Friday, May 25, 2007

FOKUS Hukum Kita Belum Berwibawa

Persoalan hokum mencuat beberapa pekan ini. Salah satunya dalam kasus yang melibatkan puluhan hektar tanah masyarakat di Kecamatan Meruya Selatan, Jakarta. Kasus yang sempat menghebohkan seluruh masyarakat itu untuk sementara berlangsung adem karena belakangan PN Jakarta Barat menyatakan tidak akan melakukan eksekusi. Meski demikian, PT Portanigra, perusahaan yang sempat dimenangkan oleh MA menyatakan bahwa masyarakat harus siap melepas haknya atas tanah kalau proses hukum di pengadilan memenangkan pihak perusahaan.

Kasus ini menjadi sebuah perhatian kita di tengah carut marutnya hukum nasional kita. Harus kita akui, hukum belumlah menjadi panglima di tengah-tengah tata tertib hubungan di tengah masyarakat maupun dalam bernegara.

Salah satu sebab yang menonjol adalah bahwa hukum masih dianggap hanya sebagai alat kekuasaan. Hukum dijadikan sebagai instrumen yang menghukum mereka yang berhadapan dengan penguasa. Bahkan terkadang, mereka yang berkuasa, baik karena membeli hukum maupun yang karena kekuasaannya menyandang status sebagai hamba hukum, justru mempermainkan hukum tadi.

Dalam kasus sengketa tanah di Meruya tadi misalnya, rakyat telah diabaikan hak-haknya atas tanah karena hukum tidak berpihak pada mereka. Secara faktual, sertifikat tanah masyarakat dianggap tidak sah, padahal yang mengeluarkan sertifikat tersebut adalah negara. Dan negara adalah pemegang kedaulatan tertinggi atas penerapan hukum. Nyatanya, negara justru telah bertindak tidak adil.

Menjadikan hukum tergantung kepada preverensi dan vested interested, tak ayal telah menyeret negara kita ke dalam kekacauan psikologis. Masyarakat sudah tidak lagi merasa bahwa mereka akan dibela haknya manakala memiliki masalah dengan pihak lain atau bahkan dengan negara sekalipun. Masyarakat merasa bahwa mereka akan selalu kalah, bukan karena memang demikian adanya, tetapi karena mereka tidak berhubungan dengan kekuasaan.

Di sinilah kemudian muncul masalah yang potensial mengganggu kita. Karena masyarakat sudah tidak menganggap bahwa hukum adalah sumber tertib dalam bernegara dan bermasyarakat, maka masyarakat menggunakan dirinya sendiri sebagai hukum. Jadilah, aksi main hukum dan pelanggaran dilakukan secara terbuka.

Di Surabaya misalnya, warga masyarakat tanpa segan pada aparat hukum melakukan pemblokiran jalan tol karena tuntutan mereka tidak dipenuhi. Demikian juga dengan warga Meruya, mereka menutup semua akses masuk ke wilayah mereka karena mencurigai datangnya aparat yang akan mengeksekusi tanah mereka.

Tindakan demikian jelas adalah pelanggaran hukum, yang bersumber dari pelanggaran hukum yang terjadi sebelumnya. Masyarakat melihat bahwa karena mereka sudah dijadikan korban dan telah pula dilanggar haknya sebagai warga negara oleh aparat negara sendiri, maka tidak ada jalan lain mereka pun turut meramaikan aksi melanggar hukum tersebut. Masyarakat melihat dengan mata telanjang bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka sementara bagi para pejabat, hukum justru jauh dari dilaksanakan. Maka terjadilah aksi main hukum sendiri tadi oleh masyarakat.

Secara umum, inilah yang menjadi kekuatiran kita. Kita kuatir bahwa hukum sudah tidak berdaya lagi. Padahal dengan adanya hukum, masa depan sebuah negara akan semakin lebih baik. Hukum yang tertib akan menciptakan masyarakat yang aman. Itu adalah sebuah hukum besi yang berlaku di manapun. Maka adalah tantangan bagi kita semua untuk menciptakan hukum yang berwibawa dan adil bagi semua, siapapun itu, tanpa pilihan apapun

No comments: