Sunday, December 23, 2007

FOKUS Erosi Kepercayaan

Masyarakat dilanda oleh sebuah fenomena sosial yang patut kita sebut sebagai erosi kepercayaan. Istilah ini kita sebut untuk mengingatkan para pemimpin dan elit bahwa yang namanya jabatan dan kedudukan adalah sebuah tanggung-jawab sosial. Kita kerap menyebutnya sebagai noblese oblige. Di balik kekuasaan, ada tanggung-jawab. Di balik kedudukan, ada tuntutan tertentu.

Bagaimana tidak? Setiap kali kita mendengar ada pejabat baru, pemimpin baru, elit baru, selalu saja kita awalnya punya harapan baru juga. Kita menyangka bahwa yang namanya perubahan datang dengan adanya mereka yang memberikan diri untuk melayani kita.

Tetapi nyatanya? Di banyak daerah, terjadi berbagai ketidakpuasan. Bukan hanya menyangkut mereka yang berada di daerah, tetapi juga menyangkut mereka yang berada pada level nasional. Mereka yang kita harap bisa melakukan sesuatu justru tidak bekerja dengan baik. Di depan layar kaca dan media, kita ingin para pemimpin kita bisa berbicara dengan tegas, cepat dan jelas. Namun nyatanya tidak. Mereka justru memicu terciptanya penyakit bernama erosi kepercayaan tadi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa erosi kepercayaan adalah penyakit masyarakat yang dipicu oleh para pemimpin di negeri ini. Sebagaimana sering diungkapkan, termasuk dalam sebuah kata bijak, “where there is no vision, the people perish”, ungkapan ini mengena dengan kondisi di Indonesia kini. Bagaimana negara ini bisa maju rakyatnya jika para pemimpinnya tidak tahu hendak membawa kemana negeri ini? Maka tidak ada tujuan lain selain menjadikan masyarakatnya sendiri tersiksa dan menderita.

Bahwa rezim bisa menciptakan penderitaan kepada masyarakat memang amat kontras terjadi di negeri ini. Di satu sisi, dapat dianggap bahwa dulu Orde Baru memberikan kesengsaraan secara sengaja dan kasat mata terhadap masyarakat. Kebebasan dicabut. Berbicara dihambat. Ekspresi politik dikekang. Semuanya dihambat. Dan lain sebagainya.

Tetapi bandingkan kini. Kebebasan memang tidak dihambat, tetapi buat apa berbicara banyak kalau mereka yang dijadikan tujuan hanya diam saja? Buat apa berbicara kalau pemerintah yang seharusnya mendengar, justru hanya diam seribu basa ketika menyaksikan dengan teganya penderitaan masyarakanya sendiri. Ekspresi politik yang bebas buat apa kalau akhirnya mereka yang membentuk parpol hanya mencari uang dan kedudukan untuk memperkaya diri sendiri?

Inilah semua sebab dari yang kita sebut tadi sebagai erosi kepercayaan. Melihat semua pengalaman yang sama sekali tidak mengenakkan itu, rakyat akhirnya kebanyakan sudah tidak lagi memiliki kepercayaan bahwa mereka bisa mengandalkan penguasa. Mereka sudah tidak lagi percaya bahwa mereka yang punya kekuasaan bisa memberikan solusi. Jadilah, hukum ala rakyat pun berlaku sebagaimana banyak terjadi. Salah satu kasus misalnya perlawanan masyarakat atas eksekusi tanah yang berbuntut kematian di Jeneponto.

Memang kita harus akui bahwa ada banyak masalah di negeri ini. Tetapi apakah dengan demikian seharusnya penguasa bisa tidur dan beristrirahat lalu mencipta lagu? Buat apa lagu banyak tercipta tetapi hanya bisa meninabobokkan masyarakat yang kemudian bangun di pagi hari dengan perut keroncongan?
Pemerintah dan mereka yang berkuasa serta menyebut diri sebagai pemimpin harus mengerti bahwa menjadi pemangku kuasa atas nama rakyat bukanlah berleha-leha. Rakyat mencari pemimpin yang sudi bekerja keras dan membanting tulang atas nama kepentingan dan masa depan masyarakat sendiri. Itulah obat dari erosi kepercayaan masyarakat yan kini semakin mengharu biru itu

No comments: