Thursday, August 17, 2006

FOKUS: Dirgahayu RI Ke-61

Hari ini, 17 Agustus 2006, Indonesia genap berusia 61 tahun. Usia yang sudah cukup panjang untuk dirayakan, dan usia yang cukup penting juga untuk memikirkan apa yang sudah dicapai.

Kemerdekaan, siapapun ingin memperolehnya. Demi itu, perjuangan dan pengorbananpun diberikan dan direlakan. Selama periode penjajahan tidak terhitung energi yang harus dikeluarkan oleh para pejuang. Mereka menggunakan apapun cara supaya dapat terbebas dari kolonialisme. Para pahlawan tersebar dari seluruh nusantara. Kita di Sumatera Utara memiliki Sisingamangaraja XII dengan heroisme yang sangat luar biasa sehingga mampu menggetarkan musuh.

Indonesia memang menarik bagi penjajah. Jauh-jauh mereka datang untuk menjadikan Indonesia sebagai daerah jajahan, bahkan bagian dari negara mereka. Mereka tidak malu-malu memeras keringat bangsa ini untuk membangun negara mereka. Soekarno dengan nada marah dan geram pernah menyatakan bahwa “jalan-jalan, dam-dam dan bangunan di Amsterdam, negerinya Ratu Wilhelmina adalah rampokan dari hartanya bangsa Indonesia”.

Dijajah memang tidak mengenakkan. Setiap hari bangsa ini pernah bekerja bukan untuk dirinya sendiri. Setiap hari harus dijadikan sebagai hari pengabdian untuk penjajah. Jika tidak dilakukan, maka lecutan cemeti bisa mendarat dengan kasarnya di kulit nenek moyang kita. Gubernur Jenderal Daendels yang membangun jalan fenomenal yang menghubungkan seluruh Pulau Jawa adalah salah satu bukti penjajah kolonial yang menjadikan bangsa kita ini bermatian di negeri sendiri.

Karena itu, ketika kemerdekaan terwujud, sungguh itu merupakan suatu kegembiraan yang amat sangat. Bangsa kita benar-benar lepas dari semua tekanan, beban bahkan penderitaan. Bangsa kita memiliki arah dan hidup yang dapat ditentukan sendiri. Itu sebabnya, simbolisasi kemerdekaan pasca Proklamasi adalah tangan yang mengepal teracung ke udara sembari meneriakkan “Merdeka”. Salah “kemerdekaan” itu adalah sebuah ungkapan bagaimana bangsa ini merayakan kemerdekaan sebagai sebuah kegembiraan luar biasa dan berkehendak memiliki kemerdekaan itu sekali untuk selamanya. Penjajahan, harus diakhiri sama sekali.

Namun, setelah 61 tahun berlalu, Indonesia sayangnya masih menyimpan banyak derita, dan penderitaan. Alam kemerdekaan yang diperoleh dengan susah payah, ternyata tidak diisi dengan bijak. Akibatnya, kemerdekaan selaam 61 tahuh lebih banyak diisi dengan tangisan—pola yang sama dengan suasana jaman penjajahan.

Semua pembangunan, sebagai aktifitas bangsa yang merdeka, justru amat rapuh dan lapuk. Tingkat kesejahteraan warga masyarakat terperosok amat jauh. Masyarakat Indonesia bahkan ketinggalan jika dibandingkan dengan warga negara lain yang belakangan merdeka.

Semuanya karena dipengaruhi oleh para pemimpin bangsa ini. Indonesia berada di tangan pemimpin yang salah sehingga kebanyakan tahun dalam usia 61 tahun adalah tahun yang penuh dengan salah arah dan salah dalam melaksanakan pembangunan. Energi yang pernah dimiliki selayaknya aksi heroisme para pahlawan ternyata digunakan untuk melakukan kecurangan dalam apa yang kerap di sebut sebagai korupsi, kolusi dan nepotisme. Energi yang ada justru tidak digunakan untuk membangun bangsa, namun lebih kepada keinginan untuk menjual bangsa sendiri kepada roh kapitalisme.

Inilah refleksi usia ke-61 tahun negara kita. Usia yang bisa dipandang sebagai titik awal untuk membangun semangat untuk maju. Menjadi bangsa yang merdeka adalah sebuah pilihan dan kita sudah menentukannya 61 tahun yang lalu. Mari kita menjadikan tahun ini sebagai tahun untuk mengarahkan energi kita, melihat masa depan kita sebagai bangsa yang besar. Mari kita menjadikan kekuatan perjuangan yang pernah ada sebagai alat membesarkan bangsa ini. Dirgahayu RI ke-61. Merdeka.

No comments: