Saturday, March 31, 2007

TRAGEDI BANGSA SAKIT

(Tulisan ini dimuat di Harian SIB, Medan tanggal 31 Maret 2007 )

Beberapa hari belakangan, muncul laporan bahwa di seantero negeri terjadi kejadian-kejadian gangguang kejiwaan. Di Surabaya, penderita gangguan kejiwaan semakin meningkat pasca tergusurnya mereka dari rumahnya karena banjir lumpur. Di kota lain idem dito.

Pada tingkat yang tidak memunculkan agresi, gangguan kejiwaan ini ditengarai telah menyebar secara laten. Kasus seorang ibu yang bunuh diri bersama empat anaknya dicurigai sebagai salah satu fenomena gunung es yang kejadiannya akan terus menerus menampakkan diri.

Apa yang terjadi pada negeri ini? Salah satu penjelasan yang mungkin terjadi adalah bahwa negeri ini sedang dilanda kesakitan massal. Masyarakat sedang berada dalam tingkat situasi psikologis plus patologis yang bersumber dari sakitnya masyarakat kita tadi. Sakit yang terjadi di negeri ini adalah sakit massal yang terjadi pada banyak orang. Bukan hanya pada satu dua orang saja. Tetapi bersifat menyeluruh dan mengenai banyak orang dengan profesi yang berbeda-beda. Bagaimana wujudnya?

Sakit Massal
Sakitnya masyarakat kita bisa dilihat dari beberapa contoh kasus. Perhatikan ketika anda berada di jalan raya. Di sana anda bukan hanya menemukan kendaraan, namun kendaraan liar. Kendaraan dengan sesuka hati berhenti, kapan mau. Mereka tidak perduli apakah orang lain akan berisiko terjadi kecelakaan atau tidak, yang penting mereka melakukan apa yang mereka mau. Maka kecelakaan demi kecelakaan terjadi begitu saja, tanpa pernah bisa dicegah. Sebabnya karena memang tak ada seorang pun yang mau perduli terhadap jiwanya sendiri, apalagi jiwa orang lain.

Sakitnya masyarakat kita juga bisa dilihat dari ketidakmampuan mereka memilih tindakan mana yang tepat dan yang mana yang tidak. Masyarakat lebih menyukai mereka yang menawarkan jalan pintas dalam kekayaan. Maka terjebaklah mereka sebegaimana dalam kasus penyalahgunaan keuangan yang dilakukan oleh PT IBIS. Lalu perhatikan bagaimana seorang polisi—bawahan—menembak atasannya sendiri. Polisi itu tidak tahu lagi membedakan mana aturan yang memang seharusnya diikutinya.

Perhatikan perampokan, pembunuhan dan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Pelakunya tak tahu rasa takut. Persis seperti di film Fear Factor, dimana pesertanya diminta menghilangkan rasa takut dan menganggap bahwa rasa takut hanya ada dalam pikiran, segala sesuatu yang dianggap sebagai kejahatan justru dijadikan sebagai jalan hidup. Mencabut nyawa orang lain bahkan diri sendiri, menjadi sebuah jalan yang dianggap benar. Hidup menjadi amat tidak berarti.

Masyarakat yang sedang sakit juga ditandai dengan buruknya layanan yang disediakan oleh sistem ekonomi. Penyedia angkutan darat dengan sesuka hati menyediakan bus, truk dan kendaraan yang tak layak. Mereka tak perduli pada nyawa penumpang, yang penting mereka bisa mendapatkan uang dengan cara cepat.

Yang lebih parah adalah angkutan laut. Tenggelamnya kapal KM Senopati Nusantara dan terbakarnya serta tenggelamnya kapal KM Levina I adalah sebuah tanda lain dari sakitnya para pengusaha. Mereka mengoperasionalkan kapal yang sangat tidak layak. Mereka tidak perduli sama sekali bahwa di atas kapal itu ada bayi-bayi malang, para wanita yang tidak bisa berenang, dan mereka yang tidak punya harapan selain diri sendiri. Mereka yang memiliki kapal itu hanya tahu bahwa uang masuk pada mereka.

Dan yang paling mengerikan adalah apa yang terjadi pada maskapai penerbangan. Tanpa asuransi pada awak kabin, dengan fasilitas keselamatan yang amat minim, plus pesawat-pesawat tua dan tak layak terbang, maskapai penerbangan kita terbang ke sana kemari mencabut nyawa penumpang. Ada dengan cara tenggelam, terbakar dan jatuh. Yang penting, mereka yang memiliki unit usaha itu menikmati hidup bergelimang uang dan kemewahan. Soal keselamatan, urusan belakangan.

Hampir senada seirama, mereka yang sakit juga adalah mereka yang menipu masyarakat dengan dagangannya. Mereka adalah para pedagang yang mencuri beras Bulog milik masyarakat miskin lalu kemudian menjualnya. Mereka yang sakit itu adalah mereka yang menjadi pengusaha, lalu kemudian menggaji karyawannya secara sangat tidak manuasiwi. Mereka yang sakit adalah para petugas imigrasi yang menilap uangnya para TKW ketika pula ke Indonesia. Mereka adalah petugas yang mengijinkan penyelundup keluar membawa pasir dari Indonesia. Mereka adalah petugas dimana pun itu yang menerim uang suap, uang pelicin dan uang rokok demi sepotong surat.

Masih banyak contoh untuk diungkapkan. Masih banyak orang yang bisa dijadikan pelaku atas sebuah kejadian yang memperlihatkan bahwa negeri ini dilanda oleh pandemi global kesakitan. Tetapi mari kita menelusuri fakta yang lebih jauh lagi.

Dari Atas

Pertanyaan kita berikutnya adalah, mengapa bisa terjadi kesakitan massal itu. Salah satu sebabnya adalah karena terjadi proses replikasi yang sangat cepat yang diakibatkan oleh perilaku meniru.

Dalam konteks sosiologis, banyak teori yang menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Ada ”rule model” yang ditiru dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Di masyarakat kita, dengan mekanisme patron-klien yang masih kental, jelas saja yang menjadi rule model adalah para elit dan pejabat negara yang berada di atas. merekalah yang menyebabkan kesakitan masyarakat dengan mudah menyebar dan meluas tanpa dapat dikendalikan.

Para pejabat negaralah yang mengajarkan kepada masyarakat bagaimana mencuri. Mereka mengajarkan dengan menggunakan kedudukan sebagai kesempatan untuk mengambil uang yang bukan miliknya. Mereka gunakan itu untuk membangun rumahnya dengan kemewahan yang amat sangat, menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, bahkan menyumbang ke rumah ibadah seolah uang haram itu bisa digunakan untuk mencuci dosa.

Para pejabat negara itulah yang mengajarkan kepada kita—masyarakat—bagaimana melanggar aturan. Aturan dibuat, kata mereka, untuk dilanggar. Maka jadilah penyimpangan dan penggelembungan dana negara. APBN saja misalnya digelembungkan sampai 300 persen. Lalu ketika ada pemeriksaan dari BPKP dan BPK, mereka mencari celah dengan melakukan apa saja. Salah seorang tersangka kasus korupsi misalnya, menggunakan anaknya untuk menutupi jejak korupsi yang dilakukannya.

Di negeri ini, yang namanya korupsi, sudah tak lagi lazim dengan angka belasan juta. Yang lazim kini adalah belasan miliar. Dan itu dilakukan bertahun-tahun tanpa malu-malu. Mereka mengklaim diri sebagai pemimpin padahal diam-diam mereka menyimpan kebusukan dalam hidupnya.

Mereka sumber inspirasi dari masyarakat. Mereka dengan seenaknya bisa berkata A hari ini namun di media yang sama bisa berkata B keesokan harinya. Mereka tidak pernah punya nurani dan rasa tanggung-jawab. Warga di Sidoarjo menderita, tak satupun rasa empati dan rasa tanggung-jawab muncul dari para pejabat negara. Mereka mengulur-ulur waktu untuk menunda tanggung-jawab itu. Ketika burung besi satu demi satu jatuh dan terbakar, yang dituding adalah pilot dan pramugari. Padahal ijin maskapai ada pada para pejabat eselon I. Ketika wabah penyakit menyerang mereka menyalahkan masyarakat. Padahal dana untuk memberdayakan kesehatan masyarakat dikorupsi tanpa segan.

Pemimpin
Apa yang terjadi? Sumber penyakit adalah dari atas. Prof JE Sahetapy punya resep bagus. Kalau hendak melihat ikan busuk atau tidak, lihat insangnya. Begitu beliau memberikan nasehat kepada peserta seminar yang penulis ikuti beberapa tahun yang lalu. Negara ini pun begitu.

Negara ini begini, merasakan sakit secara massal, karena para pemimpin tak ada yang bisa diandalkan. Mereka mengalami pembusukan dari dalam, dari dirinya sendiri, yang kemudian menulari seluruh masyarakat. Sikap, perbuatan, perkataan, perilaku, norma dan nilai yang mereka anut amat buruk sehingga menjadi contoh buruk bagi masyarakat. Dengan jujur kita katakan, mereka yang bertindak sebagai pemimpin yang hanya punya komitmen bagi masyarakat sekarang ini hanyalah dalam hitungan jari. Semuanya, hanya menggunakan kedudukan dan kekuasaannya sebagai alat untuk menguntungkan diri sendiri.

Jadi bagaimana jalan keluar? Tulisan ini adalah sebuah panggilan bagi mereka yang masih muda, masih berpikir ideal dan masih mampu menjadi pemimpin kelak. Mereka ada di kampus-kampus. Mereka ada di lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Mereka ada di elemen independen. Mereka ada dan tersebar secara perlahan.

Bagi mereka, tulisan in disampaikan. Bersiap dan persiapkanlah diri. Bangsa ini sudah berada dalam taraf yang sangat akut. Sakitnya sudah sangat parah. Persiapkan diri untuk memegang estafet. Belajar dan bekerja dengan jujur dan melatih komitmen bagi bangsa. Mereka yang kini sedang sakit, dan berada di atas, pasti akan segera berlalu. Dan saat itulah mereka yang benar-benar pemimpin sejati akan memimpin negara ini dengan lebih baik. Semoga demikian.

No comments: