakan moral untuk membangun Indonesia, memulihkan kondisi bangsa. Indonesia bisa adalah sebuah panggilan penting untuk kita serukan kembali di negeri ini, manakala seluruh eleman masyarakat dilanda oleh apatisme dan malaise kerja keras.

Jansen Sinamo, seorang penulis dan motivator Indonesia menyatakan bahwa tidak ada kemajuan tanpa kerja keras dan etos mau maju. Ini penting untuk kita bangkitkan di dada seluruh anak bangsa. Ingin menjadikan Indonesia maju adalah semangat yang bisa mendongkrak kemajuan kita menjadi bangsa yang maju.

Banyak negara bisa maju karena memiliki semangat seperti ini. cita-cita masa depan membangkitkan hasrat untuk memberikan yang terbaik. Memeras tenaga seluruh elemen bangsa ini untuk memajukan negara kita adalah sebuah panggilan penting yang harus terus menerus didorong oleh pemerintah.

Pemerintah seharusnya terus mendorong jiwa dan semangat ini, bukan hanya slogan. Pemerintah harus bisa membangun “kanal” dimana setiap anak bangsa menyalurkan seluruh potensi dan sumber daya mereka untuk membangun negara kita. Pemerintah harus membangun media yang memberikan kesempatan kepada setiap anak bangsa untuk melihat talenta, potensi dan kelebihan mereka, dan menyumbangkan apapun itu, bahkan yang terkecil sekalipun untuk kemajuan dan kehidupan yang lebih baik dari bangsa ini.

Dalam konteks inilah seharusnya pemerintah jangan hanya bisa berteriak, tetapi memperlihatkan komitmen ini dengan sungguh-sungguh. Masih banyak potensi anak bangsa yang belum diajak.

Lawan-lawan politik seharusnya dirangkul oleh pemerintah. Mereka yang rajin memberikan kritik dan memposisikan diri sebagai oposan seharusnya dijadikan sharing partner yang baik, daripada dijadikan sparing partner. Sharing partner adalah pihak yang bisa memberikan pemerintah wawasan baru dengan pandangan baru supaya pemerintah tidak hanya punya kaca mata kuda, tetapi juga punya kaca mata bening untuk melihat masalah dengan baik dan jernih.

Indonesia bisa! Seruan itu tidak bisa diwujudkan kalau pemerintah hanya bisa menunjuk muka orang lain untuk melakukannya. Pemerintah harus memberikan teladan dengan menyatukan seluruh kekuatan bangsa ini. potensi 225 juta jiwa adalah potensi terpendam yang belum mewujud, sebelum Indonesia benar-benar maju dan memperlihatkan diri sebagai bangsa yang benar-benar besar bukan hanya banyak. Mari menjadikan seruan Indonesia bisa sebagai ikon melewati berbagai masalah yang sangat menguras tenaga kita ini

Read More......

FOKUS Rakyat Yang Makin Kesulitan

Akhirnya pemerintah memutuskan besaran kenaikan harga BBM. Menurut Menkeu besaran angka kenaikan mencapai 28,7 persen. Angka itu memang tidak terlalu tinggi sebagaimana pernah ditakutkan oleh banyak kalangan. Tetapi angka itu tetap saja menjadi persoalan besar bagi masyarakat yang daya belinya pasti akan segera menurun.

Salah satu persoalan besar mengapa penolakan terhadap kenaikan BBM sangat tinggi adalah bahwa rakyat kini semakin sulit hidupnya


Untuk membeli kebutuhan pokok saja mereka harus banting tulang setiap hari tanpa ada jaminan kehidupan. Sistem jaminan sosial kita tidak ada, tidak seperti di negara maju. Jadi kalau disini, masyarakat bangun setiap pagi tanpa harapan baru karena negara tidak menjamin kehidupan masyarakat sebagaimana bisa dirasakan mereka yang hidup di negara maju.

Karena itu, kenaikan sekecil apapun memang sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Yang dikuatirkan adalah dampaknya. Jika kenaikan harga BBM terjadi, maka dapat dipastikan sektor transportasi akan segera menyusul naik. Maka efek domino pasti akan terjadi. Harga-harga bahan dan keperluan lain yang menggunakan transportasi juga pasti akan segera naik.

Inilah yang menjadi catatan penting sebagai sebuah bahan perenungan kepada pemerintah, yang selalu menyangka bahwa masyarakat tidak pernah mau mengerti. Pemerintah salah besar kalau menyangka bahwa masyarakat tidak lagi punya pengertian. Perlu kita tegaskan bahwa masyarakat sangat mengerti.
Masyarakat kita tidak kurang baik, sehingga sudah 10 tahun sejak reformasi masyarakat hanya bersabar dan mengurut dada melihat mereka dicurangi. Masyarakat juga tidak begitu berontak ketika akhirnya reformasi justru dinikmati mereka yang duduk di kekuasaan dan sama sekali tidak pernah berteriak dan menunjukkan muka ketika ide reformasi pertama sekali digelar.

Apa kurang sabarnya masyarakat ketika kemudian hasil pemilu 2004 yang dikira membawa perubahan baru justru mengecewakan. Pasangan SBY-Kalla yang dipilih secara langsung nyatanya membangun kekuasaan model bagi-bagi kekuasaan dan hanya menyisakan harapan-harapan tanpa kepastian kepada masyarakat.

Apa alasannya pemerintah menyatakan bahwa masyarakat tidak sabar, padahal sudah sejak lama masyarakat dibiarkan sendiri? Apakah pemerintah tidak melihat bagaimana masyarakat hanya tahu menerima saja manakala pemerintah mengimpor beras, menaikkan harga BBM di luar kemampaun masyarakat di tahun 2005, dan bahkan melakukan kebijakan yang sangat sulit diterima akal masyarakat semisal tebang pilih korupsi?

Mengapa pemerintah merasa bahwa masyarakat tidak sabar, kalau setiap hari lampu PLN padam padahal masyarakat terus menerus bayar iuran, kecelakaan lalu lintas terjadi terus menerus dan menyebabkan kematian seorang Sophan Sopian, padahal masyarakat terus membayar pajak, dan masyarakat juga hanya berdiam diri saja ketika secara perlahan harga kebutuhan pokok terus merangkak?

Masyarakat juga terkesan diam saja ketika pemerintah hanya menggunakan masyarakat sebagai pembenaran dan media mencari popularitas. Masyarakat hanya menurut dan manggut, padahal di depan mata masyarakat ada penderitaan?
Pemerintah harus mengerti bahwa masyarakat sudah terlalu banyak mengerti. Kapan pemerintah mau belajar mengerti penderitaan dan kebutuhan masyarakat?

Read More......