Tuesday, March 27, 2007

FOKUS Meredam Gejala Ketidakpuasan

Masyarakat semakin tidak puas terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah. Di Surabaya, warga masyarakat perumahan Tanggul Angin Sejahtera mengancam akan menduduki Istana Negara jika tuntutan ganti rugi secara tunai tidak dikabulkan oleh pemerintah.

Di Aceh Tenggara, menolak hasil Pilkada, masyarakat melakukan demonstrasi. Akhirnya korban pun berjatuhan. Di Sumatera Utara, aliansi masyarakat yang menuntut anggota DPRD Sumut untuk serius memperhatikan usulan masyarakat dalam rangka membentuk Propinsi Tapanuli, mengancam akan menduduki gedung dewan.

Fenomena di atas adalah sebuah gambaran sederhana bahwa masyarakat semakin tidak sabar melihat kelambanan pemerintah dan termasuk institusi parlemen, termasuk dalam meresponi dan menghasilkan berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.

Masyarakat kelihatannya tidak mau melihat dirinya hanya menjadi korban. Masyarakat semakin mudah terpancing untuk menunjukkan diri dan eksistensinya sebagai entitas yang dalam demokrasi disebut sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Bagaimana tidak terjadi demikian? Hari demi hari yang kita lihat memang adalah performa yang mengecewakan. Dibandingkan berpihak kepada masyarakat, banyak kebijakan yang dihasilkan ternyata lebih banyak yang menjadikan masyarakat hanya sebagai korban.

Ambil contoh ketika pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan harga BBM dan mengimpor beras. Masyarakat benar-benar dikecewakan. Mereka menumpuk rasa kecewa karena pemerintah hanya bisa berjanji bahwa pemerintah akan mempertahankan keadaan dan stok yang aman bagi BBM. Nyatanya pemerintah hanya bicara. Masyarakat tetap kesulitan dalam mendapatkan kebutuhan sehari-harinya.

Yang paling parah adalah kebanyakan kebijakan itu justru menambah penderitaan masyarakat. Ada kesan bahwa mereka yang berada di “atas” tidak tanggap terhadap kebutuhan dan penderitaan masyarakat. Wacana para pejabat negara malah adalah wacana yang tidak mengenakkan untuk didengar. Mereka kalau bicara sering menyakiti hati masyarakat.

Maka terjadilah yang disebut sebagai distrust. Masyarakat tak percaya lagi pada apa yang mereka lihat. Masyarakat bisa menilai bahwa setiap keputusan yang kelihatannya baik, di baliknya terdapat keinginan untuk menjadikan masyarakat hanya sebagai akibat dari tindakan tersebut.

Sungguh menyedihkan jika setiap tindakan aparatur negara, baik pemerintah maupun parlemen harus di veto oleh masyarakat. Apa boleh buat. Memang logika masyarakat tanpa kekuasaan adalah logika kekerasan dan kekuatan fisik. Sebab dalam sejarahnya, sebagaimana pernah dituliskan oleh Gunawan Mohammad, perlawanan masyarakat terhadap penguasa sudah dimulai sejak jaman raja-raja. Kala itu, mereka yang tidak setuju dengan raja, memilih membelakangi raja atau dalam hati mengucapkan kata-kata serapah kepada raja.

Kini semuanya sudah lebih ekspresif. Pemerintah tak lagi bisa meredam aura demokrasi dimana segala sesuatu semakin terbuka. Dan yang paling penting adalah jangan dikira masyarakat akan mudah diperdaya seperti dulu.

Jadi bagaimana solusinya? Tidak ada cara lain, selain dengarkanlah suara masyarakat. Jangan diabaikan

No comments: