Friday, July 21, 2006

Panggung Sandiwara Keadilan dan Hukum Di Negeri Kita




Lagu ”Panggung Sandiwara” ternyata bukan hanya lagu semata. Di negeri ini, keadilan dan hukum juga tak ubahnya sebuah panggung sandiwara yang dipertontonkan kepada khalayak ramai. Berbagai pernyataan bahwa negara ini adalah negara hukum, adalah sandiwara semata. Artinya, hanya bisa dinikmati sebagai sebuah tontonan, namun mustahil direalisasikan. Semuanya, sekali lagi karena hukum kita tak ubahnya sebuah sekuel opera sabun. Dan pelaku-pelaku di dalamnya bagaikan pemain sandiwara yang berperan sebagai aktris dan aktor mahir.

Di negeri ini, keadilan dan hukum memang menjadi sandiwara karena satu sebab saja: sifat materialisme telah mengotori dan menciderai para pelaku keadilan dan petinggi hukum. Mereka telah menggadaikan keadailan dan hukum demi uang semata. Dalam arti harafiahnya, kata “keadilan” telah ditransaksikan dengan uang. Uang membuat hakikat dan makna keadilan bergeser menjadi sekedar seberapa besar uang diberikan dan atau diterima.

Dalam pengertian ini, kita melihat bahwa uang telah membuat pelaku kejahatan menjadi merdeka sebebas-bebasnya. Pelaku kejahatan yang berurusan dengan hamba hukum sudah tahu harus melakukan apa. Mereka hanya harus menyediakan sejumlah uang yang merupakan kebutuhan para penegak hukum kotor. Lalu semua urusan bisa dibereskan dengan amat licin dan lihai.

Penegak Hukum

Yang paling kita soroti di dalam kasus tergadainya keadilan di Republik Indonesia ini pastilah bukan hukum yang tertulis. Sebab hukum adalah sebuah benda mati tanpa roh. Yang membuatnya bernafas adalah para penegak hukum.

Sayangnya karena hidup matinya hukum berada di tangan mereka, maka aparat penegak hukum, menjadi sangat dominan. Mereka, karena telah terpengaruh pada uang, justru menggunakan keadilan yang ada di tangannya, lalu menyerahkannya bulat-bulat kepada mereka yang berbuat kejahatan. Untuk perbuatan bejad dan haram itu aparat penegak hukum memperoleh uang imbalan, seolah mereka tak bisa hidup layak dari gaji yang mereka terima dari negara.

Fenomena inilah yang terjadi di negeri kita. Penegak hukum memperoleh keuntungan atas kelakuan mereka itu demi memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Bahwa penegak hukum telah menggadaikan keadilan untuk mendapatkan uang bukan sebuah isapan jempol yang hanya menjadi komoditas gosip. Fakta sudah memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka memilih jalan haram dan menjadi mafia. Mereka adalah para pengacara, hakim, panitera dan jaksa ”hitam” yang bukan hanya ”nakal” tetapi sudah penuh dengan kejahatan.

Di sebuah pengadilan kini hakim harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya karena terbukti memeras terdakwa. Lalu di pengadilan juga setidaknya dua terdakwa menyebutkan bahwa mereka diperas oleh Jaksa. Sebelumnya, publik sudah mengetahui bagaimana pengacara juga terlibat dalam perbuatan haram ini. Dan yang terakhir, anggota KPK sendiri, tertangkap tangan memeras korban yang terlibat dalam kasus korupsi. Aparat kepolisian sendiri tak luput dari masalah dalam kasus pembobolan Bank BNI.

Kita tidak perlu membuktikan bahwa ada mafia di negeri ini sebagaimana pernah diminta oleh Ketua MA Bagir Manan. Semuanya tidak dapat dibuktikan karena terdapat sebuah perilaku yang amat licin dan licik. Segala bentuk transaksi umumnya dibuat tanpa bukti. Semuanya amat rahasia dan penuh dengan tipu muslihat. Namun publik yang pernah berurusan dengan penegak hukum mengerti benar bahwa setiap kali mereka memasuki wilayah paras penegak hukum, terlebih dalam kasus korupsi yang bernilai besar, mereka harus bersiap “diperas” habis-habisan. Di setiap tingkat, polisi, jaksa, hakim dan pengacara berkolaborasi turut mereguk keuntungan dari kasus korupsi yang dilakukan, misalnya, dengan mencoba mengiming-imingi berbagai “jalan keluar” atau “pengaturan” sehingga terdakwa seolah memperoleh angin sorga.

Dampak

Uang sudah menjadi penyebab dari kegagalan kita dalam menegakkan seluruh sistem di negeri ini. Dunia politik, hukum, sosial, keamanan, bahkan kebudayaan menjadi kabur dan tidak ada kepastian. Seluruh sendi-sendi negeri menjadi amat gamang dan sulit menemukan kebenaran di dalamnya, karena semuanya amat relatif. Penyebab utama dan paling utama adalah karena uang.

Namun secara khusus, kita amat memprihatinkan jika keadilan dan hukum sudah bisa dibeli oleh uang. Sebab kita tahu bahwa hukum hadir untuk memberikan kepastian dan jaminan bahwa setiap warga negara berada dalam perlindungan sebesar apapun kesalahan yang diperbuatnya.

Kita patut menjadi amat bersedih jika keadilan dan hukum bisa dibeli dengan uang. Itu berarti bahwa keadilan dan hukum telah menjadi alat untuk melakukan kejahatan. Hukum dan keadilan, yang amat murni dan lurus dari maknanya, menjadi sebuah alat untuk berbuat kejahatan dan mengatur kejahatan.

Dan yang paling kita amat sesali adalah karena penegak hukum telah menjadi pelaku dari hancurnya keadilan dan hukum di negeri ini. Penegak hukum telah menjadi pemain sinetron, yang menggunakan otoritas yang ada pada tangannya untuk menciderai dan menzhalimi kemurnian hukum itu sendiri. Para penegak hukum memang menjadi penanggung-jawab utama dari berbagai masalah yang ada di negeri ini. Dari diri merekalah kekacauan terbit dan mucul.

Perubahan

Jelas, dalam situasi sekarang amat sulit melakukan perubahan. Di dalam sistem yang sudah gelap dan korup, semua orang berusaha mempertahankan sistem ini karena dianggap menguntungkan. Sebab selama bertahun-tahun, orang bertahan dalam keadaan yang jahat ini, meski mereka tahu tidak benar, namun karena memberikan keuntungan yang amat besar, dianggap sebagai kebenaran.

Itu sebabnya, ketika ada perubahan menuju kebaikan, mereka yang menyelewengkan keadilan adalah yang pertama-tama menolak untuk berubah. Mereka menyatakan bahwa kebenaran tidak dapat dimiliki dengan melakukan perbaikan dan keadilan menjadi absud dengan cara baru. Namun semuanya adalah strategi mereka untuk meruntuhkan gelombang pembaruan.

Kini yang kita saksikan memang adalah sebuah perseteruan muka dengan muka (vis a vis) antara mereka yang selama ini menikmati kejahatan dengan segala keuntungannya bagi mereka, dengan mereka yang menyatakan sebagai pembela kebenaran. Para pembela kebenaran yang masih berbicara jujur dengan menggunakan nurani memang masih sedikit dan kebanyakan berada di luar sistem.

Konfrontasi antara kedua pihak inilah yang kini terjadi di negeri kita. Mereka yang selama ini menjadi penegak hukum ”kotor” dan yang telah mengotori tangan, kantong dan keluarganya dengan uang hasil pembalakan pada orang lain, sedang bekerja keras melakukan penentangan pembaruan. Aksi penentangan, baik yang berlangsung secara baik-baik maupun dengan menggunakan metode pembenaran hukum selalu saja digagas.

Untuk melawan mereka, memang diperlukan kerja keras dari mereka yang jujur tadi. Mereka harus tetap membakar semangat perlawanan, mengancungkan tangan untuk tetap kuat menyaksikan melemahnya perlawanan, dan tetap bersuara manakala hanya seberkas cahaya yang bisa disaksikan. Suatu saat negeri ini—semoga—bisa menjadi negeri yang tak lagi panggung sandiwara. Suatu saat, para penegak hukum yang berbuat kejahatan itu, harus tersungkur dan terpelanting, karena mereka tersandung oleh perbuatannya. Kita berharap bahwa akan datang saatnya dimana kita menemukan keadilan tetap adil dan hukum tetap benar. Namun, kita harus bersabar menanti saat itu.

1 comment:

Anonymous said...

Kita adalah tamu dalam sebuah pesta. Bila kita tak dapat menari, jangan menyalahkan lantai.
Kita adalah tamu dalam sebuah pesta, kaki kita menari, namun irama bukan kita yang tentukan,tapi si penabuh gendang tentunya.
Tidak masalah kita tak menari atau menabuh gendang, asalkan kita masih dijamu ...