Thursday, February 08, 2007

FOKUS Menata Ulang Kota-Kota Kita

Persoalan banjir yang menyerang kota Jakarta memunculkan kembali pertanyaan di benak kita mengenai penataan ruang dan pemukiman di kota. Hal ini menjadi penting karena kerap disampaikan bahwa banjir terjadi karena persoalan lingkungan.

Menghubungkan banjir dengan penataan kota memang amat logis. Sebab di manapun di dunia ini, banjir banyak disebabkan karena adanya peningkatan jumlah debit air permukaan, dan pada saat yang sama terjadi penurunan daya serap air di tanah.

Kota-kota besar memang kini menghadapi sebuah perubahan yang amat masif. Perubahan itu adalah terjadinya transformasi dari pepohonan yang menghijau menjadi lokasi hunian dan bisnisi yang terbuat dari beton. Transformasi ini terjadi karena kebutuhan.

Di kota besar peningkatan aktifitas manusia berkorelasi dengan kebutuhan hunian dan pemukiman. Akibatnya, lahan menjadi semakin sempit. Maka tak ada pilihan lain, untuk mempertahankan aktifitasnya, manusia melakukan perampingan lahan secara terus menerus. Dampak yang kemudian lupa dan sering diabaikan adalah bahwa penataan hunian dan pemukiman tadi tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan terutama aliran air yang mengalir melewatinya.

Maka yang kemudian terlihat adalah sebuah fenomena bangunan yang secara arsitektur cukup baik. Lihat saja kawasan mewah di berbagai kota, dibangun menjulang tinggi dan penuh dengan kemewahan. Bangunan itu dijadikan sebagai pusat bisnis, pusat perumahan dan perkantoran serta pusat rekreasi. Sifat alamiah memang akhirnya menghilang. Maka pohon alam berubah menjadi pohon beton. Bangunan-bangunan tinggi menjadi pohon di kota besar.

Dalam jangka pendek, perubahan memang tidak ditemukan. Namun secara perlahan perubahan kontur permukaan tanah mengakibatkan sesuatu yang amat dasyat terjadi di bawah tanah. Karena lahan di lapisan permukaan tertutup bangunan beton, maka aliran air di permukaan bawah tanah semakin menipis. Tiada lagi ditemukan adanya cadangan air tanah. Maka masyarakat di perkotaan semakin sulit mendapatkan air tanah. Padahal air tanah diyakini menjadi penyeimbang lapisan sedimen di permukaan tanah dan berhubungan erat dengan elastisitas bangunan di atasnya.

Hal yang lebih parah terjadi di lapisan permukaan tanah. Karena pori-pori tanah diganti menjadi bangunan beton, maka air tidak pernah mengalir ke dalam tanah lagi. air tersebut akan tergerus dan mencari kawasan yang lebih rendah di bagian atas tanah. Ketika hujan, air dalam bentuk demikianlah yang kemudian menjadi air bah yang akan menghancurkan kawasan apa saja yang berada di depannya.

Banyak orang beranggapan bahwa penataan kota memerlukan kesimbangan dengan kawasan lainnya. Hal itu benar adanya. Layaknya sebuah kartu domino, gangguan keseimbangan pada kawasan atas pastilah akan menghasilkan air bah pada kawasan di bawahnya. Bogor dan kawasan puncak, adalah daerah yang potensial mengancam keberadaan kota Jakarta. Di kota Medan, bahaya potensial datang dari kawasan pegunungan di daerah Berastagi dan sekitarnya.

Pengetahuan di atas sebenarnya adalah pengetahuan dasar. Karena itu setiap pengembangan kota harus memperhatikan hal-hal di atas. Ada rencana mengembangkan kawasan kota Medan sehingga menjadi lebih mirip Jakarta dalam urusan metro-nya. Namun kita harap bahwa pengembangan ini tidak menjadikan masalah Jakarta berpindah ke kota Medan. Para penentu dan pengambil kebijakan masalah penataan ruang kota harus sungguh-sungguh memperhatikan hal ini sebelum bencana terjadi di depan mata.

No comments: