Wednesday, August 16, 2006

FOKUS: Damai Milik Bersama

Pekan ini kelihatannya kita patut merenungkan makna damai. Salah satunya adalah karena pekan ini setahun sudah damai ditandatangani oleh pemerintah RI dengan kelompok yang selama ini dimanai sebagai GAM. MoU yang ditandatangani di Helsinki tersebut adalah sebuah jalan keluar bersama setelah konflik yang berlangsung selama tiga dekade pemerintahan Orde Baru, selain konfik yang sebelumnya di masa Orde Lama.

Hasilnya, terlihat sangat jelas. Secara nasional kita memperoleh ketenangan karena proses perdamaian menyebabkan banyak negara mengerem ”gangguannya” selama ini kepada kita. Sebagai contoh beberapa negara Eropa selalu menggunakan isu ini untuk menuding pelanggaran HAM Indonesia. Bahkan beberapa di antaranya, termasuk Portugal dan Swedia mencap Indonesia sebagai negara dengan aneksasi terhadap wilayah Aceh.

Mantan Menlu Indonesia Ali Alatas di masa lalu bahkan menyatakan bahwa masalah Aceh merupakan kerikil di dalam sepatu di Indonesia. Akibatnya kita selalu kehilangan kesempatan dalam berdiplomasi terlebih ketika terjadi kepentingan yang harus dipilih di antara sesama negara.

Memang masalah Aceh waktu itu memang merupakan masalah yang sangat berat untuk diselesaikan. Pemerintah bukannya tidak punya solusi. Waktu itu, sejak dari Presiden Soeharto yang menggunakan kekuatan militer sampai pendekatan mengambil hati yang digunakan oleh mantan Presiden Megawati, selalu saja patah di tengah jalan.

Sebabnya adalah karena lamanya konflik menyebabkan masalah menjadi tidak mudah diselesaikan. Telah terjadi ketidakpercayaan yang amat parah pada masyarakat, termasuk pemerintah. Maka konflik demi konflik selalu terjadi.

Terlepas dari caranya, setahun yang lalu damai memang hadir dengan baik di Aceh. Waktu itu, diwakili oleh Menteri Hukum Hamid Awaluddin, damai ditandatangani. Waktu itu memang sempat muncul pro kontra. Tetapi sungguh alangkah tepat jika kita katakan bahwa waktu itu kita sebenarnya berdamai bukan dengan orang lain, bukan dengan musuh, tetapi dengan diri kita sendiri, dengan saudara kita sendiri.

Maka kita menyaksikan sekarang bagaimana posisi Indonesia, dalam percaturan politik internasional justru lebih berhasil dibandingkan dengan berbagai negara yang didalam negerinya masih menyimpan aksi separatisme. Bahkan untuk perdamaian, memang kita amat maju. Hanya dalam waktu setahun sejak damai ditandantangani, hampir tidak ada suara senjata meletus tanpa ketahuan siapa yang melakukannya.

Bagi kita damai di Aceh bukan hanya damai bagi mereka yang tinggal di sana. Tetapi juga damai bagi kita bersama. Sungguh alangkah menyenangkannya ketika masyarakat di sana kini bisa berjalan ke mana saja mereka mau dan melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Bukan hanya itu, MoU yang ditandatangani di Helsinki setahun yang lalu itu juga disusul oleh pengesahan UU Pemerintahan Aceh oleh DPR dan pemerintah. Pengesahan UU PA membuat gairah demokrasi juga datang bergelombang ke Aceh. Menjelang pilkada langsung yang akan diselenggarakan di Aceh pada bulan November nanti, masyarakat sudah mengalami euforia politik. Mereka menanti apa yang akan terjadi pada tanah mereka yang selama ini amat jauh dari proses seperti demikian.

Kita bangga ketika kita akhirnya kita ternyata sukses dalam mempertahankan damai di Aceh. Kita, ternyata memiliki kekuatan untuk bisa berdamai, bahkan dengan diri kita sendiri. Kita harus mempertahankan kekuatan ini supaya kita bisa sukses dalam berbagai masalah lainnya.

Menjelang suasana kemerdekaan sungguh alangkah berbeda. Kini kerikil itu sudah tak lagi berada di sepatu. Yang kita sedang perjuangkan kini adalah bagaimana supaya kita semuanya melangkah dalam semangat yang sama untuk membangun Indonesia.

No comments: