Thursday, October 12, 2006

Korupsi: Ketika Jalan Pintas Dianggap Pantas


Apa arti korupsi? Jawabnya sederhana saja. Lihatlah sebuah iklan di televisi yang menggambarkan bagaimana dua petinju sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pertandingan. Yang satu mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Latihan terus menerus dan tanpa lelah. Petinju ini ingin memperlihatkan penampilan yang prima. Tujuannya satu: untuk menjadi juara. Sementara yang satu juga ingin jadi juara. Hanya caranya berbeda. Daripada berlatih serius, dengan menggunakan kursi malas petinju ini hanya ongkang-ongkang kaki. Tetapi nyatanya, ketika pertandingan berlangsung, pemenanganya ternyata bukan yang berlatih dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, yang santai tadilah yang menjadi juara, yang diangkat pula tangannya oleh wasit.

Ada apa? Ternyata ketika pertandinganlah yang membuktikan kenapa petinju yang santai dan tidak berusaha keras berlatih bisa menjadi juara. Petinju ini menggunakan kayu, bukan tangan untuk memukul lawannya. Praktis, dalam satu pukulan, petinju yang berlatih keras tadi langsung KO. Layar iklan tadi ditutup dengan sebuah kalimat yang sangat baik untuk direnungkan: jalan pintas dianggap pantas!

Menyaksikan sebuah parodi di atas kita menyaksikan bagaimana di negeri ini jalan pintas memang selalu menjadi sebuah hal yang dianggap pantas. Bangsa ini tidak terbiasa bekerja keras dan berlatih. Sebab semuanya bisa dicarikan jalan keluar yang mudah, meski harus melanggar hukum.

Masif

Bibit korupsi itu terjadi dimana-mana dan negeri ini memang menjadi pesemaiannya. Mari lihat di jalan raya. Sekarang pengemudi tak mau lagi mematuhi lampu lalu lintas. Seenak perutnya mereka menerobos lampu seolah tak ada lagi aturan yang mengharuskan harus berhenti di lampu merah, berhati-hati di lampu kuning, dan berjalan di lampu hijau. Dari perilaku di atas semua lampu kemudian dianggap sebagai lampu hijau!

Jalan pintas juga ditempuh oleh mereka yang sedang berada di bangku sekolah atau kuliah. Demi memperoleh nilai baik dan lulus, maka jalan pintas pun dilakukan. Ada yang mempersiapkan contekan, ada yang mempersiapkan teman untuk saling bekerjasama, bahkan ada yang menyetorkan sejumlah uang untuk dosennya. Tanpa malu-malu ada yang menyandang gelar sarjana, master, maupun doktor tanpa harus kuliah dan berjerih lelah, sebab dengan membayar uang sejumlah tertentu maka pastilah semuanya akan mudah dibereskan.

Jalan pintas terlihat di kantor pemerintah. Untuk cepat kaya dan terpandang, maka mereka yang menduduki jabatan melakukan upaya curang tetapi memang berdampak cepat. Uang negara dianggap sebagai uang pribadi. Maka rekening pribadi pun menjadi tempat menyimpan uang negara. Uang yang berasal dari kegiatan untuk pembangunan, disunat dan dijadikan sebagai uang pribadi. Apakah kemudian aktifitas pembangunan mengalami masalah, itu urusan belakangan. Para pejabat berlombas-lomba memperkaya diri tanpa harus bekerja keras. Mereka hanya tinggal duduk, menandatangani surat dan kuitansi fiktif, lalu kemudian menggunakannya untuk kesenangan pribadi, bahkan keluarga.

Jalan pintas kerap dilakukan oleh para wakil rakyat juga. Mereka urun rembug dalam melakukan jalan pintas yang dianggap pantas tadi. Jadilah mereka melakukan studi banding, atau apapun namanya menggunakan uang negara. Mereka tidak malu-malu berbelanja di butik di luar negeri karena mereka menganggap hal itu pantas. Bagi yang lebih kreatif lagi, anggaran belanja untuk kebutuhan mereka dibuat supaya kelihatan baik, padahal tidak. Setiap tahunnya ada saja jalan untuk memperkaya diri dengan menggunakan tak-tik jalan pintas.

Kita bisa merinci begitu banyak cara yang dilakukan di negeri ini sebagai jalan pintas. Penyelundupan kayu, pencurian ikan, pembakaran hutan, pembobolan bank, sampai dengan yang paling sederhana yaitu tukang parkir yang menilap uang parkir, menggambarkan bagaimana jalan pintas yang dianggap pantas sudah menjadi pola perilaku bangsa ini. Para pedagang yang melakukan kecurangan ketika berjualan, para pembayar KTP yang sesungguhnya gratis, sampai pada petugas di bandara yang dengan uang ribuan bisa disogok untuk meloloskan seorang pengantar.

Akibatnya bisa kita lihat, hampir tidak satupun peluang yang bisa menjadi jalan keluar bagi kita untuk memulai membersihkan. Mau bicara hukum? Aparat penegak hukum sama saja. Ada yang menggunakan hukum di tangannya untuk memeras. Ada hakim yang mengatur putusan. Ada terdakwa yang membayar jaksa. Ada panitera yang memalsukan berkas putusan. Ada pembela yang kerjanya mengatur bagaimana supaya kliennya dibebaskan.

Di sudut-sudut jalan, para polisi lalu lintas juga melakukan tindakan haram. Mereka menjebak korban para pelanggar lalu lintas. Mereka hanya tinggal duduk, lalu prit, mereka yang sudah terbiasa melanggar aturan akan masuk perangkap sendiri. Banyak pula jalan pintas yang disediakan oleh aparat polisi ini. Mereka sudah mempersiapkan cara untuk menyelesaikan masalah secara pintas.

Kalau mau jujur, rasanya sangat sulit memperbaiki bangsa kita dalam hal korupsi. Perilaku yang merupakan bibit potensial korupsi sungguh sangat masif dan dilakukan tiap-tiap hati. Demikian berulang-ulang dan tak ada yang bertanya mengapa jalan pintas dianggap pantas.

Sakit Jiwa

Kalau seorang manusia tak lagi bisa membedakan yang mana yang pantas dan yang mana yang tidak, maka manusia tersebut sesungguhnya mengidap gangguan kejiwaan. Argumentasi ini pernah disampaikan oleh mantan Menteri Agama kita. Rasanya memang sangat sarkasis, tetapi kenyataannya memang demikian.

Andaikan semua yang kita pakai, semua yang kita makan, semua yang kita sebut sebagai milik pribadi sebenarnya bukan milik kita—termasuk waktu yang kita curi karena melanggar hukum atau aturan kepantasan—tetapi dengan tenang, tanpa rasa bersalah, tanpa merasa terganggu atau guilty feeling tertentu, dus hati nurani tak lagi bisa berbicara dan mempersalahkan, kita sebut apakah itu?

Kalau kita menyaksikan penderita gangguan kejiwaan, maka jawaban atas hal demikian bisa kita temukan. Pasien dengan gangguan kejiwaan adalah manusia yang buta akan sekelilingnya. Mereka hidup dalam dunia dan logika berpikirnya sendiri. Itu sebabnya mereka bisa berteriak ketika suasana tenang, atau menangis ketika semua sedang tertawa. Mereka kehilangan relasi pertama-tama dengan dirinya sendiri, lalu dengan lingkungan dan yang lebih luas lagi adalah alam sekitar. Maka penderita gangguan kejiwaan mudah melakukan tindakan destruktif yang merugikan dirinya dan sekitarnya.

Pengertian itu membawa kita pada logika yang sama dengan mereka yang menempuh jalan pintas tadi. Mereka menganggap bahwa tindakannya pantas. Mereka tidak merasa bahwa jika uang, milik atau harta orang lain diambil, itu adalah sebuah kesalahan dan pelanggaran hukum. Mereka justru, sebaliknya, merasa bangga karena melakukannya, karena mereka hidup dengan logikanya sendiri. Mereka tidak mau pusing dengan ingar bingar pemberantasan korupsi. Logika mencari jalan pintas yang dianggap pantas menyebabkan mereka mencari dan terus mencari jalan keluar dan melakukan korupsi baru.

Terapi Massal

Sebagaimana penderita gangguan kejiwaan, penderita ”penyakit bibit korupsi” dan ”koruptor” ini pun sesungguhnya hanya bisa disembuhkan jikalau dilakukan terapi massal. Perilaku masyarakat Indonesia harus diubah secara bersama-sama, untuk semua tindakan yang sudah sama-sama kita mengerti tadi. Kecil atau besar, jika itu namanya bibit korupsi, karena melanggar nilai kepantasan, harus disingkirkan, dan kalau perlu diisolasi.

Mereka yang melakukan tindakan ”jalan pintas” harus dilawan oleh sebuah gerakan massa bernama ”jalan pantas”. Gerakan ini bersumber dari mereka yang masih punya hati nurani, yang masih sehat. Mereka inilah yang harus mempelopori gerakan untuk membebaskan bangsa ini dari penyakit kronis bernama korupsi. Jika yang melakukan ”jalan pantas” lebih banyak dari yang melakukan ”jalan pintas”, niscaya pembaruan bangsa akan mudah dilakukan.

Read More......

Demokrasi Tanpa Kesejahteraan Rakyat

(catatan: tulisan ini dimuat di kolom Opini Harian SIB, 12 Oktober 2006)

Sebuah pernyataan pernah disampaikan oleh Wakil Presiden. Dikatakan oleh Jusuf Kalla, bahwa demokrasi di Indonesia belum memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan membandingkannya dengan pelaksanaan Pilkada yang bertele-tele oleh karena banyaknya proses serta munculnya berbagai kasus sengketa Pilkada yang harus diputus oleh pengadilan, Wakil Presiden yang juga Ketua Umum Partai Golkar tersebut seolah menggugat keberadaan parpol yang belakangan ini semakin marak.

Sejenak kita merenungkan hal tersebut, memang ada benarnya. Lihat saja berkah reformasi yaitu demokrasi kita kini. Banyak yang menyatakan bahwa kita sudah memulai demokrasi dengan baik. Kebebasan pers sudah sangat tinggi. Lalu keterbukaan dalam menyelenggarakan hak politik rakyat. Demikian juga dengan tranparansi.

Indikator yang paling umum disampaikan oleh banyak pihak adalah mengenai pemilihan umum langsung (Pilkadasung). Dimana-mana, dikatakan bahwa euforia demokrasi terjadi. Rakyat kini bebas menentukan pilihan dan kemauan politiknya. Pilkadasung juga dikatakan sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi politik masyarakat.

Semuanya memang kelihatannya amat demokratis di atas kertas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semuanya itu memberikan sesuatu yang baik dan berdampak penting bagi rakyat? Apakah demokrasi ala Indonesia yang sekarang kita saksikan ini adalah demokrasinya rakyat Indonesia juga?

Mari kita lihat perbadingannya. Kalau kita lihat nasib rakyat sekarang ini, memang sungguh sangat menyedihkan. Data memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita sudah mulai membaik, bahkan mencapai 1.500 dollar AS. Namun gini ratio, indeks kesejahtaraan masih belum bergeser dari 0,3. Artinya distribusi pendapatan belum bergeser sama sekali. Kebanyakan mereka yang berpendapatan besar masih menikmati keutungan dari mereka yang berpendapatan nihil sama sekali. Di lapangan, fakta lebih tragis amat menyentuh. Karena beban hidup semakin menekan, banyak yang melakukan perbuatan tercela semisal mencuri dan menjual diri. Yang paling parahnya adalah banyak juga yang menempuh jalan pintas yaitu bunuh diri.

Masih berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, yang paling menyolok adalah munculnya kasus-kasus yang memperlihatkan semakin menderitanya masyarakat. Di Jawa, warga masyarakat suatu desa makan gaplek karena desanya dilanda kekeringan. Di Yahukimo, Papua, masyarakat meninggal karena kehabisan stok makanan. Sementara itu, secara nasional kasus gizi buruk semakin meningkat. Meski tidak bisa dilihat hubungannya secara langsung, sekarang ini terjadi peningkatan kekerasan kemanusiaan yang berhubungan dengan tekanan hidup. Bahkan ada anak SD yang mencoba melakukan upaya bunuh diri karena tidak tahan diejek oleh teman-temannya karena belum membayar uang SPP.

Apa arti semuanya itu? Apakah memang demokrasi sudah sedemikian buruk sehingga tidak berdampak kepada kesejahteraan rakyat, sebagaimana dilansir oleh Wapres? Apakah kita harus menolak demokrasi sekiranya hal itu yang terjadi?

Demokrasi elit

Membahas hal ini, saya ingin mengutip perkataan proklamator kita, Mohammad Hatta. Bung Hatta pernah mengeluarkan kalimat yang bijak. Ia menyatakan bahwa kalau Indonesia sampai merdeka, “jangan sampai kekuasaan …. jatuh ke dalam tangan kaum ningrat… Dan dalam Indonesia Merdeka yang seperti itu tidak berarti rakyat merdeka!”. Ini mengandung makna bahwa dalam kacamata Hatta terdapat bahaya yang harus diwaspadai. Yaitu bahwa demokrasi menjadi miliknya kaum elit. Miliknya kaum ningrat.

Nampaknya memang kita melihat hal demikian. Kita menyaksikan bahwa jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah keterbukaan, maka mereka yang mendapatkan keuntungan dari hal demikian justru adalah kelompok atau elit tertentu. Mereka inilah yang kini menjadi pengendali berbagai kebijakan, termasuk yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, mereka melakukannya tidak dengan keinginan untuk melakukannya demi kepentingan rakyat, namun sebagaimana disampaikan di atas, mereka ingin menguntungkan diri dan kelompoknya sendiri.

Yang lebih parahnya mereka menjadikan demokrasi sebagai alat untuk menjatuhkan satu sama lain. Sebagaimana kita saksikan dalam era yang penuh dengan keinginan untuk menegakkan hukum, kini hukum dijadikan sebagai alat pemeras dan penekan orang lain. Termasuk yang melakukannya adalah penegak hukum sendiri.

Siapa dan dimana mereka? Tidak usah jauh. Mereka adalah yang pertama-tama disebut sebagai wakil rakyat. Dimana-mana wakil rakyat kini adalah elit baru yang membawa nama rakyat tetapi tidak berjuang atas dan untuk nama rakyat. Mereka amat jarang memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Mereka yang disebut sebagai wakil rakyat ini lebih suka berebut rejeki bernama uang dan kekuasaan. Mereka tidak tahan tidak melakukannya karena mereka memang tidak pernah berpikir untuk membela rakyat.

Mereka juga bernama penguasa. Penguasa dalam demokrasi elit adalah mereka yang menggunakan kekuasaannya sebagai alat untuk memperkaya diri, kelompok dan kekuasaannya sendiri. Penguasa dalam demokrasi elit menggunakan kekuasaannya secara sesuka hati tanpa perduli pada nasib rakyat.

Demokrasi elit adalah demokrasi dimana, persis seperti Hatta katakan, dimana terbentuk sebuah hubungan yang di masyarakat Jawa dikenal sebagai patron-klien. Patronnya adalah mereka yang memegang kuasa dan yang menjadi kliennya adalah mereka yang bernama masyarakat jelata dan papa. Demokrasi elit dibangun di atas keberingasan dan hasrat yang amat tinggi dari kaum elit tadi, tetapi semuanya hanya berorientasi pada kepentingan dan ke-aku-an mereka.

Maka dalam demokrasi elit, yang menjadi korban adalah masyarakat. Rakyat jelata yang tak tahu apa-apa. Rakyatlah yang menjadi korban ketika elit menggunakan kekuasaannya untuk menaikkan harga dan melambungkan keuntungan bagi kantong mereka. Rakyatlah yang menjadi korban ketika harga-harga melonjak tanpa tahu kenapa terjadi. Rakyatlah yang menjadi korban ketika kesalahkaprahan politik antar elit menjadi pertikaian tanpa henti yang mengorbankan program pembangunan untuk rakyat. Dan rakyat biasalah yang menjadi korban ketika atas nama pembangunan semuanya dihancurkan dan diratakan dengan tanah padahal maksud elit adalah membangun sarana bisnis bagi mereka.

Rakyat tak bisa berbuat banyak. Rakyat sama sekali tidak punya akses untuk mandiri dan maju. Rakyat Indonesia hanya bisa mengais rejeki dari belaskasihan yang dikucurkan sebagai tanpa bahwa para elit sudah bekerja.

Kesimpulan

Jadi, memang secara implisit, relevansi demokrasi terhadap kesejahteraan masyarakat masih terlalu jauh. Demokrasi memang masih sangat mudah diucapkan, namun tidak mudah digerakkan terlebih dielaborasi oleh para pelakunya. Itu sebabnya demokrasi seolah kehilangan greget dan gigitannya terhadap bangsa kita.

Padahal maksud demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah proses politik belaka. Demokrasi adalah berdayanya masyarakat yang paling rendah sekalipun sehingga mereka tak lagi hanya bisa menonton, melainkan menjadi pelaku.

Demokrasi rakyat adalah antitesis dari demokrasi elit. Demokrasi rakyat berarti rakyat yang menentukan seluruhnya. Rakyat yang akan menjadikan seluruh keputusan menjadi keputusan yang direncanakan, diabdikan dan dilaksanakan oleh rakyat sendiri.

Maka sudah saatnya memang perlu dipikirkan oleh mereka yang berada di negeri ini bagaimana supaya demokrasi menguntungkan kita bersama. Itulah hakekat dari demokrasi rakyat tadi. Jangan sampai demokrasi hanya menjadi sebuah slogan yang tiada arti dan kemudian kelak disesali, ketika pengorbanan sudah cukup banyak dilakukan oleh seluruh bangsa. Semua elemen bangsa yang berkiprah di negeri ini bertanggung-jawab untuk mengembalikan roh demokrasi ke asalnya, yaitu demokrasi rakyat

Read More......