Friday, May 25, 2007

FOKUS Pembenahan Konstitusi, Perlu Kehati-hatian

Akhirnya, usulan mengenai amandemen kelima UUD 1945 dimasukkan oleh Dewan Perwakilan Daerah untuk dibahas dalam sidang MPR. Poin penting dari usulan tersebut adalah adanya upaya untuk meningkatkan keterlibatan DPD dalam penbentukan UU yang berhubungan dengan pemekaran daerah. Dengan demikian, kedudukan DPD akan lebih kuat.

Usulan itu memang akhinya mengundang kontroversi. Bahkan juga semacam ”permaianan politik”. Usulan yang disampaikan memang memerlukan persetujuan dari pengusul. Dalam perjalanannya, Partai Demokrat misalnya secara penuh menarik dukungannya dari usulan tersebut setelah sebelumnya menjadi salah satu partai pendukung amandemen.

Memang di luar, suara-suara keras menentang atau menyetujui sudah berkumandang. Hanya sayang bahwa publik yang merupakan masyarakat biasa, seolah tak perduli bahwa masa depan konstitusi—yang notabene adalah masa depan mereka—sedang dibenahi dan dipikirkan oleh kalangan elit politik.

Titik penting bagi kita sebenarnya adalah pada jawaban atas pertanyaan, apakah memang UUD 1945 harus kembali diamandemen setelah sebelumnya sudah pernah diamandemen sebanyak 4 kali? Menarik diperhatikan bahwa amandemen sudah dilakukan sebanyak 4 kali hanya dalam kurun waktu sejak tahun 1998.

Sejak diamandemen, memang kita melihat ada perbaikan di sana-sini. Salah satunya dengan hadirnya berbagai lembaga negara dan cara untuk menyelenggarakan kenegaraan, harus diakui sudah banyak mencatat kemajuan. Hanya persoalannya, seiring dengan hal positif, banyak hal lain yang masih bolong.

Salah satu misalnya dengan keberadaan DPD tadi. Awalnya, kehadiran DPD memang menjadi representasi daerah. Hanya belakangan, DPD kemudian menjadi mandul, karena kewenangan yang sama tidak berkurang pada DPR, yang memang sedari awal memiliki keterwakilan yang lebih kuat posisinya dibandingkan dengan DPD.

Kasus lain yang pernah dikritik oleh Ketua MK, misalnya adalah pencantuman angka 20 persen untuk pendidikan. Dalam kenyataannya, meski sudah 3 kali dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran oleh MK, pemerintah sama sekali tetap bergeming. Pemerintah tetap menyatakan bahwa mereka tidak punya uang untuk mencapai angka tersebut. Secara tidak langsung, MK menyatakan bahwa pembuatan pasal tentang angka dalam UUD tersebut sama sekali terlalu terburu-buru.

Beberapa produk UU juga kemudian mengalami kebablasan. Pembatasan masa kerja Pengadilan Tipikor, pengurangan kewenangan KPK, sampai dengan yang kini sedang dibahas adalah mengenai UU Politik, semunya tidak terlepas dari UUD yang merupakan payung bagi seluruh UU tersebut.

Memang perlu disampaikan bahwa masa depan bangsa memang harus tetap diperbaiki. Namun pembenahannya seharusnya berjalan dengan terencana, dan bukan karena kepentingan politik sesaat dan bersifat ad hoc. Kita mau supaya bangsa ini maju dan mandiri, termasuk dalam menyusun pijakan UUD yang baru. Namun kalau tidak hati-hati, itu akan menjadi kotak pandora yang berbahaya bagi seluruh bangsa kita sendiri.

Bagaimanapun amandemen ini bukan hanya urusan politik dan kepentingan elit semata. Kita harus memikirkan bagaimana supaya ada ketertiban dalam membangun bangsa kita. Bentuk negara kita sekarang ini adalah warisan yang akan menjadi bentuk dari negara pewaris kita. Salah di awal, maka bukan tidak mungkin akan muncul persoalan besar pada mereka kelak

No comments: