Sunday, February 04, 2007

FOKUS Banjir, Salah Siapa

Ibukota RI, Jakarta terendam banjir. Itu adalah berita besar yang terpampang di hampir seluruh media. Banjir, memang melumpuhkan Jakarta, menenggelamkan rumah warga dan menyebabkan ribuan warga mengungsi. Sungguh menyedihkan bahwa simbol negara kita bagaikan tercekam dalam penderitaan. Kereta api lumpuh. Sarana transportasi macet total.

Ada apa dengan banjir? Sungguh amat disayangkan bahwa kita sebagai warga negara tak pernah belajar dari pengalaman. Beberapa tahun lalu, Jakarta pernah mengalami hal yang sama. Jakarta dan sekitarnya terendam oleh banjir besar selama seminggu. Kemacetan dan kelumpuhan multi sektor terjadi.

Bertahun-tahun kemudian Jakarta dilanda oleh banjir secara sporadis. Hingga kini banjir kemudian terjadi lagi. Tinggi banjir yang bahkan mencapai 3 meter telah menyebabkan kota Jakarta dan sekitarnya bagaikan lautan air. Danau besar terbentuk dimana-mana dan lautan manusia yang menderita juga bertambah.

Persoalan ini memang persoalan klasik. Sayangnya, antisipasi tidak pernah datang. Penataan banjir bagaikan persoalan kecil dibandingkan dengan pengembangan perumahan, pembangunan koridor baru busway atau menjelang pilkada di jantung Indonesia itu. Padahal, seandainya bisa menjadi barometer, gagalnya antisipasi banjir di sana adalah sebuah kegagalan dalam menunjukkan keseriusan membangun yang dimulai dari pemerintah pusat sendiri.

Banjir dalam skala besar tidak mungkin terjadi jika tidak ada kerusakan besar. Itu adalah kenyataan yang sangat penting untuk diperhatikan oleh kita semua. Kerusakan besar memang terjadi dimana-mana, terutama di Jakarta. Daerah penyangga tidak cukup kuat untuk menjadi daerah resapan dan penahan luapan air. Daerah itu telah diubah menjadi bangunan tinggi dan kuat.

Semua yang bisa dikonversi akan dikonversi, atas nama pembangunan memang menjadi sebuah kalimat yang selalu diamini oleh pelaksana pembangunan. Bukan saja di Jakarta, di hampir semua kota besar, lahan kosong, pepohonan hijau, bahkan pinggiran sungai, dijadikan objek pembangunan. Dibangunlah di atasnya pemukiman, mall, pusat bisnis dan lain sebagainya, yang memang secara ekonomis amat menguntungkan.
Tetapi yang terjadi memang sebuah pertukaran yang tidak selamanya menguntungkan. Alam punya batas toleransi sendiri. Maka kerugian yang diberikan pada manusia diganti dengan meluapnya air dimana-mana ketika musim penghujan datang. Maka fenomena yang kita saksikan adalah alam membuktikan kekuatannya.

Kita teringat dengan puisi yang berasal dari suku kuno di pedalaman Amerika Latin. Mereka menyatakan, “pepohonan jangan ditebang, karena pohon berdiri di atas debu nenek moyang”. Itu adalah ekspresi kehidupan yang di era modern semakin langka maknanya. Kebalikannya justru terjadi. Pohon dianggap gangguan dan tidak perlu sama sekali. Bahkan jika mau, pohon kemudian diciptakan manusia dalam bentuk pajangan.
Manusia merusak alam, maka alampun membalaskan sakitnya dirusak. Itulah yang kemudian terjadi ketika banjir ini terjadi. Entah untuk kesekian kalinya alam menyatakan hal ini dan entah untuk sampai kapan, kebijakan pembangunan akan lebih berpihak kepada upaya memperbaiki lingkungan. Akan tetapi dilihat dari sudut pandang manapun, banjir yang terjadi di Jakarta, sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis dan pusat sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, adalah masalah kita bersama. Sebuah iklan punya jargon, “tanya kenapa”. Kita, seharusnya tak perlu bertanya-tanya mengenai banjir yang terjadi ini. Tidak perlu, “kenapa tanya”. Yang perlu adalah melakukan sesuatu untuk mencegah terulangnya banjir ini di masa depan.

No comments: