Tuesday, August 01, 2006

Bangsa Kita Maju...... Kapan?

Ada sebuah pameo yang pernah dituliskan mengenai bangsa kita. Katanya, bangsa ini demikian ketinggalan karena selalu lamban. Lamban belajar, lamban mengerti, dan lamban beradaptasi. Demikian penulis buku itu menyatakannya. Ada kesan sarkastis, namun kita melihat ada kejujuran di dalamnya.

Memang terasa benar ketika kita menyaksikan kenyataan yang ada. Lihat saja kini bagaimana pemerintah seolah kebakaran jenggot menyaksikan konsumsi bahan bakar masyarakat kita. Pemerintah harus menganggarkan uang trilyunan rupiah setiap tahunnya untuk memberikan subsidi kepada masyarakat. Andaikan saja dulu pemerintah sudah memikirkan langkah-langkah pengembangan energi alternatif, maka sekarang saatnya bangsa kita tidak akan kesulitan.

Demikian juga dengan berbagai kebijakan. Ambil contoh mengenai Ujian Nasional. Sebelumnya pemerintah ngotot mengancam tidak akan memberlakukan ujian ulangan apapun bentuknya. Setelah didesak, barulah pemerintah tak lagi mempertahankan pendapat. Meski ujiannya versi paket C, pemerintah lagi-lagi menunjukkan ketidakmampuannya melihat masalah jauh-jauh hari.

Hal yang sama juga terlihat dari berbagai kejadian penting di tanah air. Mulai dari bencana alam, kecelakaan, apapun itu, semuanya selalu dilakukan seperti reaktif. Bukan karena dipikirkan sebelumnya. Akibatnya kita tetap ketinggalan.

Bangsa yang besar selalu melihat peluang untuk kelak bisa maju. Ada rasa tercengang misalnya menyaksikan pasangan ganda putri China untuk pertama kalinya berhasil memenangkan arena bergengsi tenis Wimbledon. Kita, entah kapan bisa seperti mereka, yang selalu cepat belajar terhadap setiap perubahan lalu menyusun langkah untuk maju.

Buku Rhenald Kasali berjudul Change menggambarkan sebuah peristiwa yang amat penting untuk kita sadari, yaitu punahnya dinosaurus. Dalam buku itu disampaikan bahwa dinosaurus punah karena tak lagi bisa membaca arah jaman. Binatang purba itu lambat beradaptasi terhadap perubahan yang ada.

Bangsa kita pun bisa terancam seperti dinosaurus. Dahulu kita seperti amat bangga dengan julukan “jamrud khatulistiwa”. Sekarang kita hanya bisa meratapi semuanya, karena hanya tinggal kenangan. Hutan kita dibakar. Emas dan kekayaan tambang kita serahkan pada negara lain. Ikan kita dicuri. Bahkan pulau milik kita sendiri akhirnya dikuasai oleh negara lain.

Lagi-lagi, kita memang lamban maju karena kita tidak pernah membaca arah perubahan. Kita menyangka bahwa segala sesautunya masih seperti semula. Kita—kebanyakan kita—masih menganggap bahwa kita masih seperti dulu—di penghujung kematian dinosaurus pun demikian. Kita sibuk mencari gelar, kekuasaan, kedudukan, bahkan berani mati karenanya. Nilai-nilai tradisional yang tak perlu dan tak berarti, dilestarikan. Akibatnya kita tidak bisa melihat bahwa kita sedang terancam.

Diperlukan nurani yang tajam untuk melihat semuanya itu. Dalam pembukaan Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Jakarta, Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah menyatakan bahwa negara ini sering sekali gamang. Seolah tidak tahu apa yang akan dilakukan, memang negara ini terlalu sulit untuk maju. Bayangkan saja, Afrika Selatan negeri yang bertahun-tahun lamanya menderita karena politik apartheid, justru menjadi tuan rumah Piala Dunia yang akan datang. Negara di benuah afrika tersebut sudah membuktikan diri sebagai negara yang bisa diandalkan karena mereka selalu berpikir ke depan. Pertikaian bagi mereka adalah masa lalu dan tidak pantas untuk diteruskan.

Sekaranglah saatnya untuk berpikir, bekerja dan berkreasi dengan cepat, jika negara ini tidak ingin tenggelam sebagaimana halnya dinosaurus.

No comments: