Sunday, August 31, 2008

FOKUS: Benahi Kebijakan Energi

Lagi-lagi pemerintah tak mau peduli dengan beban masyarakat. Pekan terakhir di bulan Agustus, pemerintah mengumumkan secara tiba-tiba kenaikan harga elipiji tabung 12 kg. Spontan kita merasa terkejut dan seolah tidak percaya, bagaimana mungkin pemerintah tega memberikan kado yang tidak mengenakkan di saat perubahan akibat kenaikan BBM masih terasa dan menjelang bulan puasa harga-harga sudah merangkak naik.



Lagi-lagi pemerintah tak mau peduli dengan beban masyarakat. Pekan terakhir di bulan Agustus, pemerintah mengumumkan secara tiba-tiba kenaikan harga elipiji tabung 12 kg. Spontan kita merasa terkejut dan seolah tidak percaya, bagaimana mungkin pemerintah tega memberikan kado yang tidak mengenakkan di saat perubahan akibat kenaikan BBM masih terasa dan menjelang bulan puasa harga-harga sudah merangkak naik.
Pemerintah sebagaimana biasa melalui Pertamina selalu saja memiliki argumentasi. Mereka menyatakan bahwa selama ini harga elpiji tabung 12 kg masih belum berada pada harga keekonomiannya. Harga yang nantinya harus dicapai adalah sekitar 130 ribu per kg untuk tabung tersebut.
Jelas kita makin terkejut melihat rencana selanjutnya, bahwa setiap bulannya Pertamina akan menaikkan harga elpiji sehingga mencapai titik impas yang diinginkan Pertamina atau pemerintah. Apa arti semuanya ini?
Kelihatannya pemerintah memang seolah tidak peduli pada beberapa hal. Pertama, pemerintah lupa bahwa kebijakan nasional yang selama ini didengungkannya adalah bagaimana supaya ada konversi ke elpiji. Selama ini masyarakat pengguna minyak tanah ”dipaksa” beralih ke gas untuk mencegah subsidi. Kebijakan menaikkan harga elpiji tentunya tidak sejalan dengan kebijakan yang pertama.
Namun yang paling parahnya adalah yang kedua yaitu bahwa kelihatannya pemerintah seolah ingin menggiring masyarakat untuk kemudian menerima elpiji sebagai sebuah alternatif energi. Pemerintah memaksa masyarakat mengikuti kehendak dan kebijakan pemerintah meski itu seperti mengelabui masyarakat. Bagaimana tidak? Kita seolah dipaksa berpindah dari penggunaan satu bentuk energi ke bentuk energi lain, tetapi dengan bungkus mengurangi subsidi, tetapi di saat kita sudah menerima hal tersebut kita kemudian dipaksa menerima menerima harga baru. Terlambat untuk beralih kembali ke minyak tanah, di saat warga miskin sudah kadung menerima tabung elpiji berisi 3 kg gas.
Secara nasional sudah ada suara yang menyatakan bahwa kebijakan ini akan digugat bukan hanya secara hukum tetapi juga akan membawanya ke Mahkamah Konstitusi. Sebab masalah energi ini seolah menjadi sebuah persoalan yang tidak berhubungan dengan hajat hidup masyakat banyak sehingga pemerintah bisa sesuka hati menggunakan cara monopoli. Selama ini memang tidak ada partner bersaing bagi pemerintah. Apa-apa selalu saja bebas dilakukan dengan sesuka hati, termasuk ketika menaikkan harga.
Pemerintah lupa bahwa tingkat kehidupan masyarakat tidak lagi bisa bermain dengan cara yang selama ini dipakai oleh pemerintah. Selama ini pemerintah menggunakan cara-cara yang sangat halus sehingga tanpa sadar masyarakat menerima semuanya tanpa ada perlawanan. Disain di balik semuanya itu adalah pemerintah hanya ingin membawa masyarakat ke dalam kemelaratan.
Patut kita sampaikan bahwa kalau pemerintah mengaku tidak memiliki uang untuk subsidi energi, yang harus dilakukan adalah negosiasi berbagai kebijakan energi yang selama ini merugikan masyarakat tetapi menguntungkan sekelompok orang. Termasuk dengan negosiasi eksport gas ke China yang jelas-jelas merugikan kita, kenapa selama ini dibiarkan? Lalu lihat bagaimana potensi energi kita juga di berbagai wilayah dengan sesukanya kita jual kepada negara lain, demi keuntungan segelintir pihak? Kita sebenarnya bisa lebih baik kalau pemerintah mau berpikir dan mau bekerja keras. Tetapi kalau pemerintah hanya mau enak sendiri, maka jelaslah kebijakan yang ditempuh adalah kebijakan yang menaikkan harga di saat masyarakat sendiri masih bingung bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (***)

No comments: