Sunday, December 23, 2007

FOKUS Kesetiakawanan Nasional

Peringatan HKSN dilaksanakan di Medan. Di sini, secara langsung, Presiden dikabarkan akan mencanangkan sejumlah aktifitas yang mengingatkan kita kembali akan pentingnya kesetiakawanan nasional. Tetapi apa sesungguhnya makna yang bisa diharapkan dari HKSN?

Berbicara soal kesetiakawanan memang tidak dapat dilepaskan dari konteks ke-Indonesiaan sekarang ini. Kita tahu bahwa ada sejumlah keprihatinan mendalam atas berbagai persoalan bangsa yang terjadi sampai dengan sekarang.

Salah satu diantaranya adalah merosotnya kehidupan masyarakat secara umum. Hampir 20 persen dari penduduk Indonesia sudah tak lagi bisa hidup dengan keadaan yang biasa. Mereka adalah bagian dari penduduk yang tergolong miskin. Beberapa di antaranya hidup hanya dengan mengandalkan kehidupan sehari saja, dan mengharapkan adanya jaminan esok hari.

Sayangnya, di sisi lain, ada sejumlah pihak di Indonesia yang ternyata amat terjamin hidupnya karena kekayaannya. Majalah Forbes misalnya, menempatkan Menko Kesra kita yang notabene adalah pengusaha sebagai orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan yang ribuan kali lipat dari gaji buruh yang beberapa waktu lalu memperjuangkan haknya dan menuntut upah minimum yang hanya Rp. 1,8 juta saja.

Fakta munculnya ketimpangan demi ketimpangan di negeri inilah yang kemudian menjadi bahan renungan ulang kita. Sudahkah kita memaknai kesetiakawanan dengan baik? Sudahkah kita merasa empati satu terhadap yang lain?

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Maarif dalam gelar deklarasi sebuah parpol baru, menyatakan bahwa bangsa ini bukan tidak punya konsep. Dulu pemerintah punya yang namanya triple down effect. Tetapi nyatanya mereka yang berada di tengah-tengah telah merampok haknya masyarakat. Secara agak sinistik, ia menyebut bahwa banyak pemimpin sekarang adalah maling dan garong.

Memang tidak berlebihan jika kita katakan bahwa dibalik kemiskinan yang menyeruak di tengah-tengah masyarakat, amat kontras dengan adanya kegemerlapan sekelompok masyarakat di sisi lainnya. Dan ini menurut dugaan kita justru karena dari atas sendiri, tidak ada niat untuk berbagai dan berkorban.

Niat untuk berbagai kepada sesama tentunya bukan sebuah keinginan yang muncul begitu saja. Ada semangat yang terlepas dari sifat charity, tetapi lebih kepada keinginan untuk memberikan hak pihak lain. Bukan memberikan sebagai sebuah belas kasihan yang penting, tetapi menyadari bahwa mereka yang tidak punya apa-apa, adalah bagian dari diri kita sendiri.

Para pengamat dan penemu misalnya menyatakan bahwa mereka yang miskin bukan miskin dari dirinya sendiri, melainkan karena tiadanya akses. Dan dalam lingkaran setan kemiskinan itu, idiom bahwa yang miskin tetap miskin dan yang kaya makin kaya adalah benar adanya, termasuk di Indonesia. Yang tidak mampu, bisa maju kalau kepadanya diberikan akses. Hanya mereka yang punya biasanya tidak mau memberikan hal itu.

Kenyataan lain muncul dari ketidakmampuan pemerintah memfasilitasi semangat kesetiakawanan ini. Berbagai contoh dimana pemerintah tidak memberikan teladan yang baik apa artinya berkorban memperlihatkan hal itu. Kasus lumpur Lapindo, yang mengabaikan hak mereka yang menjadi korban adalah eksperimentasi nasional betapa kita selalu saja abai memperhatikan yang lain.

Peringatan HKSN seharusnya tidak berhenti begitu saja sebagai sebuah seremoni. Di dalamnya ada keinginan untuk membawa sesama sebangsa setanah air sebagai tanggung-jawab bersama, siapapun itu, sebagai bagian dari warga negara. Itulah makna yang utuh mengenai hal itu. Lain tidak

No comments: