Monday, September 25, 2006

FOKUS: Menghadirkan Keadilan Hukum

Eksekusi terpidana mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu “membakar” Maumere. Ribuan masyakat yang tidak puas atas keputusan untuk mengeksekusi tersebut tumpah ke jalan. Mereka melakukan pembakaran terhadap gedung pengadilan, dan membobol lembaga pemasyarakatan. Beruntung aksi anarkis massa yang diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar Rp. 4 miliar tersebut tidak berlanjut. Massa hanya melakukan aksi damai dengan melakukan doa bersama dalam berbagai kegiatan keagamaan, baik misa arwah maupun dalam ibadah.

Kisah eksekuti yang dilakukan pekan lalu itu memang menjadi sebuah perdebatan panjang sejak ketiganya ditangkap aparat enam tahun lalu. Adalah Poso, kota yang berdarah-darah akibat berbagai kerusuhan yang terjadi dalam nuansa agama. Ketiga terpidana kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Namun dalam perjalanan berikutnya, kota Poso sebenarnya tidak pernah tenang. Selalu saja ada kerusuhan. Rumah dibakar tanpa pernah dikenali siapa yang melakukannya. Bahkan masyarakat menjadi korban penembakan tanpa sekalipun diketahui pelaku dan motif.

Itu sebabnya, banyak yang meragukan penangkapan Tibo cs akan menyelesaikan persoalan. Bahkan sebelum eksekusi ini dijalankan, ada aspek politis yang tidak mudah dijelaskan berupa pencopotan jabatan Kapolda Sulawesi Tengah. Ia dinilai tidak menjalankan perintah atasan karena masih mengulur waktu yang saat itu sudah ditetapkan untuk segera mengeksekusi.

Eksekusi Tibo cs juga melebihi tekanan atas eksekusi terpidan mati lain yang pernah terjadi di Indonesia. Dua kelompok massa, saling membangun opini pro dan kontra. Yang mendukung menyuarakan ketegasan untuk segera melakukan tindakan hukum setelah grasi dan PK mereka ditolak, sementara yang kontra meminta pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk keberadaan umat beragama.

Namun pemerintah tetap tidak bergoyahkan. Tibo cs kemudian dieksekusi di hadapan regu tembak, meski kemudian menyisakan banyak persoalan, termasuk tidak dikabulkannya permohonan mereka untuk melalui sebuah misa arwah khusus kepada mereka menjelang kematian.

Dari berbagai sudut pandang inilah maka kita melihat adanya beberapa masalah yang berhubungan dengan keadilan, pasca eksekusi Tibo cs. Yang menarik ternyata adalah bahwa sampai sekarang aktor intelektual dari kerusuhan Poso dan yang kemudian masih menjadi persoalan di sana, sampai sekarang tidak tertangkap oleh aparat. Masyarakat melihat dengan ragu, apakah ketiganya sebagai petani pendatang, mampu melakukan sebuah tindakan teroganisir dan sangat luar biasa sehingga Poso kini menjadi sebuah ladang permusuhan? Bagaimana mungkin mereka yang—katakanlah—sebagai pelaku kerusuhan bisa menjadi pelaku yang sebenarnya sementara kita tahu bahwa kerusuhan yang terjadi waktu itu melibatkan begitu banyak orang termasuk kepentingan politik di dalamnya?

Berbagai pertanyaan di atas sebuah refleksi bahwa kematian Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Riwu jangan sampai menjadi sebuah kematian sia-sia. Mereka yang bagi sebagian orang hanya menjadi tumbal, haruslah menjadi titik tolak bagi berjalannya keadilan di negeri ini. Mereka tetap menjadi sebuah monumen mengenai sebuah kejadian biasa, jika pemerintah gagal menjelaskan kepada publik apa yang sebenarnya sedang terjadi di Poso.

Sekarang ini pemerintah sibuk menghadirkan wacana bahwa eksekusi ini jauh dari soal agama. Beberapa tokoh agama juga diundang untuk menenangkan warga. Menurut kita yang seharusnya jauh lebih penting adalah bagaimana keadilan hadir di setiap sudut negeri ini suapaya pelaku kejahatan, baik teroris, koruptor, maling, pembunuh dan sebagainya dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Itu baru namanya keadilan hukum yang sejati

No comments: