Thursday, October 12, 2006

Demokrasi Tanpa Kesejahteraan Rakyat

(catatan: tulisan ini dimuat di kolom Opini Harian SIB, 12 Oktober 2006)

Sebuah pernyataan pernah disampaikan oleh Wakil Presiden. Dikatakan oleh Jusuf Kalla, bahwa demokrasi di Indonesia belum memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan membandingkannya dengan pelaksanaan Pilkada yang bertele-tele oleh karena banyaknya proses serta munculnya berbagai kasus sengketa Pilkada yang harus diputus oleh pengadilan, Wakil Presiden yang juga Ketua Umum Partai Golkar tersebut seolah menggugat keberadaan parpol yang belakangan ini semakin marak.

Sejenak kita merenungkan hal tersebut, memang ada benarnya. Lihat saja berkah reformasi yaitu demokrasi kita kini. Banyak yang menyatakan bahwa kita sudah memulai demokrasi dengan baik. Kebebasan pers sudah sangat tinggi. Lalu keterbukaan dalam menyelenggarakan hak politik rakyat. Demikian juga dengan tranparansi.

Indikator yang paling umum disampaikan oleh banyak pihak adalah mengenai pemilihan umum langsung (Pilkadasung). Dimana-mana, dikatakan bahwa euforia demokrasi terjadi. Rakyat kini bebas menentukan pilihan dan kemauan politiknya. Pilkadasung juga dikatakan sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi politik masyarakat.

Semuanya memang kelihatannya amat demokratis di atas kertas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah semuanya itu memberikan sesuatu yang baik dan berdampak penting bagi rakyat? Apakah demokrasi ala Indonesia yang sekarang kita saksikan ini adalah demokrasinya rakyat Indonesia juga?

Mari kita lihat perbadingannya. Kalau kita lihat nasib rakyat sekarang ini, memang sungguh sangat menyedihkan. Data memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita sudah mulai membaik, bahkan mencapai 1.500 dollar AS. Namun gini ratio, indeks kesejahtaraan masih belum bergeser dari 0,3. Artinya distribusi pendapatan belum bergeser sama sekali. Kebanyakan mereka yang berpendapatan besar masih menikmati keutungan dari mereka yang berpendapatan nihil sama sekali. Di lapangan, fakta lebih tragis amat menyentuh. Karena beban hidup semakin menekan, banyak yang melakukan perbuatan tercela semisal mencuri dan menjual diri. Yang paling parahnya adalah banyak juga yang menempuh jalan pintas yaitu bunuh diri.

Masih berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, yang paling menyolok adalah munculnya kasus-kasus yang memperlihatkan semakin menderitanya masyarakat. Di Jawa, warga masyarakat suatu desa makan gaplek karena desanya dilanda kekeringan. Di Yahukimo, Papua, masyarakat meninggal karena kehabisan stok makanan. Sementara itu, secara nasional kasus gizi buruk semakin meningkat. Meski tidak bisa dilihat hubungannya secara langsung, sekarang ini terjadi peningkatan kekerasan kemanusiaan yang berhubungan dengan tekanan hidup. Bahkan ada anak SD yang mencoba melakukan upaya bunuh diri karena tidak tahan diejek oleh teman-temannya karena belum membayar uang SPP.

Apa arti semuanya itu? Apakah memang demokrasi sudah sedemikian buruk sehingga tidak berdampak kepada kesejahteraan rakyat, sebagaimana dilansir oleh Wapres? Apakah kita harus menolak demokrasi sekiranya hal itu yang terjadi?

Demokrasi elit

Membahas hal ini, saya ingin mengutip perkataan proklamator kita, Mohammad Hatta. Bung Hatta pernah mengeluarkan kalimat yang bijak. Ia menyatakan bahwa kalau Indonesia sampai merdeka, “jangan sampai kekuasaan …. jatuh ke dalam tangan kaum ningrat… Dan dalam Indonesia Merdeka yang seperti itu tidak berarti rakyat merdeka!”. Ini mengandung makna bahwa dalam kacamata Hatta terdapat bahaya yang harus diwaspadai. Yaitu bahwa demokrasi menjadi miliknya kaum elit. Miliknya kaum ningrat.

Nampaknya memang kita melihat hal demikian. Kita menyaksikan bahwa jika yang dimaksud dengan demokrasi adalah keterbukaan, maka mereka yang mendapatkan keuntungan dari hal demikian justru adalah kelompok atau elit tertentu. Mereka inilah yang kini menjadi pengendali berbagai kebijakan, termasuk yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, mereka melakukannya tidak dengan keinginan untuk melakukannya demi kepentingan rakyat, namun sebagaimana disampaikan di atas, mereka ingin menguntungkan diri dan kelompoknya sendiri.

Yang lebih parahnya mereka menjadikan demokrasi sebagai alat untuk menjatuhkan satu sama lain. Sebagaimana kita saksikan dalam era yang penuh dengan keinginan untuk menegakkan hukum, kini hukum dijadikan sebagai alat pemeras dan penekan orang lain. Termasuk yang melakukannya adalah penegak hukum sendiri.

Siapa dan dimana mereka? Tidak usah jauh. Mereka adalah yang pertama-tama disebut sebagai wakil rakyat. Dimana-mana wakil rakyat kini adalah elit baru yang membawa nama rakyat tetapi tidak berjuang atas dan untuk nama rakyat. Mereka amat jarang memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Mereka yang disebut sebagai wakil rakyat ini lebih suka berebut rejeki bernama uang dan kekuasaan. Mereka tidak tahan tidak melakukannya karena mereka memang tidak pernah berpikir untuk membela rakyat.

Mereka juga bernama penguasa. Penguasa dalam demokrasi elit adalah mereka yang menggunakan kekuasaannya sebagai alat untuk memperkaya diri, kelompok dan kekuasaannya sendiri. Penguasa dalam demokrasi elit menggunakan kekuasaannya secara sesuka hati tanpa perduli pada nasib rakyat.

Demokrasi elit adalah demokrasi dimana, persis seperti Hatta katakan, dimana terbentuk sebuah hubungan yang di masyarakat Jawa dikenal sebagai patron-klien. Patronnya adalah mereka yang memegang kuasa dan yang menjadi kliennya adalah mereka yang bernama masyarakat jelata dan papa. Demokrasi elit dibangun di atas keberingasan dan hasrat yang amat tinggi dari kaum elit tadi, tetapi semuanya hanya berorientasi pada kepentingan dan ke-aku-an mereka.

Maka dalam demokrasi elit, yang menjadi korban adalah masyarakat. Rakyat jelata yang tak tahu apa-apa. Rakyatlah yang menjadi korban ketika elit menggunakan kekuasaannya untuk menaikkan harga dan melambungkan keuntungan bagi kantong mereka. Rakyatlah yang menjadi korban ketika harga-harga melonjak tanpa tahu kenapa terjadi. Rakyatlah yang menjadi korban ketika kesalahkaprahan politik antar elit menjadi pertikaian tanpa henti yang mengorbankan program pembangunan untuk rakyat. Dan rakyat biasalah yang menjadi korban ketika atas nama pembangunan semuanya dihancurkan dan diratakan dengan tanah padahal maksud elit adalah membangun sarana bisnis bagi mereka.

Rakyat tak bisa berbuat banyak. Rakyat sama sekali tidak punya akses untuk mandiri dan maju. Rakyat Indonesia hanya bisa mengais rejeki dari belaskasihan yang dikucurkan sebagai tanpa bahwa para elit sudah bekerja.

Kesimpulan

Jadi, memang secara implisit, relevansi demokrasi terhadap kesejahteraan masyarakat masih terlalu jauh. Demokrasi memang masih sangat mudah diucapkan, namun tidak mudah digerakkan terlebih dielaborasi oleh para pelakunya. Itu sebabnya demokrasi seolah kehilangan greget dan gigitannya terhadap bangsa kita.

Padahal maksud demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah proses politik belaka. Demokrasi adalah berdayanya masyarakat yang paling rendah sekalipun sehingga mereka tak lagi hanya bisa menonton, melainkan menjadi pelaku.

Demokrasi rakyat adalah antitesis dari demokrasi elit. Demokrasi rakyat berarti rakyat yang menentukan seluruhnya. Rakyat yang akan menjadikan seluruh keputusan menjadi keputusan yang direncanakan, diabdikan dan dilaksanakan oleh rakyat sendiri.

Maka sudah saatnya memang perlu dipikirkan oleh mereka yang berada di negeri ini bagaimana supaya demokrasi menguntungkan kita bersama. Itulah hakekat dari demokrasi rakyat tadi. Jangan sampai demokrasi hanya menjadi sebuah slogan yang tiada arti dan kemudian kelak disesali, ketika pengorbanan sudah cukup banyak dilakukan oleh seluruh bangsa. Semua elemen bangsa yang berkiprah di negeri ini bertanggung-jawab untuk mengembalikan roh demokrasi ke asalnya, yaitu demokrasi rakyat

No comments: