Tuesday, July 04, 2006

Menata Birokrasi Kita

Ketika berbicara di hadapan peserta Kursus Singkat Lemhanas, Wakil Presiden secara tidak langsung mengakui bahwa ada masalah dengan birokrasi pemerintah. Wakil Presiden menyampaikan bahwa salah satu penyebab lambannya kebijakan pemerintah adalah karena masih lambannya peran kontributif aparat birokrasi di dalam menjalankan berbagai rencana yang sudah disampaikan kepada mereka.

Lambannya birokrasi kita bagaikan lagu lama. Lihat saja iklan salah satu produk. Masyarakat yang datang kepada birokrasi kita selalu saja diperlama-lama menunggu sesuatu yang datang menjadi sogokan kepada birokasi. Iklan tersebut seharusnya dilihat dengan rasa malu oleh aparat birokrasi. Ejekan bersifat sarkastis tersebut memperlihatkan bahwa bukan hanya masalah yang ada, namun masalah besar.

Masalah besar dalam birokrasi kita dapat dirangkum ke dalam analisis tiga hal. Pertama efektifitas. Birokrasi kita banyak yang bekerja dengan tujuan yang terkadang tidak jelas. Mereka bekerja katanya untuk melayani publik namun sayangnya tidak mencapai fungsi pelayanan itu. Sebab ketika bekerja, birokrasi ini masih mengharapkan adanya ”lampiran” dari kegiatan tersebut. Padahal setiap bulannya sudah menerima penggajian atas pekerjaannya.

Kedua, masalah efisiensi. Birokrasi kita umumnya boros. Banyak yang hadir dan menghadiri kantor, namun sedikit yang benar-benar bekerja. Kerap birokrasi kita hanya menghabiskan waktunya di kantor tanpa melakukan apa-apa selain daripada melakukans sesuatu yang tidak penting, atau bisa dikerjakan sekejap.

Ketiga, soal mutu. Banyak birokrasi kita—harus diakui—adalah birokrasi yang masuk ke dalam sistem pemerintahan tanpa dapat diandalkan. Istilah kasarnya, hampir tidak ada yang bisa diharapkan, bahkan pikiran sekalipun. Ini yang membuat banyak di antara mereka harus dikasihani karena berada di tempat yang tidak sesuai dengan mereka.

Akibat
Masalah tidak bekerjanya birokrasi sebagaimana fungsi dan keberadaannya sebagai pelayan masyarakat memang sangat disesali. Dengan jumlah sebanyak 3,6 juta orang, trilyunan rupiah harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendanai mereka yang bekerja sebagai birokrasi ini. Bahkan tahun depan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sudah merencanakan bahwa gaji terendah dalam sistem birokrasi kita adalah Rp. 2 juta rupiah. Bahkan untuk penggajian bulan Juni tahun ini, para birokrasi yang bekerja fungsional diberikan insentif khusus.

Kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi semuanya ini. Namun kita sangat menyesali bagaimana mungkin pengeluaran negara yang amat besar ditujukan kepada pekerjaan yang dilakukan tidak profesional. Bayangkan saja, sebanyak 70 persen dari APBN diperoleh dari pajak. Dan sebanyak itu pulalah yang diberikan untuk mendanai penyelenggaraan negara. Jadi negara ini harus menanggung pembelanjaan yang tidak menguntungkan. Dengan kata lain, birokrasi kita hanya mengurani ”pos pengangguran” yang berusaha dicegah oleh pemerintah.

Jika dilihat dengan kacamata terbalik, masyarakat telah dengan rela membayar pajak untuk membayar mereka yang melayani masyarakat tanpa mendapatkan keuntungan apa-apa. Malah yang dilakukan aparat birokrasi umumnya adalah merugikan masyarakat. Di dalam setiap mata anggaran pemerintah daerah ada fenomena yang sama. Hampir semua isinya mayoritas adalah pembelanjaan aparatur negara. Tidak tanggung-tanggung. Biayanya bisa mencapai trilyunan rupiah bagi daerah kaya. Bandingkan dengan belanja untuk publik yang umumnya sangat jauh lebih rendah. Jadi, sungguh alangkah ironinya jika kemudian masyarakat yang membayar pada birokrasi harus pula menjadi korban ketidakbecusan pekerjaan itu.

Selama ini masyarakat memang tidak sadar bahwa mereka harusnya dilayani karena sudah membayar untuk itu. Masyarakat hanya mengetahui bahwa mereka amat bergantung kepada birokrasi. Sebab layanan pemerintah kepada masyarakat memang diberikan kepada birokrasi. Jadi masyarakat dibiarkan tidak mengetahui hal ini seolah menjadi sebuah kesengajaan.

Pengelolaan

Yang kita saksikan adalah bahwa pola pengelolaan birokrasi kita masih sangat mementingkan kuantitas daripada kualitas. Lihat saja bagaimana model pengelolaan penerimaan birokrasi. Semuanya bagaikan ajang untuk mendapatkan jatah dan uang. Penerimaan birokrasi seolah dijadikan sarana untuk menguntungkan diri sendiri.

Akibatnya maka dihasilkan adalah mereka yang memang tidak bermental melayani. Bagaimana mungkin mereka yang bermental tidak melayani bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat? Masalah masyarakat harus di “dekati” dengan sentuhan kemanusiaan dan ketulusan untuk memberikan yang terbaik. Birokrasi kita sayangnya amat jarang yang memiliki itu.

Bercermin dari apa yang pernah dialami oleh pemerintah sendiri, sudah saatnya memang pemerintah memberdayakan birokrasi kita sehingga memiliki manajemen kehidupan birokrasi yang lebih baik. Pola pekerjaan dan mutu manusia yang bekerja di birokrasi bisa dibenahi. Birokrasi harus mempersiapkan diri untuk menghadapi banyak perubahan yang kini terjadi di depan mata.

Perubahan Indonesia memang berlangsung dengan sangat cepat. Bencana, perubahan dunia, kegiatan untuk menanggulangi pengungsi, teknologi informasi, persaingan, dan banyak hal lain memerlukan efektfitas dan efisiensi. Artinya pemerintah hanya bisa menghadapi semuanya itu jika didukung oleh birokrasi yang mampu untuk itu. Maka sudah saatnya pemerintah meningkatkan kecepatannya dari dalam.

Tidak mungkin bisa membawa Indonesia bersaing dengan negara lain jika hanya menggunakan birokrasi model sekarang. Tidak mungkin bisa berada di barisan terdepan jika mental birokrasi kita hanya seperti demikian. Impian mengenai Indonesia baru mana mungkin tercapai jika mengandalkan manusia-manusia pekerja yang tidak efektif dan efisien seperti sekarang ini.

Sebaiknya, jika masih mengandalkan birokrasi seperti ini, yang terjadi adalah kerapuhan. Di atas kertas, produktifitas bangsa ini akan digerogoti oleh korupsi dari dalam. Demikian juga dengan berbagai asumsi dan logika pertumbuhan, akan bersifat semu, sebab birokrasi yang bermental tidak efektif dan efisien akan menggunakan segala cara mengubah angka pasti menjadi semu dan palsu semata. Kesimpulannya, birokrasi kita sekarang ini hanyalah akan menghasilkan pemerintahan yang semu pula.

Pemerintah harus benar-benar memikirkan cara supaya di masa depan pola pelayanan birokrasi di saat bencana jangan sampai menjadikan pemerintah menjadi korban ketidak efektifan dan ketidak efisienan. Birokrasi harus benar-benar dapat dijadikan sebagai ujung tombak dalam setiap masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terlebih di saat pentint sekarang ini. Masyarakat sudah membayar amat mahal setiap tahunnya, maka sudah saatnya pemerintah menyediakan layanan yang dikerjakan oleh birokrasi profesional kita. Titik-titik strategis adalah bagaimana menerapkan prinsip menajemen ”the right man, in the right place, in the right time”. Aplikasinya sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu bagaimana memilih mereka yang berkualitas untuk bekerja secara efektif dan efisien, melayani masyarakat dan memberikan yang terbaik

No comments: