Wednesday, April 23, 2008

FOKUS Go Green

Modus operandi mengeruk hasil hutan semakin tidak terkendali. Setidaknya kita mencatat bahwa ada tiga bentuk yang semakin jamak dikerjakan. Pertama, dengan menggunakan model operasi terselubung. Para penyelundup ini menggunakan jalur tersembunyi dan jaringan yang sangat rapi untuk membawa kayu dan hasil hutan lainnya ke luar negeri, dipasarkan di sana, bahkan terkadang dikirimkan kembali ke Indonesia dalam bentuk hasil olahan.


Modus kedua adalah dengan menggunakan kekuatan tangan kebijakan pemerintah. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya ijin pengolahan hasil hutan oleh beberapa unit usaha pertambangan, atau dengan diperkenankannya mengolah hutan dengan dasar fungsi keekonomisan tertentu. Kasus ini terungkap terjadi di kawasan hutan Kalimatan.

Yang paling mutakhir kini, dan terungkap dalam kasus gratifikasi adalah, alih fungsi hutan. Hutan yang sebelumnya digunakan sebagai kawasan hutan lindung diturunkan fungsinya sehingga bisa diolah. Dalam kasus penangkapan Sekda Kabupaten Bintan, jelas terlihat bagaimana hutan lindung yang sebelumnya ada kemudian diubah dengan tujuan untuk pembangunan kawasan ibukota Kabupaten baru. Tetapi yang terjadi dan terungkap kemudian adalah kasus korupsi.

Alih fungsi hutan menjadi kawasan perkotaan adalah ekses dari kebijakan luas pemekaran daerah. Kajian mengenai hal ini memang belum ada, tetapi secara kasat mata kita bisa melihat beberapa daerah yang tidak siap, justru mengorbankan hutannya demi membangun lokasi baru.

Kehancuran fungsi hutan di Indonesia memang luar biasa. Sayangnya, semua terjadi karena kesadaran yang masih belum ada pada para penentu keputusan. Para petinggi dan penentu keputusan, malah mempercepat kerusakan dan kehancuran dengan menggunakan kekuatan yang mereka miliki.

Bukannya menggunakan hutan sebagai investasi masa depan, sekarang ini seolah terjadi keinginan yang luar bias besar untuk mempercepat kehancuran kita sendiri. Jangan-jangan, dengan hancurnya hutan di seluruh negeri ini, suatu saat kita akan membeli air bersih dari negara lain karena kita sudah tak lagi memilikinya. Pasca pertemuan di Bali misalnya, hampir belum ada gerakan praktis yang dilakukan oleh negara kita selain dari hanya membicarakan mengenai agenda-agenda pertemuan formal biasa yang sangat tidak berhubungan dengan aksi lapangan menyelamatkan hutan.

Beberapa hari ini ada kampanye untuk memperdulikan lingkungan. Kampanye itu bertajuk besar Go Green. Kampanye yang didukung oleh seluruh elemen lembaga yang ingin menyelamatkan hutan Indonesia itu benar-benar merupakan kampanye besar karena dilakukan secara massal dan didukung oleh media-media besar. Hanya sayangnya, hal itu sangat miskin perhatian dan reaksi dari seluruh masyarakat. Ada kesan, kampanye hanya milik sebagian instansi saja.

Hal ini terjadi karena masyarakat tidak menganggap bahwa hutan dan kampanye itu adalah milik mereka juga. Mereka tidak melihat bahwa masalah pemanasan global dan bencana alam yang terjadi selama ini adalah karena mereka tidak mau terlibat di dalam upaya penyelamatan hutan juga. Masyarakat tidak menganggap bahwa “menjadi hijau” adalah berarti memulai membangun kesadaran dari diri sendiri, untuk menyelamatkan lingkungan demi masa depan yang lebih baik.

Sudah saatnya diperlukan penerjemahan yang lebih tajam terhadap komitmen untuk melakukan moratorium terhadap alih fungsi hutan tadi. Hutan, sekali lagi, jangan hanya dijadikan sebagai alat komiditas yang hanya bernilai sekarang. Kita harus menjadikannya sebagai aset yang tak ternilai yang tidak dapat ditukar dengan cara apapun dan dengan apapun juga

No comments: