Tuesday, August 07, 2007

FOKUS Mutu Pendidikan Tinggi

Pasca pengumuman Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) lalu, masyarakat diperhadapkan pada keputusan yang tidak mudah. Mereka harus memilih menempatkan anaknya di perguruan tinggi yang kini jumlahnya bertabur, luar biasa banyak.

Memang di Indonesia ini perguruan tinggi menjamur. Di mana-mana, atas nama partisipasi masyarakat, pemerintah memberikan ijin pengelolaan yang berlaku selama dua tahun kepada pendidikan tinggi baru, lalu kemudian diperpanjang setiap empat tahun. Memang, ada keuntungan yang amat besar, karena sistem ujian negara tak lagi penting atau dipergunakan oleh pemerintah untuk menambah beban masyarakat.

Tetapi persoalan tidak disana. Yang penting untuk diperbincangkan adalah bagaimana mutu pendidikan tinggi itu? Kalau menggunakan indikator internasional, hanya ada kurang dari 5 perguruan tinggi negeri saja di Indonesia yang masuk jajaran 100 ke bawah. Lainnya, tergusur di barisan posisi ratusan. Di Sumatera Utara, pendidikan tingginya bahkan tak pernah masuk nominasi.

Ada apa? Salah satu persoalan penting yang selalu saja kita minta dibenahi adalah pada mekanisme pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Menurut aturan yang ada, setiap pendidikan tinggi harus memiliki batas minimal staf pengajar, mahasiswa, termasuk sarana dan prasana.

Kenyataannya tidak demikian. Pemerintah justru membiarkan berdirinya pendidikan tinggi yang menjalankan aktifitas di rumah toko, dengan peserta didik yang tidak jelas, dan staf pengajar yang tidak tidak bermutu. Pemerintah menutup mata bahwa pengelola pendidikan banyak yang hanya mendapatkan keuntungan dana dari masyarakat, namun sama sekali minim pertanggung-jawaban terhadap mereka yang memberikan uangnya kepada pihak pendidikan.

Yang paling fatal adalah para pengelola pendidikan umumnya tidak perduli dengan lulusannya. Ukuran keberhasilan sebuah pendidikan tinggi memang adalah sejauh mana alumninya memberikan kontribusinya kepada masyarakat. Namun ini tidak pernah dipikirkan. Pengelola pendidikan tahunya hanya menerima mahasiswa, lalu meluluskan mereka tanpa sedikitpun mengakitkannya dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya setiap tahun lulusan perguruan tinggi memasuki pasar kerja, tetapi dengan status sebagai penganggur.

Inilah yang kita harus berikan masukan kepada masyarakat. Bahwa pendidikan tinggi adalah haknya masyarakat, itu jelas bahkan dijamin oleh UU. Tetapi bahwa pemerintah harus menjalankan regulasi berupa pengawasan secara baik, itu pun tidak boleh dianggap kecil. Pemerintah harus tegas dan jelas dalam menerapkan aturan pendidikan, terlebih dengan adanya UU Sisdiknas.

Kini banyak pendidikan tinggi menempuh jalan pintas dan menganggnya pantas. Untuk menggarap banyak calon mahasiswa, mereka mengiming-imingi berbagai hal, yang terkadang sama sekali amat jauh kaitannya dengan kebutuhan sebuah pendidikan tinggi. Dalam kondisi dimana masyarakat masih belum bisa mengetahui dengan benar dan jelas pendidikan tinggi mana yang baik, maka mereka hanya akan menjadi korban dari promosi sebuah lembaga pendidikan.

Diperlukan advokasi kepada masyarakat. Jika pemerintah tidak berkenan, kita mendorong lembaga lain untuk memberikan kesadaran publik kepada masyarakat mengenai mutu lembaga pendidikan yang ada di masing-masing daerah, termasuk di Sumatera Utara. Pemeringkatan menurut profil dan performance akan menolong masyarakat supaya tidak menyerahkan masa depan generasi berikutnya kepada perguruan tinggi yang tidak bermutu

No comments: