Tuesday, July 04, 2006

Menggugat Politik Keberagaman

Salah satu kekayaan bangsa ini yang amat tidak tertandingi oleh bangsa manapun di seluruh dunia adalah keragaman budaya, agama dan sosialnya. Di Indonesia, ada begitu banyak keragaman yang berakar secara alami dari seluruh proses kultural yang bergabung dengan perubahan yang terjadi secara global. Semua bentuk tersebut kini tertata sebagai bagian dari diri kita yang bisa kita saksikan seperti sekarang ini.

Semua perbedaan muncul dan berkembang. Tradisi budaya lahir dan diteruskan turun temurun, perbedaan agama menjadi sebuah warisan, dan kehidupan sosial yang sangat variatif menjadi ciri khas di setiap penjuru negeri. Mudah ditemukan bahwa di setiap wilayah yang berada dalam satu lokasi sekalipun, terdapat perbedaan yang amat nyata. Itu sebabnya kita memiliki ribuan perbedaan yang berdeviasi dari berbagai budaya yang ada sebelumnya.
Apa artinya semuanya itu? Yang harus kita akui ternyata adalah bahwa bangsa kita ini sungguh amat kaya ternyata. Adakah bangsa dan negara dengan kekayaan keberagaman yang luar biasa besar? Rasanya tidak. Kita beruntung karena kita berada di kawasan khatulistiwa dimana matahari bersinar sepanjang masa. Itu artinya, budaya yang ada hidup terus menerus dan kemudian menghasilkan jati dirinya seperti sekarang ini. Budaya kita amat produktif dan kreatif karena disuburkan oleh putaran waktu tiada henti. Budaya kita bisa amat maju karena tidak ada hambatan waktu dalam memajukannya.

Berikutnya, keberagaman yang luar biasa itu ternyata menjadi identitas kita. Setiap kali kita disebutkan sebagai Indonesia, yang terbanyang di benak setiap orang adalah bahwa kita memiliki budaya yang amat banyak. Mereka beramai-ramai datang dan berkunjung ke negeri ini karena ingin menyaksikan keberagaman itu dalam satu ”paket” negeri bernama Indonesia.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa keberagaman itu telah terbukti menjadi kekuatan kita dalam sejarahnya. Kita bisa seperti sekarang karena keberagaman itu telah melewati sejarah Indonesia itu sendiri. Kita tentunya masih ingat bagaimana perjuangan melawan penjajah dilakukan, karena di balik persatuan yang digagas oleh para pejuang, ada keberagaman yang diakui oleh mereka. Perjuangan demi perjuangan yang digagas oleh para pendiri negara ini, berdasar pada pengakuan betapa beragamnya kehidupan kita itu. Mereka tidak pernah mengingkari dan menciptakan penyeragaman di antara mereka.

Politik Keberagaman
Bagaimanapun, kita memandangnya sebagai sebuah potensi yang amat besar. Meski kita tahu di baliknya ada bahaya yang besar pula. Negara sebesar Uni Sovyet misalnya terkoyak oleh karena keragaman yang ada. Demikian pula dengan bekas negara Yugoslavia, dan yang terakhir adalah Irak. Negara yang masih menuai badai politik akibat perbedaan yang ada sekarang ini adalah Nepal dan yang terdekat di antaranya adalah Thailand. Mereka kesulitan dan kewalahan dalam menghadapi perbedaan di antara mereka sendiri.

Sumber utama dari kekacauan itu adalah ketidakmampuan masing-masing negara itu dalam mengelola perbedaan itu. Artinya, perbedaan justru diekspolotasi untuk dijadikan sebagai ideologi yang menjatuhkan satu sama lain. Di sinilah kita mengenal istilah politik keberagaman. Artinya, keberagaman yang tadinya alami kini direduksi menjadi sebuah kebijakan yang berakar dari paradigma politik yang dianut oleh negar atau pemerintah yang berkuasa.

Reduksi atas keberagaman bukan sesuatu yang salah dan dosa politik. Sebab pada dasarnya negara memang harus mengambil alih fungsinya sebagai regulator seluruh sistem yang ada di dalam masyarakat, termasuk keberagaman sekalipun. Tanpa peran negara, maka keberagaman bisa menjadi sebuah fatalisme yang amat parah.

Sayangnya, setiap kali peran negara muncul, yang ada adalah inkonsistensi antara keberadaan keberagaman itu sendiri dengan maksud pemerintah. Kita bukannya tidak pernah mengalaminya. Di masa lalu Orde Lama, ketika rezim yang berkuasa masih sangat dominan, perbedaan dikedepankan dengan jargon yang kala itu amat terkenal: Nasakom. Isinya ada tiga, nasionalisme, agama dan komunisme. Waktu itu, ideologi yang ada memang sangat berpihak kepada komunisme, sehingga kemudian ideologi lain disingkirkan, termasuk perbedaan budaya yang ada. Terkait, beberapa tokoh kebudayaan kemudian harus masuk bui karenanya. Penguasa memandang bahwa keberagaman ternyata perlu disederhanakan menjadi makna dan tafsir penguasa penguasa saja.

Di masa Orde Baru, keberadaan keberagaman menjadi lebih parah. Kalau yang sebelumnya memandang bahwa keberagaman masih ada dan perlu disederhanakan, penguasa jaman Orde Baru memandang bahwa keberagaman justru tidak ada. Seluruh ideologi disatukan di bawah satu kata, sementara keragaman dianggap tabu untuk dibicarakan.

Kita masih ingat bagaimana seluruh keberagaman disatukan ke dalam berbagai kata yang maknanya sungguh bertolak belakang. Misalnya saja, disebutkanlah nama Pancasila sebagai alat pemersatu. Maka semua keberagaman merujuk kepada Pancasila. Padahal Pancasila sendiri di dalam dirinya memiliki keberagaman. Lalu dikenal pula nama misalnya demokrasi Pancasila. Ternyata semuanya berujung kepada penyatuan seluruh perbedaan politik mendukung penguasa. Padahal nama demokrasi itu sendiri berakar pada perbedaan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Di jaman pemerintah yang baru ini, suasana awalnya begitu terbuka dan bebas dalam berekpresi. Sayangnya, belakangan ini muncul sebuah gagasan-gagasan yang berujung kepada politik keberagaman gaya baru. Entah bagaimana caranya, namun yang terlihat di lapangan amat jelas, bahwa penguasa menggunakan legalitasnya untuk “menciptakan” keberagaman namun kemudian menggunakan keberagaman tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Kini semuanya sudah terlanjur berjalan tanpa kendali. Di negeri ini semuanya seolah memiliki hak atas yang lain. Beberapa kasus penutupan rumah ibadah, misalnya adalah bukti bahwa sekarang ini perbedaan kembali dianggap sebagai sebuah identitas yang harus dibangkitkan. Dan penguasa punya kepentingan atas hal itu. Secara perlahan-lahan, penguasa menggunakan keberagaman dengan cara tersamar untuk menghasilkan sebuah populatitas, meski yang terjadi kemudian adalah sebuah pemaksaan. Memang negara tidak lagi berperan dalam memaksa masyarakat untuk seragam, namun negara membiarkan terjadinya perlakuan yang memaksakan itu di antara masyarakat sendiri. Menurut kita, itu bukan kegagalan negara dalam menegakkan dirinya sebagai regulator, melainkan karena itulah politik keberagaman yang kini ada. Pemerintah ingin mendapatkan keuntungan jika ada identitas yang mayoritas meski itu didapatkan dari penindasan atas keberagaman itu sendiri. Padahal, sejarah bangsa lain, dan kita sendiri juga, telah menganggap hal tersebut sebagai sebuah bahaya yang bisa mengancam keutuhan negeri ini.

Tekanan
Pemerintah memang harus terus menerus ditekan atas politik keberagaman yang mereka anut seperti sekarang ini. Mereka yang berkuasa hanya menjadikan keberagaman sebagai alat ekploitasi. Risikonya ada banyak. Pertama, pemerintah hanya akan mendapatkan dukungan politik semu dari kelompok mayoritas yang bukannya tidak memiliki agenda lain di balik dukungan kepada pemerintah. Kedua, pemerintah juga akan mengalami risiko lain dari perpecahan yang bukan tidak mungkin akan banyak bermunculan. Kekacauan dan saling sikut akan muncul—tanda-tandanya sudah terlihat—sehingga mengakibatkan ketidakpercayaan antar masyarakat tumbuh subur. Dan yang paling berbahaya, yaitu ketika keberagaman dan saling mempertahankan identitas menjadi sebuah alat perjuangan. Ini akan menjadikan negeri ini sebagai arena balas dendam fisik sebagaimana sudah kita lihat buktinya dari negara tetangga kita, Timor Leste.

Pemerintah sudah saatnya melihat semuanya ini. Pemerintah harus menjadikan perbedaan tetap hidup dan berkembang, namun tidak sampai menjadi sebuah ideologi yang menentukan hidup mati kelompok, etnis, agama, atau entitas tertentu demi kekuasaan dan dukungan politik untuk mereka. Sebab bagaimanapun, keragaman kita di negeri ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Kita, menjadi bangsa seperti sekarang ini justru karena kita berbeda. Kalau mau memajukan bangsa, tidak dengan menyeragamkan. Ketika pemerintah Singapura, China dan Jepang ingin membangun semangat untuk maju pada seluruh warganya, mereka menggali nilai budaya yang merupakan warisan leluhur mereka dan menjadikannya kekuatan untuk maju. Demikian juga seharusnya kita. Kita harus menjadikan keberagaman sebagai alat untuk maju dan menjadikan diri lebih baik lagi. Seluruh cara harus dikerahkan supaya kita bisa maju dalam berbagai perbedaan yang ada itu dan dengan bertekun menjadikannya sebagai kekuatan untuk menyatukan bangsa

No comments: