Saturday, March 31, 2007

FOKUS Hak Veto Rakyat

Dahulu rakyat adalah entitas yang terabaikan. Di hitung tetapi tidak dimaknai. Itulah nasib rakyat di jaman ketika demokrasi diabaikan. Rezim lebih menyukai melakukan kebijakan represif dan melegalkan pembenaran bahwa kekuasaan adalah warisan dari sebuah peristiwa sejarah.

Namun situasi kini amat berbeda. Jangankan hanya dihitung. Kini rakyat pun bisa melakukan veto atas kebijakan sebuah negara. Begitulah peristiwa yang kita lihat beberapa hari ini.

Salah satu contohnya adalah digagalkannya pembelian laptop kepada 550 anggota DPR-RI oleh opini dan aspirasi rakyat. Pembelian seharga Rp. 12,1 miliar itu kemudian dibatalkan, meski kebanyakan anggota DPR-RI sudah menyetujuinya. Bahkan di detik-detik terakhir, Ketua DPR RI masih berkukuh bahwa anggaran terhadap laptop itu sudah dimasukkan. Namun karena tekanan dan kekuatan rakyat lebih besar, laptop itu pun melayang sudah.

Apa yang kita saksikan di atas adalah sebuah ekperimentasi dari people power ala Indonesia. Istilah people poeer itu sendiri sarat dengan makna kekuatan yang masif dari masyarakat. Dengan menggunakan istilah people power, Filipina pernah dua kali merasakan akibatnya. Dua pemimpin di sana, harus rela tumbang karena gerakan massa yang tak lagi mendukung pemerintah.

Indonesia dekat dengan kisah itu. Di tahun 1998, mantan Presiden Soeharto harus jatuh sebelum waktunya karena massa tidak setuju dengan pilihan yang direpresentasikan oleh anggota DPR/MPR jaman itu. Massa kemudian menunjukkan bahwa hak veto nya dengan turun ke jalan dan melakukan aksi anarkis.

Secara teoritis memang kekuatan massa di saat transisi demokrasi amat sarat dengan kekuatan fisik. Hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang wajar karena di saat itu, elit politik biasanya amat mementingkan upaya mempertahankan kedudukan dan mengabaikan kepentingan masyarakat.

Inilah yang kini kita saksikan di Indonesia. Elit politik lebih sibuk memperhatikan persoalan yang berhubungan dengan kekuasaan, dan mengabaikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Maka terpaksalah rakyat turun ke jalan dan melakukan tekanan. Mereka mem-veto kebijakan yang tidak sesuai dan di dalam banyak kasus, memperjuangkan perwujudan hak mereka.

Eksperimentasi hak veto yang terbaru muncul ketika masyarakat perumnas Tanggul Angin Sejahtera-I (Perumtas) mengancam pemerintah. Mereka menyatakan akan meluruk ke Jakarta. Tak ayal, rencana tersebut membuat pemerintah terpaksa menekan PT Lapindo Brantas Inc untuk merealisasikan tuntutan ganti rugi tunai rumah dan tanah masyarakat.

Lagi-lagi kita menyaksikan bahwa elit politik sering mengabaikan rakyat. Akibatnya, terpaksalah rakyat menggunakan hak veto berupa kekuatan massa tadi. Itu pulalah yang kita kuatirkan akan terjadi dalam upaya rakyat menginginkan terbentuknya Propinsi Tapanuli. Melihat pongah dan ulah anggota DPRD Sumut yang menciptakan situasi supaya rekomendasi mengenainya berlarut-larut dan terjebak ke dalam ketidakpastian, massa kemudian menanggapinya dengan turun ke jalan. Pemanasannya, sebagaimana dikatakan oleh media ini sudah terjadi pada hari Rabu (28/3).

Apa arti semuanya ini? Apakah rakyat akan terus menggunakan hak vetonya untuk memblokir sikap elit politik yang hanya mempertahankan kekuasaannya? Apakah hak veto rakyat adalah solusi dari setiap persoalan?

Niscaya inilah proses pembelajaran demokrasi kita. Kita harus terus menerus belajar. Pada para elit politik, lebih banyaklah mendengar rakyat jika tidak ingin diveto.

No comments: