Sunday, August 31, 2008

FOKUS: Atas Nama Nasionalisme Lagi?

Gagasan mengusung ide nasionalisme dihembuskan lagi oleh Partai Golkar dan PDI-P. Dalam sebuah acara silaturahmi para Dewan Pertimbangan se-Indonesia, gagasan ini dikemukakan dan menghangat. Analisis media massa menyimpulkan bahwa ada semacam kekutiran di kalangan kedua parpol tersebut melihat kekalahan demi kekalahan yang mereka alami.




Nasionalisme memang sebuah kata yang cukup membantu mendongkrak popularitas. Di masa lalu kekuatan Bung Karno adalah ia mampu meneriakkan kata nasionalisme tersebut untuk membangkitkan semangat masyarakat serta menggelorakan kekuatan patriotisme dan bela negara.
Semangat yang sama sama pernah diperjuangkan pasca jatuhnya Orde Baru. Kala itu dipelopori oleh PDI-P, pekik nasionalisme selalu saja mewarnai euforia yang dibangun di atas keberpihakan pada masyarakat dan mereka yang sering dinamai sebagai ”wong cilik”.
Sayang kemudian momentum tersebut digantikan oleh berbagai masalah yang mempertanyakan ulang semangat nasionalisme yang diusung oleh banyak parpol yang menyebut diri nasionalis. Pertanyaan yang sulit dijawab oleh mereka adalah mengapa nasionalisme yang mereka usung tersebut tidak juga memberikan faedah kepada kebanyakan kehidupan masyarakat? Mengapa ide nasionalisme itu ternyata hanya menguntungkan parpol tersebut untuk kemudian berkuasa dan menduduki kursi di seluruh wilayah politik?
Pertanyaan-pertanyaan berbau gugatan itulah yang kemudian membuat masyarakat akhirnya memilih jalan lain sebagai ide yang membuat mereka mencari alternatif. Ide itu kemudian tersebar, antara praksis politik ”kiri” dan ”kanan” sekaligus. Hasilnya, parpol berbasis agama naik popularitasnya secara signifikan pada pemilu terakhir. Partai nasionalis yang selama ini populer, tergerus dan menempati posisi terbesar tetapi dengan pengurangan kursi yang sangat signifikan.
Inilah yang kini terjadi di lapisan atas politik kita. Terjadi pertarungan ideologis secara praksis, tetapi bukan murni. Di lapangan mereka yang menyebut diri ”nasionalis” tak jarang juga menggunakan label agama untuk menjangkau mereka yang berada di wilayah itu. Parpol berlabel agama juga memasuki ranah lain untuk meningkatkan suara mereka. Jadi ada wilayah-wilayah yang kini saling dimasuki. Hampir tidak ada parpol yang benar-benar sesuai dengan ideologinya di negara ini. Beberapa fakta misalnya, caleg dari PDS ternyata berlatar belakang tidak Kristen. Masih ingat juga bagaimana beberapa parpol yang rela melepas bungkus nasionalis dan menggunakan bungkus keagamaan untuk mengejar suara mayoritas di negara ini.
Jadi menurut kita sebenarnya masalah utama bukan pada pertentangan antara kelompok nasionalis ini dengan kelompok lain. Masalah utama bukan pada pertentangan ide, norma, atau kelas. Masalah besar adalah karena kaum nasionalis itu sendiri banyak diisi oleh kaum oportunis, mereka yang memanfaatkan kesempatan ketika menduduki kekuasaan hanya untuk kemudian mengecewakan masyarakat.
Ini pokok persoalannya. Popularitas Bung Karno juga jatuh bukan karena ada ide lain yang diusung oleh kelompok lain, tetapi karena Bung Karno kurang memperhatikan isu-isu dasar yang dibutuhkan masyarakat pasca gempita nasionalismenya. Itulah yang harusnya diperjuangkan dan digagas. Kita kuatir, koalisi besar akan sulit disatukan karena terlalu banyak kepentingan di dalamnya. Sebab ide untuk menyatukan keduanya sudah lama digagas termasuk dengan mengadakan acara silaturahmi di Medan beberapa bulan lalu (***)

No comments: