Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dirayakan usianya yang ke-60 tahun ini. Deklarasi yang ditandatangani tahun 1948 itu, pasca Perang Dunia ke-2, adalah upaya umat manusia setidaknya pemimpin dunia saat itu, yang mengakui bahwa hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi, ada bukan karena diberikan, tetapi dibawa sejak lahir, dan menjadi perhatian dari seluruh komunitas dunia.
Deklarasi itu ditandatangani oleh perwakilan dunia dan menjadi rujukan baku, meski kemudian ketika dibawa dalam konteks negara masing-masing ada perbedaan penafsiran yang membuatnya menjadi relatif. Tetapi tidak ada seorang pun, negara manapun yang berani membantah bahwa inti dari hak asasi manusia yaitu non diskriminasi, kesetaraan, keadilan dan kebersamaan, harus diabdikan pada setiap orang, dimana saja dan tidak terbatas sifatnya.
Deklarasi hak asasi manusia adalah milik umat manusia di jaman dulu, sekarang dan yang akan datang. Dunia sering menyebabkan umat manusia berada dalam tekanan dan pengaruh. Karena itu, sebagai pelaku kehidupan yang tertinggi, umat manusia harus dilindungi dari berbagai kemajuan peradaban itu sekalipun. Deklarasi Hak Asasi Manusia menjadi sebuah kesepakatan global untuk melindungi umat manusia dari ancaman rasial, ekonomi, bahkan dari perbedaan agama dan kepercayaan.
Bukan hanya itu. Makna sesungguhnya dari Deklarasi Hak Asasi Manusia itu adalah sebuah komitmen untuk melindungi umat manusia, siapapun itu, dari kekuatan apapun itu, termasuk negara, yang ingin menghancurkan jati diri hak asasi manusia itu sendiri.
Dalam berbagai kebijakan negara dan pemerintah sering adalah pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Termasuk di Indonesia. Di masa lalu, pelanggaran hak asasi manusia bahkan secara tidak sadar dilegalkan atas nama kepentingan politik dan undang-undang. Segala bentuk kedaruratan, meski itu kemudian bahkan menjadi pelanggaran hak asasi manusia, tidak menjadi kepedulian pemerintah. Bagi rezim, yang berlaku adalah model kebijakan ala mereka, meski itu tidak menghargai hak asasi manusia.
Sayangnya, di era reformasi, model tersebut masih saja ada meski dalam bentuk lain. Pelanggaran hak asasi manusia masih saja terjadi di depan mata kita, meski pemerintah ”berada” di sana. Kematian Munir yang banyak dituding sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia hanyalah salah satu bentuk dari gunung es pelanggaran hak asasi manusia yang terus menerus terjadi.
Tidak ada yang bisa menyanggah bahwa masalah pelarangan, sampai pembakaran rumah ibadah, gereja misalnya, adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa gereja lokal bahkan sudah mengakui hal itu, memberitahukannya kepada pemerintah daerah sampai kepada Menteri Agama. Tetapi lagi-lagi, hal itu, kelihatannya belum dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Lambannya respon menjadikan isu itu seolah tidak memerlukan peran negara sebagai pelindung hak asasi manusia.
Pelanggaran hak asasi manusia juga bisa kita lihat dari penggusuran masyarakat dari tanah dan wilayah kehidupannya sendiri. Dimana-mana kita menyaksikan masyarakat korban pembangunan, seolah dipaksa untuk pergi dari haknya sebagai seorang manusia. Mereka kehilangan hak asasinya untuk dilindungi dan diperlakukan sebagai manusia. Masih banyak lagi, termasuk masyarakat korban lumpur Lapindo, korban kebijakan pembangunan, bahkan korban korupsi aparat pemerintah.
Panggilan melaksanakan hak asasi manusia adalah tugas dan kehormatan seorang manusia. Pemerintah harusnya bangga kalau bisa mewujudkan ini. Bukan dengan melarikan diri dari tanggung-jawab dan kewajiban mewujudkan hak asasi manusia pada seluruh masyarakat Indonesia. Hak asasi manusia yang dibawa sejak lahir harus terus menerus diperjuangkan sebagai sebuah pengakuan betapa bernilainya setiap orang di muka bumi ini tanpa terkecuali