Wednesday, December 10, 2008

Fokus BELA HAM

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dirayakan usianya yang ke-60 tahun ini. Deklarasi yang ditandatangani tahun 1948 itu, pasca Perang Dunia ke-2, adalah upaya umat manusia setidaknya pemimpin dunia saat itu, yang mengakui bahwa hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi, ada bukan karena diberikan, tetapi dibawa sejak lahir, dan menjadi perhatian dari seluruh komunitas dunia.

Deklarasi itu ditandatangani oleh perwakilan dunia dan menjadi rujukan baku, meski kemudian ketika dibawa dalam konteks negara masing-masing ada perbedaan penafsiran yang membuatnya menjadi relatif. Tetapi tidak ada seorang pun, negara manapun yang berani membantah bahwa inti dari hak asasi manusia yaitu non diskriminasi, kesetaraan, keadilan dan kebersamaan, harus diabdikan pada setiap orang, dimana saja dan tidak terbatas sifatnya.



Deklarasi hak asasi manusia adalah milik umat manusia di jaman dulu, sekarang dan yang akan datang. Dunia sering menyebabkan umat manusia berada dalam tekanan dan pengaruh. Karena itu, sebagai pelaku kehidupan yang tertinggi, umat manusia harus dilindungi dari berbagai kemajuan peradaban itu sekalipun. Deklarasi Hak Asasi Manusia menjadi sebuah kesepakatan global untuk melindungi umat manusia dari ancaman rasial, ekonomi, bahkan dari perbedaan agama dan kepercayaan.

Bukan hanya itu. Makna sesungguhnya dari Deklarasi Hak Asasi Manusia itu adalah sebuah komitmen untuk melindungi umat manusia, siapapun itu, dari kekuatan apapun itu, termasuk negara, yang ingin menghancurkan jati diri hak asasi manusia itu sendiri.

Dalam berbagai kebijakan negara dan pemerintah sering adalah pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Termasuk di Indonesia. Di masa lalu, pelanggaran hak asasi manusia bahkan secara tidak sadar dilegalkan atas nama kepentingan politik dan undang-undang. Segala bentuk kedaruratan, meski itu kemudian bahkan menjadi pelanggaran hak asasi manusia, tidak menjadi kepedulian pemerintah. Bagi rezim, yang berlaku adalah model kebijakan ala mereka, meski itu tidak menghargai hak asasi manusia.

Sayangnya, di era reformasi, model tersebut masih saja ada meski dalam bentuk lain. Pelanggaran hak asasi manusia masih saja terjadi di depan mata kita, meski pemerintah ”berada” di sana. Kematian Munir yang banyak dituding sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia hanyalah salah satu bentuk dari gunung es pelanggaran hak asasi manusia yang terus menerus terjadi.

Tidak ada yang bisa menyanggah bahwa masalah pelarangan, sampai pembakaran rumah ibadah, gereja misalnya, adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa gereja lokal bahkan sudah mengakui hal itu, memberitahukannya kepada pemerintah daerah sampai kepada Menteri Agama. Tetapi lagi-lagi, hal itu, kelihatannya belum dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Lambannya respon menjadikan isu itu seolah tidak memerlukan peran negara sebagai pelindung hak asasi manusia.

Pelanggaran hak asasi manusia juga bisa kita lihat dari penggusuran masyarakat dari tanah dan wilayah kehidupannya sendiri. Dimana-mana kita menyaksikan masyarakat korban pembangunan, seolah dipaksa untuk pergi dari haknya sebagai seorang manusia. Mereka kehilangan hak asasinya untuk dilindungi dan diperlakukan sebagai manusia. Masih banyak lagi, termasuk masyarakat korban lumpur Lapindo, korban kebijakan pembangunan, bahkan korban korupsi aparat pemerintah.

Panggilan melaksanakan hak asasi manusia adalah tugas dan kehormatan seorang manusia. Pemerintah harusnya bangga kalau bisa mewujudkan ini. Bukan dengan melarikan diri dari tanggung-jawab dan kewajiban mewujudkan hak asasi manusia pada seluruh masyarakat Indonesia. Hak asasi manusia yang dibawa sejak lahir harus terus menerus diperjuangkan sebagai sebuah pengakuan betapa bernilainya setiap orang di muka bumi ini tanpa terkecuali

Read More......

Fokus HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA

Setiap tanggal 9 Desember selalu diperingati secara global sebagai Hari Anti Korupsi Internasional. Hari itu dirayakan sebagai momentum untuk memperingati perlawanan terhadap korupsi di seluruh penjuru dunia.
Korupsi memang selalu menjadi tujuan dari perjuangan para aparat penegak hukum dan elemen pejuang perlawanan. Begitu banyak upaya dikerahkan untuk melawan korupsi sampai-sampai seluruh negara diberikan rangking korupsinya demi menggubah dan memberikan sanksi sosial di antara bangsa-bangsa.



Korupsi dianggap berhubungan dengan kesejahteraan sebuah bangsa. Negara bersih, negara bebas korupsi, negara semakin sejahtera. Dimana-mana, selalu ada justifikasi bahwa semakin terbuka dan maju sebuah bangsa, salah satu indikatornya adalah status kejadian korupsi di negara tersebut.

Bagaimana Indonesia? Posisi korupsi kita memang belum banyak berubah. Tempat duduk kita belum beranjak dari posisi nomor urut bontot dalam perlawanan terhadap korupsi. Pada tahun 2007, indeks persepsi korupsi kita berada pada nomor urut 143 dari 180 negara yang disurvei. Pada tahun 2008 ini ada perbaikan. Kita “naik kelas” menduduki tempat 126 tetapi tidak lebih baik dari Nigeria, Vietnam, atau Ethiopia dalam posisi. Kita memang lebih baik dari Uganda, Liberia atau Filipina. Singapura, negara tetangga yang amat dekat dengan kita, tetap berada dalam posisi 5 terbesar dalam urusan bersih korupsi. Pengaruh kedekatan dengan negara mereka ternyata tidak menular pada kita yang masih berkutat pada urusan korupsi ini.

Urusan korupsi, memang kebanyakan masih dipersepsikan kepada kita, negara yang sebenarnya sudah tidak bisa lagi dikatakan terbelakang, tetapi nyatanya masih berdiri sejajar dengan kebanyakan negara Afrika dalam urusan korupsi.
Memang di Indonesia ada gerakan maju, tetapi belum cukup efektif untuk memberikan hasil yang signifakan dalam menekan laju perlawanan terhadap korupsi. Sebagaimana dicatat oleh Transparancy Internasional dalam laporannya di tahun 2008 ini, upaya perlawanan korupsi di Indonesia menghadapi apa yang disebut sebagai perlawanan para koruptor.

TI mencatat bahwa koruptor di Indonesia mencoba merasuki para penegak hokum dengan berbagai cara. Sejak dari masalah terbongkarnya kasus korupsi di KPU, kemudian disusul oleh kejadian korupsi di salah seorang aparat di tubuh KPK, sampai kemudian tertangkapnya salah seorang penggagas perlawanan anti korupsi Romli Atmasasmita, dianggap sebagai bagian dari skenario besar para koruptor untuk memangkas semangat perlawanan terhadap korupsi. Sekarang ini ditengarai bahkan ada rencana untuk mempreteli kewenangan lembaga taskforce seperti pengadilan ad hoc dan KPK. Yang terbaru, kali ini pemeriksaan anggota DPR pun tak lagi serta-merta mudah dilakukan sebab sedang diusulkan supaya mereka yang kini ramai ditangkap KPK itu harus mendapatkan persetujuan Presiden terlebih dahulu.

Sebagai bagian dari kekuasaan, korupsi memang sulit untuk diberantas. Lamanya kekuasaan di negeri yang memberikan upah kenyamanan dan ketenangan kepada mereka yang mendukungnya menyebabkan penanganan korupsi tidak mudah. Setiap kali aparat penegak hukum bergerak, yang dihadapi adalah lingkaran setan pelaku korupsi yang berada dimana-mana. Korupsi selalu saja menjadi bagian dari kegiatan di pemerintahan, bisnis, bahkan di tubuh aparat penegak hukum sendiri.

Karena itulah, perlawanan terhadap korupsi selalu saja dibayang-bayangi oleh semangat anti tesis dari mereka yang tidak ingin korupsi hilang dan terhapus dari negara kita. Mereka selalu saja mengangkat bendera perang kepada keinginan untuk melawan korupsi.
Apa boleh buat, genderang perang telah ditabuh. Peningkatan peringkat harusnya bisa membawa kita lebih semangat lagi. Sungguh sangat bisa dibanggaan bahwa dibandingkan dengan tahun 2007 kita bisa lebih baik. Ternyata, kita memang bisa melawan korupsi itu.



Read More......